oleh : Asep Nendi R.

 

Sengaja saya terlambat memberikan ucapan selamat untuk para ibu di negeri ini, karena saya berharap menjadi orang terakhir yang memberikan ucapan selamat..

 

Yah, 22 Desember lalu, begitu pula setiap tahunnya, kita bersama-sama memperingati Hari Ibu. Hari kedua dalam setahun yang khusus kita peringati sama-sama untuk para Perempuan Indonesia. Memang tidak semewah peringatan Hari Kartini pada 21 April, dimana hampir di sekolah dasar para murid diharuskan untuk memakai pakaian adat dari berbagai daerah di Indonesia.

Muncul sebuah pertanyaan dalam diri ini tanpa mengecilkan peranan perempuan… “Kenapa Harus Ibu Pertiwi?” (teu nyambung, bae ah)…

He…. Berbahagialah wahai perempuan.

 

Perempuan Indonesia, demikian kiranya, telah menempuh tahapan yang panjang dalam memperjuangkan haknya sebagai perempuan dan sebagai anak bangsa. Tahapan kolonialisasi, dimana kesempatan untuk mendapat persamaan hak dalam pendidikan sukar didapatkan. Disisi lain norma dan tradisi feodal/konservatif yang berkembang menyulitkan untuk mengejar persamaan hak yang sama seperti para lelaki. Urusan wanita kala itu hanya sumur, dapur dan kasur. Pernikahan di usia yang sangat dini, poligami, kawin paksa seperti yang dialami Siti Nurbaya… Sampai kepada masa informasi dan teknologi, perempuan selalu saja menjadi objek dan subjek yang rumit dalam kehidupan berbangsa.

Bagaimana kabarnya dengan Pornoaksi, Seni?, Poligami, Pekerjaan.?

 

Semuanya masih saja menjadi komoditi yang laku di pasaran, sebagai objek yang mudah dipolitisir…

 

Sekarang hampir seabad setelah ide brilian Dewi Sartika dalam mendobrak norma-norma “kolot” yang berkembang di masyarakat, dimana beliaulah perintis dan pelopor bagi dunia pendidikan perempuan. Masalah persamaan hak

Marilah kita sedikit mengenang dan mengenal beberapa peristiwa yang berpengaruh dalam perjuangan hak-hak kaum perempuan.

 

 

 

 

“Dewi Sartika dan Sekolah Keutamaan Isteri”

Adalah seorang perempuan Sunda, kelahiran Cicalengka 4 Desember 1884. Putri dari Raden Somanagara yang meninggal dunia dalam pembuangan di Ternate, karena melawan Pemerintahan Kolonial. Beliau merupakan perintis bagi dunia pendidikan perempuan di negeri ini. Di daerah Jawa Tengah ketika itu R.A Kartini masih berangan-angan untuk memperjuangkan persamaan hak bagi perempuan. Jauh lebih maju, di Bandung Dewi Sartika telah mendirikan sebuah sekolah bagi anak-anak perempuan agar mereka memperoleh kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sekolah itu bernama “Sekolah Isteri” didirikan tahun 1904, terdiri dari dua kelas. Untuk ruangan belajar dipinjamlah sebagian ruangan Kepatihan Bandung. Muridnya mula-mula hanya 20 orang. Mereka diajari membaca, menulis, berhitung, mengaji, menjahit, merenda dan menyulam.

 

Sekolah itu terus berkembang dan mendapat perhatian dari masyarakat. Sampai-sampai ruangan Kepatihan Bandung tidak cukup menampung para murid. Karena itu sekolah dipindah ke lokasi yang lebih luas, dan pada tahun 1910 nama sekolah itu berganti menjadi “Sekolah Keutamaan Isteri”. Sejak tahun 1910, Sekolah Keutamaan Isteri menyebar luas di hampir seluruh wilayah Jawa Barat.

 

Perempuan Sunda kini tidak hanya lagi mengurusi sumur, dapur, kasur saja dalam rumah tangganya. Kini mereka jauh lebih terampil dan motekar, pengetahuan yang didapatkan disekolah dapat diaplikasikan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Pelajaran menjahit dan menyulam tentunya sangat efektif diberikan pada masanya.

 

 

 

“Pergerakan Perempuan”

Semenjak didirikannya perkumpulan Budi Utomo pada 20 Mei 1908, berbagai organisasi di berbagai bidang ikut dibentuk. Terutama organisasi berlandaskan Islam dan Nasionalisme. Hal ini secara langsung berimbas pada pembentukan Bagian Wanita dalam tiap-tiap tubuh organisasi, perempuan pada masa ini sudah mulai aktif dalam berbagai kegiatan keorganisasian.

 

Kesadaran ini difasilitasi oleh organisasi-organisasi tempat mereka bernaung, sehingga pada tahun 1912, sebuah Organisasi Wanita pertama muncul di Jakarta dengan nama “Putri Mardika”. Periwtiwa ini kemudian diikuti oleh beberapa organisasi lainnya, dan semakin menjamur di awal tahun 1920an. Organisasi-organisasi besar seperti; PKI, SI, Muhammadyah dan Sarekat Ambon mempunyai laskar-laskar wanita. Hal ini bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan terutama dalam pendidikan dan pernikahan.

 

Kongres PKI di Jakarta tanggal 7-10 Juli 1924 bahkan menyediakan satu hari penuh bagi wanita untuk merundingkan Gerakan Wanita Komunis, yang pada intinya mengisyaratkan kewajiban kaum wanita dalam perjuangannya menentang penjajah dan pemodal.

 

Beberapa pertemuan Bagian Wanita dalam tiap-tiap organisasi menjadi suatu hal yang biasa tatkala diadakan rapat-rapat organisasi. Wanita Sarekat Islam yang bernama Wanudiyo Utomo kemudian berubah menjadi Sarekat Perempuan Islam Indonesia, sebuah organisasi perempuan yang banyak menuntut persamaan hak wanita (pendidikan dan pernikahan).

 

 

 

“Kongres Perempuan Indonesia I 1928”

Menjelang tahun 1928 faham kebangsaan dalam tiap-tiap organisasi sudah mulai matang, begitu pula dengan arah pergerakan organisasi-organisasi di daerah. Puncaknya 28 Oktober 1928, tercetuslah sebuah peristiwa penting bagi negeri ini. Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda, yang menjadi dasar perjuangan perebutan kemerdekaan kelak.

 

2 bulan setelah Kongres Pemuda II, tepatnya 22-25 Desember 1928, Kongres Perempuan Indonesia I diadakan di Jogjakarta. Berbagai organisasi perempuan berkumpul dan bersatu untuk kemajuan bangsa, khususnya untuk kemajuan kaumnya.

 

Kongres ini menghasilkan Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia, dengan tujuan memberikan informasi dan sebagai sebuah forum komunikasi antar organisasi perempuan. Yang lebih penting lagi, dalam kongres ini dihasilkan 3 tuntutan yang ditujukan kepada Pemerintah Kolonial Belanda, intinya yaitu :

1.      Penambahan sekolah untuk anak-anak perempuan

2.      Pengajuan syarat bagi sebuah pernikahan, diberikannya taklik (janji dan syarat perceraian)

3.      peraturan diberikannya tunjangan untuk janda dan anak piatu pegawai pemerintahan.

 

Hari pertama dalam Kongres ini ditetapkan sebagai hari besar nasional “Hari Kebangkitan Perempuan”. (berdasarkan SK Presiden RI No.316/1959).

 

Selamat Hari Kebangkitan Perempuan Indonesia…!

 

Semangat kebangkitan perempuan hendaknya terus menginspirasi bangsa kita, baik itu kaum perempuan, kaum laki-laki, bahkan seorang banci sekalipun.

 

Terlampau kerdil nilai yang terkandung dalam perjuangan pergerakan perempuan, ketika hari kemarin diperingati sebagai Hari Ibu. Kita terlalu latah untuk ikut-ikutan memperingati Hari Ibu seperti yang mereka rayakan di Barat sana dengan nama “Mothers Day”.

 

Selamat Hari Kebangkitan Perempuan Indonesia….!

 

 

 

Sumber Bacaan :

1. Album Pahlawan Bangsa. PT. Mutiara Sumber Widya

2.  http://id.wikipedia.org/wiki/Hari_Ibu

3.  http://wartafeminis.wordpress.com/2008/03/04/kongres-perempuan-indonesia-sebuah-gerakan-perempuan-1928-1941-2/

4.  http://riekepitaloka.blogdetik.com/2008/12/22/22-desember-hari-kebangkitan-perempuan-indonesia-bukan-hari-ibu/