Oleh : Jana Silniodi

Apa yang biasa kamu lakukan di Minggu pagi? Warga Bandung di minggu pagi biasanya ramai berbelanja di Pasar kaget Gasibu, dan  sekarang  Bandung  punya satu kemeriahan lain yaitu  program car free day yang diresmikan pada 09 Mei 2010.  Sepanjang Jalan dago  dari perempatan simpang dago hingga cikapayang sengaja ditutup  untuk kendaraan bermotor dari pukul 06.00 WIB –  10.00 WIB.

 

Jalanan dago yang dipenuhi factory outlet dan  biasanya ramai  oleh kendaraan, selama empat jam itu dipenuhi berbagai aktivitas warga  seperti senam, bersepeda, sepatu roda, atau sekedar jalan santai.  Semoga dengan waktu singkat tersebut setiap minggu  mengingatkan kita akan pentingnya olah raga dan mengurangi ketergantungan kita kepada kendaraan bermotor sebagai penunjang aktivitas.

 

Jika kamu belum punya aktivitas di hari Minggu, ikut  bergabung saja  dengan komunitas Aleut!. Komunitas ini  menjadikan kaki kita menjadi alat yang sangat berguna dan memanfaatkan mereka secara maksimal walaupun terkadang overlimit saking bersemangatnya.   Ya, berjalan kaki   menjadi aktivitas yang jarang kita lakukan terutama bagi mereka yang memiliki dan  terbiasa memakai motor. Didukung dengan mudahnya mendapatkan kredit dan banyaknya pilihan varian terbaru,   maka sim salabim jalanan Bandung penuh oleh kendaraan bermotor jenis ini.

 

Menjadi pejalan kaki di Bandung membutuhkan nyali besar, karena para pejalan kaki di kota ini terkadang harus rela ‘dipaksa’ turun ke jalan raya karena banyak  lahan trotoar yang berubah menjadi lapak Pedagang Kaki Lima. Selain itu beberapa waktu lalu di jalan dago, pejalan kaki dibuat “bermusuhan” dengan pengayuh sepeda karena pembuatan jalur khusus sepeda memakai area trotoar yang pada hak-nya adalah milik pejalan kaki. Cukup tentang pejalan kaki dan masalahnya, saya akan bercerita mengenai para pejalan kaki dan kenikmatannya.

 

Minggu 23 januari 2011, seperti yang rutin dilakukan oleh Aleut!, kali ini kami akan ngaleut dengan jalur Dago – Gunung Batu. Titik awal perjalanan kami yaitu terminal dago, di tempat ini biasanya juga dijadikan titik awal istirahat bagi beberapa kelompok pengayuh sepeda  yang mengambil finish di Warung Bandrek  atau Taman Hutan Raya Juanda.

Dari terminal dago, jalur yang  kami tempuh selanjutnya menuju jalan Dago Giri, jalan raya di daerah ini tidak memiliki trotoar dan terpaksa para pejalan seperti kami harus mengambil jalur aspal dan rebutan jalur dengan para pengayuh sepeda serta pengendara kendaraan bermotor. Dari terminal  Dago – Dago Giri, kondisi medan datar dan menurun

 

Jalanan mulai menanjak setelah melewati jembatan yang menjadi batas administratif Kota Bandung dan Kabupaten Bandung Barat, rute selanjutnya adalah jalan komplek  di perumahan dosen ITB blok M-L. Jika sebelumnya kami menempuh jalur aspal yang lebar serta pemukiman, dari ujung komplek ini jalur perjalanan mulai berubah menjadi rentetan anak tangga,  jalan setapak  dan area kebun warga seperti ketela pohon, jeruk, dan tomat.

 

Kami beristirahat sembari membeli perbekalan di daerah Desa Pager Sari, di sini terasa sekali nuansa keramahan warga pedesaaan saat  teman saya Asep meminta air untuk mengisi ulang air minum.  Si ibu tersebut  bahkan menawarkan untuk memasakkan air lagi karena satu teko  telah kami habiskan, wah kalo di kota tak ada yang gratis, padahal tempat ini hanya berjarak beberapa kilometer saja dari kota bandung.

 

Dari desa Pager Sari kami mengambil jalur ke kiri mengikuti jalan setapak ke arah perkebunan warga. Medan yang dilalui menjadi sangat variatif mulai dari ladang, punggungan, lembah, dan  hutan pinus,   Setelah melewati beberapa punggungan ahirnya kami menemui jalan raya, karena dari desa Pager Sari kami tidak mengikuti jalur setapak “normal” tetapi potong kompas dengan tetap berada di punggungan dengan patokan arah yaitu Gunung Payung.

 

Akhirnya setelah perjalanan yang cukup menguras keringat kami tiba di Gunung Batu, dari tempat ini dapat kita lihat kota bandung berada di sebelah selatan dengan latar belakang Gunung Malabar, jika kita alihkan pandangan ke arah Barat laut dan Utara terlihat jelas bederet Gunung Burangrang, Gunung Tangkuban Parahu, Bukit Jayagiri, dan Gunung Putri.  Di sebelah Timur dan Timur Laut terlihat Gunung Bukit Tunggul, Gunung Palasari, Gunung Kasur dan Gunung Manglayang.Tradisi aleut! ialah di akhir perjalanan kita akan berbagi cerita tentang perjalanan yang dilakukan, dari sesi ini para pegiat senantiasa  berbagi  pelajaran,  pengalaman  dan  kisah dengan sisi pandang yang lain .

 

Primitif VS Modern

Menurut sudrajat Moko ada tiga tahapan manusia dalam hubungan dengan alam yaitu manusia primitive, manusia pramodern, dan manusia modern. Manusia primitif dikuasai oleh alam, hidupnya diatur menurut dan menyesuaikan diri dengan tingkah laku alam. Manusia pramodern menunjukan keserasian dan harmoni dengan alam, baik dalam kehidupan material maupun spiritual. Selanjutnya manusia menjadi modern ketika dia telah memisahkan diri secara sadar dari alam, sehingga dia dapat menundukkan alam lalu menguasai alam dan memanfaatkannya secara bebas.

 

Orang yang hidup di perkotaan lebih sulit untuk menjaga lingkungan mereka agar terjaga kelestariannya, karena untuk mengimbangi perubahan sosial – ekonomi. Perubahan tersebut tentunya berpengaruh  secara langsung juga terhadap lingkungan. Misalnya di Kota Bandung, lahan-lahan  yang berfungsi sebagai sabuk hijau terkadang harus rela tergantikan oleh perkembangan kebutuhan pelebaran jalan  atau tergeser karena adanya pembangunan pusat berbelanjaan, sarana umum ataupun permukiman.

 

Mari kita renungkan kembali, apakah nilai ekonomi yang didapatkan sebanding dengan perubahan lingkungan tersebut. Permasalahan polusi udara, kemacetan,dan ketersediaaan air bersih tentunya akan menimbulkan permasalahan baru yang penyelesainnya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Pohon-pohon yang berfungsi sebagai peneduh dan penangkap polusi udara yang kita gantikan oleh pilar-pilar tembok lebih bernilai tinggi mana?

 

Dapat dibayangkan di kehidupan untuk generasi selanjutnya, kita hanya menyisakan cerita tentang tentang keberadaan pohon dan hutan dengan kalimat “nak di sini dulu pernah ada pohon xxx” yang wujudnya sudah jarang ditemukan lagi karena langka atau bahkan musnah. Program-program penanaman pohon dengan angka yang fastastis, sekian milyar, juta, ratus ribu, dan puluhan tidak akan ada artinya jika tanpa program berkelanjutan seperti perawatan. Karena secara alamiah  pertumbuhan itu  membutuhkan proses, tak ada yang namanya pohon instan  dan walaupun ada hasilnya tentu tidak akan maksimal secara kualitas.

 

Kita terkadang kembali mengingat lingkungan dalam upacara-upacara yang terkesan hanya seremonial seperti Hari Bumi, Lingkungan Hidup, Hari Air, dsb. Tentunya lebih baik jika kegiatan itu kita lakukan setiap hari, tak usahlah menunggu waktu tepat yang besar, mari kita mulai dari kegiatan sederhana dan rutin. Kesempatan itu kita yang buat dan tak ada kata terlambat,  kita mulai dari kita sendiri dari hal kecil yang dampaknya jika dilakukan oleh setiap orang akan menjadi sangat berarti, membuang sampah pada tempatnya, tentunya kita tahu bahwa sungai atau saluran air bukanlah tong sampah. Merawat pohon dengan tidak melukainya seperti memaku dan menjadikannya tempat media iklan. Menghemat pemakain listrik dapat dilakukan dengan mencabut charger handphone yang tidak terpakai. Mengurangi pemakaian kantong plastik.

 

Kita sering menyebut istilah “bencana alam” apakah benar alam memberi bencana kepada kita, karena Alam memiliki pola hidupnya, dia bersifat netral. Manusia sebagai mahluk yang berpikir tentu harus dapat mengatur pola hidupnya yang dengan perkembangan teknologi modern pun tentunya  kita masih dapat menyelaraskan hidup dengan alam.

 

* Jana Silniodi, penyuka kegiatan alam bebas

Sumber :

Wiratno, Daru Indriyo, Ahmad Syarifudin dan Ani Kartikasari, 2004. Berkaca di Cermin Retak, Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional,  FOReST Press, The Gibbon Foundation Indonesia, Departemen Kehutanan, PILI – NGO Movement