Tag: Bandung (Page 3 of 3)

Dua Dunia Trans7: Gua Belanda dan Gua Jepang di Tahura Ir. Djuanda

10933844_386696264833557_214986958903502471_n

Hari ini berkunjung ke Gua Jepang yang terletak di dalam kompleks Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, di sebelah utara Kota Bandung. Sebagai taman hutan, inilah yang pertama kali didirikan di Hindia Belanda, peresmiannya dilakukan pada tahun 1922.

Sebelum keberadaan taman hutan, di kawasan ini sebelumnya sudah pernah dibuat suatu jalur pemanfaatan air sungai Ci Kapundung untuk keperluan air bersih warga kota. Mulanya dengan membuat sebuah bendungan. Belum diketahui persis kapan waktu pembuatannya tetapi kemungkinan berlangsung di antara 1890 – 1906. Bendungan ini mengalami kerusakan beberapa tahun kemudian. Sisa-sisa bangunannya masih dapat ditemukan di dalam kawasan Tahura di dekat lokasi Curug Koleang. Continue reading

Jejak yang Memudar: Sukarno di Bandung, Bagian 3

KARYA-KARYA ARSITEKTUR SUKARNO DI BANDUNG

Setelah lulus sebagai Insinyur Sipil dari Technische Hoogeschool (THS), Sukarno dan kawan-kawan membentuk Algemeene Studie Club mencontoh yang sudah dilakukan oleh Dr. Sutomo di Surabaya. Organisasi Indonesische Studie Club yang didirikan oleh Dr. Sutomo aktif membangkitkan kesadaraan sosial dan politik masyarakat. Sukarno sangat hormat pada apa yang sudah dilakukan oleh Dr. Sutomo dan menjadikannya sebagai inspirasi untuk mendirikan organisasi serupa di Bandung. Sukarno ingin kelompok yang akan didirikannya bersama kawan-kawan dapat berperan lebih jauh lagi, lebih meluas, dan lebih progresif.

Rumah Bersejarah di Jl. Ciateul yang menjadi tempat berkumpul menajamkan ide-ide kemerdekaan RI.

Rumah Bersejarah di Jl. Ciateul yang menjadi tempat berkumpul menajamkan ide-ide kemerdekaan RI.

Sukarno kemudian terpilih untuk mengetuai Algemeene Studie Club dengan didampingi oleh Anwari dan Iskaq. Saat itu Sukarno sudah membayangkan bahwa organisasi yang baru mereka bentuk ini akan menuju pada pembentukan suatu partai dengan dasar kebangsaan yang luas. Tak lama, Studie Club ini telah berkembang ke daerah-daerah dan mengambil peran penting dalam mengembangkan gerakan-gerakan kebangsaan.

Dari sedikit buku yang membahas sisi Sukarno sebagai arsitek itu pun tidak ada yang memiliki daftar lengkap karya-karya arsitektur Sukarno di Bandung.

Continue reading

Jejak yang Memudar: Sukarno di Bandung, Bagian 2

TAPAK TILAS SUKARNO DI BANDUNG

Sejak pertama kali menginjakkan kakinya di Kota Bandung pada tahun 1921 hingga pembuangannya ke Ende, Flores, pada tahun 1934, maka paling sedikit Sukarno melewatkan waktu sekitar 14 tahun di Bandung. Nah, bila sekarang ada yang bertanya di mana saja Sukarno pernah tinggal, atau ke mana saja beliau suka pergi selama di Bandung, maka jawabnya tidak akan mudah. Tidak ada rekaman jejak yang rinci tentang hal itu. Mungkin yang akan paling mudah teringat adalah kampus ITB di Jl. Ganesha, tempat Sukarno menjalani pendidikan hingga lulus sebagai insinyur sipil pada tahun 1926. Atau sebagian akan mengenang Gedung Merdeka sebagai perekam jejak inisiatif Presiden Sukarno untuk memerdekakan bangsa-bangsa di Asia-Afrika.

IMG_8490

Tapi tentu saja dua tempat itu tidak cukup mewakili perjalanan panjang seorang pemuda pribumi yang telah menghabiskan masa mudanya ikut berjuang merintis kemerdekaan Republik Indonesia, pemuda yang kemudian menjadi pemimpin pertama negara merdeka ini sejak 1945 hingga 1967. Ada banyak lokasi ataupun gedung yang sebetulnya merekam jejak Sukarno di Bandung, tetapi rupanya hal ini belum menjadi perhatian utama baik dari pemerintah ataupun masyarakat kita.

Hampir semua tokoh utama perjuangan saat itu pernah datang ke rumah panggung ini untuk bertukar pandangan dan merancang berbagai gerakan untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Rumah panggung ini merekam jejak kehadiran Agus Salim, Abdul Muis, K.H. Mas Mansur, Moh. Hatta, M.H. Thamrin, Moh. Yamin, Trimurti, Oto Iskandardinata, Dr. Soetomo, Asmara Hadi, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya.

Continue reading

Jejak yang Memudar: Sukarno di Bandung, Bagian 1

Sukarno Muda Tiba di Bandung

Ketika aku pindah dari Djawa Timur kedaerah Djawa Barat ini, Pak Tjokro telah mengusahakan tempatkumenginap dirumah tuan Hadji Sanusi. Aku pergi lebih dulu tanpa Utari untuk mengatur tempat dan melihatlihatkota, rumah mana jang akan mendjadi tempat tinggal kami selama empat tahun, begitulahmenurutperkiraanku diwaktu itu. Aku merasa hawanja dingin dan wanitanja tjantik-tjantik. Kota Bandungdan aku dapat saling menarik dalam waktu jang singkat.

Pertama kali Sukarno menjejakkan kakinya di Kota Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke Technische Hooge School (THS), ia langsung jatuh cinta pada kota ini. “Kota yang menyenangkan hati,” begitu tutur Sukarno dalam buku karangan Cindy Adams, “Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. Hari itu, pada akhir bulan Juni 1921, adalah awal perjalanan pemuda Sukarno di Bandung, sebuah perjalanan panjang yang kelak akan membawa bangsanya menuju kemerdekaan.

Saling menarik antara Bandung dengan Sukarno akan berlangsung paling tidak selama empat belas tahun ke depan. Di kota berhawa dingin ini Sukarno melahirkan pemikiran-pemikiran pentingnya. Bandung, seperti ditulis oleh Peter Kasenda dalam “Sukarno Muda; Biografi Pemikiran 1926-1933”, adalah pusat alam pemikiran nasionalis sekuler. Di Bandung telah berkembang pemikiran bahwa tujuan pergerakan adalah kemerdekaan penuh untuk tanah air Indonesia. Ke dalam pusat pergerakan inilah Sukarno muda menerjunkan dirinya.

Kehidupan Sukarno di Bandung dimulai dengan tinggal indekost di rumah Haji Sanusi. Seperti telah diketahui, Sukarno pernah tinggal selama hampir lima tahun di rumah Cokroaminoto, seorang pemimpin Sarekat Islam di Surabaya. Cokroaminoto juga yang telah mengatur bakal tempat tinggal Sukarno selama menjalani pendidikan di Bandung, yaitu di rumah Haji Sanusi yang terletak di Javaveemweg. Haji Sanusi adalah seorang anggota Sarekat Islam yang berkawan baik dengan Cokroaminoto. Di rumah ini pula Sukarno berjumpa dengan Inggit Garnasih yang saat itu masih berstatus sebagai istri Haji Sanusi.

Untuk sementara pasangan Sukarno-Inggit tinggal di rumah orang tua Inggit di Javaveemweg. Setelah itu mereka berpindah-pindah tempat tinggal ke beberapa lokasi di dalam kota Bandung. Awalnya ke Gg. Djaksa di sebelah selatan Regentsweg (sekarang Jl. Dewi Sartika), lalu ke Gedong Dalapan di Poengkoerweg (Jl. Pungkur), kemudian ke Regentsweg 22, sebelum akhirnya menetap di sebuah rumah panggung di Astanaanjarweg.

Continue reading

Braga Sebagai Kawasan Wisata Kota Tua di Bandung

Braga 1937 (3)

Jalan Braga sebagai salah satu tujuan wisata di Kota Bandung tampaknya semakin populer belakangan ini. Di banyak situs internet berupa weblog dapat dengan mudah kita temui tulisan-tulisan ringan mengenai ruas jalan yang panjangnya hanya sekitar setengah kilometer ini. Kebanyakan tulisannya bercerita tentang kesan para penulisnya berjalan-jalan di kawasan Braga. Sebagian lain sedikit lebih serius dengan menyampaikan juga data-data sejarah yang berkaitan dengan perkembangan modern Jalan Braga sejak akhir abad ke-19 hingga saat ini.

Minat utama para penulis blog yang sempat mengunjungi Jalan Braga ini adalah suasana tempo dulu yang masih dapat terlihat dari sebagian kecil bangunan yang berjajar di sepanjang Jalan Braga. Tak sedikit dari mereka membawa peralatan seperti kamera foto atau perekam video untuk mengabadikan berbagai obyek yang menarik perhatian. Kadang di lokasi atau gedung tertentu para pengunjung terlihat sampai memperhatikan berbagai detail yang masih tersisa. Untuk diketahui, para penulis blog ini tak sedikit yang berasal dari luar kota, termasuk dari luar negeri.

Yang juga cukup menarik adalah fenomena banyaknya kelompok remaja yang mengunjungi Jalan Braga terutama pada akhir minggu dan hari-hari libur. Sejak pagi hingga menjelang malam, berbagai kelompok remaja tampak silih berganti berjalan-jalan atau berfoto bersama di sudut-sudut jalan Braga. Obyek foto paling populer tentunya gedung-gedung tua peninggalan masa kolonial yang sebagian tampak masih kokoh berdiri dan menyisakan keindahan masa lalunya. Tak jarang pula bisa kita saksikan berbagai kegiatan pemotretan untuk keperluan fashion atau pernikahan, dan bahkan untuk pembuatan film, dilakukan di sepanjang Jalan Braga dengan latar gedung-gedung tuanya. Continue reading

Reisgids voor Bandoeng – Pariwisata Bandung Baheula

Bandoeng en Omstreken 1882

Salah satu yang bikin rame Kota Bandung adalah kegiatan pariwisata. Sudah sejak lama Bandung menjadi salah satu tujuan wisata di Pulau Jawa. Dalam banyak buku catatan perjalanan seperti  yang pernah saya sampaikan, misalnya dalam kisah tiga kali kunjungan Raja Thailand ke P. Jawa pada tahun 1871, 1896, dan 1901. Lalu ada cerita Charles Walter Kinloch dalam bukunya Rambles in Java and the Straits (1852) atau dua buku karya  Ponder, Javanese Panorama dan Java Pageant, dan tentunya masih banyak buku lain.

Sudah sejak lama Bandung menarik perhatian para pelancong, baik yang datang secara khusus ataupun mampir dalam suatu rangkaian perjalanan keliling. Satu orang yang melihat peluang ini dengan lebih jauh adalah Asisten Residen Pieter Sijthoff.  Pada tahun 1898 ia mengajak banyak pihak berdiskusi, di antaranya bupati, kontrolir dan pengusaha2 perkebunan (Preangerplanters), para pengusaha perhotelan dan pemilik toko, serta tokoh2 masyarakat baik Eropa maupun pribumi. Hasilnya adalah pembentukan suatu lembaga swasta yang dinamakan Vereeniging tot Nut van Bandoeng en Omstreken dengan ketuanya Residen Priangan sendiri, Mr. C.W. Kist.

Continue reading

Cerita Munada – Bagian 1 [1]

Bandung tempo dulu yang sering diceritakan dalam bingkai nostalgia yang bikin hati nyaman itu ternyata tak selalu secerah dongeng. Ada sisi-sisi kelam yang kadang menjadi episode utama dalam rangkaian kisah itu. Salah satunya adalah kisah Pasar Baru.

Pasar Baru yang kita kenal sekarang ini baru berdiri pada tahun 1906, berbarengan dengan kelahiran Gemeente Bandoeng (Pemerintah Kota). Sebelumnya, pasar utama kota Bandung berada di belakang kompleks Kepatihan (Jalan Kepatihan sekarang) dan sering disebut Pasar Ciguriang karena letaknya memang berada di daerah yang bernama Ciguriang.

Pasar ini terbakar habis pada hari Jumat dinihari, 26 Desember 1845. Akibatnya, selama puluhan tahun kota Bandung tidak memiliki pasar utama sampai lahirnya pemerintahan kota yang dalam waktu cepat membangun berbagai fasilitas umum, termasuk mendirikan sebuah pasar di sebelah barat Alun-alun. Masyarakat menyebutnya Pasar Baru.

Peristiwa terbakarnya Pasar Ciguriang ternyata bukanlah peristiwa kebakaran biasa. Di belakangnya berkelebat bayangan persekongkolan dan kejahatan yang melibatkan tokoh-tokoh penting dan terhormat di kota Bandung saat itu. Tokoh yang paling terkenal di balik terbakarnya Pasar Ciguriang, dikenal dengan nama Munada.

Continue reading

PRIANGAN

PAKUAN PAJAJARAN
Sebelum kedatangan VOC ke Nusantara, wilayah Bandung yang mungkin masih berupa hutan belantara, termasuk ke dalam kekuasaan Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan Pajajaran. Kerajaan ini didirikan oleh Maharaja Tarusbawa pada sekitar abad-8 M. Nama kratonnya, yang terdiri dari lima bangunan, menurut Saleh Danasasmita, Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Tarusbawa memerintah antara 669 M – 723 M. Batas kerajaan saat itu adalah seluruh wilayah di sebelah barat Ci Tarum. Sementara sebelah timur Ci Tarum berada dalam kekuasaan Kerajaan Galuh.

BOJONGGALUH
Setelah putri Tarusbawa menikah dengan pewaris tahta Kerajaan Galuh, Sanjaya (723 M – 732 M), kedua kerajaan ini bergabung dan ibukota kerajaan Sunda dipindahkan ke Galuh (Bojonggaluh, dekat Ciamis). Hingga tahta dilanjutkan oleh putra Sanjaya, Rahiyang Tamperan ((732 M – 739 M), pusat Kerajaan Sunda masih berada di sini. Baru setelah putra Tamperan, Rahiyang Banga (739 M – 766 M) menjadi raja, pusat kerajaan dipindahkan lagi ke Pakuan Pajajaran. Pada masa ini batas wilayah kerajaan Sunda adalah seluruh wilayah di sebelah barat Kali Pamali.

KAWALI
Pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kancana (1475 M – 1482 M), pusat pemerintahan kerajaan berada di kraton Surawisesa di Kawali (dekat Ciamis). Lalu pada masa Sri Baduga Maharaja (1474 M – 1513 M), pusat pemerintahan kembali pindah ke Pakuan Pajajaran hingga keruntuhan kerajaan tersebut akibat serangan tentara Banten (1579 M).

SUMEDANG LARANG
Dalam ketiadaan pemerintahan ini muncul Geusan Ulun yang dengan dukungan empat bersaudara bekas panglima perang tentara Pajajaran dinobatkan sebagai penguasa baru. Masing2 panglima itu adalah Embah Jayaperkosa, Embah Nanggeran, Embah Kondanghapa, dan Embah Terong Peot. Nama kerajaan baru itu adalah Sumedang Larang dengan ibukota di Kutamaya. Batas wilayah kekuasaannya adalah Kali Cisadane di sebelah barat dan Kali Pamali di sebelah timur. Prabu Geusan Ulun memerintah antara 1580 M – 1608 M.

Continue reading

Bandoeng 1918 – Bagian 2

Bagaimana pertanyaan ini: Dimanakah Insitut Teknik Negri harus dibangun? Dapat dijawab selain: di Bandoeng. Disamping pertanyaan ini, pendapat Tillema, ahli kesehatan di pesisir Jawa yang kenal betul kota Bandoeng juga penting. Tillema: “Tiap orang yang pernah tinggal dan bekerja di kota-kota pesisir yang sangat panas dan tidak sehat itu pasti tahu bahwa bekerja di tempat sejuk dengan sedikit nyamuk lebih menarik! Setiap kepala bagian juga tahu bagaimana pegawainya banyak yang sakit tiap tahun. Jumlah pegawai yang sakit tiap hari di pesisir itu banyak. Depresi, malaria dan epidemi lainnya membawa pengaruh buruk kinerja perusahaan dan membuat para manager putus asa.”

“Desain Institut Teknik itu harus di tempat yang dosen dan mahasiswanya dapat bekerja dan belajar dengan nyaman.”

Foto 12

Vergelijkende temperatuurschaal  Batavia – Bandoeng.

Vergelijkende temperatuurschaal Batavia – Bandoeng.

“Di Hindia Belanda hanya ada sedikit kota yang memenuhi persyaratan diatas. Batavia dan Surabaya bisa langsung dicoret sebagai pilihan. Tempat tinggal saya yang lama, Semarang juga menarik untuk tempat tinggal dengan gunungnya tetapi tidak memenuhi syarat lainnya seperti Bandoeng. Dengan berat hati dan sejujurnya, saya ini yang merasa seperti orang Semarang asli, tidak dapat mengusulkan Semarang menjadi lokasi insitut ini. Hanya Bandoeng, dan Bandoeng saja, yang memenuhi syarat dan kebutuhan untuk kesehatan dan lingkungan.”

Continue reading

Bandoeng 1918 – Bagian 1

Berikut ini adalah sebuah brosur berjudul “Bandoeng; Kota di Dataran Tinggi” yang ditulis oleh ir. R.A. van Sandick (1855 – 1933) pada tahun 1918. Van Sandick ikut aktif dalam rencana pendirian Techinische Hoogeschool van Bandoeng (ITB) tahun 1920.

Brosur berbahasa Belanda ini berasal dari arsip keluarga van Sandick dan dipublikasikan di situs2 internet. Publikasi dan penerjemahan di blog ini belum mendapatkan izin resmi dari pihak keluarga yang sudah kami hubungi sejak beberapa waktu lalu. Namun bila kemudian ada pihak2 yang berkeberatan, kami bersedia menghapus posting ini.
Terima kasih.

Untuk keperluan blog ini tulisan kami bagi dua dengan judul: Bandoeng 1918 – Bagian 1 dan Bandoeng 1918 – Bagian 2.
Penerjemahan teks oleh @yoyen Lorraine Riva
Disunting seperlunya oleh @mooibandoeng

Pages from Bandoeng 1918 - Archief van R.A. van Sandick

Bandoeng 1918 – Bagian 1
Kota di Dataran Tinggi
Diterbitkan oleh komisi aksi – Bandoeng – Oktober 1918

Continue reading

Prasasti Raja Thailand di Curug Dago

Melanjutkan kisah tentang Chulalongkorn, pada bagian ini saya akan ringkaskan perjalanannya ke Pulau Jawa, terutama pada bagian kunjungan ke Priangan. Sebelumnya, saya kutipkan beberapa paragraf dari buku Wisata Bumi Cekungan Bandung (Budi Brahmantyo & T. Bachtiar, Truedee Pustaka Sejati, Bandung, 2009) yang berkaitan dengan jejak Raja Thailand tersebut di Bandung. Bagian ini dari halaman 116-117 di bagian dengan judul tulisan “Artefak di Ci Kapundung: Dago Pakar dan Prasasti Thai di Curug Dago”. Di situ tertulis:

Inskripsinya berbunyi: Coporo 34 Ra Sok 120, jika dipanjangkan berarti, Chalacomklao Paramintara = Chulalongkorn (gelar paduka raja), 34, Zaman Ratanakosin 120. Prasasti ini kemudian diinterpretasikan sebagai berikut: “Raja Rama V berkunjung ke Bandung saat berumur 34 tahun, sebagai peringatan ibukota Kerajaan Thai Ratanakosin ke-120”. Kerajaan Thai diketahui berdiri pada tahun 1782. Jika demikian, kunjungannya ke Curug Dago adalah pada tahun 1902. Ukiran lain pada batu itu adalah berupa bintang segilima dengan inskripsi berbunyi: Vachira Wudha.

Namun jika melihat biografi singkat Raja Rama V, penafsiran 34 sebagai umur sang raja saat berkunjung ke Bandung, ternyata tidak tepat. Dengan asumsi dia lahir pada 20 September 1853 (wafat pada 23 Oktober 1910 di usia 57), maka pada 1902, usia sang raja seharusnya adalah 49.

Sementara itu pada batu kedua, terdapat tulisan dalam huruf Thailand juga, yang diukir oleh sang penerus, yaitu Raja Rama VII. Inskripsinya berbunyi: Poporo Bu Sok 2472. Artinya: Prajatipok Paramintara, Tahun Budha 2472 (atau tahun 1929 M). Prasasti tersebut menjadi acara napak tilas sang cucu terhadap kakeknya ke Curug Dago, 27 tahun kemudian.

Cuplikan halaman buku Wisata Bumi Cekungan Bandung.

Cuplikan halaman buku Wisata Bumi Cekungan Bandung.

Lalu, pada halaman 119 ada tulisan sebagai berikut:

Di tahun-tahun itulah, tepatnya pada tahun 1902, Rama V berkunjung ke Indonesia dan mampir ke Bandung. Mungkin pada saat itu, Rama V mendapat informasi mengenai keindahan alam tatar Priangan, sehingga menyempatkan datang ke Bandung yang saat itu pastinya masih sangat lengang. Rama V mungkin juga bercerita pada cucunya mengenai keindahan Bandung sehingga kemudian sang cucu, Rama VII, menapaktilasi kunjungan kakeknya itu. Bahkan Rama VII sempat membuat taman di kawasan Jl. Cipaganti berikut villanya. Jika kemudian mengunjungi Curug Dago, bisa jadi karena air terjun ini merupakan obyek alam terdekat di sekitaran Bandung, yang tentunya saat itu masih berair bening dan berpanorama indah.

P1310113

Dari tulisan bagian pertama dibuat sebuah hitungan berdasarkan inskripsi pada batu di Curug Dago. Hasilnya menyimpulkan angka tahun 1902 sebagai tahun kunjungan Raja Rama V ke Bandung. Dalam buku karya Imtip Pattajoti[1] diceritakan bahwa sama seperti kunjungan2 tedahulu, perjalanan Raja Rama V selalu dicatat dan kemudian dibukukan. Seperti sudah dikemukakan dalam tulisan sebelumnya, Rama V dua kali mampir ke kota Bandung dalam perjalanannya ke Pulau Jawa, masing2 tahun 1896 dan 1901.

Chulalongkorn_crowned

Perjalanan tahun 1901 dicatat oleh putrinya yang juga ditugasi sebagai sekretaris pribadi sang raja, yaitu Putri Suddhadibya Ratana (1877-1922). Catatan2 ini kemudian dibuat menjadi dua buku yang diterbitkan pada tahun 1923. Masing2 buku itu: 1) A Diary of the Last Journey to Java in 1901 by H.M. King Chulalongkorn, dan 2) The Official Dispatches of His Majesty’s Daily Activities to the Public of Bangkok, Recorded by Prince Sommot Amornpan and Printed in the Government Gazette.

Dari judul buku itu sudah dijelaskan bahwa tahun kunjungan terakhirnya ke Bandung adalah 1901. Keseluruhan perjalanan berlangsung dari 5 Mei 1901 sampai 24 Juli 1901. Saya tidak tahu bagaimana menginterpretasikan angka 120 dan 34 pada prasasti pertama, namun bila angka tahunnya adalah 1902, memang akan lebih mudah, misalnya tahun Rattanakosin ke-120 yang bila dihitung sejak 1782 akan mendapatkan angka tahun 1902. Begitu pula angka 34 bisa mendapatkan keterangan masa kepemimpinannya sebagai Raja Siam sejak dinobatkan pada tahun 1868, hasilnya akan sama, angka tahun 1902.

Piagam yang dipajang dalam cungkup prasasti. Tertulis: Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand mengunjungi Curug Dago pertama kali pada tanggal 19 Juni B.E. 2439 (A.D. 1896). Dalam kunjungannya yang kedua kali pada tanggal 6 Juni B.E. 2444 (A.D. 1901), Baginda menorehkan parafnya yang dilengkapi dengan tahun Rattanakosin (Bangkok) Era 120 di atas batu.

Piagam yang dipajang dalam cungkup prasasti.
Tertulis: Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand mengunjungi Curug Dago pertama kali pada tanggal 19 Juni B.E. 2439 (A.D. 1896).
Dalam kunjungannya yang kedua kali pada tanggal 6 Juni B.E. 2444 (A.D. 1901), Baginda menorehkan parafnya yang dilengkapi dengan tahun Rattanakosin (Bangkok) Era 120 di atas batu.

Yang cukup jelas, ada kesalahan keterangan dalam paragraf berikutnya yang mengatakan bahwa Rama VII adalah cucu Raja Rama V. Setelah meninggalnya Rama V dan tahta kerajaan dilanjutkan oleh Rama VI atau Vajiravudh (1910-1925). Vajiravudh adalah anak Chulalongkorn dari istrinya yang bernama Saovabha. Vajiravudh memerintah Siam sebagai pemuda lajang. Dia baru menemukan calon permaisurinya, Indrasakdi Sachi, pada tahun 1920. Bahkan, Vajiravudh baru mendapatkan seorang anak perempuan dari selirnya, Consort Suvadhana, hanya dua jam sebelum kematiannya karena sakit pada tanggal 24 November 1925.

Prajadhipok's_coronation_records_-_001

Sebelum kematiannya, Vajiravudh sempat mengumumkan bahwa bila anak yang dikandung istrinya laki2, maka tahta kerajaan akan jatuh kepada sang anak, namun bila perempuan, maka tahta kerajaan akan diberikan kepada Prajadiphok, saudara laki2nya. Kemudian ternyata anaknya perempuan dan Prajadiphok akhirnya menerima tahta kerajaan sebagai Rama VII. Prajadiphok memerintah di Kerajaan Siam antara 1925 sampai 1935.

Vajiravudh memiliki empat orang istri, dan seorang putri. Sementara Prajadiphok yang menghapuskan sistem poligami hanya memiliki seorang istri tanpa membuahkan keturunan.


[1] “Journeys to Java by a Siamese King” – Imtip Pattajoti Suharto (2001)

Nama Tumbuhan Jadi Nama Jalan/Daerah

Salam

Daun Salam. 1933

Hari ini melalui twitter saya bikin permainan mengumpulkan nama-nama tumbuhan yang dijadikan nama kawasan atau nama jalan di Kota Bandung.
Ya selain bentukan alam seperti bojong, ranca, leuwi, dll, ada banyak juga nama tumbuhan yang saat ini sangat populer sebagai nama tempat sehingga asal nama aslinya yang berupa tumbuhan sudah kurang dikenali lagi.
Sebagai pembuka dan pemancing, saya mengajukan nama2: Binong, Kopo, Biru, Bihbul, Kapayang, dan Kapundung, serta beberapa nama daerah dengan kebon seperti Kebon Kalapa atau Kebon Kawung.

Kepayang

Kepayang. 1933.
Juga dijadikan nama sungai buatan pada masa Bupati Martanagara.
Sungai2 ini mengalir dan mengairi sejumlah taman di pusat kota.

Continue reading

Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑