Oleh : Ridwan Hutagalung

Seni beluk adalah seni vokal tanpa iringan instrumen khas masyarakat Sunda yang sekarang ini sudah langka sekali ditemui. Sebarannya adalah wilayah agraris dan terutama di dataran-dataran tinggi, mulai dari Banten hingga Sumedang dan Tasikmalaya. Namun sayangnya sebaran yang luas ini tidak berarti bahwa seni beluk (mungkin juga seni tradisional lainnya) memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi perubahan zaman. Salah satu yang masih bertahan adalah beluk dari Batu Karut, Desa Lebakwangi, Banjaran.

Di Lebakwangi seni beluk masih cukup sering ditampilkan dalam upacara-upacara seperti yang berhubungan dengan kelahiran bayi. Penyajiannya biasa dilakukan di ruang tengah rumah dengan alas tikar. Penyaji beluk yang biasanya terdiri dari empat orang duduk bersila diapit keluarga tuan rumah dan membentuk pola lingkaran. Penyajian seperti ini terasa agak aneh buat saya mengingat “nyanyian” beluk yang banyak berbentuk lengkingan vokal. Lengkingan seperti ini memang akan terasa ingar-bingar bila dikumandangkan dalam ruangan tertutup seperti di rumah. Namun tampaknya sekarang hal ini sudah menjadi kelaziman pula.

Seni lengking vokal ini diperkirakan berasal dari tradisi bersawah-ladang sebagai media komunikasi antarpetani. Masyarakat Baduy dulu sering berteriak dengan nada mengesankan bila sedang berada dalam hutan atau ladang sorang diri. Teriakan yang bisa dilakukan sebagai pengusir sepi atau juga memberitahukan keberadaannya di dalam hutan. Konon bentuk nyanyian dengan nada-nada tinggi, mengalun dan meliuk-liuk adalah bagian dari ekspresi masyarakat ladang saat berkomunikasi dengan sesama komunitasnya yang mempunyai pola tinggal menetap namun saling berjauhan.

Seni beluk mirip dengan karinding dalam hal tidak termasuk kategori seni pertunjukan dan lebih bersifat hiburan personal, sarana menghibur diri, dan pengusir rasa sepi. Belakangan, kesenian ini lebih banyak dipakai untuk keperluan ritual seperti dalam syukuran 40 hari kelahiran bayi. Ada empat orang penyaji utama dengan peranan yang berbeda. Disebut penyaji utama karena sebetulnya hadirin juga diperbolehkan untuk turut serta menyajikannya. Empat peranan tersebut adalah 1) tukang ngilo atau juru ilo, 2) tukang ngajual, 3) tukang meuli, dan 4) tukang naekeun.

Tukang ngilo adalah pembaca syair secara naratif. Pembacaan dilakukan dalam tempo sedang dengan artikulasi yang jelas dan dibacakan per padalisan (baris). Syair-syair beluk berasal dari naskah-naskah cerita babad atau wawacan dan disajikan dalam bentuk pupuh yang berjumlah 17, yaitu asmarandana, balakbak, dandanggula, durma, gambuh, gurisa, juru demung, kinanti, ladrang, lambang, magatru, maskumambang, mijil, pangkur, pucung, sinom, dan wirangrong.

Tukang ngajual menyanyikan syair yang dibacakan tukang ngilo sesuai dengan pupuhnya, namun cara menyanyikannya tanpa ornamen. Tukang meuli melanjutkan sajian tukang ngajual dengan tambahan ornamen pelengkap. Sedangkan tukang naekeun melanjutkan sajian tukang meuli dengan nada-nada tinggi dan meliuk-liuk. Di bagian ini ornamentasi vokal sangat dominan sehingga artikulasi tidak diutamakan dan bisa menjadi sangat kabur. Setiap tukang naekeun menyelesaikan satu bait, seluruh hadirin dan para penyaji lainnya memungkas lagu secara secara bersama (koor).

Dalam penyajian beluk dikenal beberapa teknik, seperti nyurup yaitu kesesuaian dengan laras yang dibawakan; jentre artikulasi yang jelas; eureur kesesuaian vibrasi dengan kalimat lagu; senggol ketepatan ornamentasi; leotan ketepatan nada yang digunakan; embat walaupun musik vokal ini bertempo bebas, namun tetap ada acuan metris-melodis kendati sangat samar; pedotan ketepatan waktu untuk mengambil nafas; renggep atau saregep keseriusan dalam penyajian; cacap kata demi kata harus disajikan sampai tuntas; bawarasa ekspresi dalam penyajian; dan bawaraga penegasan suasana dengan gestur yang dianggap menarik.

Sebagai bentuk kesenian yang lahir dari keseharian masyarakat agraris yang sederhana, dalam penyajiannya seni beluk tidak menerapkan aturan berpakaian tertentu. Yang paling umum ditemui menggunakan baju takwa, sarung, kopiah, dan celana panjang saja. Pembagian peranan dalam penyajian beluk juga memberi ciri masyarakat agraris yang senang bergotong-royong, bekerja-sama dan berkomunikasi secara harmonis.

Demikianlah rangkaian catatan yang berhubungan dengan beberapa objek dalam kegiatan Komunitas Aleut! pekan lalu.

 

Sumber informasi

–  Beluk Kehilangan Regenerasi, Pikiran Rakyat, 31 Januari 2011

–  Sampul album CD “Beluk Dzikir – Nyanyian Banten Jawa Barat”, produksi Program Studi Etnomusikologi Jurusan

Karawitan, STSI Surakarta, 2003

–  Dokumen KKN Program Seni Budaya, http://www.scribd.com/doc/22769078/KKN-PROGRAMSENI-BUDAYA

–  Mata Kita, Kesenian Beluk, Salah Satu Identitas Masyarakat Agraris Pasundan,http://matakita.net/post/kesenian

beluk-salah-satu-identitas-masyarakat-agrarispasundan.html