Irfan Pradana
Selama tiga tahun belakangan, saya kerap diminta tampil dalam pertunjukan tahunan musik tribute band internasional. Saya ditugasi mengisi gitar untuk memainkan lagu-lagu band asal Amerika Serikat, The Strokes. Acara yang saya ikuti biasanya menampilkan tribute untuk beberapa band sekaligus, misalnya Arctic Monkeys, Blur, atau Oasis. Kebanyakan band yang tenar di era 90-an.
Pertunjukan tersebut biasanya digelar di cafe atau bar. Sekali waktu kami berkesempatan menggung di Braga Sky yang di zaman kolonial dulu merupakan sebuah bioskop. Saat ini Braga Sky beralih fungsi menjadi bar. Sebelum naik ke atas panggung, saya malah sibuk ke sana kemari memperhatikan interior gedung ini, barangkali menemukan ornamen atau benda kuno di sana.
Bisa jadi karena energi tempatnya, bukannya menghafalkan bagan-bagan melodi gitar, saat itu pikiran saya malah disibukkan dengan pertanyaan, “Apakah di Bandung baheula ada pertunjukan musik tribute seperti sekarang?”
Meskipun pertunjukannya berjalan mulus, pertanyaan itu lama sekali mengendap di kepala, hingga suatu hari Komunitas Aleut kedatangan dosen dari prodi Hubungan Internasional dari salah satu kampus di Bandung yang menjajagi materi sejarah Kota Bandung dalam perspektif ilmu Hubungan Internasional.
Kami lantas membuka beberapa literatur dan arsip lama. Beberapa kawan menemukan data tentang Bandung — di masa kolonial — yang pernah menjadi tuan rumah bagi event internasional, seperti kongres atau konferensi. Namun ada satu temuan yang menarik perhatian saya, yakni Bandoengsche Kunstkring.
Nama ini muncul dalam event Konferensi Ilmu Pengetahuan Pasifik Keempat, tahun 1929. Bandoengsche Kunstkring bertindak sebagai panitia untuk acara yang digelar di Museum Geologi ini. Seperti keran mampet yang berhasil terbuka, temuan ini mengalirkan kami ke data-data sejarah berikutnya.
Sesuai namanya, Bandoeng Kunstkring atau Lingkar Seni Bandung adalah sebuah perkumpulan warga pecinta seni. Organisasi ini didirikan pada tahun 1905, satu tahun sebelum Bandung ditetapkan sebagai Gemeente. Sederet nama besar pernah menjadi pengurus dan donatur di perkumpulan ini, antara lain P. A. J. Moojen, B. Coops, kakak beradik Schoemaker, R. A. Kerkhoven, dan A. Bertling.

Meski disebut sebagai Lingkar Seni, pada perjalanannya, Bandoengsche Kunstkring melebarkan sayapnya untuk mengurusi bidang lain. Contohnya adalah Konferensi Ilmu Pengetahuan Pasifik di atas. Namun bagi saya, perjumpaan paling menarik dengan literatur Bandoengsche Kunstkring adalah perannya dalam memajukan apresiasi seni di Kota Bandung.
Misalnya yang satu ini. Sejak tahun 1926 mereka berupaya mendatangkan seorang balerina tersohor dunia kala itu, Anna Pavlova. Anna merupakan balerina asal Rusia yang berhasil memopulerkan seni pertunjukan ballet ke seluruh dunia dengan menggelar tur dari satu negara ke negara lain. Anna dan kelompok seninya mempelopori konsep tur ballet pada saat itu. Hingga akhirnya pada 1929 Anna mampir ke Bandung dan menggelar pertunjukan di Societeit Concordia.

Temuan ini memantik kami untuk terus mencari informasi seputar Bandoeng Kunstkring. Beberapa dokumen yang berkaitan dengannya dapat dihimpun, antara lain booklet pertunjukan musik tribute untuk para komposer elit dunia yang pernah digelar di Bandung antara tahun 1920-an sampai 1930-an.
Booklet ini berisikan biografi singkat sang komposer, ditambah lirik dan komposisi lagu yang akan dimainkan. Nama-nama komposer yang karyanya pernah ditampilkan antara lain, Wolfgang Amadeus Mozart, Johann Sebastian Bach, dan Ludwig van Beethoven.
Booklet tersebut dibagikan kepada warga sebelum pertunjukan digelar. Saya coba bagikan beberapa potongan booklet yang berhasil dihimpun.
Tribute untuk Wolfgang Amadeus Mozart dan Johann Sebastian Bach
Konser ini diadakan pada bulan September 1929. Nampak Bandoengsche Kunstkring begitu serius dalam menyajikan pertunjukan ini. Para penonton sebelumnya diberi sebuah booklet berisikan biografi singkat Mozart lengkap dengan lirik lagu yang akan dibawakan.


Cover konser pemuda keempat didedikasikan untuk Wolfgang Amadeus Mozart (Bandoengsche Kunstkring)


Booklet konser pemuda kedelapan didedikasikan untuk Johann Sebastian Bach (Bandoengsche Kunstkring)
Pertunjukan ini digelar pada tanggal 31 Maret 1931. Kali ini Bandoengsche Kunstkring menyasar kelompok yang lebih spesifik, yakni para siswa sekolah. Para penampil yang turut serta dalam konser instrumental ini antara lain:
- Ny. Johanna van der Wissel – piano
- A. F. Binkhorst – flute
- Ir. Jac. P. Thijsse Jr. – biola
Sedikit kisah tentang pianis Johanna van der Wissel yang disebut di atas. Ketika menulis artikel ini saya menemukan namanya muncul di situs Oorlogsslachtoffer, yakni sebuah laman yang memuat data para korban Perang Dunia II di Hindia Belanda.
Dari informasi itu diketahui bahwa Johanna van der Wissel ternyata seorang pianis terkemuka yang lama malang melintang berkarir di Eropa dan Hindia Belanda. Ia pindah ke Hindia Belanda pada tahun 1895 dan selama itu menghabiskan hidupnya untuk mengembangkan seni piano di Hindia Belanda. Johanna tercatat rutin menampilkan karya Bach hingga tahun 1935.
Pada saat Jepang datang, Johanna ditangkap dan ditahan di Kamp Banceuy hingga meninggal dunia pada 10 April 1945. Jasadnya kemudian dimakamkan di pemakaman Pandu.


Potret Johanna van der Wissel 1929 (Kiri: Sophie Drinker Institut. Kanan: Oorlogsslachtoffer)
Tribute untuk Ludwig van Beethoven
Pementasan ini dilangsungkan pada bulan Januari 1931. Saya merasa perlu memasukkan booklet ini karena adanya nama kahot yang turut berpartisipasi dalam acara ini. Perhatikan nama terakhir di susunan komite acara. Ya, ada nama Jaap Kunst di sana terlibat sebagai komite acara.


Cover Booklet dan Susunan Komite Acara.

Bagi pemerhati sejarah musik tanah air agaknya tidak asing dengan nama ini. Ia adalah seorang etnomusikolog ternama yang dikenal sebagai salah satu pelopor dalam bidang etnomusikologi, sebuah studi musik dalam konteks budaya dan sosial. Jaap Kunst menghabiskan banyak waktu di Hindia Belanda untuk mempelajari musik gamelan dan musik tradisional lainnya.
Hasil penelitiannya ia tuangkan dalam buku dua jilid berjudul “Music in Java”, yang menjadi referensi penting dalam studi musik tradisional Jawa. Kunst juga yang mempopulerkan istilah “etnomusikologi”, hingga kemudian menjadi nama resmi untuk bidang akademik ini.
Begitu besar namanya di bidang musik. Hingga pada tahun 2019 lalu, Museum Nasional menggelar pameran 100 tahun Kunst untuk mengenang 100 tahun perjalanan karirnya di Hindia Belanda. Acara itu memamerkan koleksi pemberian Kunst pada tahun 1936.
Tulisan ini hanya mengulas serba sedikit saja – dari sekian banyak – sepak terjang Bandoengsche Kunstkring dalam pemajuan kesenian di Kota Bandung. Seperti sempat disinggung pada awal tulisan bahwa dari waktu ke waktu Bandoengsche Kunstkring mengalami kemajuan yang pesat. Mereka tak hanya menjamah dunia kesenian, namun turut terjun dalam pemajuan ilmu pengetahuan secara umum. Masih banyak dokumen tentangnya yang menunggu untuk diterjemahkan dan dikaji sebagai bahan materi diskursus akan arah pemajuan kebudayaan Bandung ke depan.
Mungkin pembaca pernah atau sering mendengar pernyataan kalau Bandung dianggap sebagai barometer kesenian di Indonesia? Sepertinya pernyataan itu bisa kita cari akar peristiwanya dengan secara serius mempelajari perjalanan Bandoengsche Kunstkring. ***