Oleh: Fikri M Pamungkas
Desir angin Pangalengan yang menerpa tubuh pagi ini sungguh terasa menggigit, padahal kali ini saya duduk di belakang, dibonceng oleh Reza, rekan di Komunitas Aleut. Hari ini kami mengadakan perjalanan momotoran ke kawasan Pangalengan untuk mengungjungi beberapa lokasi di sana. Rute yang sudah disusun adalah Cinyiruan/Kertamanah, Talun-Santosa, Sedep, dan Negla.
Karena kali ini kami berbagi catatan dengan rekan-rekan lain, saya hanya akan bercerita pengalaman di bagian Santosa saja. Bagian awal perjalanan mungkin sudah diceritakan rekan lain, kami diterpa hujan sejak di Cimaung. Bukan hujan turun sekali saja, tapi hujan yang sebentar-sebentar berhenti, lalu turun lagi. Akibatnya, bolak-balik juga pasang lepas jas hujan. Walaupun begitu, tak ada yang perlu dikeluhkan, perjalanan tetap terasa menyenangkan seperti biasanya.
Singkat cerita, kami melewati belokan di depan gerbang Perkebunan Malabar, ambil ke kiri, lalu menyusuri kawasan perkebunan tetangganya Malabar sampai tiba di tugu pertigaan Talun-Santosa di depan Pabrik Teh Santosa. Bagian jalan ini kurang lebih 10 kilometer panjangnya. Akses jalan cukup bagus, semua sudah dibeton. Durasi perjalanan lebih kurang 20 menit dengan kecepatan relatif santai.

Sepanjang perjalanan menuju Santosa pemandangannya adalah kawasan perkebunan teh yang selalu terlihat indah. Bukan hanya suasana, hati juga terasa sejuk oleh suguhan alam seperti ini. Kami melewati beberapa cekungan penampung air atau embung, yaitu waduk berukuran mikro yang dibuat untuk menangkap kelebihan air saat musim hujan seperti sekarang ini.
Di wilayah Pangalengan ini embung sudah dibuat sejak dahulu. Kebanyakan orang menganggapnya sebagai danau bisa saja, danau kecil dengan pemandangan indah di sekitarnya, sehingga seringkali disinggahi orang yang kebetulan lewat. Sebagian embung itu belakangan ini dijadikan objek wisata, ada beberapa yang menjadi cukup populer, seperti Cicoledas milik Kebun Malabar dan Cihaniwung milik Kebun Talun-Santosa. Pengemasan wisata di Cihaniwung terlihat lebih masif dan ramai dibanding Cicoledas yang baru ada 1-2 warung saja di atasnya.
Hari mulai siang, pukul 12.43, saat saya beserta dua rekan Aleut lainnya sampai di depan kantor Desa Santosa. Aneh juga rekan-rekan lain masih tertinggal di belakang, padahal tadi pas kejebak macet di sekitar Tanara mereka ada di depan kami. Hari itu memang ada acara besar di lapangan Tanara yang membuat jalanan macet oleh manusia dan kendaraan. Mungkin sekitar setengah jam kami terpaksa merayap pelan di tengah kepadatan tadi. Belakangan baru saya tahu, ternyata rekan-rekan di depan berinisiatif mengambil jalan perkampungan demi menghindari macet. Jadi jalan mereka berputar-putar ke tengah perkebunan. Makanya tiba lebih belakangan di pertigaan Santosa ini.

Sembari menunggu rekan-rekan di belakang tiba, saya mencari minuman ke sebuah warung di depan Kantor Desa Santosa. Dari sini terlihat Pabrik Teh Santosa. Di tengah pertigaan jalan terdapat tugu penunjuk arah, kanan ke Sedep, lurus ke Kertasari. Tak lama kemudian, rekan-rekan sudah tiba, dan langsung menuju tempat parkiran pekerja Santosa yang di dalamnya ada warung.
Beberapa rekan langsung melangkahkan kaki ke halaman pabrik dan mengobrol dengan penjaga di gerbang, lalu ke area pabrik. Rekan-rekan yang tinggal di warung sibuk mengobrol dan memesan macam-macam. Ini pertama kalinya saya berada di dalam area Pabrik Teh Santosa, terdengar suara seorang petugas bagian kemananan menjawab pertanyaan Irfan, “Eta teh anu tos janten, atos siap dikirim. Eusina sa-sak sapertos semen, lima puluh kilo(gram).”
Hak sewa lahan Santosa didapatkan oleh J.H.W. Rusch pada tahun 1894, lalu persiapan lahan sampai sekitar 1901. Bibit-bibit awal yang didapat dari Perkebunan Gambung ditanam di blok Tebakasih dan Cisabuk. Dilanjutkan dengan membuka pabrik dan perumahan karyawannya pada tahun 1905. Pada tahun 1912 pabrik ini mengalami kebakaran besar yang membuat aktivitas pengolahan terhenti sampai tahun berikutnya. Pada 1913 pabrik didirikan lagi, kali ini lebih besar dan lebih luas. Pada tahun 1920 pabrik ini membangun turbin tenaga listrik di Cibutarua-Cileuleuy.
Pada masa Jepang, kawasan perkebunan teh dibongkar dan diganti dengan tanaman pangan sepeti jagung, singkong, ubi, dan talas. Pada masa revolusi kemerdekaan, perkantoran di Santosa dijadikan kantor darurat pemerintahan Kabupaten Bandung yang terpaksa mengungsi akibat peperangan. Rumah-rumah bedeng pun diisi oleh para pegawai pemerintahan. Dengar dari rekan-rekan lain, kantor darurat pemerintahan kabupaten ini akan terus berpindah menyusuri jalur perkebunan dan hutan di sini. Dari Santosa lalu ke Pasirgaru, pindah lagi ke Cikopo, dan akhirnya ke Bungbulang, Garut.
Setelah keadaan kembali normal dan perkebunan pun sudah berada dalam pengelolaan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) III Unit Jawa Barat, satu per satu perkebunan tetangga digabungkan dengan Santosa. Dimulai dengan kebun tertua, yaitu Lodaya yang sudah berdiri sejak 1882, digabungkan pada tahun 1965. Kemudian pada tahun 1983 bergabung kebun Cikembang, dan akhirnya pada 1993. Kebun Talun yang sudah berdiri sejak 1902 pun ikut bergabung. Sejak itulah dikenal nama kebun Talun-Santosa (Talsan) yang sering ditulis tanpa tanda pisah jadi Talunsantosa.
Di sisi lain, lembaga pengelola perkebunan pun mengalami perubahan-perubahan nama, dari PPN III menjadi PPN Aneka Tanaman X, lalu menjadi PNP XIII, pada tahun 1968. Tiga tahun berikutnya, berubah lagi menjadi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.

Berada di area pabrik dan perkebunan Santosa ini udara terasa sejuk sekali. Walaupun pemadangan alam tidak bebas karena berada di dataran yang cukup luas dengan pepohonan besar dan tinggi di sekitar, namun tetap nyaman. Desa Santosa memang berada dalam lingkungan pergunungan di sekitarnya, ada kompleks gunung Wayang-Windu, Pergunungan Malabar, dan di selatan paling tidak ada gunung-gunung Kendeng, Papandayan, Geulis, dan Kancana. Desa ini berada di ketinggian 1500 mdpl dengan suhu rata-rata 20 derajat celsius.
Berdasarkan buku Kisah Para Preanger Planters yang ditulis oleh Her Suganda, Priangan menjadi salah satu sasaran utama politik tanam paksa karena topografinya yang lengkap, wilayah utara cenderung dataran rendah, wilayah tengah bergunung-gunung, wilayah selatan pun masih berbukit-bukit. Wilayah tengah dan selatan ini sangat cocok untuk usaha perkebunan yang memerlukan iklim sejuk. Setelah diterbitkannya Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) pada 1870 yang memungkinkan pengusaha swasta membuka usaha perkebunan, wilayah tengah ke selatan ini pun menjadi perhatian utama mereka, terutama untuk penanaman kina, kopi, dan teh.
Santosa dan sebagian besar perkebunan di sekitarnya dibuka sebagai respon atas undang-undang itu, dan dari masa inilah lahir para juragan teh yang perusahaan dan produknya merambah ke seluruh dunia. Sekarang para peminat sejarah populer kenal dengan baik nama-nama juragan tersebut, van der Hucht, Holle, Kerkhoven, dan Bosscha. Kiprah dan riwayatnya masih terus diungkap dan diceritakan kembali. Nama Santosa memang tidak sebesar Malabar atau Gambung, tapi berbagai perannya, baik dalam bidang perkebunan ataupun kesejarahan lokal, tetaplah merupakan bagian penting yang juga perlu digali lebih dalam untuk mengisi mozaik sejarah Bandung Raya yang masih banyak berlubang.

Sambil merenungkan berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu, di depan bangunan pabrik saya berhenti sejenak. Tiba-tiba aroma teh menyeruak dengan kuat. Wangi sekali. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan aroma teh yang biasa saya hirup dari teh yang dijual di pasaran. Sejenak saya menikmati waktu yang langka ini.
Saat menengok ke sebelah kiri, di luar pagar pabrik, terlihat pepohonan besar dan tinggi yang berjajar di tepi jalan utama. Teduh sekali. Sudah berapakah usia pepohonan itu? Puluhan tahun? Atau mungkin ratusan tahun? Mereka adalah saksi bisu perjalanan perkebunan dan Pabrik Teh Santosa. Pasti punya lebih banyak cerita. Seandainya mereka bisa bercerita, saya akan mendengarkannya dengan penuh khidmat. ***
