Tag: Ci Kapundung

Manteos, Kampung Seribu Tangga di Lembah Ci Kapundung

Oleh: Anggi Aldila Besta (@anggicau)

Anak-anak Kampung Manteos (dok: Komunitas Aleut)

Anak-anak Kampung Manteos (dok: Komunitas Aleut)

Entah beberapa orang dari seluruh warga Kota Bandung yang mengenal nama Manteos,  apalagi kalau ternyata Manteos ini adalah nama sebuah kampung di Kawasan Bandung Utara. Bagi saya, sebenarnya nama ini pun masih asing setidaknya dua tahun ke belakang. Padahal jarak dari rumah ke kampung ini tidak sampai 11 km apabila ditarik garis lurus. Kampung ini memiliki lorong-lorong gang sempit dilengkapi dengan undakan-undakan  tangga kecil yang terhubung satu sama lain, menjadikan Manteos seperti labirin yang berada di sebuah lembah. Tapi siapa sangka kalau kampung ini menyimpan banyak cerita menarik, cerita yang selalu disampaikan orang tua ke generasi berikutnya. Terutama cerita soal Ci Kapundung.

Nama Manteos sendiri berasal dari nama Matius, seorang tuan tanah warga Belanda yang mempunyai tanah di kawasan Kampung Manteos saat ini. Akan tetapi ada juga warga yang bilang kalau Manteos itu berasal dari kata Main House, karena dulunya di sekitar kampung ini ada penginapan milik orang Amerika yang sekarang menjadi gedung di komplek Dinas Psikologi Angkatan Darat. Namun sepertinya pendapat ini diragukan karena gedung tersebut dulunya dikenal sebagai Villa Mei Ling. Villa ini dulu dimiliki oleh orang Tiong Hoa yang juga seorang pedagang beras bernama Ang Eng Kan.

Secara wilayah, Kampung Manteos berada di Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong. Sangat dekat sekali posisinya dari Kantor Kecamatan maupun Polsek Coblong. Di kampung ini, masyarakat asli dan pendatang sudah berbaur. Apabila disimpulkan secara kasar, bagian bawah kampung banyak dihuni oleh pendatang, sedangkan bagian atasnya masih banyak penduduk asli yang telah bermukim sejak lama, seperti yang Pak Edi (tokoh pemuda setempat) bilang, “Saya itu diproses di sini, sampai sekarang punya anak masih tetap di Manteos”. Continue reading

Balasan Untukmu, Sarie!

Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)

img-20161205-wa0004
Foto: @fan_fin (Komunitas Aleut)

Dear Sarie…

Sebelumnya aku minta maaf karena baru membalas suratmu, notif di gmailku akan suratmu tertelan oleh notif dari akun sosmedku. Maklum, sosmedku banyak.

Sarie, pernah nonton film Ada Apa Dengan Cinta? Menurutku sih pasti film itu sampai juga ke Pangalengan sana. Nah, masih ingat saat Cinta di “ciee…cieoleh Maura ketika dia akan pergi ngedate sama Borne? Itu yang sekarang sedang dilakukan Preanger dan Homann ketika aku nulis surat balasan ini untukmu. Mereka berdua menggodaku, terang saja, mereka terheran-heran karena ada yang meyuratiku.

Sarie…

Kamu tak perlu khawatir, aku sama sekali tak tertarik untuk menemanimu di Pangalengan. Hmmm, iya sih, aku tau di sana sejuk, pemandangannya bagus, sepi, dan jauh dari kebisingan. Tapi asal kamu tau juga, tak ada sedikitpun niat aku untuk pindah dari sini. Tempat ini sudah enak banget loh buat aku. Di sini aku tak kekurangan teman seperti kamu di sana. Seperti katamu, aku punya si Preanger dan Homann yang sekarang sedang asyik ngobrol tak jauh dariku. Si Majestic, kalau jam segini sih dia lagi ngopi-ngopi cantik sambil berjemur. Si GEBEO di barat sana, dia tak pernah kekurangan makanan. Dia selalu diantarkan sosis bakar oleh seseorang. Kami di sini senang. Angin malam yang dingin khas Bandung tak mampu membuat kami kedinginan, riuh suara air Ci Kapundung juga tak mampu menggerus kami. Maaf-maaf aja nih, hehehe…

Bentar,,, ketika aku baca suratmu ini, jujur aku kaget. Lupa kalau kita terlahir di era yang berdekatan, seperti katamu. Tapi aku rasa sebaiknya kita emang lebih baik seperti ini, kau di selatan sana dan aku di pusat kota sini. Aku tak akan siap jika harus bertukar peran denganmu.

Aku senang di sini, tak pernah kesepian. Siang malam selalu ramai, maka ketika suratmu baru kubalas hari ini, tentu kau tau alasannya bukan? Ya, aku sibuk, eh bukan sibuk deng, waktu santaiku sedikit. Apalagi semenjak aku punya walikota stylish seperti sekarang, huhuhu aku makin gak mau beranjak dari sini, dan ku kira begitupun dengan teman-temanku yang lain.

Tapi… Continue reading

Kelaparan di Teras Cikapundung? Tak Perlu Khawatir!

image

Teras Cikapundung sekarang jadi satu tempat kekinian baru yang lagi ramai diserbu warga Bandung. Nah, kalau kawan-kawan dilanda rasa lapar pas lagi main di sini, langsung aja jalan ke arah bukit di sebelah utara. Makanan dan minuman yang dijual di sini dijual dengan harga wajar, dijamin ga akan bikin tekor!

Tapi, jangan heran kalau warung-warung ini ga bisa kawan-kawan temui di hari biasa, karena hanya buka di akhir pekan dan libur nasional.

Payen dan Sang Pangeran Jawa

photo 1
Foto koleksi KITLV

Oleh @alexxxari @A13Xtriple

Pada tahun 1822 seorang arsitek dan pelukis berkebangsaan Belgia mendapatkan tugas dari Kerajaan Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di seluruh Hindia Belanda. Pelukis ini memilih Bandung sebagai tempat tinggalnya. Antoine Auguste Joseph Payen (beberapa menuliskan namanya Paijen) mendirikan sebuah rumah bergaya Indische Empire Stijl di sebuah bukit dekat Sungai Ci Kapundung. Rumah berlantai dua ini merupakan salah satu dari 8 bangunan tembok yang tercatat dalam “Plan der Negorij Bandong” pada tahun 1825. Rumah cantik ini bertahan hingga berusia 150 tahun lebih. Nasibnya berakhir saat Jalan Stasiun Timur diperlebar.

Payen datang ke Hindia Belanda pada tahun 1817, saat berusia 25 tahun. Sejak awal kedatangannya, Payen langsung berkenalan dengan daerah Priangan. Dia diundang oleh Gubernur Jenderal Baron van der Capellen untuk tinggal di Buitenzorg dan membantu restorasi Istana Bogor. Di tempat itulah Payen bertemu dengan atasannya Prof. C.G.C. Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pertanian, Seni, dan Ilmu Pengetahuan. Reinwardt mengenalkan Payen kepada sesama pelukis litho lainnya di antaranya adalah kakak beradik van Beek, Jan, dan Theo.

Eksplorasi Payen di daerah Priangan dimulai pada tahun 1818 saat Gunung Guntur di Garut meletus. Setahun kemudian dia kembali melakukan perjalanan penelitian  bersama Reinwardt di daerah Priangan, yang berlangsung hingga awal tahun 1820. Perjalanan ini merupakan penelitian yang terakhir dilakukan Payen bersama Reinwardt. Diperkirakan penjelajahan Payen ke daerah seputar Bandung terjadi pada tahun 1819 ini.  Ada dua lukisan pemandangan karya Payen yang dapat dijadikan sebagai bukti kehadirannya di “Tatar Ukur”. Pertama adalah lukisan air terjun/ curug Jompong  serta gambar keadaan Sungai Ci Tarum.

Di puncak kemahsyurannya, Raden Saleh memperoleh berbagai julukan di antaranya adalah “Le Prince Javanais” atau “Pangeran Jawa”.

Continue reading

Gunung Cai Gg. Kina

Gunung Cai Gg. Kina

Hari ini saya berkesempatan mengunjungi dan memeriksa suatu jaringan air peninggalan Hindia Belanda yang terletak di belakang Pabrik Kina. Informasi ini saya dapatkan dari rekan instagram, @dienzfight yang kebetulan berkantor di dekat lokasi jaringan. Ternyata @dienzfight berteman baik dengan Yanti @adetotat yang belakangan ini cukup aktif di Komunitas Aleut. Jadi tadi saya berjanji berjumpa dengan keduanya untuk melihat lokasi jaringan air tua ini.

Tak aneh bila tak banyak orang yang tahu lokasi ini karena letaknya memang agak tersembunyi dari lalu lintas umum. Dalam foto di bawah ini tampak pintu masuk menuju sebuah ruangan besar yang saat ini sudah menjadi gudang. Di dalam ruangan ini ada sebuah bangunan seperti sumur dengan ukuran yang sangat besar, saya rasa diameternya lebih dari 5 m. Tinggi tembok lingkaran sumur sekitar 3 m. Bagian dalam sumur raksasa ini dipenuhi oleh pasir kwarsa, dan sampah2 gudang. Dugaan sementara, sumur ini berfungsi sebagai penyaring air.

IMG_20150522_130614 Continue reading

#PojokKAA2015: Ulin Jarambah

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

ulin jarambah

“Omat ulah ulin di ranjěng, aya jurig samak!”

Aya wěh kolot baheula mah, nyaram barudakna těh jeung mamawa lelembut sagala. Tapi da ari budak mah nya langsung ngabuligirkeun maneh tinggal salěmpak pas nempo ranjěng těh. Paduli teuing rěk diculik ku jurig samak ge, nu penting mah bisa guyang jeung munding.

Ah asa resep ngabayangkeun pas masih lehoan keneh těh, kasusah hirup sigana ngan ukur pelajaran Matěmatika. Masih bisa ngalaman ulin jarambah sapertos nu dicaritakeun Us Tiarsa dina “Basa Bandung Halimun”. Pedah ari kuring mah ulin jarambahna di lembur, lain orang Kota. Kuring jadi mikir ari barudak zaman kiwari masih ngalaman teu nya? Continue reading

Tan Sim Tjong (2)

Bagian kedua:

Gang Simcong dan SD Simcong

DI dalam roman Rasia Bandoeng, Tan Shio Tjhie digambarkan sebagai sosok yang progresif karena tidak menentang kehendak anaknya, Tan Tjin Hiauw, untuk menjalin hubungan asmara dengan Tan Gong Nio. Padahal, dalam adat budaya Tionghoa saat itu, perkawinan satu marga (she) adalah hal tabu dan terlarang. Tan Shio Tjhie tahu benar soal itu, namun ia berbesar hati mengantar anaknya itu untuk melamar sang pujaan hati.

Sosok Tan Shio Tjhie diyakini tak lain adalah Tan Sim Tjong oleh cucu cicitnya. Bagi sosok saudagar seperti Tan Sim Tjong, hubungan asmara anaknya dengan Tan Gong Nio adalah tantangan yang sangat berat karena itu artinya harus melawan adat. “Rupanya dia punya gebrakan pada masanya, contohnya mendukung perkawinan satu marga. Itu saya anggap sebagai sesuatu sosok yang progresif, menyayangi anak, dan memberi keleluasaan bergerak,” ujar cicit Tan Sim Tjong, Bambang Tjahjadi. Continue reading

Dua Dunia Trans7: Tebing Keraton

Setelah kunjungan terakhir pada bulan November 2014, hari Rabu, 5 Maret 2015, saya kembali ke Cadas Gedogan atau yang sekarang menjadi terkenal dengan nama Tebing Keraton. Kunjungan kali ini untuk keperluan sebuah program televisi, Dua Dunia dari Trans7. Belakangan ini saya beberapa kali diminta tim program ini menjadi narasumber untuk liputan beberapa lokasi di sekitar Bandung.

Menjadi nara sumber program semacam Dua Dunia kadang punya kesusahannya sendiri, beberapa kali saya minta menceritakan latar sejarah suatu lokasi yang justru tidak punya catatan sejarah. Dalam hal ini yang saya maksud bukanlah sejarah alam atau sejarah geologi lingkungan alam tertentu, karena pertanyaan yang diberikan pun tidak secara khusus mengarah ke sana. Akhirnya saya harus banyak-banyak mengumpulkan cerita yang beredar di dalam masyarakat.

Siang ini jalan menuju Tebing Keraton tidak terlalu ramai. Di pertigaan jalan setelah Warung Bandrek, dua mobil kami dicegat oleh sekelompok orang. Mereka meminta agar kami memarkirkan mobil di lokasi pertigaan itu dan melanjutkan perjalanan dengan menyewa ojeg mereka. Tentu saja permintaan ini agak merepotkan karena kami membawa perlengkapan yang tidak ringan dan tidak mudah dibawa dengan menggunakan motor. Apalagi malam sebelumnya tim kami sudah survei ke lokasi sambil mengurus izin untuk kegiatan rekaman gambar hari ini. Setelah kami menjelaskan ini, akhirnya kedua mobil kami diperkenankan untuk jalan terus menuju Tebing Keraton. Continue reading

Prasasti Raja Thailand di Curug Dago, Bandung

Prasasti Raja Thailand di Curug Dago-1   Prasasti Raja Thailand di Curug Dago-2 Prasasti Raja Thailand di Curug Dago-3   Prasasti Raja Thailand di Curug Dago-4

Tahun 1989 seseorang menemukan dua buah batu bertulis di tebing dekat Curug Dago. Lalu ia mengumumkan penemuannya di media cetak. Mungkin sempat membuat heboh warga Bandung. Lalu muncullah berbagai dugaan tentang apa sebenarnya batu bertulis itu, siapa yang membuatnya?

Informasi awal mulai bermunculan. Itu huruf Siam, digurat oleh dua orang Raja Siam (Thailand), masing-masing Rama V dan Rama VII, yang memang pernah datang berkunjung ke kota Bandung dalam kesempatan berbeda, masing-masing tahun 1896 dan 1901. Tetapi apa makna tulisan itu? Kenapa mereka membuatnya di situ?

Dugaan-dugaan berkembang. Lokasi Curug Dago memiliki suasana magis, ada sesuatu yang saral di sana. Sepertinya Raja Siam bersemedi di bawah air terjun itu. Air Ci Kapundung pada saat itu tentulah begitu jernihnya, di tengah lingkungan hutan yang lebat dan asri, tenang, sejuk, dan memberikan ketenteraman. Gemuruh air terjun pada saat itu tentu cukup menggetarkan, mengingat polusi suara belumlah separah zaman modern ini.

Pada tahun 2001 terbitlah sebuah buku dengan judul “Journeys to Java by a Siamese King” yang ditulis oleh Imtip Pattajoti Suharto. Isi buku ini sesuai judulnya, mengisahkan perjalanan Raja Siam ke Pulau Jawa.

Continue reading

Dua Dunia Trans7: Gua Belanda dan Gua Jepang di Tahura Ir. Djuanda

10933844_386696264833557_214986958903502471_n

Hari ini berkunjung ke Gua Jepang yang terletak di dalam kompleks Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, di sebelah utara Kota Bandung. Sebagai taman hutan, inilah yang pertama kali didirikan di Hindia Belanda, peresmiannya dilakukan pada tahun 1922.

Sebelum keberadaan taman hutan, di kawasan ini sebelumnya sudah pernah dibuat suatu jalur pemanfaatan air sungai Ci Kapundung untuk keperluan air bersih warga kota. Mulanya dengan membuat sebuah bendungan. Belum diketahui persis kapan waktu pembuatannya tetapi kemungkinan berlangsung di antara 1890 – 1906. Bendungan ini mengalami kerusakan beberapa tahun kemudian. Sisa-sisa bangunannya masih dapat ditemukan di dalam kawasan Tahura di dekat lokasi Curug Koleang. Continue reading

Catatan Ci Kapayang 10.11.13

RAA_Martanagara_nuju_janten_Patih_di_Sumedang

RAA Martanagara (1845-1926) adalah Bupati Bandung periode 1893-1918. Karena bukan berasal dari trah Bandung, maka ia mendapat julukan Dalem Panyelang.

27 Juni 1893, seorang Patih yang bertugas di Afdeling Sukapura Kolot diangkat menjadi Bupati Bandung yang kesepuluh, Raden Adipati Aria Martanagara. Ia menggantikan Bupati Bandung kesembilan, Raden Adipati Kusumadilaga, yang wafat dua bulan sebelumnya.

Pengangkatan ini menimbulkan masalah, karena RAA Martanagara bukanlah seorang berdarah Bandung. Selain itu, Patih Bandung, Raden Rangga Somanagara  yang sudah bertugas menggantikan pekerjaan bupati sehari-hari juga merasa kecewa dan marah karena beranggapan telah terjadi penyerobotan hak dalam meneruskan kepemimpinan di Kabupaten Bandung. Raden Rangga Somanagara adalah menantu Bupati Bandung Wiranatakusuma IV atau Dalem Bintang.

Raden Rangga Somanagara merasa seharusnya dialah yang menggantikan Kusumadilaga sebagai Bupati Bandung. Kekecewaan membuat kalap. Somanagara dibantu beberapa kroninya melakukan beberapa percobaan pembunuhan, baik terhadap bupati yang baru maupun pejabat-pejabat Belanda di Bandung. Continue reading

Ngaleut Ci Kapayang 10.11.13

Oleh: Ridwan Hutagalung

RAA_Martanagara_nuju_janten_Patih_di_SumedangRAA Martanagara (1845-1926) adalah Bupati Bandung periode 1893-1918. Karena bukan berasal dari trah Bandung, maka ia mendapat julukan Dalem Panyelang.

27 Juni 1893, seorang Patih yang bertugas di Afdeling Sukapura Kolot diangkat menjadi Bupati Bandung yang kesepuluh, Raden Adipati Aria Martanagara. Ia menggantikan Bupati Bandung kesembilan, Raden Adipati Kusumadilaga, yang wafat dua bulan sebelumnya.

Pengangkatan ini menimbulkan masalah, karena RAA Martanagara bukanlah seorang berdarah Bandung. Selain itu, Patih Bandung, Raden Rangga Somanagara  yang sudah bertugas menggantikan pekerjaan bupati sehari-hari juga merasa kecewa dan marah karena beranggapan telah terjadi penyerobotan hak dalam meneruskan kepemimpinan di Kabupaten Bandung. Raden Rangga Somanagara adalah menantu Bupati Bandung Wiranatakusuma IV atau Dalem Bintang.

Raden Rangga Somanagara merasa seharusnya dialah yang menggantikan Kusumadilaga sebagai Bupati Bandung. Kekecewaan membuat kalap. Somanagara dibantu beberapa kroninya melakukan beberapa percobaan pembunuhan, baik terhadap bupati yang baru maupun pejabat-pejabat Belanda di Bandung.

Upaya pembunuhan dengan peledakan menggunakan dinamit ini berhasil digagalkan oleh polisi Hindia Belanda saat itu. Para perusuh langsung dibuang ke beberapa daerah di luar Pulau Jawa. Tetapi Martanagara tidak lantas merasa tenang karena pembuangan ini. Ia menyiapkan pasukan Sumedang di daerah Soreang. Pergaulan dengan kalangan menak Bandung dipererat dengan mendirikan Parukunan di depan Pendopo Kabupaten. Secara rutin Martanagara mengadakan kegiatan hiburan di Parukunan dan mengundang segenap menak Bandung untuk hadir. Dengan begitu, Martanagara mendekatkan dirinya kepada kalangan menak Bandung.

Martanagara segera menunjukkan kemampuan dan pengabdiannya sebagai bupati dengan melaksanakan banyak pekerjaan dalam mengembangkan Kabupaten Bandung. Pada tahun pertama kepemimpinannya, Martanagara mengganti atap-atap rumah penduduk yang menggunakan bahan ilalang dengan genting.

Rumah-rumah di Bandung pada akhir abad ke-19 memang kebanyakan masih berdinding bilik dengan atap ilalang, hanya sekitar 25% saja yang sudah menggunakan tembok dan genting. Martanagara mendatangkan beberapa ahli pembuat bata dan genting dari luar Bandung untuk melatih penduduk agar mampu membuat genting sendiri.

IMG_3727Mulut Jl. Merdekalio dari arah Jl. Pajajaran. Foto @mooibandoeng.

Salah satu pusat pembuatan genting dan bata itu berada di wilayah Balubur Hilir yang kemudian bernama Merdika Lio, sesuai dengan aktivitas di sana. Lio adalah tempat pembakaran untuk membuat genting atau bata, sedangkan “merdika” atau “merdeka” adalah status para pekerja di lio tersebut yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Dengan begitu, nama jalan Merdeka yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda menjadi jelas tidak mengacu pada kemerdekaan RI, melainkan kepada nama kawasan permukiman masyarakat pembuat genting ini. Sebuah jalan baru di sebelah barat Merdikaweg pun diberi nama Nieuw Merdika, belakangan diganti menjadi Burgermeesterkuhrweg, dan sekarang Jl. Purnawarman.

Sebetulnya lokasi pembuatan bata dan genting di Bandung tidak hanya berada di Merdika Lio, tapi ada juga di lokasi lainnya. Sila tebak :-))

Martanagara juga mendorong penduduk Bandung untuk melakukan penanaman singkong secara intensif. Banyak kebun dibuka di wilayah Bandung. Beberapa sisa rawa ditimbun tanah dan dijadikan area perkebunan, sawah, atau kolam ikan. Ingat nama Situ Saeur? Nah itu juga salah satu hasil karya Martanagara. Ia menimbun (disaeur) bekas danau dengan tanah agar dapat dijadikan lahan garapan.

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_boogbrug_van_bamboe_over_de_rivier_Tjisokan_in_Preanger_West-Java_TMnr_10007546Foto koleksi Tropenmuseum.

Ia juga membangun beberapa jembatan yang melintasi Ci tarum, mulai dari Cihea, Sapan, sampai Majalaya, dan membuat selokan-selokan serta jaringan irigasi di Gunung Halu (Solokan Dalem).

Di tengah kota Bandung, Martanagara mengerahkan penduduk Lebak Gede untuk membuat jaringan kanal dengan memanfaatkan aliran air dari sungai Ci Kapundung.  Pada satu titik di sekitar Lebak Gede, dibuat satu saluran baru ke arah timur sebagai jalan utama kanal menuju kawasan tengah kota. Aliran baru ini kelak dikenali sebagai sungai Ci Kapayang.

Sungai baru ini bermula dari aliran Ci Kapundung dan akan bermuara di beberapa tempat lain, di antaranya kembali ke Ci Kapundung seperti di sekitar Lengkong Tengah (Jl. Sasak Gantung). Muara lainnya dapat ditemui di aliran Ci Kapundung Kolot (dua aliran), dan di aliran Ci Hapit di sekitar Taman Cilaki.

Aliran Ci Kapayang dibuat agar dapat mengairi area kebun singkong penduduk dan sejumlah taman yang berada di tengah kota, di antaranya Taman Balaikota (Pieterspark), Taman Maluku (Molukkenpark), dan Taman Cilaki (Tjilakiplein).

Pada aliran Ci Kapundung yang menjadi mulut kanal, dibuat bendungan untuk menaikkan permukaan air agar dapat mengisi kanal, untuk mengatur alirannya dibangun sebuah pintu air. Kanal mengalir ke wilayah Sabuga (Sasana Budaya Ganesha) lalu berbelok ke arah selatan melewati bagian belakang kompleks Kebun Binatang Bandung. Aliran di sepanjang  kawasan ini dimanfaatkan oleh warga untuk mengairi kebun, membuat kolam (pemancingan) ikan.

Pada bagian kanal yang mengalir di bawah tanah, dibuat juga bak-bak pemantau kelancaran aliran. Dari sekitar Pelesiran, kanal mengarah ke dua jurusan, yang satu kembali ke Ci Kapundung, satu lagi mengarah ke belakang Rektorat ITB (Jl. Tamansari 64). Di sini kanal Ci Kapayang mulai bercabang-cabang.

Dengan berjalan kaki menyusuri aliran Ci Kapayang, kita dapat melihat bahwa seantero kota Bandung ini dihubungkan juga oleh kanal-kanal yang berukuran lebih kecil (selokan), ada yang bermuara di Ci Kapayang, ada juga yang memulai alirannya dari Ci Kapayang. Ukuran kanal-kanal ini umumnya cukup besar dan memberi petunjuk besarnya aliran air yang datang dari ketinggian Bandung ke daerah-daerah yang lebih rendah.

Dalam dua kali penyusuran aliran Ci Kapayang di tengah kota, ada beberapa hal menarik yang ditemui. Yang paling jelas adalah bertambahnya fungsi kanal Ci Kapayang sebagi penampung limbah rumah tangga. Dengan mudahnya dapat kita temui saluran-saluran pembuangan dari rumah-rumah yang langsung mengarah ke kanal. Air kotor dari toilet, cucian, buangan oli, deterjen, semua bergabung di kanal Ci Kapayang dan terbawa berkeliling kota.

Di kawasan sehijau Taman Cilaki saja serakan sampah hasil kerukan bertumpuk di tepi saluran, masih ditambah pula dengan sampah-sampah baru hasil karya para pengunjung taman. Jajaran warung yang padat di kedua sisi luar taman ini dari mana mendapat air bersih? Ke mana mereka membuang air kotornya?

Taman kota seharusnya menyediakan kesegaran bagi para pengunjungnya. Sayang sekali pengunjung Taman Cilaki tidak mendukung fungsi ini, sebagian dengan santainya merusak fungsi taman ini. Bayangkan bila taman dengan jalur kali di tengahnya itu bersih, bakal sangat menyenangkan menikmati pemandangan aliran air bersih di sini. Atau mungkin seperti zaman para penjajah dulu, dengan riang dan tanpa takut orang bisa turun main air bersih di kali.

Coba lihat muara Ci Kapayang di sekitar Sasakgantung. Memandangnya saja bikin ngeri, bagaimana pula mau bermain di sana? Biarpun begitu, kelompok masyarakat yang tidak punya pilihan, terpaksa melakukannya juga, bermain air kotor dan menggunakannya untuk kebutuhan rumah tangga.

BZPa94DCMAALAfH.jpg largeKanal di lingkar luar kompleks Balaikota Bandung. Foto Nia Janiar.

Ini cerita Ibu Nunu, warga  Gg. Rathkamp yang sudah lama tinggal di daerah tepi kanal Ci Kapayang. Katanya, pada masa kecilnya kali Ci Kapayang itu sangat jernih airnya, biasa dipakai untuk mandi dan mencuci, berbeda sekali dengan kondisi sekarang yang kotor dan berbau. Bahkan pada musim hujan saat aliran air sedang tinggi, rembesan air bisa muncul dari bawah ubin dan menggenangi lantai rumahnya.

Sepertinya pipa-pipa saluran pembuangan yang diarahkan ke Ci Kapayang tak mampu menembus aliran, malah sebaliknya, pipa-pipa itu menjadi jalan masuk air dari Ci Kapayang ke rumah-rumah dan mengakibatkan rembesan yang muncul dari bawah ubin.

Di sisi lain, bila Ibu Nunu dan masyarakat sekitar tidak membuang limbah ke aliran Ci Kapayang, lalu ke mana mereka akan membuangnya? Apakah apakah ada saluran alternatifnya? Dalam program ngaleut mendatang, kami akan coba menelusuri tentang masalah ini.

_____________________________________

Hasil catatan bersama Komunitas Aleut

Pengumpul Data dan Foto
Ariyono Wahyu
Arya Vidya Utama
Gilang Purnama
Hani Septia Rahmi
Hani Septia Rahmi
Irmayanti
Nia Janiar
Nunis Rezia Mustika
Ridwan Hutagalung
Sherly Marcelina
Sita Ariana Pangestu
Vecco Suryahadi
Yane Kristina

Penulis
Ridwan Hutagalung – Komunitas Aleut
November, 2013

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑