Perjalanan di bulan puasa kali ini, membawa penulis dan rekan-rekan dari Komunitas Aleut hinggap di atas Gunung Cae, perbatasan Kabupaten Bandung dan Garut. Gunung ini berada di antara Cihawuk, Kertasari dan Puncak Drajat Garut. Dari Jalan raya Ciparay – Cibeureum kita harus berbelok ke sebuah jalan kecil Continue reading
Di pertigaan jalanan mungil perkampungan, terpancang petunjuk jalan sederhana bertuliskan Garut. Bukan rambu petunjuk jalan buatan Dishub, yang dari lempeng besi berwarna hijau dan biasanya ditambahi keterangan jarak tempuh itu. Hanya papan tanda dari kayu atau bambu atau triplek (saya lupa tak sempat memotretnya), dengan tulisan tangan.
Sebelumnya, setelah main air di aliran Cigeureuh yang dingin di Kawasan Gunung Puntang, tujuan kami sebenarnya menuju Perkebuan Sedep untuk ditembuskan ke Cikajang. Saya sendiri belum pernah, tapi momotoran ke Sedep saat Ramadan tahun 2016 selalu jadi cerita yang pantang terlupa. Rencana berubah di Situ Santosa, Abang menawarkan untuk melipir ke Puncak Cae, salah satu tempat yang dijadikan basis operasi penyergapan Kartosoewirjo. Belokan ke Perkebunan Sedep harus saya lewatkan hari ini, semoga ada kali lain.
Di jalan Cibeureum-Pacet, kami berbelok ke daerah bernama Cihawuk. Masuk ke dalam, melewati turunan curam yang penuh kerikil dekat aliran Sungai Citarum, terus melaju, dan tibalah kami di pertigaan dengan papan tanda tadi. Entah berapa jam dan kilometer lagi yang harus kami tempuh, yang pasti dengan belok ke kiri dan percaya saja pada papan tanda tadi, kami bakal sampai di Garut.
“Sebentar lagi, tinggal lewat gunung itu, langsung laut,” janji saya saat melindas jalanan Naringgul.
Kata “sebentar” mengundang beragam makna, bisa sebuah jebakan sekaligus pembebasan, seringnya hanya janji kosong. Kengerian bagi para murid belet yang lembar jawabannya
masih melompong saat diultimatum oleh pengawas dengan kata tadi bahwa ujian akan segera berakhir. Sukacita bagi suami yang ditenangkan dengan kata itu bahwa tanggungan dalam perut istrinya selama berbulan-bulan akan jadi tangis orok. Bagi pemimpi menyedihkan, bagi pengusaha perfeksionis, kata “sebentar” punya parameter waktu berbeda.
Dengan kata “sebentar” tadi, saya serasa pengkhotbah yang melakukan kebohongan publik yang mewanti-wanti bahwa hari akhir sudah dekat, untuk kemudian menginsafi bahwa wacana kiamat adalah klise usang, hasil dari ketakutan dan kedunguan manusia di tiap zaman. Kata “sebentar” membenarkan diri atas ketaktahuan dan kesoktahuan. Tapi saya masih bisa berdalih, kata “sebentar” yang saya pakai berfungsi bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk memberi ketenangan.
Terbukti, sepanjang jalan Naringgul-Cidaun, perempuan di jok belakang saya terus memeluk tasnya dan terlelap. Jalanan Cianjur setelah dari arah Ciwidey siang itu hanya menawarkan terik dan kondisi ideal untuk mengantuk. Curug-curug kurang air, hanya mengalirkan pipis bocah. Hamparan sawah, diselingi rumah-rumah, serta tebing-tebing gunung yang kering makin meninabobokan siapa saja siang itu. Tentu, mengantuk apalagi tidur saat berkendara adalah cara bunuh diri paling kalem. Apalagi saat bermotor, mengantuk sedikit saja, keseimbangan bakal agak goyah. Masalahnya, kantuk lebih sering melanda mereka yang dibonceng.
Saya tak merutuki, justru merasa terbebaskan. Beban untuk menciptakan dialog berganti menjadi beban untuk menyeimbangkan diri agar motor tetap melaju aman. Setelah turunan curam Naringgul yang selalu sukses memanaskan cakram motor saya dan bikin rem blong, jalanan selanjutnya memang agak landai berbukit-bukit, tapi relatif mulus. Sebelumnya, sehabis Rancabali, kecepatan bermotor kelompok agak memelan. Kantuk menusuk. Bagi yang pernah membonceng Akay melintas malam-malam di Gunung Gelap, Pameungpeuk, Garut, saya tak merasa kesulitan, apalagi perempuan di jok belakang tidur dengan cukup tertib.
Jumat malam saya masih mikir-mikir untuk ikut ke Dewata. Sambil ngulet di kasur saya mempertimbangkan banyak hal sampai akhirnya memutuskan untuk pergi, itu pun (masih) sembari mengumbar alasan menyebalkan semacam: kalau nggak ikut berarti saya gagal bangun pagi. Ternyata keesokan harinya saya bisa bangun dengan mudah setelah dapat telepon dari Rizka. Tanpa ba bi bu saya mandi, packing, dan meluncur menuju Kedai Preanger. Saya sama sekali nggak menggerutu ketika dihadang hujan di Jalan Riau, entah bagaimana, saya hanya merasa jika perjalanan bakal berat dan nggak semestinya saya mengawali hari dengan perasaan kacau hanya karena hujan sudah turun sepagian.
Saya mungkin tak punya keberuntungan untuk memperoleh kemewahan berlibur ke tempat-tempat eksotis yang penuh sanjung dan publisitas, namun saya mendapat kehormatan untuk dapat ikut dalam perjalanan momotoran dengan Komunitas Aleut dan Djelajah Priangan.
Bagi saya perjalanan bersama mereka bagaikan berpergian ke Wakatobi atau Bali. “Semua rasa hanya ada dalam pikiranmu,” begitu ujar orang yang paling dituakan di Komunitas Aleut pernah berkata. Maksudnya mungkin kita sendiri yang dapat memberi arti bagi perjalanan dan pengalaman yang kita dapatkan.
Entah itu hanya berpergian menelusuri sudut-sudut Priangan atau pergi berpesiar ke Lombok sana. Ya, bagi saya semua perjalanan adalah kemewahan yang tak pernah putus saya syukuri. Bila harus menjalani kembali, semua sama istimewanya dengan pengalaman yang pertama.
Seperti perjalanan hari Sabtu yang baru saja berlalu. Ini adalah usaha kedua kami untuk dapat mencapai Perkebunan Teh Dewata. Usaha pertama hanya rampung setengahnya karena waktu yang berkehendak lain. Saya tau momotoran kali ini akan membutuhkan kesabaran dan kepasrahan yang berlipat-lipat. Saya sempat melihat kondisi jalan yang harus dilalui untuk dapat mencapai Dewata saat mengantar seorang kawan memompa ban motornya yang kempes di Kampung Mandala, peradaban terakhir menuju perkebunan teh yang akan kami tuju, pada perjalanan yang pertama. Setidaknya ada jarak kurang lebih 18 km jalanan berbatuan yang harus dilalui.
Memang ujian beratlah yang nyatanya kami harus hadapi dengan tabah tanpa kenal lelah. Medan berat jalanan makadam yang menguras tenaga serta berbagai masalah harus kami hadapi.