Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.

Ditulis oleh: Annisa Almunfahannah

“Mungkin akan kau lupakan atau untuk dikenang“

Penggalan lirik lagu dari Jikustik di atas sepertinya cocok untuk menggambarkan kondisi beberapa tempat bersejarah yang ada di Bandung, salah satunya adalah jalur kereta api yang menghubungkan antara Bandung dengan Ciwidey. Mungkin banyak dari kita yang belum tahu mengenai rute ini, karena memang jalurnya telah ditutup sejak tahun 1982. Kini, rute tersebut hanya meninggalkan beberapa kerangka dari jejak keberadaanya. Kami, peserta ADP 2020 akan menelusuri jejak tersebut. Lets go!


Jalur yang diresmikan pada tahun 1921 ini merupakan jalur yang membuka akses untuk daerah Bandung Selatan. Pembangunan jalur ini dilakukan melalui dua tahap. Pembangunan pertama dilakukan pada tahun 1917 untuk menghubungkan Bandung dengan Kopo (saat ini menjadi Soreang), dan melewati Dayeuhkolot dan Banjaran sebagai titik persimpangan menuju daerah-daerah perkebunan di Pangalengan, Arjasari, Puntang, dan lainnya.


Selanjutnya, pembangunan tahap kedua, yang menghubungkan Kopo dengan Ciwidey. Pembangunan jalur ini bisa dibilang cukup berat dikarenakan topografi wilayah Ciwidey yang merupakan daerah berbukit-bukit. Namun pada akhirnya Staatsspoorwegen, perusahaan yang membangun jalur ini, berhasil menaklukkan tantangan alam tersebut dan mendirikan Stasiun Ciwidey di ketinggian 1106 mdpl pada tahun 1924. Stasiun Ciwidey merupakan pemberhentian terakhir untuk jalur ini, maka sekitar 800 meter dari stasiun, terdapat sebuah turntable untuk memutarkan lokomotif kereta.

Turntable yang kini menjadi saluran air kotor, Foto: Komunitas Aleut

Pembukaan jalur ini dilakukan karena alat transportasi pedati yang digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan pada masa itu kurang efisien. Biaya perjalanan pun mahal, yaitu 15 sampai 18 sen per ton, kemudian waktu tempuh yang lama mengakibatkan hasil bumi banyak mengalami kerusakan dan tidak dapat dijual. Selain itu jarak yang jauh serta medan yang berat membuat banyak hewan yang menarik pedati tersebut kelelahan dan akhirnya mati, sehingga harga hewan penarik pedati itu naik hingga berkali-kali lipat.


Selain untuk mengangkut hasil perkebunan, jalur ini pun digunakan sebagai sarana transportasi bagi masyarakat. Namun kejadian naas terjadi pada tahun 1970-an ketika sebuah lokomotif yang membawa gerbong melintasi jalur tersebut terguling dan terjatuh ke area persawahan di daerah Cukanghaur. Dua belas tahun setelah kecelakaan tersebut, jalur ini resmi ditutup. Penutupan ini didukung juga oleh kondisi jalur yang dianggap sudah tidak menjadi prioritas dan tidak lagi menguntungkan, karena kalah bersaing dengan truk dan mobil pada saat itu.

Continue reading