
Oleh : Mutiara Intan Permata
Mendengar kata Cina akan terbesit langsung dalam benak banyak orang termasuk penulis tentang karakter fisik orang cina yang tidak lain adalah berkulit kuning, mata sipit, dan berambut hitam lurus. selanjutnya hal itu diikuti dengan kenyataan bahwa bangsa cina unggul dalam bidang perekonomian, anda tentunya pernah mendengar lelucon lokal yang menyatakan “orang cina mah palalinter dagang nu matak beunghar (orang cina itu pintar dagang, sehingga mereka kaya)”, fakta unik tersebut membuat penulis melontarkan pertanyaan sederhana “AADC (ada apa dengan cina?)”
Sampai tanggal 19 februari 2011 penulis masih saja tidak memiliki ide yang cukup koheren dan signifikan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Semua praduga dan hipotesis masih terletak di area abu-abu tanpa memiliki kejelasan untuk digali. Sampai keesokan paginya penulis yang kebetulan berdomisili di bandung ini berinisiatif meluangkan waktu untuk ikut serta ngaleut bersama rekan-rekan Komunitas Aleut, mulai dari Gedung Konferensi Asia Afrika hingga titik akhir di Vihara Hiap Thian Kiong. Tentunya banyak sekali kepingan puzzle yang akhirnya terkumpul dari celotehan-celotehan para pegiat Aleut yang datang hari ini (20 februari 2011). Salah satunya adalah informasi mengenai pecinan atau pemukiman cina yang terletak di kota Bandung, pecinan ternyata merupakan perkampungan cina yang sejak jaman walanda telah dikonstruksi sosial dengan tujuan untuk menekan kekuatan masyarakat Cina tersebut sehingga mampu diatur dengan mudah oleh pihak Kolonis Belanda. Dan yang lebih mengejutkan lagi, pihak walanda sendiri dengan briliannya telah menerapkan sistem tersebut bukan hanya terhadap masyarakat cina (Tiong Hoa) namun juga kepada masyarakat timur asing yang diisi oleh warga Arab, India, dan ras berwarna lainnya. Ide yang sangat luar biasa bukan? Mengatur sistem sosial dengan memisahkan masyarakat berdasarkan rasnya masing-masing, keuntungan dari sistem ini selain untuk mempermudah control, namun juga untuk mengisolasi masyarakat tersebut dari etnis lainnya, karena jika terjadi proses pembauran antara masyarakat etnis satu dengan etnis lainnya, dikhawatirkan akan menimbulkan rasa sepenanggungan yang muncul akibat kesamaan terjajah oleh pihak walanda. Jika sudah begitu, akan sulit sekali bukan mengatasi gelombang pemberontakan terhadap penjajahan walanda?

Selanjutnya fakta bahwa masyarakat Cina datang ke Parijs van Java melalui perniagaan merupakan hal yang tak terbantahkan, maka dengan cerdik pemerintah walanda memisahkan keberadaan mereka dari pribumi dan masyarakat timur asing, melokalisasi mereka di daerah-daerah konsentrasi (khusus untuk Bandung, ini terbentang di sekitar jalan Banceuy sampai jalan klenteng), padahal jelas-jelas mereka telah membantu pemerintah walanda dalam bidang perekonomian. Sekali lagi fakta sejarah menunjukan bahwa masyarakat Cina telah unggul di bidang ekonomi sejak dahulu kala!

Hal lainnya yang sangat identik dengan masyarakat Cina adalah kepercayaan mereka terhadap dewa-dewa dan dunia setelah kematian, temasuk proses reinkarnasi. Dimana hal tersebut telah diatur dalam ketetapan yang mereka yakini berputar layaknya roda. Namun kepercayaan masyarakat Cina di Indonesia telah mengalami proses sinkreitisme dengan Budha. Ini bukanlah tanpa sebab, hal ini terjadi tidak lain karena kebijakan Orde baru dengan jelas melarang segala jenis aktivitas berbau ‘Cina’ yang sebagian orang yakini sebagai indikasi ‘cina phobia’. Inipun menimbulkan polemik berkepanjangan, sebab kebijakan tersebut menimbulkan Gap antara pribumi dan masyarakat keturunan Cina. Dampak lainnya adalah kepercayaan mereka pun (re: konghucu) dilarang. Dalam hal ini, Budha sebagai salah satu dari Agama yang diakui di Indonesia memberikan ‘sanctuary’ atau perlindungan berupa keleluasaan kepada masyarakat Cina untuk beribadah di dalam Vihara (tempat peribadatan orang Budha). Sisa-sisa sinkreitisme masih terlihat jelas sampai saat ini,jika tidak percaya! Coba tengoklah Klenteng atau Vihara di Indonesia, contohnya klenteng Hiap Thian Kiong di Bandung yang terletak di Jalan klenteng. Ketika berkeliling seputaran klenteng tersebut jangan terkejut bila menemukan patung Bodhisatva (nama lain Sidharta Gautama) berada disana, itulah bukti nyata dari proses sinkreitisme antara Konghuchu dan Cina.
Sampai saat inipun sisa-sisa peninggalan masyarakat cina terdahulu di Parijs van Java masih terlihat jelas, sepanjang jalan banceuy, jalan klenteng, pun asia afrika, masih dijumpai rumah-rumah tua yang dihuni oleh orang Cina, dapat dipastikan pula bahwa mereka telah menghuni rumah tersebut dalam waktu lama dengan sistem herediter (turun temurun) dari sang leluhur. Sehingga ketika tradisi imlek dirayakan, maka dapat dipastikan daerah-daerah yang telah disebutkan tadi menjadi pusat perhelatan hari raya agung untuk masyarakat Cina tersebut. Mereka hidup rukun saling menghormati, menghargai tanah yang mereka pijak, dan mengaku bahwa mereka pun berkebangsaan Indonesia.
Dari sedikit penjelasan diatas dapat terlihat betapa jelasnya isu akan china phobia yang pernah ada atau bahkan masih ada sampai saat ini. Seperti telah dipaparkan sebelumnya, ini bisa jadi merupakan opini publik yang terbentuk berdasarkan konstruksi sosial yang dibuat secara politis. Namun tak perlu jauh-jauh menganalisa sampai ranah tersebut, karena yang diperlukan disini adalah kesadaran bahwa setiap masyarakat dari belahan dunia manapun memiliki karateristik yang luar biasa sehingga mampu membangun peradaban yang luar biasa pula, dan salah satunya adalah masyarakat Cina. Dengan etos kerja serta kearifan budaya yang mereka miliki, mereka mampu menjadi pemegang kendali perekonomian dimanapun mereka berada, ini menjawab pertanyaan ‘mengapa orang cina pintar dan pandai berdagang?. Dan di Bandung, fenomena tersebut telah ada sejak jaman kompeni dan antek-anteknya menjajah Indonesia, mungkin hal tersebut pun terjadi pula di belahan Nusantara lainnya.
Melihat kenyataan tersebut rasanya tak seorang pun boleh membangun kembali tembok penghalang antara pribumi dengan masyarakat Cina, bukankah kita sudah bebas dari belenggu penjajahan kompeni? Oleh karena bukalah cakrawala pikiran seluas-luasnya dan tanamkanlah sikap toleransi juga menghargai semua perbedaan yang ada. Dan satu lagi, setelah perjalanan aleut pecinan kali ini, tak ada salahnya jika kita mengadaptasi hal-hal baik yang telah ditunjukkan oleh masyarakat cina. Semoga perjalanan-perjalanan Aleut! berikutnya mampu memberikan pelajaran moral yang lebih baik lagi J
Sepertinya saya harus setuju dengan Anda