Tag: Cibutarua

Catatan Momotoran; Pabrik Teh Santosa

Oleh: Fikri M Pamungkas

Desir angin Pangalengan yang menerpa tubuh pagi ini sungguh terasa menggigit, padahal kali ini saya duduk di belakang, dibonceng oleh Reza, rekan di Komunitas Aleut. Hari ini kami mengadakan perjalanan momotoran ke kawasan Pangalengan untuk mengungjungi beberapa lokasi di sana. Rute yang sudah disusun adalah Cinyiruan/Kertamanah, Talun-Santosa, Sedep, dan Negla.

Karena kali ini kami berbagi catatan dengan rekan-rekan lain, saya hanya akan bercerita pengalaman di bagian Santosa saja. Bagian awal perjalanan mungkin sudah diceritakan rekan lain, kami diterpa hujan sejak di Cimaung. Bukan hujan turun sekali saja, tapi hujan yang sebentar-sebentar berhenti, lalu turun lagi. Akibatnya, bolak-balik juga pasang lepas jas hujan. Walaupun begitu, tak ada yang perlu dikeluhkan, perjalanan tetap terasa menyenangkan seperti biasanya.

Singkat cerita, kami melewati belokan di depan gerbang Perkebunan Malabar, ambil ke kiri, lalu menyusuri kawasan perkebunan tetangganya Malabar sampai tiba di tugu pertigaan Talun-Santosa di depan Pabrik Teh Santosa. Bagian jalan ini kurang lebih 10 kilometer panjangnya. Akses jalan cukup bagus, semua sudah dibeton. Durasi perjalanan lebih kurang 20 menit dengan kecepatan relatif santai.

Embung Cihaniwung. Foto Komunitas Aleut, 2024.

Sepanjang perjalanan menuju Santosa pemandangannya adalah kawasan perkebunan teh yang selalu terlihat indah. Bukan hanya suasana, hati juga terasa sejuk oleh suguhan alam seperti ini. Kami melewati beberapa cekungan penampung air atau embung, yaitu waduk berukuran mikro yang dibuat untuk menangkap kelebihan air saat musim hujan seperti sekarang ini.

Di wilayah Pangalengan ini embung sudah dibuat sejak dahulu. Kebanyakan orang menganggapnya sebagai danau bisa saja, danau kecil dengan pemandangan indah di sekitarnya, sehingga seringkali disinggahi orang yang kebetulan lewat. Sebagian embung itu belakangan ini dijadikan objek wisata, ada beberapa yang menjadi cukup populer, seperti Cicoledas milik Kebun Malabar dan Cihaniwung milik Kebun Talun-Santosa. Pengemasan wisata di Cihaniwung terlihat lebih masif dan ramai dibanding Cicoledas yang baru ada 1-2 warung saja di atasnya.

Hari mulai siang, pukul 12.43, saat saya beserta dua rekan Aleut lainnya sampai di depan kantor Desa Santosa.  Aneh juga rekan-rekan lain masih tertinggal di belakang, padahal tadi pas kejebak macet di sekitar Tanara mereka ada di depan kami. Hari itu memang ada acara besar di lapangan Tanara yang membuat jalanan macet oleh manusia dan kendaraan. Mungkin sekitar setengah jam kami terpaksa merayap pelan di tengah kepadatan tadi. Belakangan baru saya tahu, ternyata rekan-rekan di depan berinisiatif mengambil jalan perkampungan demi menghindari macet. Jadi jalan mereka berputar-putar ke tengah perkebunan. Makanya tiba lebih belakangan di pertigaan Santosa ini.

Pertigaan Talun-Santosa. Foto Komunitas Aleut, 2024.

Sembari menunggu rekan-rekan di belakang tiba, saya mencari minuman ke sebuah warung di depan Kantor Desa Santosa. Dari sini terlihat Pabrik Teh Santosa. Di tengah pertigaan jalan terdapat tugu penunjuk arah, kanan ke Sedep, lurus ke Kertasari. Tak lama kemudian, rekan-rekan sudah tiba, dan langsung menuju tempat parkiran pekerja Santosa yang di dalamnya ada warung.

Beberapa rekan langsung melangkahkan kaki ke halaman pabrik dan mengobrol dengan penjaga di gerbang, lalu ke area pabrik. Rekan-rekan yang tinggal di warung sibuk mengobrol dan memesan macam-macam. Ini pertama kalinya saya berada di dalam area Pabrik Teh Santosa, terdengar suara seorang petugas bagian kemananan menjawab pertanyaan Irfan, “Eta teh anu tos janten, atos siap dikirim. Eusina sa-sak sapertos semen, lima puluh kilo(gram).”

Hak sewa lahan Santosa didapatkan oleh J.H.W. Rusch pada tahun 1894, lalu persiapan lahan sampai sekitar 1901. Bibit-bibit awal yang didapat dari Perkebunan Gambung ditanam di blok Tebakasih dan Cisabuk. Dilanjutkan dengan membuka pabrik dan perumahan karyawannya pada tahun 1905. Pada tahun 1912 pabrik ini mengalami kebakaran besar yang membuat aktivitas pengolahan terhenti sampai tahun berikutnya. Pada 1913 pabrik didirikan lagi, kali ini lebih besar dan lebih luas. Pada tahun 1920 pabrik ini membangun turbin tenaga listrik di Cibutarua-Cileuleuy.

Pada masa Jepang, kawasan perkebunan teh dibongkar dan diganti dengan tanaman pangan sepeti jagung, singkong, ubi, dan talas. Pada masa revolusi kemerdekaan, perkantoran di Santosa dijadikan kantor darurat pemerintahan Kabupaten Bandung yang terpaksa mengungsi akibat peperangan. Rumah-rumah bedeng pun diisi oleh para pegawai pemerintahan. Dengar dari rekan-rekan lain, kantor darurat pemerintahan kabupaten ini akan terus berpindah menyusuri jalur perkebunan dan hutan di sini. Dari Santosa lalu ke Pasirgaru, pindah lagi ke Cikopo, dan akhirnya ke Bungbulang, Garut.

Setelah keadaan kembali normal dan perkebunan pun sudah berada dalam pengelolaan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) III Unit Jawa Barat, satu per satu perkebunan tetangga digabungkan dengan Santosa. Dimulai dengan kebun tertua, yaitu Lodaya yang sudah berdiri sejak 1882, digabungkan pada tahun 1965. Kemudian pada tahun 1983 bergabung kebun Cikembang, dan akhirnya pada 1993. Kebun Talun yang sudah berdiri sejak 1902 pun ikut bergabung. Sejak itulah dikenal nama kebun Talun-Santosa (Talsan) yang sering ditulis tanpa tanda pisah jadi Talunsantosa.

Di sisi lain, lembaga pengelola perkebunan pun mengalami perubahan-perubahan nama, dari PPN III menjadi PPN Aneka Tanaman X, lalu menjadi PNP XIII, pada tahun 1968. Tiga tahun berikutnya, berubah lagi menjadi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.

Perbandingan kawasan Santosa sekarang dan dari peta lama di oldmapsonline.

Berada di area pabrik dan perkebunan Santosa ini udara terasa sejuk sekali. Walaupun pemadangan alam tidak bebas karena berada di dataran yang cukup luas dengan pepohonan besar dan tinggi di sekitar, namun tetap nyaman. Desa Santosa memang berada dalam lingkungan pergunungan di sekitarnya, ada kompleks gunung Wayang-Windu, Pergunungan Malabar, dan di selatan paling tidak ada gunung-gunung Kendeng, Papandayan, Geulis, dan Kancana. Desa ini berada di ketinggian 1500 mdpl dengan suhu rata-rata 20 derajat celsius.

Berdasarkan buku Kisah Para Preanger Planters yang ditulis oleh Her Suganda, Priangan menjadi salah satu sasaran utama politik tanam paksa karena topografinya yang lengkap, wilayah utara cenderung dataran rendah, wilayah tengah bergunung-gunung, wilayah selatan pun masih berbukit-bukit. Wilayah tengah dan selatan ini sangat cocok untuk usaha perkebunan yang memerlukan iklim sejuk. Setelah diterbitkannya Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) pada 1870 yang memungkinkan pengusaha swasta membuka usaha perkebunan, wilayah tengah ke selatan ini pun menjadi perhatian utama mereka, terutama untuk penanaman kina, kopi, dan teh.

Santosa dan sebagian besar perkebunan di sekitarnya dibuka sebagai respon atas undang-undang itu, dan dari masa inilah lahir para juragan teh yang perusahaan dan produknya merambah ke seluruh dunia. Sekarang para peminat sejarah populer kenal dengan baik nama-nama juragan tersebut, van der Hucht, Holle, Kerkhoven, dan Bosscha. Kiprah dan riwayatnya masih terus diungkap dan diceritakan kembali. Nama Santosa memang tidak sebesar Malabar atau Gambung, tapi berbagai perannya, baik dalam bidang perkebunan ataupun kesejarahan lokal, tetaplah merupakan bagian penting yang juga perlu digali lebih dalam untuk mengisi mozaik sejarah Bandung Raya yang masih banyak berlubang.

Bangunan Pabrik Teh Santosa saat ini yang sudah mengalami berbagai perubahan karena bangunan aslinya rusak pada masa perang. Foto Komunitas Aleut 2024.

Sambil merenungkan berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu, di depan bangunan pabrik saya berhenti sejenak. Tiba-tiba aroma teh menyeruak dengan kuat. Wangi sekali. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan aroma teh yang biasa saya hirup dari teh yang dijual di pasaran. Sejenak saya menikmati waktu yang langka ini.

Saat menengok ke sebelah kiri, di luar pagar pabrik, terlihat pepohonan besar dan tinggi yang berjajar di tepi jalan utama. Teduh sekali. Sudah berapakah usia pepohonan itu? Puluhan tahun? Atau mungkin ratusan tahun? Mereka adalah saksi bisu perjalanan perkebunan dan Pabrik Teh Santosa. Pasti punya lebih banyak cerita. Seandainya mereka bisa bercerita, saya akan mendengarkannya dengan penuh khidmat. ***

Foto Komunitas Aleut, 2024.

Di Sana… di Negla (Bagian 2/2)

Oleh Guriang

(Bagian Pertama)

Ketika Jerman masuk ke Bloemendal pada bulan September 1944 dan menganggap wilayah itu sebagai daerah Kamp, Carla dan Marga pun harus mengungsi ke Overveen, sementara ibu mereka dirawat di rumah sakit setelah operasi fibroid dan sedang mengidap trombosis paru. Carla kemudian tinggal terpisah walaupun masih tetap di Overveen, kemudian bersama pacarnya, Theo Brans, mengungsi ke Marlot, di pinggiran Den Haag. Singkatnya, Carla, Marga, dan ibunya mengalami masa-masa yang sangat berat akibat perang.

Karel membalas surat itu dengan kabar yang kurang beratnya, di antaranya menyebutkan beberapa nama yang meninggal di kamp: van Rhijn (Malabar), Vol Z (Wanasari), van Dincklage (Arjasari), Heimer (Purbasari), Brants (Lodaya), Bertling (Sedep), van Gogh (Sinagar), Harmsen (Negla), dll.

Karel bercerita bahwa saat Jepang masuk ke Negla, mereka merangsek ke dalam rumah dengan bayonet terhunus dan mengambili senjata, kamera, dan barang-barang lain. Pada bulan November 1942, Karel dipanggil ke Bandung dan ditahan di kamp. Satu per satu pengusaha perkebunan masuk dan ditahan. Bulan Januari 1943, Karel dibawa kembali ke Negla dan diberi tugas sebagai juru tulis serta menyiapkan ekstrak kina dalam jumlah besar.  Saat itu Negla dikelola oleh eorang pemuda Jepang di Sedep. Tak lama kemudian, Karel kembali dibawa ke tahanan di Bandung.

Selain Karel, Artz yang mengelola Kebun Gambung pun dikembalikanke posisinya dan setelah itu kembali diinternir lagi. Sepertinya pada waktu itu tentara Jepang memerlukan orang-orang tertentu untuk tetap melanjutkan bekerja sementara waktu pada bidang-bidang tertentu.

Pengalaman Karel dalam kamp dimulai di Hotel Istana, Bandung, sejak 22 November 1942 sampai 15 Januari 1943. Lalu kembali ke Negla sampai Desember 1943, kemudian ditahan kembali di Depot Batalyon-1 Bandung. Pada bulan Februari 1944 dipindahkan ke Kamp IV Batalyon-9 Cimahi sampai dengan 15 Agustus 1945. Walaupun saat itu statusnya sudah bebas, namun ada perintah dari militer Sekutu agar para tahanan untuk sementara tetap tinggal di tempat. Selanjutnya ia pindah ke Batalyon 15 Bandung dan baru keluar bebas dan ditempatkan di Lombokstraat 25A pada 10 Februari 1946.

Karel Kerkhoven di Lombokstraat 25A. Foto tahun 1946.
Continue reading

Di Sana… di Negla (Bagian 1/2)

Oleh Guriang

“Di sana!” kata Marga, sambil menunjuk ke arah topi yang berada di atas lemari pajangan di ruang tamu rumahnya di Belanda kepada Wijnt van Asselt. “Di sana”adalah di Hindia Belanda, di wilayah pergunungan perbatasan antara Pangalengan dengan Garut. Negla.

Para pembaca novel Heeren van de Thee karya Hella S. Haase tentu ingat bagaimana novel itu dibuka dengan kata-kata “Di sini” oleh kakek Marga, Rudolf Eduard Kerkhoven (1848-1918), ketika memutuskan bahwa itulah tempat yang tepat, kawasan pergunungan Gamboeng, untuk membuka usaha perkebunannya.

Terasa nian nuansa berbeda antara “Di sini” dari Ru(dolf) Kerkhoven dan “Di sini” dari Marga. Ru mengucapkannya dengan rasa optimis, dengan bayangan masa depan yang akan ditempuhnya dengan bekerja keras. Masa depan yang gemilang.

Marga mengucapkan “Di sana” dengan rasa berat. Ada rasa kehilangan. Masa lalu yang panjang di lembah-lembah berhutan lebat di antara pergunungan Kancana, Papandayan, dan Kendeng. Topi yang ditunjuknya itu adalah simbol semua masa lalunya di Negla. Topi itu pemberian dari tukang kebun keluarganya yang bernama Ardi sebagai kado perpisahan ketika Marga dan keluarganya akan berangkat menuju negeri leluhurnya dan meninggalkan Hindia Belanda. Topi itu terus berada di sana, di atas lemari pajangannya, sebagai pengingat pada apa yang telah hilang.

Van Asselt menemukan salinan puisi karya Leo Vroman yang sudah diedit oleh Marga dari tumpukan arsip keluarga Kerkhoven. Begini bunyinya: Korn malam ini dengan cerita  /  Tentang bagaimana Indie menghilang  /  Saya akan mendengarkan seratus kali  /  Dan aku akan menangis selamanya. Baris kedua itu sebenarnya berbunyi: Tentang bagaimana perang menghilang.

Apa yang dapat diserap dari cerita ini selain kesan kehilangan yang begitu mendalam dirasakan oleh Marga.

Margaretha Cornelia Kerkhoven (1923-2013) adalah putri kedua pasangan Karel Felix Kerkhoven (1887-1966) dengan Cornelia Wiegert (1895-1983). Ia dilahirkan di Bandung pada 18 Maret 1923. Kakaknya, Charlotte Elfriede Kerkhoven yang biasa dipanggil Carla, berusia selisih tiga tahun, juga dilahirkan di Bandung pada 9 Juni 1920. Sejak kecil, kedua anak perempuan ini tinggal bersama orang tuanya yang baru saja membuka perusahaan perkebunan di lembah antara pergunungan Kendeng, Papandayan, dan Kancana. Saat ini merupakan wilayah perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.

Bila nama Karel Felix Kerkhoven kurang dikenal, mungkin perlu diingatkan bahwa ia adalah putra kelima pendiri perusahaan perkebunan terkemuka, Gamboeng, Rudolph Eduard Kerkhoven (1848-1918). Ibunya, Jenny Elisabeth Henriette Roosgaarde Bisschop (1858-1907). Setelah wafat, kedua orang tuanya dimakamkan di belakang rumah tinggal mereka yang besar di Gamboeng.

Rudolph pula yang memilih tempat dan mengusahakan hak sewa lahan di kaki Gunung Papandayan itu pada tahun 1898. Ketika itu nama daerahnya masih disebut sebagai Kantjana, sesuai dengan nama gunung yang ada di dekatnya. Ia membagi lahan itu menjadi empat petak, Kantjana I, II, III, dan IV, dan menyimpan dana di Kantjanafond’s untuk kelak digunakan anak-anaknya membangun dan mengelola perkebunan yang sudah sejak lama direncanakannya itu.

Pembukaan hutan di Kantjana. Foto tahun 1921.
Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑