Oleh:Arya Vidya Utama
Hampir semua orang tahu Pasar Baru Bandung saat ini, bahkan gaungnya sudah sampai ke negeri tetangga, Malaysia. Pasar ini terkenal dengan barang yang murah namun berkualitas tinggi. Pada hari biasa pun kita bisa melihat bagaimana sibuknya pasar ini, dan bisa dua kali lipat keramaiannya di akhir pekan dan hari libur nasional.
Mungkin saat mendengar nama Pasar Baru akan muncul pertanyaan: Kenapa Pasar Baru? Ada apa dengan pasar yang lama?
Pada tahun 1812, dibangunlah sebuah pasar yang merupakan satu-satunya pasar di Bandung saat itu, dan tak heran pada saat itu pasar ini menjadi pusat perdagangan. Pasar itu dikenal sebagai Pasar Ciguriang. Lokasinya berada di dekat Pendopo, yang kurang lebih sekarang dikenal sebagai kawasan Jalan Kepatihan.
Tak ada yang menyangka bahwa sekitar 33 tahun kemudian pasar terbesar di Bandung ini akan rata dengan tanah, dan tak disangka pula bahwa ratanya pasar ini berawal dari rasa sakit hati seorang pria keturunan Cina-Jepang yang bernama Munada.
Munada diketahui sebagai pedagang kain, namun ditunjuk oleh asisten residen saat itu yang bernama Nagel sebagai orang kepercayaannya. Sayang kepercayaan Nagel itu disalahgunakan. Munada pernah diberikan modal 30 guilders sebagai modal untuk membeli alat-alat transportasi, sayang uang tersebut malah ia pakai untuk berfoya-foya dan mabuk-mabukan hingga habis. Beruntung Nagel masih berbaik hati memberikan kesempatan kedua bagi Munada. Kali ini Munada diberikan kepercayaan untuk menjual enam pasang kerbau milik Nagel. Tidak belajar dari kesalahan sebelumnya, Munada kembali menyalahgunakan kepercayaan tersebut. Alih-alih memberikan uang hasil penjualan kerbau tersebut, Munada malah menghabiskannya. Kesabaran Nagel pun habis, akhirnya Munada ditangkap, ditahan, dan disiksanya.
Tak pelak Munada pun sakit hati. Setelah bebas, ia bersekongkol dengan Rd. Naranata, mantan jaksa Kabupaten Bandung saat itu yang dipecat oleh Wiranatakusumah III dan Nagel, sang asisten residen, akibat dianggap terlalu angkuh dan kasar. Mereka menyusun strategi untuk membunuh Nagel, dan Pasar Ciguriang dipilih sebagai lokasi aksi mereka.
Sekitar tanggal 24-25 November 19451, Pasar Ciguriang dibakar guna memancing kedatangan Nagel. Benar saja, tak lama setelah kebakaran terjadi, Nagel datang bersama bupati. Ditengah suasana panik dan hiruk pikuk akibat kebakaran, Munada yang membaur di dalam keramaian tersebut dan menghunuskan pisau ke dada Nagel. Tak lama kemudian, Nagel tersungkur dan Munada pun berhasil kabur dari tengah keramaian.
Dampak dari aksi Munada dan Rd. Naranata sudah bisa ditebak, Pasar Ciguriang kemudian rata dengan tanah. Dalam jangka waktu yang cukup lama Bandung tidak memiliki pasar induk, dan kemudian kegiatan perdagangan dialihkan ke pasar semi permanen yang terletak di PangeranSumedangweg, yang kelak berubah nama menjadi Jalan Otto Iskandardinata.
(disadur dari tulisan milik M. Ryzki Wiryawan)
Catatan kaki
1 A.J. van der Aa, Nederlands Oost-Indië: of, Beschrijving der Nederlandsche Oost Indie, (Amsterdam: 1851) halaman 189
Referensi:
Data pribadi M. Ryzki Wiryawan
Sudasono Katam, Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis, (Bandung: 2006) halaman 479
http://bandungupdate.files.wordpress.com/2011/10/pasar-baru-bandung.jpg
http://bisnis-jabar.com/wp-content/uploads/2011/05/pasar-baru.jpg
0 Comments
1 Pingback