Tag: Cipatik

Mengenal Lebih Jauh Sang Tohaan Kobul

SAVE_20180622_143006
Situs makom keramat Santoan Kobul|Foto Ariyono Wahyu Widjajadi

Oleh: Ariyono Wahyu Widjajadi (@A13xtriple)

Di sisi jalan raya Cipatik-Soreang terdapat sebuah papan penunjuk informasi mengenai sebuah situs makom keramat Santoan Kobul. Tepatnya situs ini terletak di Desa Jatisari, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung. Lalu siapakah Santoan Kobul? 

Garis Keturunan Sang Tohaan

Jika berdasarkan silsilah dalam “Babad Bupati Bandung” Santoan (Sang Tohaan) Kobul atau Ki Gedeng Kobul berasal dari garis keturunan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi. Dalam garis keturunan ini terdapat beberapa nama-nama tokoh legendaris dalam lingkup sejarah Sunda, salah satunya adalah Pangeran Jaya Pakuan atau yang dikenal dengan julukan Bujangga Manik/Ameng Layaran. Dalam naskah Babad Bupati Bandung, Jaya Pakuan/Layang Pakuan adalah cucu Prabu Siliwangi dari puteranya bernama Prabu Kunten/Sunten yang berkuasa di Gunung Patuha.

Dalam buku “Tiga Pesona Sunda Kuna” yang memuat naskah perjalanan Bujangga Manik, Gunung Patuha merupakan tempat terakhir yang didatanginya sebelum proses naik menuju nirwana. Jaya Pakuan kemudian memiliki putera bernama Prabu Layang Jiwa/Larang Jiwa. Sang Adipati Kertamanah yang dimakamkan di muara Sungai Cisondari merupakan anak dari Larang Jiwa. Salah satu keturunan Adipati Kertamanah inilah yang kemudian menurunkan keluarga bangsawan Gajah/Cipatik yaitu melalui putera bungsunya yaitu Raden Tumenggung Suryadarma Kingkin yang dimakamkan di Cilamaya. Sedangkan anak tertua Adipati Kertamanah yaitu Ki Gedeng Rungkang menikah dengan putri dari Kiyai Dipati Ukur. Pasangan ini memiliki dua orang putera yaitu Santoan/Kyai Gedeng Kobul dan Santoan Kunur. Dicatat pada Babad Bupati Bandung Ki Gedeng Rungkang dimakamkan di Candawut.

Versi lain mengenai silsilah Eyang Santoan Kobul dituliskan oleh Robert Wessing, seorang antropolog yang melakukan penelitian di daerah Pameuntasan dan sekitarnya pada medio tahun 1970-1980-an. Menurut informasi yang dikumpulkannya Eyang Santoan Kobul adalah salah satu putera dari Adipati Galunggung. Puteranya yang lain adalah Sembah Prabu Karir? makamnya terdapat di  Kampung Pameuntasan, Sembah Dalem Sumuli dikuburkan di Singaparna serta Eyang Agung makamnya terdapat di Kampung Mahmud. Dari informasi tadi bisa dilihat bahwa tiga dari empat keturunan Adipati Galunggung berada di daerah yang berdekatan yaitu Cipatik, Pameuntasan dan Mahmud.

SAVE_20180622_143113
Terlihat di belakang Gunung Lalakon|Foto Ariyono Wahyu Widjajadi
Continue reading

Gunung Lumbung

Dalam disertasinya tentang naskah-naskah Dipati Ukur, Edi Suhardi Ekadjati menyebutkan bahwa catatan tertua tentang tokoh ini mungkin yang ditulis oleh Salomon Muller dan P. van Oort dan diterbitkan dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tahun 1836. Salomon Muller dan van Oort adalah anggota des Genootschaps en Natuurkundige Komissie in Nederlands Indie yang sudah mendapatkan pelatihan dari Museum Leiden dan sedang melakukan perjalanan penelitian tentang dunia binatang dan tumbuhan di kepulauan Indonesia.

Pada tanggal 15 Januari 1833 pasangan ini berada di daerah Cililin, dua hari kemudian mereka diantar oleh beberapa orang penduduk setempat ke puncak Gunung Lumbung untuk menyaksikan peninggalan-peninggalan purbakala. Di puncak gunung inilah, Muller dan Oort mendapatkan cerita dari seorang tua tentang tokoh Dipati Ukur, tempat persembunyian dan benteng pertahanan terakhirnya. Catatan Muller dan Oort kemudian dimuat oleh NJ Krom dalam buku Laporan Dinas Kepurbakalaan (Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië) yang terbit pada tahun 1914.

Pada hari Minggu lalu (12 Maret 2017), secara tidak sengaja kami juga sampai di lokasi yang dikunjungi oleh Muller dan Oort pada tahun 1833 itu. Di tengah ladang di puncak gunung ini, ada sepetak tanah yang dibatasi oleh susunan batu membentuk ruang persegi dengan beberapa pohon hanjuang merah yang menjadi batas petak. Di tengah petak terdapat pohon puspa dan nangka dan berbagai jenis tumbuhan lain, terutama hanjuang hijau. Nah di bawah pohon puspa inilah kami lihat dua buah batu panjang dalam posisi berdiri dan di bawahnya sebongkah batu lain yang sepertinya merupakan potongan atau sisa sebuah arca, pada bagian yang tertinggal masih bisa dilihat pahatan sepasang kaki.

Salah satu batu berdiri ini bentuknya tampak lebih modern, bagian atasnya melancip dan di beberapa sisi seperti ada bekas pahatan tulisan huruf Latin. Sebentar saya menduga batu ini seperti tugu triangulasi atau yang di beberapa tempat biasa disebut sebagai sayang kaak, kemudian ragu sendiri karena batu ukurannya lebih tinggi daripada yang biasa saya lihat. Pada batu yang lebih tua juga sepertinya ada bekas pahatan-pahatan, entah huruf atau relief, terlalu samar. Sementara pada bagian belakang sisa arca, terdapat pahatan yang membentuk huruf-huruf Latin, sepintas kami kira itu hasil vandalisme modern.

Tentu saja di sini kami tak bertemu dengan orang tua yang bercerita pada Muller dan Oort, tapi kami bertemu seorang tua lain, pensiunan Dinas Purbakala (?) yang sebelumnya bekerja di Cimahi dan ingin menghabiskan hari tuanya di Desa Mukapayung. Darinya kami mendengar tentang beberapa situs lain yang tersebar di puncak-puncak gunung di dekat Mukapayung, di antaranya Gunung Gedogan dan Gunung Masigit yang terlihat tidak terlalu jauh dari lokasi kami berdiri. Ya, kunjungan berikutnya ke kawasan ini, kami akan kunjungi dan lihat lebih banyak.

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑