Tag: Chabanneau

Medan Prijaji, De Expres, dan Sipatahoenan yang Terbenam di Pusat Kota Bandung

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

Perjalanan sejarah memang tak terduga. Tiga tempat bersejarah di Bandung zaman pergerakan, kini menjadi ini: Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan, tanah lapang, dan Parahyangan Plaza.

SEIRING DENGAN perkembangannya menjadi pusat perkebunan di akhir abad ke-19, dibukanya jalur kereta api, dan setelah diresmikannya menjadi gemeente (kotapraja) pada tahun 1906, Bandung makin menggeliat. Hingar-bingarnya Bandung di awal abad ke-20 itu, setidaknya, bisa dirasakan jika membaca Rasia Bandoeng atawa Satoe Pertjintaan jang Melanggar Peradatan Bangsa Tionghoa: Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng dan Berachir Pada Tahon 1917 (Ultimus, 2016).

Membaca roman karya Chabanneau******* tadi membawa kita melancong ke pusat kota Bandung dengan deskripsi yang cukup detail. Bandung memang sudah ramai. Pengaturan zonasi kota masih mengadaptasi konsep pembagian ras kolonial: kelompok Pribumi, Tionghoa, Arab, dan Belanda mendiami kawasan tertentu, walau tidak diterapkan seketat kota kolonial lainnya. Lewat kabar mulut, ditambah promosi pariwisita yang gencar saat itu, dengan penyebutan ‘Garden of Allah’ atau ‘Parijs van Java’, semua ingin ke Bandung. Kota ini menjadi semacam melting pot.

Namun bagi mereka, Bandung bukan soal pelesiran. Gemerlap kamar bola, pusat perbelanjaan, berbagai bangunan Art-Deco tak menarik minat mereka. Bagi mereka, Bandung adalah sisi lain dunia yang dihisap oleh kolonialisme yang harus dibangunkan dan digerakkan. Seperempat pertama abad kedua puluh itu, mencatut judul bukunya Takashi Shiraishi, adalah “Zaman Bergerak”. Bergesernya arah kebijakan politik pemerintah kolonial seiring dengan adanya pergantian kekuasaan parlemen oleh kemenangan kaum liberal Belanda, dan munculnya kebijakan baru bernama Politik Etis, menjadikan awal abad ke-20 sebagai masa penting dalam perjalanan sejarah Indonesia. Continue reading

Ngaleut Rasia Bandoeng, Tentang Skandal di Bandung Tahun 1914

Oleh: Nurul Ulu (@bandungdiary)

Tahun 1917 bulan Desember di kota Bandung terbit sebuah novel berjudul Rasia Bandoeng. Novel ini berkisah tentang sepasang muda mudi Tionghoa yang jatuh hati dan kawin lari. Karena keduanya berasal dari marga yang sama, maka cinta mereka terhalang tradisi. FYI, kisah dalam novel ini merupakan kisah nyata. Menambah nilai bonus bagi para pecinta cerita fiksi sekaligus sejarah.

Pertama ini kisah sungguh-sungguh terjadi. Kedua setting dalam novelnya berlatar Bandung di periode 1900-an.

Rasia Bandoeng terbit dalam tiga jilid. Jilid terakhirnya muncul di tahun 1918. Hampir 100 tahun sejak novel tersebut pertama kali hadir, sebuah komunitas sejarah di Bandung menyalin ulang dan menerbitkannya kembali. Komunitas Aleut bukan cuma menerbitkan ulang, tapi juga menyelenggarakan acara menyusuri tempat-tempat yang diceritakan dalam novelnya pada hari Minggu (30/10/2016).

Gak banyak acara jalan-jalan yang dibuat rutenya berdasarkan sebuah buku apalagi genrenya novel. Malah jarang banget. Atau hampir gak ada ya? Di Bandung saja yang menyelenggarakan walking tour berdasarkan novel kayaknya baru Aleut dan Lembang Heritage (waktu saya ikut tur ke Gambung, salah satu lokasi yang ada di novel Sang Juragan). CMIIW.

Cerita Novelnya

Tokoh utama di novel ini ada dua: Hilda Tan dan Tan Tjin Hiauw. Konfliknya muncul karena mereka berdua punya marga yang sama yaitu Tan. Di komunitas Tiong Hoa, orang yang marganya sama tidak boleh menikah, apalagi punya keturunan. Orang dengan marga yang sama artinya punya hubungan kekerabatan yang dekat (sedarah).

Dengan pria yang rentang umurnya berbeda tujuh tahun itu Hilda tidak peduli marganya sama. Pokoknya cinta mati ke si Tan Tjin Hiauw deh.

Hilda berasal dari keluarga kaya raya. Sebaliknya Tan Tjin Hiauw berasal dari keluarga yang kondisi keuangannya sedang bangkrut. Rumor mengatakan bahwa si laki-laki menyambut cinta Hilda lantaran ingin memperoleh kekayaan keluarga Hilda. Tapi bagaimana mungkin bisa kecipratan harta kekayaan ayahnya Hilda kalau Hilda sendiri ‘dipecat’ dari ahli waris keluarganya ya…

Secara garis besar kisah di novel ini sama kok dengan kebanyakan cerita di novel fiksi lainnya. Cinta kasih yang ditolak adat tradisi.

Menyusuri Ceritanya

Ngaleut Rasia Bandoeng hari itu destinasinya adalah tempat-tempat yang jadi lokasi Hilda dan Hilda Tan dan Tan Tjin Hiauw kencan dan jalan-jalan. Rutenya dari Gedung Indonesia Menggugat di Jalan Perintis Kemerdekaan ke area sekitar Braga, Pasar Baru dan Stasiun Bandung.

Biasanya kalau history walking tour kan jalan kaki terus hinggap di satu titik lalu cerita tokoh atau cerita penting. Ini kayaknya baru pertama kali saya menyusuri tempat-tempat bersejarah di Bandung yang bumbu ceritanya dari skandal sepasang kekasih. Bukan tentang gedung itu dibangun tahun berapa lah, rumah ini gaya arsitekturnya apa lah 😀 Seru juga sih kayak main detektif-detektifan *halah*

Waktu Alex (pemandu Komunitas Aleut) cerita kalau novel ini sebenarnya ada tiga jilid, dalam hati saya agak-agak bete ke penulisnya. Tega banget ya ke Hilda. Itu kayak mengupas tuntas skandal kisah cinta Hilda Tan dan Tan Tjin Hiauw tiga buku berturut-turut di muka publik. Seperti luka yang belum dicuci lalu ditaburi garam terus menerus.

Penulis menggunakan nama rahasia: Chabanneau*******. Di novel ini yang masih misteri adalah penulisnya sih. Itu satu-satunya rahasia yang belum terpecahkan.

Ditambah lagi fakta kalau novel ini dibuat berdasarkan surat-surat Hilda yang isinya curhat tentang perasaan dan hubungannya dengan Tan Tjin Hiauw. Belum cukup ini diangkat dari kisah nyata, si penulis menyatakan dalam pendahuluannya kalau nama tokoh dalam novelnya ia ubah sedikit tapi inisialnya sama dengan tokoh aslinya.

Masih belum cukup, konon penulis novel ini memeras Hermine (tokoh asli Hilda). Kalau tidak ingin kisahnya bocor ke muka umum, Hermine diminta membayar sejumlah uang. Hermine gak mau, lalu terbitlah novel Rasia Bandoeng.

Sepanjang mendatangi kawasan yang disebut dalam novel Rasia Bandoeng, cuma sedikit bangunan yang masih berdiri. Salah satunya eks Hotel Ekspres di Kebonjati. Saya mengenal hotel ini dengan nama Hotel Surabaya. CMIWW. Sekarang bangunan ini milik perusahaan Kagum, jadi hotel Gino Ferucci. Bagian depan gedungnya yang masih kuno masih dipertahankan. Tapi ke bagian tengah dan belakang sudah berganti wajah jadi modern dan bertingkat.

Kami juga melihat kawasan tempat Bioskop Venus dan Apollo (di Banceuy) yang gedungnya sudah tidak ada lagi. Juga ke lokasi kantornya Tan Tjin Hiauw dan toko milik keluarga Hilda. Termasuk ke lokasi Sarikat Kuli-kuli Tionghoa di Pasir Kaliki sebelum berbelok ke arah Stasiun Bandung.

Berbagi Sudut Pandang tentang Rasia Bandoeng

Arya (Komunitas Aleut) dalam sesi terakhir di Ngaleut ini berbagi pandangannya mengenai novel ini. Rasia Bandoeng baginya adalah literasi di balik pemerasan. Iya juga sih, kalau Hilda menuruti kemauan si pemeras, gak ada novel Rasia Bandoeng.

Bila tidak ada novelnya, gak ada acara Ngaleut Rasia Bandoeng hari itu. Gak ada yang tahu bioskop Apollo dan Venus. Gak ada yang tahu sejarah keluarga Tan Djia Goan, ayahnya Hilda. Gak ada yang tahu perihal Hotel Expres. Gak ada yang tahu Perempatan Kompa. Gak ada yang tahu dulu di Alun-alun Bandung ada pohon beringin dan kalau sore di situ mangkal PSK, gak ada yang tahu nama gang Ijan itu dulunya Soeria-Ijan, dan masih banyak detail-detail lokasi dalam novelnya yang bisa kami telusuri jejaknya hari ini. Ya ada sih di buku yang lain. Tapi kan beda buku beda cerita.

Juga saya baru tahu dari novel ini kalau istilah Pelesiran artinya kamu singgah ke rumah bordil. Juga panggilan ‘neng’ yang dulu berlaku untuk laki-laki.

Skandal dibalik terbitnya Rasia Bandoeng ini bisa jadi blessing in disguise. Kesusahan untukmu adalah anugerah untuk orang lainnya lagi.

Sama seperti karakter Hilda yang menurut saya keras kepala (dalam kosakata yang enak dibaca, maka ‘teguh pendirian’ adalah kalimat yang tepat :D). Di dalam angkot menuju pulang ke rumah, saya ngobrolin novel ini dengan Indra. Indra bilang kayaknya di dunia ini memang diciptakan sosok-sosok seperti Hilda agar orang lain belajar dari hidupnya.

Maksudnya Hilda orang gak bener terus kita belajar dari kesalahan dia gitu? Tanya saya pada Indra.

Indra menjawab. Every storm has its silver lining. Sisi negatifnya ya dirasakan oleh Hilda: dikucilkan dari keluarga, mesti berjuang dengan pendapatan Tan Tjin Hiauw yang gak sebanyak uang ayahnya, dan jadi omongan banyak orang. Tapi kan selalu ada sisi positifnya, yaitu belajar dari kesalahan Hilda. Buat Indra kesalahan Hilda adalah keras kepala, gak nurut pada orang tuanya. Tapi buat saya mah kesalahannya bukan itu sih.

Sebagai perempuan di tahun 2016, kesalahan Hilda buat saya adalah dia cinta dan merasa bahagia dengan orang yang punya ‘selir’. Tan Tjin Hiauw berhubungan dengan perempuan lain bernama Nyi Enon yang profesinya pelacur sih. Oleh Tan Tjin Hiauw, Nyi Enon disewakan rumah. Dalam buku sih disebut Nyi Enon dipiara Tan Tjin Hiauw.

Tapi perspektif perempuan di tahun 1914 mungkin berbeda ya. Apalagi kedudukan Tan Tjin Hiauw yang pernah jadi kepala bagian pembukuan dan wakil organisasi kuli-kuli Tionghoa. Masa iya gak berhubungan dengan lebih dari satu perempuan meureun ya 😀 Seumur-umur saya baca buku tentang bupati Bandung dan jabatan sejenis, baru Martanegara saja yang monogami.

Liefde is bliend. Cinta itu buta. Begitu kalimat pertama dalam bab XI di novel ini.

Kalau nikah semarga, saya gak bisa menilai itu salah sih. Kakak ipar saya menikah dengan perempuan yang masih satu keluarga. Anaknya sekarang empat. Terus biasa-biasa aja sih gak ada masalah heuheuehu. Prinsip tiap adat memang berbeda-beda ya.

Yang menarik saya baru saja membaca novel Memang Jodoh karya Marah Rusli. Ceritanya mirip Rasia Bandoeng, diangkat dari kisah nyata penulisnya sendiri. Marah Rusli adalah orang Minang yang menikah dengan perempuan dari Suku Sunda. Pernikahannya itu tidak disetujui keluarga Marah Rusli. Buku ini terbit 50 tahun setelah Marah Rusli wafat karena keinginan beliau sendiri. Kata Marah Rusli sih novel terakhirnya ini kisah nyata dan ia gak mau menyinggung tokoh-tokoh asli dalam novelnya. Kalau diterbitkan 50 tahun kemudian kan para tokoh dalam novelnya sudah meninggal. Begitu katanya.

Wow baik banget ya. Satu novelnya Marah Rusli itu menurut saya mah kenyinyiran dalam bentuk terbaik, tercerdas, terhalus, dan tersopan. Beda banget dengan Rasia Bandoeng ini. Sudah mah kejadiannya tahun 1913-1917, novelnya pun terbit di tahun 1917. Hilda Tan menanggung banyak beban di punggungnya. Tapi bener gak ya beban, bisa jadi kan Hilda mah cuek-cuek aja kan. Kadangkala orang yang gak mengalami kayak saya ini bisanya mendramatisir, yang ketimpa masalahnya mah kalem. Ya mungkin sih 😀

Menjadi peserta di Ngaleut Rasia Bandoeng, saya tentu saja baca novelnya dulu sebelum berangkat jalan-jalan. Ini buku membawa perasaan melankolis mengingat settingnya yang beneran Bandung tahun 1900an. Namun juga tragis.

Bacaan saya baru sampai di halaman 130an. Novelnya tamat di halaman 257. Sebelum membaca novelnya, seperti biasa saya baca Kata Pengantarnya yang lumayan panjang. Tapi wajib dibaca ya, jangan dilewatkan oleh sebab kata pengantarnya cerita panjang lebar tentang latar belakang novelnya disalin dan terbitkan ulang.

Lalu saya langsung baca daftar isi dan langsung loncat ke bagian terakhir.

Di bagian terakhir buku ini ada 12 tulisan seorang wartawan Pikiran Rakyat yang berkaitan dengan kehidupan nyata tokoh-tokoh dalam novel Rasia Bandoeng. Wah ini juga menarik banget!

Kalau bab cerita di novelnya ada 27 kalau gak salah. Jadi ya ini buku padat gizi 😀

FYI kalau kamu sama kayak saya, berasa pusing kalau baca tulisan berejaan lama, nah novel ini sudah menggunakan ejaan baru. Gak semua sih, karena tutur kalimatnya masih melayu tempo dulu. Beberapa kosakata masih dipertahankan aslinya. Tapi ejaan kayak OE diubah jadi U.

Ngaleut Rasia Bandoeng Tur jalan kaki yang melankolis sih menurut saya mah. Ngaleut yang menyenangkan. Buku apalagi yang bisa dijadiin tur jalan kaki gini ya? Mau lagi lah ikutan 😀

Novel Rasia Bandoeng dapat dibeli di Komunitas Aleut. Cek Instagramnya untuk detail pembelian novelnya.


Teks : Ulu
Foto : Ulu. Foto-foto gak terlalu nyambung sih dengan novelnya. Cek IG atau Twitter Aleut juga ya. Heuheuheu. 

Continue reading

Rasia Bandoeng: Skandal Terlarang 100 Tahun Silam

Oleh: Irfan Noormansyah (@fan_fin)

Liefde Is Bliend” artinya cinta itu buta, entah sudah berapa banyak film dan buku yang mengambil tema tersebut. Demi cinta, Romeo bahkan berani menenggak racun karena ingin menyusul Juliet yang berpura-pura mati demi dirinya. Tak perlu jauh-jauh datang ke Verona untuk menelusuri kisah cinta buta yang melegenda itu, karena Bandung pun memiliki kisah cinta yang serupa, bahkan pernah hadir secara nyata. Kisah tersebut terangkum dalam novel berjudul “Rasia Bandoeng” yang terkubur 100 tahun lamanya.

Rasia Bandoeng menceritakan kisah seorang Hilda Tan, gadis belia putri kesayangan pengusaha kaya yang tersohor di Kota Bandung yaitu Tan Djia Goan. Pada usianya yang menginjak masa remaja, rupanya ia jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Tan Tjin Hiauw. Percintaannya tak berjalan dengan mulus, karena sang pemuda berasal dari marga yang sama dengan dirinya, sehingga mendapat pertentangan dari sang Ayah. Pertentangan inilah yang menjadikan kisah cinta mereka menarik untuk diikuti. Dan dari kisah mereka inilah terungkap bahwa ternyata di jaman dahulu percintaan antara sesama marga dalam etnis Tionghoa itu tidak diperbolehkan.

Latar waktu dan tempat yang diceritakan di Rasia Bandoeng adalah nyata terjadi di Kota Bandung pada tahun 1912-1917. Berbagai tempat kejadiannya diceriterakan dengan sangat detail oleh sang penulis, bahkan sebagian foto tempat serta beberapa foto tokohnya dilampirkan di beberapa halaman.  Dari penuturan si penulis ini mengenai latar tempat, kita dapat mencoba menelusuri jejak cerita dalam novel, dan membandingkannya dengan kondisi saat ini.

Awalnya saat membaca sekilas Novel Rasia Bandoeng ini, saya sempat khawatir bahasanya yang menggunakan bahasa melayu klasik akan menyulitkan dalam mencerna isi cerita, namun ternyata penggunaan bahasa melayu jadul itu menjadi aspek menarik dalam buku ini. Dalam percakapan antar tokoh dalam novel terdapat pula celetukan berbahasa Sunda yang bagi saya memperpendek jarak waktu 100 tahun cerita tersebut, karena pada dasarnya bahasa Sunda yang digunakan tak terlalu jauh berbeda dengan yang saya gunakan pada jaman sekarang.

Rasia Bandoeng ini memuat banyak sekali kosa kata lama yang menjadi pengetahuan baru karena sudah tak dipergunakan lagi di jaman sekarang. Continue reading

Rasia Bandoeng: Romeo & Juliet dari Citepus

Ditulis oleh Nia Janiar dan dipublikasikan di Kabut, Teh Melati, Susu Cokelat, dan Bimasakti

 

Hampir seabad yang lalu dari tahun Monyet Api ini, yaitu tahun 2467 atau tahun 1917 dalam kalender Masehi, sebuah roman terbit di Bandung. Roman yang bertajuk Rasia Bandoeng: Atawa Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng dan Berachir Pada Tahon 1917 ini bukanlah roman biasa karena semua ceritanya berdasarkan kisah nyata yang bercerita tentang kehidupan percintaan warga Tionghoa yang kala itu dianggap “aib” karena melanggar adat istiadat di kalangan kaum Tionghoa. Penulisnya anonim, hanya menggunakan nama pena Chabanneau. Untuk pengetahuan, Chabanneau adalah sebuah merek cognac. Dan nama-nama tokoh di novel ini disamarkan, namun inisial yang digunakan sama.

Chabanneau menulis kisah tentang Tan Gong Nio (kemudian diceritakan dengan nama baratnya yaitu Hilda) dan Tan Tjin Hiauw. Keduanya memiliki marga yang sama yaitu Tan. Pada masa itu, menikah dengan marga yang merupakan hal yang dilarang karena dianggap memiliki hubungan saudara dan dapat menimbulkan kecacatan pada keturunannya.

Perkenalan Hilda dengan Tan Tjin Hiauw bermula saat dikenalkan oleh Helena yaitu Margareth Thio, kakaknya Hilda, yang merupakan teman Tan Tjin Hiauw. Saat itu Hilda masih sekolah dengan didikan ala Eropa, sementara Tan Tjin Hiauw sudah bekerja. Karena hubungan mereka terlarang, otomatis hubungan mereka dijalankan secara diam-diam. Surat-surat yang mereka gunakan sebagai alat komunikasi dikirimkan melalui kurir. Berbeda dengan keluarga Hilda yang cenderung konservatif, keluarga Tan Tjin Hiauw cenderung membebaskan anak memilih untuk berhubungan dengan orang yang satu marga. Bahkan keluarga Tan Tjin Hiauw membantu Hilda lari dari rumah dan disembunyikan.

Untuk bisa bersatu dengan Tan Tjin Hiauw, Hilda rela meninggalkan keluarganya dan kabur ke Surabaya, kemudian Makassar, dan menikah di Singapura. Karena sakit hati, ayah Hilda yaitu Tan Djia Goan, mengumumkan di surat kabar Sin Po pada 2 Januari 1918 bahwa Hilda bukanlah bagian dari keluarga mereka lagi. Dihapus dari ahli waris.

Continue reading

Rasia Bandoeng dan Ngaleut Tjerita Tjinta jang Benar Terdjadi di Bandoeng Tahon 1900-an

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

Katanya jatuh cinta membuatmu jadi orang dungu. Oh baiklah pembaca yang budiman, sebelumnya maaf hanya judulnya yang pakai Bahasa Melayu Pasar, karena saya malas dan tak punya cukup kedunguan untuk menuliskannya dalam bahasa seprimitif itu, apalagi ejaan yang setuwir itu. Entahlah, kalau sekiranya jatuh cinta, mungkin bisa saja, tapi saya tak sedungu Hilda Tan, tokoh dalam novel klasik Rasia Bandoeng: atawa Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng dan Berachir pada Tahon 1917.

Aih, Hilda Tan ini adalah dia yang berani menentang keluarga dan adatnya sendiri hanya karena dia ingin membela sesuatu yang bernama: CINTA! Mungkin Hilda Tan kebanyakan membaca kisah yang berpenutup, “dan mereka bahagia selamanya dalam pernikahan”. Pernikahan sebagai kebahagiaan yang dibayangkan. Belum terjadi, masih berupa gagasan. Dan Hilda Tan ini ingin kawin dengan kekasihnya yang semarga, sesuatu yang tabu dalam kultur Tionghoa. Rupa-rupanya kisah Hilda Tan kemudian berakhir setragis Anna Karenina, novel epik Leo Tolstoy itu. Seperti kata Tolstoy dalam pembukaan Anna Karenina, seluruh keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama; keluarga tak bahagia, tak bahagia dengan cara masing-masing. Dan ya, hanya keluarga tak bahagia yang ‘menarik’ untuk dikisahkan.

| Lihat: Eka Kurniawan – “Marry You”

Secara cerita, novel klasik karya Chabanneau ini memang asyik untuk dibaca (meski saya baru baca bab-bab awal dan resensinya saja), tapi yang paling bikin menarik adalah bahwa lewat roman ini kita bisa melihat rekaman denyut nadi pusat Kota Bandung pada medio 1900-an awal. Maka Komunitas Aleut! bertepatan dengan momen Tahun Baru Imlek 2567 mengadakan keluyuran malam berawal dari titik temu di BRI Tower depan Alun-Alun Bandung, yang saat itu dipenuhi orang yang berfoto riang sana-sini.

Meski hujan sebentar-sebentar menyirami kami, tapi nampaknya semangat untuk terus mengeluyuri jalanan di pusat Kota Bandung tak ikut luntur. Lebih-lebih bagi saya, di daerah sekitar Pasar Baru yang bisa dibilang sebagai “Pecinan”-nya Kota Bandung ini, saya berasa jadi Kai Man Wong, presenter di saluran fotografi DigitalRev TV. Ternyata, pusat Kota Bandung di kala gelap ini mengingatkan saya pada Hongkong; ada bangunan-bangunan tua peninggalan era kolonial, namun kita mendapati pula plang-plang besar merk dagang juga lampu kerlap-kerlip, serta para tunawisma yang terlelap di depan ruko yang sudah tutup, juga kehidupan malamnya Bandung.

Rute: Alun-Alun Bandung – Jalan Banceuy – Jalan Suniaraja – Pasar Baru – Jalan Kebon Jati – Saritem – Jalan Gardu Jati – Jalan Astana Anyar – Jalan Cibadak

Jika kamu ingin berpetualang lewat mesin waktu ke awal abad 20, maka baca Charles Dickens untuk mengeluyuri London, James Joyce untuk Dublin, Knut Hansum untuk Kristiania (Oslo), dan Bandung terwakili dalam karya Chabanneau ini. Latar kejadian dalam cerita roman berkisar di wilayah Pasar Baru, Cibadak, Pecinan, Suniaraja, Banceuy, Kosambi, Groote Postweg, dan paling jauh ke arah selatan, yaitu di Tegallega. Berikut ini contoh deskripsi situasi Pasar Baru pada Kamis, 10 Februari 1916.

Bangsa Tiong Hoa masih merajaken datangja tahon baroe 2467, kerna itoe waktoe poen baroe tanggal 8 Tjia Gwe, betoel toko-toko soedah moelai boeka, tapi dalam oeroesan dagang belom rame sabagimana biasanja, teroetama dari fihak Tiong Hoa totok.

Di salah satoe toko tjita di sabelah Kidoel pasar, jang madap ka Wetan, antara employenja kalihatan samoewa sempat sabagimana biasanja toko-toko besar jang tida djoewal ketengan, di sebelah loewar dari toko tjita jang terseboet kalihatan tiga anak moeda lagi pasang omong, jang satoe lagi tjeritaken penglihatan dari karamean Pasar-Malam di Batavia…

Entah mengapa, enggak seperti roman lainnya yang muncul pada tahun 1900-an, Rasia Bandoeng ini relatif jarang dibahas. Karya Chabennaue ini sendiri memakai gaya naturalis, aliran yang mementingkan pengungkapan secara terus-terang, tanpa mempedulikan baik buruk dan akibat negatif. Pengarang naturalis dengan tenangnya menulis tentang skandal para penguasa atau siapapun, dengan bahasa yang bebas dan tajam. Aliran karya sastra yang ingin menggambarkan realitas secara jujur bahkan cenderung berlebihan dan terkesan jorok.  Lebih-lebih, karena kabarnya Chabennaue menulis novel ini untuk dijadikan bahan pemerasan. Cerita ini memang kisah nyata yang dialami Hermine Tan yang lahir pada tahun 1898 dan meninggal pada tahun 1957 di Bandung. Chabanneau menulis cerita ini berdasarkan surat-surat berisi curahan hati yang dikirim oleh Hilda, yang diduga nama samaran Hermine tadi.

Rasanya, saya perlu ralat pernyataan bahwa Hilda Tan seorang yang dungu. Sebab menurut sejarawan sekaligus feminis dari Kanada, Tineke Hellwig, keberanian Hilda Tan untuk memperjuangkan cintanya meski harus melawan adat dianggap sebagai perjuangan perempuan menentukan pilihan hidupnya. Sosok Hilda juga sangat tegar ketika ternyata kekasih yang dicintainya itu enggak balik mencintainya secara tulus.

Entahlah, bukan hanya Hilda Tan, sekarang pun orang-orang terpelajar, yang sekolah tinggi, bakal menjadi dungu karena yang namanya ‘cinta’, rela disakiti kekasih yang jelas-jelas hanya mempermainkannya. Mungkin, saya pun bakal begitu jika cinta datang menghampiri, berlaga dungu dan berani untuk mengatakan: “Hey, saya benar-benar mencintaimu, dan saya ingin menikahimu, bagaimana?”

“Baik, kuberi waktu 3 bulan, buatkan aku sebuah novel tentang Bandung,” tantang perempuan itu, lalu menyunggingkan senyum renyah, “Mudah, kan?”

Kemudian, berkat energi kedunguan yang hinggap, jadilah saya yang pemalas ini begitu bersemangat untuk terus menulis tak kenal lelah sampai batas waktu yang ditentukan itu. Seperti Sangkuriang, atau Bandung Bondowoso, meski bedanya saya enggak dibantu semacam jin. Kenapa saya begitu bergairah? Inikah yang namanya cinta? saya membatin. Ah maaf pembaca yang budiman sekalian, saya rasa dicukupkan sekian saja sebelum terlalu ngalor-ngidul.

It is not a lack of love, but a lack of friendship that makes unhappy marriages. – Friedrich Nietzsche

*

Bagi yang ingin membaca secara daring, bisa mengakses: “Rasia Bandoeng : atawa satoe tjerita jang benar terdjadi di kota Bandoeng dan berachir pada tahon 1917 / ditjeritaken oleh Chabanneau”.

Atau bisa baca juga ulasan dari Lina Nursanty di Pikiran Rakyat ini.

ngaleut rasia bandoeng imlek 2016

Tautan asli: http://yeaharip.com/2016/02/09/rasia-bandoeng-dan-ngaleut-tjerita-tjinta-jang-benar-terdjadi-di-bandoeng-tahon-1900-an/

Penelusuran Belum Usai (5)

Lanjutan kisah Roman Rasia Bandoeng oleh Lina Nursanty.

SATU per satu tokoh dalam novel roman Rasia Bandoeng terungkap. Setelah hampir satu abad sejak pertama kali novel itu diterbitkan pada awal abad 20, cucu dan cicit para tokoh bermunculan. Mereka mencari asal usul leluhurnya melalui kepingan cerita dalam novel. Dendam lama yang diceritakan dalam novel pun telah terkubur seiring dengan perkembangan zaman. Yang tersisa adalah sebuah cerita roman yang berakhir tragis bagi Hermine Tan.

Dalam bukunya yang berjudul Women and Malay Voices. Undercurrent Murmurings in Indonesia’s Colonial Past, Tineke Hellwig secara hati-hati mencoba memisahkan pembahasan sosok Hermine asli dengan sosok Hermine dalam novel. Ia juga menyatakan simpati kepada Hermine yang dianggapnya sebagai korban dari novelis patriarkat yang tega mengumbar kehidupan pribadi dan bahkan hingga membentuk opini publik yang merugikan nama Hermine. Hingga akhir hayatnya, Hermine tidak terbuka meski kepada anak-anaknya mengenai cerita ini. Continue reading

Romeo Juliet dari Citepus (4)

Lanjutan kisah Roman Rasia Bandoeng oleh Lina Nursanty.

SERAYA berseloroh, Charles Subrata menyebut kisah cinta antara Tan Gong Nio dan Tan Tjin Hiauw dalam novel roman Rasia Bandoeng yang terbit pada awal abad ke-20 di Kota Bandung sebagai “Kisah Romeo-Juliet dari Citepus.” Penyebutan itu terilhami dari kisah perjuangan cinta antara keduanya yang sangat berat karena harus melawan adat feodal.

Seperti diceritakan pada serial ini sebelumnya, Charles yang kini bermukim di Belanda itu mengaku sebagai keponakan Tan Tjeng Hoe yang tak lain adalah Tan Tjin Hiauw yang diceritakan dalam novel tersebut. Seperti juga kerabatnya yang lain, Charles kehilangan jejak kekasih dan isteri pamannya yang bernama Tan Giok Nio atau Hermine Tan. Di dalam novel, nama Hermine diubah menjadi Hilda Tan atau Tan Gong Nio. Continue reading

Tan Sim Tjong (3)

Bagian ketiga:

Pencarian Makam Tan Sim Tjong

SEMASA hidupnya, Tan Sim Tjong dikenal sebagai saudagar kaya yang memiliki tanah luas yang tersebar di antara Cibadak, Jalan Raya Barat (Jenderal Sudirman sekarang, RED), dan sekitar Kali Citepus. Selain sebuah rumah gedong besar, keluarga Tan Sim Tjong juga memiliki kebun yang ditanami pohon bambu Cina dan pohon jeruk. Saking luasnya kebun jeruk itu, isteri Tan Sim Tjong disebut warga sekitar dengan sebutan Nyonya Kebon Jeruk. Kini, area tersebut dinamai Kelurahan Kebon Jeruk.

Selain di wilayah itu, tanah Tan Sim Tjong juga ada di ujung Jalan Raya Barat, tepatnya di wilayah Elang. Pada saat itu, Elang masih merupakan area hutan dan pesawahan. Di area itulah Sim Tjong memilih lahan sebagai makam dirinya. Karena adanya makam orang Tionghoa, sampai sekarang kampung tersebut dinamakan Sentiong.

Batu nisan makam Tan Sim Tjong di Kampung Sentiong, Jalan Elang, Kota Bandung.

Batu nisan makam Tan Sim Tjong di Kampung Sentiong, Jalan Elang, Kota Bandung.

Continue reading

Tan Sim Tjong (2)

Bagian kedua:

Gang Simcong dan SD Simcong

DI dalam roman Rasia Bandoeng, Tan Shio Tjhie digambarkan sebagai sosok yang progresif karena tidak menentang kehendak anaknya, Tan Tjin Hiauw, untuk menjalin hubungan asmara dengan Tan Gong Nio. Padahal, dalam adat budaya Tionghoa saat itu, perkawinan satu marga (she) adalah hal tabu dan terlarang. Tan Shio Tjhie tahu benar soal itu, namun ia berbesar hati mengantar anaknya itu untuk melamar sang pujaan hati.

Sosok Tan Shio Tjhie diyakini tak lain adalah Tan Sim Tjong oleh cucu cicitnya. Bagi sosok saudagar seperti Tan Sim Tjong, hubungan asmara anaknya dengan Tan Gong Nio adalah tantangan yang sangat berat karena itu artinya harus melawan adat. “Rupanya dia punya gebrakan pada masanya, contohnya mendukung perkawinan satu marga. Itu saya anggap sebagai sesuatu sosok yang progresif, menyayangi anak, dan memberi keleluasaan bergerak,” ujar cicit Tan Sim Tjong, Bambang Tjahjadi. Continue reading

Tan Sim Tjong (1)

Berikut ini serial penelusuran tokoh Tan Sim Tjong yang ditulis oleh rekan saya dan sudah dimuat bersambung di HU Pikiran Rakyat

Bagian Pertama:

Telusur Silsilah Melalui Roman

MENJELANG Imlek lalu, Pikiran Rakyat mengulas sebuah roman Tionghoa yang menceritakan perkawinan satu marga (she) di Bandung pada tahun 1917. Roman berjudul Rasia Bandoeng yang ditulis oleh Chabbaneau itu mengisahkan drama percintaan antara Tan Tjin Hiauw dan Tan Gong Nio. Satu abad berlalu, roman tersebut ternyata menyisakan sebuah cerita nyata bagi turunan keluarga Tan Sim Tjong.

Adalah Charles Subrata, Bambang Tjahjadi, Wishnu Tjahyadi, Adji Dharmadji, dan dr. Benjamin J. Tanuwihardja, SpP, FCCP yang kemudian berkumpul di Kantor Redaksi Pikiran Rakyat pada Jumat (3/4/2015). Mereka adalah cucu dan cicit Tan Sim Tjong yang telah puluhan tahun tinggal berpencar. Charles bermukim di Belanda, Bambang di Jerman, Adji di Jakarta, Wishnu di Bekasi, dan Benjamin di Bandung. Turut pula Tjandra Suherman sebagai penerjemah Bahasa Tionghoa. Atas bantuan Direktur Pusat Studi Diaspora Tionghoa, Sugiri Kustedja, mereka berkumpul mengonfirmasi cerita demi penelusuran silsilah keluarga. Continue reading

Siapakah Chabanneau? – Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (3)

Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (3)

Siapakah Chabanneau?

Ada informasi yang cukup mengejutkan ketika menelusuri jejak literatur yang menyinggung nama Chabanneau ini. Seorang antropolog, James T Siegel, menguak kabar bahwa ternyata sang penulis roman sesungguhnya adalah seorang pemeras.

Roman (3) 18 februari
Cuplikan pemuatan artikel ini (bagian 3) di HU Pikiran Rakyat, Selasa, 17 Februari 2015.

Dalam buku Siegel berjudul Fetish, Recognition, and Revolution, Chabanneau diidentifikasi sebagai seorang laki-laki. Siegel berkali-kali menyematkan kata ganti dalam bahasa Inggris “his” atau “him” kepada Chabanneau yang menunjukkan bahwa subjek yang sedang diceritakan adalah seorang laki-laki.

Menurut Siegel, cerita ini memang kisah nyata yang dialami Hermine Tan yang lahir pada tahun 1898 dan meninggal pada tahun 1957 di Bandung. Chabanneau menulis cerita ini berdasarkan surat-surat berisi curahan hati yang dikirim oleh Hilda (yang diduga adalah nama samaran Hermine) kepada seorang pria bernama Lie Tok Sim. Continue reading

Merekam Denyut Nadi Pusat Kota – Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (2)

Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (2)

Merekam Denyut Nadi Pusat Kota

Membaca roman Rasia Bandoeng karya Chabanneau dapat membawa kita melancong ke pusat Kota Bandung pada periode awal 1916 dengan deskripsi yang cukup detail. Tampak kuat sekali kesan bahwa mobilitas orang-orang Tionghoa saat itu berada di pusat-pusat kota. Misalnya kediaman tokoh utama roman, yaitu Tan Djia Goan yang berlokasi di Kebonjati.

Dalam roman itu digambarkan bahwa rumah milik Tan Djia Goan adalah sebuah rumah gedong yang cukup megah di Kebonjati. Letaknya berada di samping Rumah Sakit Padri, tepat di depan rumah sakit tersebut ada Hotel Express. Jika disesuaikan dengan konteks Bandung saat ini, agak sulit memastikan letak rumah Tan Djia Goan itu.

Roman (2) 17 februari
Cuplikan pemuatan artikel ini (bagian 2) di HU Pikiran Rakyat, Selasa, 24 Februari 2015.

Mengikuti alur cerita tan Djia Goan dan keluarganya membimbing kita memahami suasana pusat Kota Bandung saat itu. Kehidupan kaum pedagang di Pasar Baru dan sekitar Pecinan, aktivitas pelacuran di kawasan Tegallega dan Suria Ijan, hingga kebiasaan tayub bangsa bumiputra yang juga dilakukan orang Tionghoa dalam kenduri yang mereka selenggarakan.

Latar atau setting kejadian dalam cerita roman berkisar di wilayah Pasar Baru, Cibadak, Pecinan, Suniaraja, Banceuy, Kosambi, Groote Postweg, dan paling jauh ke arah selatan, yaitu di Tegallega. Berikut ini adalah contoh deskripsi atas Gang Kapitan di Kampung Cibadak, kediaman Tan Tjin Hiauw. “Di depan gardu, ada satu gang yang biasa disebut Gang Kapitan, karena mulut gang yang sebelah kaler, ada dekat sekali sama rumahnya Tuan Tan Joen Liong, letnan dari bangsa Tiong Hoa di Bandung”. Continue reading

Kawin Semarga di Bandung Baheula – Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (1)

Berikut ini saya muatkan artikel bersambung tulisan rekan saya, Lina Nursanty, yang membahas sebuah roman baheula dengan latar cerita Kota Bandung di awal abad ke-20.
Selamat membaca!

Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (1)

Kawin Semarga di Bandung Baheula

Pengantar:
Roman lahir untuk melukiskan perbuatan, watak, dan isi jiwa sang tokoh yang lebih banyak membawa sifat-sifat zaman. “Rasia Bandoeng” yang ditulis Chabanneau pada 1917 memotret kehidupan masyarakat Tionghoa di Bandung awal abad ke-20. Memperingati Tahun Baru Imlek 2566, wartawati Pikiran Rakyat, Lina Nursanty, membahas roman yang hampir satu abad itu. Selamat membaca.

Capture-1
Cuplikan pemuatan artikel ini (bagian 1) di HU Pikiran Rakyat, Selasa, 17 Februari 2015. Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑