Oleh Irfan Pradana

Fear of Missing Out atau orang-orang biasa menyebutnya dengan singkatan FOMO adalah sebuah perasaan takut atau cemas “tertinggal” dalam melakukan aktivitas tertentu. Biasanya perasaan ini timbul karena ketinggalan info atau tren.

Mungkin perasaan inilah yang melatarbelakangi kegiatan Momotoran kali ini. Saya, setidaknya, kerap melewatkan momen libur lebaran dari tahun-tahun dengan hanya berdiam diri di rumah. Malas, macet, dan panas, kira-kira itu saja alasan klasiknya. Apalagi saya lahir dan besar di kota Bandung hingga saat ini. Tidak punya kampung halaman di pedesaan atau tempat jauh, jadi tidak pernah merasakan momen mudik lebaran. Sebab itu jadi semakin banyak pula alasan saya untuk berdiam di rumah.

Tapi lebaran tahun ini rasanya berbeda. Saya terkena gejala FOMO, rasanya ingin seperti orang lain, ikut dalam hingar bingar libur lebaran, pelesiran, dan bermacet ria di jalanan. Oleh karena itu saat kawan di Aleut mengajak Momotoran, tanpa banyak pertimbangan, saya langsung mengiyakan. Ya, hitung-hitung main sambil belajar pengalaman baru.

Makam Dalang Ki Darman, Dalang Takrim, dan Maestro Pop Sunda Kosaman Djaja.

Kapan hari kami sempat bergumul cukup intens dengan arsip-arsip sejarah wayang golek. Kegiatan ini merupakan bagian dari Kelas Literasi Aleut. Waktu itu saya dan kawan-kawan berkesempatan mewawancarai anak dari Umar Partasuwanda, salah seorang dalang wayang golek angkatan awal.

Berangkat dari sana akhirnya mencari-cari literatur terkait wayang golek dan menemukan nama seorang tokoh lain yang disebut-sebut sebagai pionir wayang golek di tatar Priangan. Namanya, Ki Darman.

Ki Darman adalah seorang pembuat wayang yang berasal dari Tegal. Pada abad 19 ia diminta untuk membuat wayang dari kayu oleh Dalem Karanganyar atau Wiranata Koesoemah III. Dari sinilah awal mula wayang golek mulai dibuat, dipentaskan, dan terus berkembang luas ke seluruh wilayah priangan.

Informasi mengenai makam Ki Darman kami dapatkan setelah mencari-cari informasi di internet. Di sana disebutkan bahwa Ki Darman bergiat dan menghabiskan hidupnya di sekitar Cibiru dan Cinunuk Kabupaten Bandung. Ditambah lagi terdapat informasi terkait wayang khas Cibiruan.

Informasi semakin mengerucut karena di Google Maps terdapat sebuah lokasi bernama “Makam Ki Darman”. Titiknya berada di Cinunuk, antara Cibiru dan Cileunyi Kabupaten Bandung. Berbekal informasi inilah kami jadikan titik tersebut sebagai destinasi pertama.

Sangat sulit mencari lokasi persisnya. Halaman Google Street View menunjukkan sebuah gerbang besi, namun saat kami di sana, gerbangnya dikunci rantai dan gembok. Seperti sudah lama tidak pernah dibuka. Kami bertanya kepada warga sekitar, sayang tidak ada satu pun yang tahu.

Mereka menganjurkan kami untuk memutar ke jalan belakang karena di sana ada area pemakaman. Bisa jadi di sanalah makam Ki Darman katanya.

Setelah mengikuti anjuran tersebut, kami tiba di sebuah petak pemakaman. Kira-kira jumlah makam di sana ada puluhan. Terlalu sedikit untuk disebut tempat pemakaman umum. Lebih cocok sebagai kompleks makam keluarga.

Kami langsung menemui juru kuncinya  menanyakan makam Ki Darman. Ia menggelengkan  kepalanya. “Aya gé Pak Dama di dieu mah, teu aya nu namina Darman. Sanés dalang deuih anjeunna (Dama) mah.” terang sang kuncen. “Dalang mah ieu tah, Dalang Takrim. Sok seueur anu ka dieu ti pegiat wayang.” Tangannya menunjuk ke makam yang sudah tak berbentuk karena ditumbuhi rumput liar sampai setinggi orang dewasa.

Makam Ki Takrim yang sudah tertutupin rimbunan tanaman dan alang-alang.

Kami segera mencari nama Dalang Takrim di laman pencarian. Benar, ada seorang dalang kondang bernama Takrim di Cibiru. Menurut kuncen, makam dalang Takrim sering didatangi peziarah dari lingkung seni pewayangan.

Continue reading