J.C. Bijkerk dalam bukunya “Vaarwel tot Betere Tijd” menulis bahwa pada tanggal 6 Maret 1942 para pembesar Pemerintah Hindia Belanda (Jend. Ter Poorten, G.G. Tjarda, Maj. Bakkers, dan Gubernur Jabar Hogewind) mengadakan suatu pertemuan di rumah Residen Bandung, Tacoma. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan menjadikan Bandung sebagai kota terbuka dengan maksud agar Jepang dapat masuk Bandung tanpa harus terjadi peperangan.
Peristiwa ini tentu dapat dimaklumi mengingat sebelumnya Jepang telah memborbardir pertahanan sekutu Pearl Harbour di Lautan Pasifik (8 Desember 1941) yang dilanjutkan dengan siaran gencar radio propaganda Nippon yang dipancarkan dari Tokyo. Siaran dalam bahasa Indonesia ini berisi : “Sebentar lagi Tentara Dai Nippon akan tiba di Indonesia. Kami akan datang bukan sebagai musuh, tetapi bertujuan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.” Sebagai pembuai, siaran gombal dari Jepang ini selalu diakhiri dengan pemutaran lagu Indonesia Raya yang ternyata memang mampu membuai kebanyakan rakyat Indonesia.
Propaganda balik dari pihak Belanda dilakukan melalui radio-radio Nirom Surabaya dan Nirom Batavia, isinya agar rakyat Indonesia jangan memercayai siaran radio propaganda Jepang tersebut. Namun serangan balik ini sama sekali tidak berhasil karena tak lama kemudian Suarabaya, Malang, dan Madiun telah dibombardir (ejaan Hindia Belanda) angkatan udara Nippon.
Serangan berikutnya terjadi di Laut Jawa pada 27 Februari 1942. Jepang berhasil menenggelamkan kapal-kapal Exeter, Kortenaer, Java, dan Encouter milik sekutu yang disusul oleh dua kapal terakhir, Houston dan Perth. Continue reading