.
Oleh : Nia Janiar
.
Sekitar seminggu yang lalu (18/09), saya ke kawasan Buah Batu bersama Aleutians untuk melihat menara pemancar radio yang letaknya di belakang kampus IT Telkom. Mengenai sejarah tentang menara ini, sudah diarsipkan dalam blog Aleut yang ditulis oleh M. Ryzki W. dengan judul Ngaleut! Puntang-Malabar with GEOTREK II. Jadi, jurnal saya ini semacam melengkapi apa yang sudah lengkap.
Jika saya tidak ikut Aleut, pasti saya tidak tahu bahwa sebongkah besi berwarna merah putih yang menjulang tinggi itu adalah cikal bakal dan telekomunikasi Hindia Belanda. Pasti saya juga tidak tahu bahwa menara ini adalah salah satu dari 13 sisa menara yang dihancurkan untuk memutuskan telekomunikasi pada masa penjajah Jepang. Dan pasti saya hanya akan menganggap menara pemancar ini hanya berupa tempat sakral orang-orang stress yang mau meregang nyawa.
Lanjut ke belakang IT Telkom, terdapat sebuah jalan bernama Jalan Radio dan perkampungan namanya Kampung Radio. Di sana juga terdapat stasiun radio tua yang kini dipakai oleh salah satu vendor GSM besar, gudang peralatan, dan asrama mahasiswa IT Telkom yang sudah tidak terpakai karena sering kebanjiran. Selain itu kami diizinkan naik ke pos penjaga yang berada di atap gedung oleh satpam yang baik hati.
Perjalanan kali ini membuat saya membayangkan bagaimana jika Indonesia tidak dijajah Belanda? Mampukah anak bangsa membangun dari awal sistem telekomunikasi seperti ini? Jika iya, mampukah mereka membangun secepat ini? Lalu apakah seluruh aspek (terutama sistem komunikasi) akan semaju sekarang? Bisakah kita melakukan hubungan dengan kerabat di seberang lautan? Membayangkannya menimbulkan pemikiran bahwa jangan-jangan kita sebetulnya harus berterima kasih karena seolah-seolah negeri ini dibangun oleh konsep atau materi penjajah itu sendiri.
.
Original post : http://mynameisnia.blogspot.com/2011/09/pemancar-radio-tua.html
Leave a Reply