Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Sebelum memulai tulisan ini, saya akan mengutip salah satu pernyataan legenda New York Yankees, Yogi Berra, mengenai turunnya nilai uang logam.

“A nickel ain’t worth a dime anymore”

Nikel yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah uang koin lima sen di Amerika Serikat. Layaknya di Indonesia, uang receh ini nilainya setiap tahun semakin menurun. Saat ini, uang nikel maupun dime (sepuluh sen) sudah hampir tah berharga lagi. Berdasarkan penelusuran saya, satu dime sekarang hanya digunakan untuk masuk ke WC umum. Anekdot yang berkembang berkata bahwa untuk membuat satu keeping nikel diperlukan biaya satu dime. Semakin lama, nikel semakin tak ada lagi harganya.

Hal yang sama terjadi di Indonesia. Jangankan uang logam lima puluh rupiah, seratus rupiah pun sudah tidak ada lagi harganya. Uang seratus rupiah sudah tidak bisa lagi digunakan untuk membeli sebuah permen yang sekarang di banyak warung dipatok dengan harga lima ratus untuk tiga buah. Uang seratus rupiah sudah tidak ada lagi nilainya di mata pengamen jalanan. Saat naik angkot tahun lalu, saya pernah melihat seorang pengamen dengan enteng membuang uang seratus rupiah yang diterimanya dari salah satu penumpang sambil mengumpat.

Padahal saat saya kecil, uang receh seperti inilah yang memotivasi saya untuk mau berpuasa.

***

Waktu itu saya baru menginjak kelas satu SD. Kedua orang tua dan Nenek saya memutuskan bahwa sudah tiba bagi saya untuk belajar berpuasa. Saya merasa enggan di awalnya karena terkesan dipaksa, cukup sekali saja saya dipaksa pada saat disunat di pertengahan tahun. Keterpaksaan ini akhirnya menghilang saat Nenek saya menawarkan sebuah penawaran menarik.

Rp 500,00 kalau bisa puasa setengah hari, Rp 1.000,00 kalau bisa puasa penuh.

Sebagai anak kecil yang mata duitan, tentu saja penawaran ini terlalu manis untuk dilewatkan. Dengan berpuasa baik itu satu atatupun setengah hari, saya bisa punya uang tambahan beli kaset Sega ataupun mainan. Jangan bandingkan dengan nilai uang sekarang, dulu dengan Rp 15.000,00 saya bisa beli dua sampai tiga mainan yang saya suka.

Demi keakuratan uang yang didapat, saya sampai membuat jurnal tersendiri. Jurnal ini terdiri dari empat kolom. Kolom pertama adalah hari, kolom kedua berisi keterangan waktu berpuasa, kolom ketiga berisi jumlah uang yang didapat pada hari itu, dan kolom keempat berisi total uang yang sudah didapat di hari itu. Uang puasa ini tidak diberikan langsung, namun dirapel di akhir bulan. Uang yang didapat berbentuk uang kertas berwarna biru dan hijau, dengan total tiga puluh lembar.

Rupanya penawaran ini tak hanya ditawarkan kepada saya saja. Beberapa sepupu saya yang umurnya sepantaran juga ditawari penawaran yang sama. Sebagai bocah yang cukup kompetitif (pada saat itu), bulan Ramadhan menjadi ajang kompetisi mengumpulkan uang di antara para sepupu. Kompetisi ini sifatnya semu, karena pemenang hanya mendapatkan kesenangan tersendiri saja. Toh pada akhirnya selisih uang yang didapat berkisar sampai tiga ribu Rupiah saja.

Berpuasa dengan iming-iming uang ini kemudian berakhir saat saya duduk di kelas 4 SD. Baik orang tua maupun Nenek memutuskan untuk menghentikan ‘perburuan’ uang ini karena saya dan sepupu yang lain sudah dianggap dewasa untuk berpuasa. Tak perlu lagi diiming-imingi uang karena sudah menjadi kewajiban. Saya merasa tak masalah, toh ego saya berkata kami bukan lagi anak kecil.

***

Melihat kembali ke belakang bagaimana saat saya belajar berpuasa tentu saja seringkali membuat saya geli sendiri. Dengan iming-iming uang receh, saya rela ‘dipaksa’ berpuasa. Apalagi setelah melihat nilai Rp 500,00 dan Rp 1.000,00 saat ini, tentu ada perasaan konyol saat mengingat dulu demi uang receh saya mau berlapar dan menahan dahaga.

Sekarang ini Rp 500,00 dan Rp 1.000,00 seringkali tercecer di dalam kamar saya. Terabaikan, dan baru akan dicari saat sedang kehabisan uang. Jika dulu dengan uang Rp 1.500,00 saya bisa beli nasi kuning, sekarang ini Rp 1.500,00 saya habiskan untuk satu jam parkir di pusat perbelanjaan.

Sekecil apapun nilainya saat ini, toh Rp 1.000,00 inilah yang mengajari saya untuk berpuasa di bulan Ramadhan.

 

Tautan asli: https://aryawasho.wordpress.com/2015/07/07/berawal-demi-seribu-rupiah/