Tag: Cikajang (Page 2 of 2)

Jalur Teh

12424557_1700206730191504_1723684084_n

Dua tahun lalu, @komunitasaleut mengadakan perjalanan panjang bermotor dengan judul “Jejak Teh Priangan” yang berlangsung 3 hari 2 malam.

Perjalanan dimulai dengan jalur yang tidak umum, lewat Ibun, Majalaya, lalu ke Cibeureum, Samarang, Garut, Bayongbong, sampai Cikajang. Sebelum Cikajang, suasana perkebunan teh sudah sangat terasa. Hamparan pohonan yang luas dalam kabut dan gerimis bergantian. Lalu Leuweung Gelap, sampai Cisompet dan Pameungpeuk, melewati kebun2 karet.

Berikutnya adalah jalur pantai selatan Jawa bagian barat. Lebih dari 10 lokasi pantai wisata yang cantik semuanya tampak kesepian, shelter2 yang ditinggalkan dan nelayan yang yang sibuk tidak pedulikan rombongan yang lewat. Pantai paling barat adalah Rancabuaya.

Dari sini perjalanan berbelok mengutara menuju Pakenjeng-Bungbulang dan selanjutnya Cisewu. Lagi2 kebun-kebun teh yang luas, dan mungkin ratusan air terjun tanpa pengunjung berjajar di tebing2 pergunungan. Cukul, Pasirmalang, Malabar, sudah serupa kampung halaman yang saban waktu didatangi, entah untuk beristirahat sebentaran atau membawa kelompok wisatawan dari sana-sini.

Lagi-lagi perkebunan teh menjadi hasrat utama perjalanan. Sebelum dan sesudah perjalanan panjang ini, kebun-kebun teh memang selalu menjadi pemikat perjalanan panjang, termasuk ketika membuat rute panjang lainnya mulai dari Ciwidey, Cianjur, pantai selatan, lalu mengutara lewat Cikajang.

Satu cuplikan pemandangan dan pengalaman ini akan dibagikan oleh @mooibandoeng dalam kegiatan “Mengenal Riwayat Preangerplanters” pada hari Minggu, 17 Januari 2016 ini. Sepotong kebun yang menyimpan jejak Preangerplanters, KF Holle dan KAR Bosscha. Info dan pendaftaran: 0896-8095-4394 Biaya kesertaan Rp.250rb.

Sang Juragan Teh

Oleh : Hevi Fauzan* (@hevifauzan)

Buku ini menceritakan perjuangan seorang petani teh, Rudolf Eduard Kerkhoven, yang berhasil membuka lahan di Gambung, sebuah daerah di sebelah selatan kota Bandung. Mula-mula terbit tahun 1992.

Dalam bahasa Belanda, buku ini diberi judul “Heren Van de Thee”. Buku biografi ini disusun berdasarkan surat-surat koresponden sekitar pelaku utama, keluarga, dan para pemodal perkebunan. Walaupun berdasarkan fakta sejarah, namun uraian di buku ini mampu menghidupkan tokoh-tokohnya karena penuturannya lebih mendekati pada novel. Mungkin kita bisa menyebutkan buku ini sebagai novel sejarah non-fiksi.

Latar waktu peristiwa terjadi di sekitar akhir abad 19, ketika Priangan sedang beristirahat dari sistem Preanger Stelsel yang berlangsung selama 150 tahun. Di tahun 1870, UU Agraria yang mulai diberlakukan di Hindia Belanda membuat para pengusaha partikelir mulai memasuki Hindia, termasuk kawasan Priangan.

Priangan adalah daerah yang sangat cantik dan juga subur. Keadaan ini membuat Martinus Antonius Weselinus Brouwer mengatakan bahwa “Bumi Pasundan (Priangan) lahir ketika Tuhan sedang tersenyum”. Bagaimana tidak? Bagi Negeri Belanda, Priangan adalah anugerah. Sebelum menerapkan system tanam paksa (Cultuur Stelsel), VOC dan pemerintah Belanda terlebih dahulu mengeksploitasi Priangan lewat tanaman kopi dari tahun 1720.

Dalam buku disertasinya yang berjudul “Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan Dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870”, Jan Breman menjelaskan bahwa keuntungan pemerintah Belanda dari tanam paksa di Jawa termasuk Priangan dari tahun  1831 sampai 1866 mencapai 500 juta Gulden, suatu jumlah yang mampu melunasi hutang sekaligus membuat Belanda mampu melakukan modernisasi dengan lebih leluasa.

Karena sangat mencintai Priangan dan daerah sekitarnya, pemerintah Hindia Belanda sangat memanjakan daerah ini. Misalnya saja, daerah ini merupakan daerah non-Pantai Utara yang dilalui Jalan Raya Pos Besar. Bandung, ibukota karesidenan Priangan dicalonkan sebagai bakal ibu kota Hindia menggantikan Batavia walaupun rencana ini kemudian gagal.

Bukti lainnya, provinsi Jawa Barat merupakan provinsi pertama yang dibuat pemerintah dibandingkan provinsi lainnya, terutama yang ada di Jawa, seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jawa Barat dibentuk pada tahun 1926, sedangkan Jawa Timur di tahun 1929, dan Jawa Tengah tahun 1930. Priangan pun menjadi daerah yang dikuasai Belanda pasca perjanjian Renville (1948) yang membuat pasukan Siliwangi harus hijrah ke barat.

Kembali ke buku “Sang Juragan Teh”, Hella S. Haase—sang penyusun, merupakan penulis Belanda yang lahir di Batavia. Bukunya yang semula berbahasa Belanda dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dicetak oleh penerbit PT Gramedia Pustaka Utama di tahun 2015, dan mempunyai ketebalan 430 halaman. Sampulnya menggambarkan seorang pria dengan gagah berkuda melewati perkebunan teh, didominasi warna hijau dan coklat, dua kombinasi warna pepohonan dan tanah.

Perjalanan hidup Rudolf Eduard Kerkhoven setelah dia mendarat di Jawa, yaitu membuka perkebunan, membina keluarga dan mengurus anak-anaknya, sampai terakhir dia meninggalkan Gambung diceritakan dengan cukup baik dan informatif. Gaya penerjemahan buku ini pun sangat baik sehingga saya tidak mendapatkan kesulitan ketika membaca buku ini dalam edisi bahasa Indonesia.

Buku ini memupuskan bayangan saya bahwa orang Belanda yang datang ke Nusantara tinggal menikmati hasil alamnya, tanpa harus bekerja keras, terus berfoya menikmati harta hasil eksploitasi mereka. Bayangan ini pupus setelah membaca kehidupan pria yang lahir di Avereest, Belanda , 25 April 1847 itu, yang disusun penulis sebagai suami, ayah, dan pengusaha yang baik. Dia digambarkan sebagai sosok idealis yang menjauhi sifat hura-hura.

Selain itu, buku ini menggambarkan bagaimana sistem modal berjalan di perusahaan-perusahaan teh Priangan. Diceritakan, bahwa Rudolf Eduard Kerkhoven membangun perkebunan tehnya dengan tanaman modal dari rekan dan keluarganya, sehingga untuk melakukan perubahan struktur keuangan misalnya, suami dari Jenny Elisabeth Henriete Roosgaarde Bisschop–salah satu cicit Gubernur jendral Daendels ini, harus berusaha keras memperoleh ijin dari para pemodal.

Kehidupan masyarakat Sunda, terutama etos kerja mereka disinggung sedikit di buku ini, juga pemandangan alam sekitar Gambung. Buku ini juga bercerita bagaimana transportasi sebelum masuknya jalur kereta api di Priangan. Perjalanan dari Gambung ke Bogor dan Batavia harus dilalui dengan menggunakan kereta kuda menyusuri Jalan Raya Pos dalam waktu yang lama. Dalam buku ini diceritakan bagaimana jalur Bandung-Cianjur memakai kereta kuda menghabiskan waktu 16 jam perjalanan.

Buku ini cocok bagi pecinta sejarah, utamanya bagi pembaca yang mencari biografi seorang pengusaha teh di Hindia Belanda karena menceritakan perkembangan awal perkebunan teh. Selain itu, kisah ini layak untuk dijadikan bahan dalam mempelajari kehidupan sosial, ekonomi, bahkan transportasi Hindia Belanda sebelum masuknya jalur kereta api ke Priangan.

Di atas itu semua, buku “Sang Juragan Teh” kiranya bisa dinikmati oleh siapa saja; untuk sekadar mengusir kesepian, sambil menikmati secangkir teh, di malam yang berhiaskan rintik dan rintih hujan. [ ]

  • Hevi Fauzan lebih senang memposisikan dirinya sebagai Bobotoh Persib. Berminat pada dunia per-keretaapi-an, dan bergiat di Komunitas Aleut.

 

Tautan asli: https://pustakapreangerblog.wordpress.com/2015/12/17/sang-juragan-teh/

Mengenal Riwayat Preangerplanters

Nah, ini kegiatan @mooibandoeng terbaru.

Lengkapnya sebetulnya ada 4 mata acara, 2 kali Ngaleut Jejak Preangerplanters di Bandung yang sudah terlaksana pada hari Minggu tanggal 3 dan 10 Januari 2016 yang lalu dan 2 kegiatan lain pada akhir pekan ini.

Masing-masing adalah:
1) hari Sabtu tanggal 16 Januari 2016 berupa Bedah Buku Preangerplanters yang diadakan di Institut Francais Indonesie (IFI), Jl. Pirnawarman No.32, Bandung. Kegiatan mulai pukul 09.00 sampai 14.00. Sebagai selingan akan ada pemutaran fil dokumenter The Story of Tea (1937) yang meliput berbagai kegiatan perkebunan teh di Malabar. Akan hadir pula sebagai pembicara Bpk. H. Kuswandi Md, SH, Bpk. Eka Budianta, dan Ridwan Hutagalung.

Sudah konfirmasi untuk ikut memberikan materi dan pandangan adalah Bpk. Kurnadi Syarif-Iskandar, sesepuh perkebunan mantan Direktur PTP XIII yang menjadi administratur pribumi pertama di Malabar dan Bpk. ir. Nugroho, Ketua Umum Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Teh Java Preanger.

Acara ini gratis dan terbuka untuk umum.

2) Kunjungan ke Rumah Bambu yang dirintis oleh Bpk. H. Kuswandi di Cimurah, Garut. Di sini para peserta akan diajak mengenal sejarah perkebunan Priangan secara visual, menyaksikan beberapa artefak yang berhubungan dengan perkebunan teh Priangan, melalui cerita dan foto akan berkenalan dengan silsilah besar dan rumit keluarga-keluarga perkebunan Priangan pada masa Hindia Belanda.

Di Rumah bambu yang nyaman ini para peserta juga akan diajak mengenal kembali tradisi lama yang sudah nyaris punah, yaitu nyaneut, bersama-sama dengan Asgar Muda dan Moka Garut. Akan ikut hadir di Rumah Bambu adalah seorang pengamat sejarah Garut, Dedi Effendi dan Darpan, seorang sastrawan.

Dari Rumah Bambu, peserta akan beranjak menuju perkebunan teh di kawasan Cikajang. Di sini para peserta dapat melihat langsung kehidupan sehari-hari para pekerja perkebunan teh di rumah-rumah tinggalnya masing-masing yang masih berbentuk rumah bilik tradisional. Di tengah perkebunan juga terdapat sebuah patung salah satu Preangerplanters yang cukup terkenal dan ikut berperan dalam pengembangan Kota Bandung. Bagi yang jeli, tentu dapat mengetahui bahwa patung yang serupa pernah juga berdiri di Alun-alun Kota Garut pada masa sebelum kemerdekaan. Holle malah seringkali juga disebut bila membicarakan sejarah kontemporer Sunda. Kenapa? Tunggu saja cerita-ceritanya.

Sampai jumpa dalam dua kegiatan ini.

Salam.

IMG-20160112-WA0061

IMG-20160113-WA0038

IMG_2702

IMG_1786

 

Puncak Cae

Rencana hari ini sebetulnya hanya mengunjungi Kecamatan Pacet di kaki Gunung Rakutak untuk melihat beberapa objek kegiatan swadaya masyarakat yang berkaitan dengan Ci Tarum pada hari Sabtu-Minggu (26-27 Oktober 2013) nanti. Maka dengan beberapa rekan @KomunitasAleut, pagi-pagi sekali kami sudah berada di daerah Lemburawi, Ciparay, untuk mengambil beberapa foto lingkungan sekitar.

Puncak Cae-1 Kebun

Sebelumnya di Pakutandang saya sempat berhenti sebentar di depan sebuah kampung yang pernah saya sambangi beberapa tahun lalu dalam sebuah kegiatan perekaman musik gamelan. Kampung ini dihuni oleh para penghayat aliran kebatinan”Perjalanan.” Kebetulan saya pernah berkawan baik juga dengan salah seorang pemuda pemain kendang yang mumpuni dari kampung ini. Saya membantu lawatan kelompok musiknya ke beberapa kota di Pulau Jawa dan akhirnya mengikuti Worldmusic Festival pertama di GWK, Bali.

Nostalgia “Perjalanan” itu sekejap saja, karena tidak lama kemudian saya sudah berada di Padaleman, lalu Cikoneng, Maruyung, Buntultanggol, dan akhirnya Resmitinggal, berhadapan langsung dengan gunung legendaris itu, Rakutak. Di sekitar Harempoy sempat berhenti sebentar di warung untuk minum kopi dan ngobrol dengan warga. Pemeriksaan wilayah utama memang ada di wilayah ini hingga hulu Ci Tarum.

Tapi kemudian di Cinenggelan terjadi sebuah obrolan dengan seorang pekerja ladang yang mengubah sebagian besar rencana hari ini. Mendengarkan pengalaman peladang yang kelahiran kampung sekitar Rumbia ini cukup menarik. Dia menyebutkan beberapa dano, hutan pekat, dan jalur-jalur jalan tembus ke beberapa daerah lain dari tempat kami berada. Beberapa nama yang disebutkan sangat mengundang perhatian, Monteng, Puncak Cae, dan Asrama. Continue reading

Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑