Oleh : Ceppy “Mphiew” Bekajaya
Lagi-lagi, hari Minggu diisi dengan kegiatan wisata. Hari Minggu di awal April 2010 Aleut! Mengajak teman-teman mengenal daerah Pecinan Bandung. Seperti beberapa kegiatan Aleut! sebelumnya, saya baru bergabung setelah perjalanan dimulai beberapa jam (konsisten dengan keterlambatan). Saya memutuskan untuk mencari gerombolan Aleut! di daerah Jalan ABC karena yang saya tahu daerah ini memang banyak orang Cina tinggal – minimal kita dapat menemukan banyak toko milik orang Cina di kawasan ini. Setelah beberapa menit jalan kaki, saya menemukan gerombolan ini sedang asik mengamati kawasan Pasar Baru dari atas jembatan penyeberangan pejalan kaki, bahkan beberapa sepeda turut melintas di atasnya (kebetulan jembatan itu sepi pengguna, jadi kerumunan yang dibuat tidak terlalu mengganggu para penyeberang – mereka lebih memilih menyeberang di bawahnya). Saya menyapa beberapa teman yang ada (tidak semua karena banyak teman baru lagi yang belum kenal).
Turun dari jembatan, Bang Ridwan (yang pada kesempatan ini banyak menyampaikan keterangan) berhenti di depan sebuah toko yang masih memiliki ciri bangunan jaman dulu. Di kawasan Jalan Pasar Selatan ini memang masih banyak sisa-sisa bangunan toko milik orang Cina yang masih aktif digunakan untuk bertransaksi.
Tak lama berdiri di titik henti ini, gerombolan melanjutkan perjalanannya. Masih di kawasan Jalan Pasar Selatan, saya tertarik untuk mendekati pedagang tua dengan pikulan yang berisi dagangannya. Pedagang ini sudah sekitar 20-an tahun memikul berondong manis (makanan ya..), perlengkapan sol sepatu yang berupa jarum dan benangnya, lem tikus, dan beberapa benda kecil lainnya dengan jumlah yang tidak banyak. Dalam kurun waktu itu, pedagang ini datang dari rumahnya di kawasan Cigondewah dengan berjalan kaki setiap hari (Perkasa..) Tak lama berbincang dengan pedagang ini saya segera bergabung lagi dengan gerombolan yang sedang menikmati cerita yang diberikan Bang Ridwan tentang kawasan belakang Pasar Baru sambil menyeruput Es Goyobod Kuno yang mangkal di sini dari jaman dulu.
Setelah cukup puas dengan Es Goyobod dan ceritanya, gerombolan melanjutkan perjalanannya ke daerah Jalan Belakang Pasar dan berhenti lagi di dekat toko Cakue Osin. Agak lama gerombolan ini melepas lelah yang dihasilkan dari setengah perjalanan yang dimulai dari Gedung Merdeka ini. Candaan dan tawa riang masih menemani perjalanan kali ini. Oiya, ada yang menarik di titik ini, ada bubur kacang-tanah yang dijual di daerah ini. Dan tampaknya suapan pertama saya tidak akan berlanjut. Rasa dari bubur ini manis, bahkan hampir menandingi manisnya muka saya, tapi lidah saya tidak bisa menikmati bubur ini seperti yang lain.
Di dekat titik istirahat ini ada lokasi bekas bangunan bioskop yang terakhir bernana Roxi. Gerombolan Aleut! mengamati dari arah belakang saja, karena bagian depannya menghadap ke arah Jalan Kebon Jati.
Perjalanan dilanjutkan dengan mengamati bekas bangunan Hotel Surabaya yang kini tinggal tersisa bangunan generasi ke-2 dan ke-3nya saja. Sedangkan bangunan pertamanya sudah berubah menjadi kotak beton tinggi yang belum rampung dibangun. Saya menyimpan memori indah tentang bangunan ini. Selagi Hotel Surabaya masih beroperasi beberapa tahun yang lalu, saya bersama beberapa teman Aleut! yang lain sempat merasakan ketegangan yang muncul ketika bermalam di hotel ini (rada horor..) Apalagi setelah memperhatikan wanita setengah baya yang duduk di kursi tua di ujung tangga dengan pandangan yang misterius. Hiii.. Meski pada waktu itu kami sewa 2 kamar dengan ukuran cukup besar, kami tetap memutuskan untuk menggunakan hanya satu kamar saja. Ada lagi yang unik. Untuk bermalam di Hotel Surabaya, kita mengeluarkan uang bukan untuk berapa buah kamar yang kita sewa, tapi kita bayar untuk jumlah orang yang bermalam. Sangat menyenangkan bermalam di Hotel Surabaya. Di bagian belakang sebelah timur Hotel Surabaya pun masih berdiri bangunan tua dengan bergaya khas campuran Bali dan Cina.
Di perempatan sebelah barat Hotel Surabaya Bang Ridwan memberikan beberapa cerita lagi sekaligus memberikan arahan kepada pegiat untuk bisa lebih menjaga etika selama perjalanan selanjutnya karena gerombolan ini akan melintasi perkampungan padat penduduk di daerah lokalisasi paling beken di Bandung, Saritem. Saya menemukan fenomena yang tidak biasa sewaktu melintasi perkampungan itu. Anak usia Sekolah Dasar dengan pakaian khas anak seusianya terlihat menggoda perempuan yang lewat di depannya (sepertinya perempuan itu memang pencari nafkah di daerah situ). Hihi.. Jadi apa nanti anak ini.. Wallahua’lam bissawab..
Ngaleut! kali ini bermuara di kompleks Kelenteng dengan cukup banyak cerita yang disampaikan Bang Ridwan yang diakhiri dengan duduk-duduk di halaman salah satu bangunan di kompleks itu untuk sekadar berbagi cerita dan kesan-kesan selama perjalanan yang baru dialami. Cape, panas, seru, luar biasa, itu beberapa komentar dari sekitar 30-an teman-teman yang ikut ngaleut! kali ini.
Ngaleut! lagi..!!!!
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjadi acuan di mana pun. Resiko dari efek kecanduan ngaleut! karena membaca tulisan ini ditanggung masing-masing.
Siplah, banyak pengetahuan baru yg sy dapatkan dari ngaleut kemarin
terimakasih, jangan kapok ikut ngaleut ya
Kayaknya asyik tuh pengalaman menginap di Hotel Surabaya lama. Kalau dulu tidak sadar nama seperti Gang Guan An di Andir itu punya makna. Guan An adalah seorang Letnan Cina di daerah Andir. Tahun berapa ya, mungkin BR punya catatannya. Begitu pula nama-nama jalan seperti Jl. Asep Berlian, Jl. Ence Azis mungkin generasi sekarang tidak mengenal asal muasalnya.