Oleh: Aditya Wijaya

Pintu masuk Makam Pandu, terlihat relief dan tiang tinggi dengan lentera kaca di atasnya (Locale Techniek)

Belakangan ini saya sering sekali mengunjungi Makam Pandu, kunjungan ini dalam rangka melakukan inventarisasi makam-makam tua di sana. Satu demi satu makam saya coba arsipkan baik foto, inskripsi, serta lokasinya.

Inventarisasi ini mengharuskan saya untuk berkeliling dari ujung ke ujung kompleks makam. Sedikit banyak saya menjadi tahu kondisi terkininya. Penuh dan sesak adalah dua kata kunci kondisi Makam Pandu saat ini. Untuk sekadar berjalan saja menyusuri makam-makam di sana rasanya sangat sulit. Saya terkadang harus loncat ke sana sini melewati makam-makam. Terkadang juga harus berhenti hanya demi mencari jalan yang sedikit nyaman. Tidak banyak jalur jalan yang jelas di antara makam-makam, selain jalur jalan setapak utama, bahkan sepertinya sebagian jalur jalan ini pun sudah terisi oleh makam-makam.

Ukuran makam yang bervariasi, dengan atap makam yang tinggi membuat beberapa kali kepala saya terbentur, lumayan sakit sih, soalnya bahan makam terbuat dari bebatuan kasar. Selain itu, bahan batu kasar ini bisa membuat pakaian tergores, dan paling parah hingga sobek. Tak jarang sesekali bagian tubuh terkena goresan batu makam hingga mendapatkan luka kecil.

Kondisi Makam Pandu sekarang ini membuat saya penasaran, bagaimana sih perjalanan Makam Pandu dari awal pembangunan hingga kondisinya seperti sekarang? Untuk menjawab pertanyaan ini sebenarnya saya menyimpan satu artikel dari sebuah majalah “Locale Techniek” yang ditulis A. Poldervaart.

Kita putar mundur waktu ke warsa 1930-an. Saat itu kompleks makam orang Eropa di Bandung terletak di Jalan Pajajaran. Karena pertumbuhan Kota Bandung yang semakin cepat, makam ini dengan segera di kelilingi oleh rumah-rumah penduduk. Hal ini menyebabkan biaya yang sangat mahal jika orang ingin menambah lahan untuk permakaman, sementara luas areanya tidak dapat ditambah lagi. Oleh karena itu maka direncanakan secara bertahap untuk menutup makam ini dan membuka kompleks permakaman baru.

Tidak semua lahan dapat digunakan untuk membuat makam baru, harus memilih tanah yang relatif datar, dapat meresap dan mengalirkan air dengan baik, tidak mendapat kiriman atau banjir air dari tempat yang lebih tinggi, dan tanahnya tidak terbuat dari lempung atau lapisan tanah yang keras.

Dalam memilih lokasi untuk makam baru, harus diperhatikan juga kemungkinan bertambahnya luas kota, jangan sampai lokasi baru ini kelak menahan perluasan kota. Sebab orang-orang juga tidak merasa senang tinggal dalam rumah yang letaknya berdekatan dengan kompleks makam.

Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, maka dipilihlah sebuah lahan yang dianggap cocok untuk makam baru tersebut. Lokasinya ada di barat laut kota, dekat dengan lapangan udara Andir yang secara alami akan membatasi dan menghalangi ekspansi permukiman ke arah itu. Di lokasi baru ini juga terdapat saluran irigasi (jalur pipa Leuwilimus) yang terletak di sepanjang sisi utara makam. Saluran irigasi ini bertugas mengumpulkan dan mengalirkan semua air permukaan.

Continue reading