Oleh : M.Ryzki Wiryawan
Berdasarkan kepercayaan orang Sunda baheula, pulau Jawa pada dasarnya ditopang oleh punggung seekor kerbau. Ketika kerbau tersebut bergerak, terjadilah gempa bumi. Jadi kalau binatang yang kelelahan itu memutuskan untuk melepaskan bebannya, seluruh Pulau Jawa akan lenyap.
Karena itu, kalau terjadi Gempa bumi, orang Sunda baheula akan melemparkan diri ke tanah, mencium tanah, dan berteriak : “Aya,,, Aya,,,!” Yang maksudnya adalah “Kami masih ada di sini!”. Mereka berharap, karena kerbau adalah hewan jinak, ia akan memahami tugasnya untuk terus menopang pulau Jawa sedikit lebih lama lagi. Perilaku yang sama, mungkin akan dilakukan oleh penduduk sekitar gunung Tangkoeban Perahu (TP), ketika gunung ini meletus tahun 1910.
Seakan-akan memperingati 100 tahun peristiwa letusan gunung Tangkuban Perahu tersebut, saya berkesempatan mengunjungi lokasi yang sama, kali ini bersama kawan-kawan yang mengikuti acara Geotrek III, yang diselenggarakan oleh Truedee dengan Interpreter Pak Bachtiar dan Pak Budi Brahmantyo.
Dengan peserta sebanyak 56 orang dari berbagai generasi, Pertama-tama kami dikumpulkan di taman Ganesha, selanjutnya berangkat menggunakan bus langsung menuju lokasi sekitar jam 7 pagi. Perjalanan ini bukanlah hal baru, Di tahun 1903, agen wisata koninklijke paketvaart maatschappij telah menyediakan paket kunjungan ke Tangkoeban Perahoe, yang biasanya digabung dengan menginap semalam di pesanggrahan Lembang. Dari sini perjalanan bisa dilanjutkan dengan menyewa kuda atau mobil, lengkap dengan kuli dan pemandunya.
Pada awalnya, perjalanan menuju Gunung Tangkuban Perahu menggunakan jalan setapak melewati perkebunan kina dan teh Djaja Giri (Jayagiri), yang menghabiskan waktu kurang lebih 3 jam. Apabila menggunakan kuda, dapat menggunakan jalan militer Sukawana. Namun karena medan yang cukup sulit untuk dilalui kendaraan bermotor, maka dibuatlah jalur lain tahun 1924. Pembuatan jalan ini diprakarsai oleh Mr. H.W. Hoogland, presiden dari “Bandoeng Vooruit” . Organisasi ini berhasil mengumpulkan 25 ribu Gulden untuk pembuatan jalan tersebut. Jalan inilah yang digunakan oleh Bus rombongan peserta Geotrek III untuk menuju lokasi acara.
Pengerjaan jalan ini baru dimulai tahun 1926, proyek ini dipimpin oleh Mr. T.J. Janski. Jalan sepanjang 4 KM ini rampung pada bulan September 1928, dan akhirnya dibuka untuk umum. Total biaya yang habis dengan mempertimbangkan pembangunan fasilitas lain dan ongkos pemeliharaanya ternyata mencapai 30.000 gulden. Oleh karena itulah dipatok ongkos masuk 2,5 Gulden untuk pemakai mobil dan 1 gulden untuk pemakai motor. Terkecuali anggota “Bandoeng Vooruit” yang dapat memasuki lokasi ini dengan gratis. Atas usulan Mr. C.W. Wormser, direktur Koran algemeen indisch, jalan ini kemudian dinamai “Hooglandweg”.
Sepertihalnya dengan fenomena GRPP sekarang, pada saat pembangunan jalan ini rupanya sudah ada pihak-pihak yang menentangnya dengan alasan dapat merusak alam dan mengancam pesona alam Tangkuban perahu.
Namun Bandoeng Vooruit menepis kritik tersebut dengan alasan bahwa “Pembangunan jalan tersebut akan memberi kesempatan bagi seorang nenek-nenek berusia 80 tahun untuk bisa menikmati keindahan kawah tangkuban perahu”. Pembangunan ini juga diharapkan dapat mencegah jatuhnya korban tersesat ataupun kelelahan. Tujuan utamanya tentunya memacu kunjungan ke Tangkoeban Perahoe.
Sebelumnya, Pada bulan Juni 1924, tiga orang murid H.B.S. (sekarang SMA 3 & 5), tewas terserang “Pantjoeran” gas Kawah Ratoe, mereka menghirup terlalu banyak gas H2S. Setahun kemudian, di kawah yang sama, ditemukan lagi sesosok mayat pria. Itulah sebabnya, sejak bulan Juni 1925, semua jalur yang mendekati kawah dipasangi papan peringatan bahaya kepada pengunjung kawah. Selain itu, untuk mengenang nyawa ketiga anak muda tersebut, “Algeemen indisch dagblad” membangun sebuah monument peringatan, dan pada tahun 1932 “Bandoeng Vooruit” turut melengkapi monument tersebut dengan tempat duduk yang terbuat dari batu.
Satu per satu peserta geotrek mulai keluar dari Odong-odong di pinggiran kawah Ratoe yang ramai. Lokasi ini berada di ketinggian 1840 meter di atas permukaan laut, sejauh 30 Km dari Bandung. Dari sini kita dapat menyaksikan kawah dengan kedalaman 100-200 M. yang sangat indah. Kawah Ratu inilah yang pada tahun 1910 meletus, namun hanya membunuh pepohonan dan binatang di sekitarnya.
Mengapa dinamakan kawah Ratoe, ada beberapa versi, termasuk yang berhubungan dengan legenda Sangkuriang. Namun lebih mungkin karena kawah ini merupakan yang terbesar dari semua kawah di Tangkoeban Perahoe (Ratoe=Raja). Uniknya, dalam buku Guide through Netherlands India yang terbit tahun 1903, kawah ini disebut sebagai Kawah Batoe (Boyal Crater).
Untuk mengetahui lengkapnya kawah-kawah yang ada di tangkoeban Perahoe dapat dilihat pada gambar buatan Stehn (1928) berikut :
I Panggoedjanggan Badak Krater
II Kawah Oepas Lama
III Kawah Oepas Muda
IV Kawah Ratoe Lama
V Kawah Oepas Termuda
VI Kawah Ratoe Lama
VII Kawah Baroe
VIII Kawah Ratoe 1910
IX Kawah Ecoma 1926
X Kawah Djoerig
XI Kawah Domas, Kawah Badak, Kawah Djarian
XI Lembah racun – Kawah Siloeman
Di kawasan kawah Ratoe ini banyak terdapat vegetasi pohon kecil yang dikenal sebagai Boschbesboompjes India (Vaccinium varingiifolium), flora khas di kawah-kawah. Di sebelah barat, bisa terlihat Kawah Oepas, termasuk kawah Baroe yang muncul tahun 1896 sebagai perluasan dari kawah Oepas dan kawah Ratoe.
Rombongan Geotrek kemudian melanjutkan perjalanan menuju jalan setapak yang memisahkan kawah Ratoe dan kawah Oepas. Di tepian kawah Oepas ini Pak Bachtiar dan Pak Budi menerangkan proses terjadinya bebatuan, tidak lupa peserta saling mengabadikan dokumentasi.
Oepas (Upas) berarti pohon beracun dalam bahasa sunda, namun sama artinya dengan pesuruh/penjaga/polisi. Orang-orang di Bandung jaman dahulu lebih suka arti “Kawah Oepas” sebagai “Penjaga Kawah” daripada “Kawah beracun”.
Di bulan Februari 1937, dibangunlah shelter berbentuk lorong di sebelah selatan Kawah Oepas di ketinggian 1893 M. Volumenya adalah 47 M., dan memiliki cukup oksigen untuk 3-4 orang petugas vulkanologi, selama 12 jam.
Apabila kita terus naik hingga titik tertinggi Tangkuban Perahu, yang bisa dicapai setengah jam dari markas pengawas, yaitu 2084 M. di atas permukaan laut, kita dapat menyaksikan pemandangan yang sangat menakjubkan. Berdasarkan buku Reitsma, pada hari yang cerah kita dapat menyaksikan dataran Lembang serta pegunungan di selatan seperti G. Goentoer, Tjikorai, Malabar, Tiloe, Patoeha, dan lain-lain. Konon saat banyak pepohonan ditebang di masa peperangan, orang bisa melihat Batavia dari sini !
Melanjutkan perjalanan dari tepian kawah Oepas, peserta melanjutkan perjalanan menurun ke kawah Domas yang dalam bahasa sunda artinya “Delapan Ratus”. Entah apa artinya, namun frase ini kerap digunakan untuk suatu hal yang tidak terhitung. Mungkin dalam hal ini adalah kedalaman kawah ini.
Perjalanan menuju kawah Domas menghabiskan waktu sekitar setengah jam, ditandai dengan potngan-potongan kayu di jalan setapak yang sudah ada dari jaman Belanda serta papan-papan panduan. Kita akan sampai pada sebuah pojok curam, yang menyajikan pemandangan kawah Domas secara luas. Namun karena berbahaya, Bandoeng Vooruit mendirikan pagar kayu di sana.
Berdasarkan catatan Reitsma tahun 1930, di kawah ini seseorang bisa mendengarkan desisan air, dan kadang semburan air panas setinggi satu meter. Dan tanpa pemandu yang ahli, ia menyarankan kita untuk tidak mengunjungi kawah Djarian dan Siloeman.
Untuk mengakomodir pemilik mobil dengan supir, Bandoeng Vooruit membuat jalan potong horizontal menuju jalan besar yang dapat dilalui selama 20 menit, sehingga tidak perlu lagi berjalan naik kembali ke kawah Ratoe.
Kita juga dapat mengamati berbagai jenis vegetasi selama berjalan menuju dasar kawah, antara lain Ficus diversifolia, pohon yang dapat tumbuh di kondisi tanah kawah. Kemudian ada juga gandasoeli (Hedychium) – sebuah tanaman jahe berwarna krem aneh, ada pula jenis aardzon (Hondje), saninten (kastanje), berbagai Pakis, Palem, bunga Pinanga Kublii, Rhododendron javanicum dll. (Btw : Jangan suruh saya buat nunjukin jenis2 tanaman ini karena di bukunya tidak disertai gambar… hehe)
Di dasar kawah Domas ini, pengunjung dapat merasakan terapi air hangat yang mengandung belerang, yang sebenarnya baik untuk kulit. Namun saya lebih tertarik untuk memandang turis-turis asing yang berpakaian minim di sini,,,
Setelah melepas lelah dan puas memasak telur, Akhirnya rombongan geotrek melanjutkan perjalanan menuju perkebunan teh Tjiater. Dalam perjalanan ini Pak Bachtiar menunjukan kepada saya dan teman-teman, suatu tanaman Ki Lemo (Litsea Sitrat) yang dapat mengeluarkan bau wangi minyak serai, namun mengandung racun alkaloid.
Perjalanan diakhiri di Tjiater (Ciater) dalam suasana yang hangat. Peserta saling berbagi pengalaman dan kesan disertai kuis yang menghibur.
Nah, kira2 demikianlah sedikit catatan saya terhadap perjalanan yang saya lakukan bersama rombongan Geotrek sabtu lalu… Saya akan tetap mengikuti geotrek-nya Truedee hingga berhasil memenangkan buku Wisata Bumi Cekungan Bandung yang hingga saat ini belum saya miliki karena masalah finansial.. hehe
Sumber tulisan :
Bandoeng Vooruit, Wandelgids voor den Tangkoeban Prahoe, Bandoeng : 1932
M. Neumann van Padang, History of the volcanology in the former Netherlands East Indies, Leiden : 1983
Marquis Tokugawa, Perdjalanan Menoedjoe Djawa, Bandung : 2006
Rudolph Mrazek, Engineers Of Happy Land, Jakarta : 2002
Koninklijke paketvaart maatschappij, Guide through Netherlands India, Amsterdam : 1903
Ryzki kalo nulis asyik yah, udah mah bereferensi nyelam pula ke masa lalu topik tulisannya..
Terima kasih.. hehehe
mantap gan ijin share ya??
Mangga kang,,
izin share kang ..