Page 76 of 103

Kawasan Jalan Kedokteran di Bandung

Di Bandung terdapat satu kawasan yang nama jalanannya menggunakan nama2 dokter, baik nasional maupun internasional. Kawasan ini terletak di sekitar Rumah Sakit Hasan Sadikin dan Bio Farma. Kadang2 orang menyebutnya kawasan Cipaganti berdasarkankan nama jalan utama di situ. Nah, siapa saja dokter yang namanya (pernah) dijadikan nama-nama jalan itu? Ini cerita-cerita ringkasnya.

Image
Beberapa nama dokter di dalam kompleks jalan kedokteran di sekitar Bio Farma sebenarnya merupakan para pendiri perkumpulan kebangsaan Boedi Oetomo (20 Mei 1908). Mereka adalah Wahidin Soediro Hoesodo, Soetomo, Radjiman Wediodiningrat, Goenawan Mangoenkoesoemo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat. Mereka semua adalah dokter-dokter yang lulus dari Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen).

Tidak semua nama mereka saya temukan menjadi nama jalan di kawasan yang sama, misalnya apakah memang tidak pernah terdapat nama jalan Soetomo atau Soewardi (Soerjaningrat) atau apakah nama jalan tersebut pernah ada namun sudah berganti dengan nama jalan baru?

boedi-oetomob
Perkumpulan Boedi Oetomo

dr. Radjiman (1879-1952):

Image
Radjiman Wedjodiningrat lahir pada 21 April 1879 di Desa Melati, Kampung Glondongan, Yogyakarta, dari keluarga yang bersahaja. Ayahnya, Sutodrono, adalah pensiunan kopral KNIL yang menjadi centeng di Pecinan, dan ibunya keturunan Gorontalo.

Ayah Radjiman, Soetodrono, adalah keturunan ketujuh Kraeng Naba, saudara Kraeng Galesong, yang membantu Trunojoyo melawan Mataram. Dalam konflik itu, Kraeng Naba berada di pihak Mataram. Continue reading

Nama Tumbuhan Jadi Nama Jalan/Daerah

Salam

Daun Salam. 1933

Hari ini melalui twitter saya bikin permainan mengumpulkan nama-nama tumbuhan yang dijadikan nama kawasan atau nama jalan di Kota Bandung.
Ya selain bentukan alam seperti bojong, ranca, leuwi, dll, ada banyak juga nama tumbuhan yang saat ini sangat populer sebagai nama tempat sehingga asal nama aslinya yang berupa tumbuhan sudah kurang dikenali lagi.
Sebagai pembuka dan pemancing, saya mengajukan nama2: Binong, Kopo, Biru, Bihbul, Kapayang, dan Kapundung, serta beberapa nama daerah dengan kebon seperti Kebon Kalapa atau Kebon Kawung.

Kepayang

Kepayang. 1933.
Juga dijadikan nama sungai buatan pada masa Bupati Martanagara.
Sungai2 ini mengalir dan mengairi sejumlah taman di pusat kota.

Continue reading

Lacak Jejak Inggit Garnasih, Minggu, 14 April 2013

13 April adalah tanggal wafatnya Ibu Inggit Garnasih, seorang tokoh perempuan dari Bandung yang ikut mewarnai sejarah nasional mendampingi suaminya, Ir. Sukarno, yang kelak menjadi presiden pertama Republik Indonesia.

Inggit Garnasih berada di samping Sukarno sejak Sukarno masih menjadi mahasiswa di THS (ITB) di Bandung, membantu membiayai perkuliahannya, mengikuti setiap langkah perjuangannya mencapai kemerdekaan Indonesia, mendampingi bersama keluarganya ke pembuangan di Ende, Flores, hingga Bengkulu.

Inggit hanya mengantarkan Sukarno hingga gerbang kemerdekaan Republik Indonesia, tanpa pernah melewati gerbang tersebut. Inggit tidak menikmati semua yang mereka cita-citakan bersama selama di Bandung, Ende, dan Bengkulu.

Kegiatan Komunitas Aleut bekerjasama dengan mooibandoeng kali ini mencoba memperkenalkan ulang tokoh Inggit Garnasih kepada warga Bandung. Sebagai bekal pengetahuan, kami ringkaskan beberapa buku yang menulis tentang Inggit, terutama “Kuantar ke Gerbang” karya Ramadhan KH (Kiblat, Bandung, 2002) dan “Biografi Inggit Garnasih; Perempuan dalam Hidup Sukarno” karya Reni Nuryanti (Ombak, Yogyakarta, 2007).

Yang menarik dalam proses kegiatan ini kami malah menemukan beberapa hal baru yang tidak terduga sebelumnya, yaitu beberapa rumah yang pernah ditinggali oleh pasangan Inggit-Sukarno, rumah orang tua Dewi Sartika, bekas rumah tinggal Sosrokartono (kakak Kartini), dan lain-lain. Ternyata masih banyak cerita yang tersimpan di sudut-sudut Kota Bandung menanti generasi berikut mengungkapkannya kepada masyarakat..

ImagePin Lacak Jejak Inggit Garnasih

Image

 

Leaflet Lacak Jejak Inggit Garnasih

Image

 

Kartu Kelompok Lacak Jejak Inggit Garnasih

Image

 

Kolase foto objek yang harus ditemukan oleh semua peserta dalam Lacak Jejak Inggit Garnasih

Lacak Jejak Bandung Lautan Api, Minggu, 1 April 2013

Pada hari Minggu tanggal 1 April, Komunitas Aleut bekerjasama dengan mooibandoeng menyelenggarakan permainan sambil belajar sejarah Bandung. Berkaitan dengan peristiwan Bandung Lautan Api, 24 Maret 1946, maka kami rancangkan permainan ini dengan nama Lacak Jejak Bandung Lautan Api.

Dalam permainan ini semua peserta dibagi ke dalam 10 kelompok dan masing-masing peserta mendapatkan sinopsis ringkas tapi padat (20 halaman) seputar kisah Bandung Lautan Api. Permainan berlangsung seru dan menyenangkan.

Ternyata sebagian rekan merasa lebih mudah mendapatkan pengetahuan sejarah dengan cara bermain seperti ini..Image

Pin Lacak Jejak Bandung Lautan Api

Image

Leaflet Lacak Jejak Bandung Lautan Api

Image

Kartu identitas kelompok peserta

BLA Page 1

Kolase 10 stilasi

Inggit Garnasih – kekasih, kawan dan ibu yang hanya memberi tanpa menuntut balas

Oleh : Natasha Bellania Pertiwi (@achabp)

Jika ditanya siapa perempuan indonesia inspiratif bagi saya, salah satunya adalah Ibu Inggit Garnasih.

Ia sangat mengagumkan bagi saya, dalam banyak hal.
Tak hanya inspiratif, sosoknya yang sederhana, penyayang, keibuan dan memiliki pendirian menjadikannya simbol wanita mandiri.

Garnasih lahir di Desa Kamasan, Banjaran, Kab.Bandung, 17 Februari 1888,dari pasangan Ardjipan dan Amsi. Nama itu diberikan dengan penuh makna dan harapan, kelak menjadi anak yang hegar, segar, menghidupkan, dan penuh kasih sayang.

Menginjak dewasa Garnasih menjadi gadis cantik sehingga ke mana pun ia pergi selalu menjadi perhatian pemuda. Di antara mereka sering melontarkan kata-kata, “Mendapat senyuman dari Garnasih sama dengan mendapat uang seringgit.” (Pada saat itu 1 ringgit sama dengan 2,5 gulden dan nilainya tinggi.) Akhirnya, julukan inilah yang merangkai namanya menjadi Inggit Garnasih.

Ya, Inggit adalah istri kedua Soekarno. Bisa dikatakan beliau adalah sosok perempuan dibalik kesuksesan sang proklamator. Perannya sanggat penting, dimana ia membentuk, menampung, dan mengayomi Soekarno muda yang kala itu tengah berapi-api menjadi seorang pemimpin dan pejuang tangguh, dan Inggit pula yang serta merta mengantarkannya ke gerbang kejayaan.

“Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” ( Sarinah, hlm 17/18 Bung Karno)

Berikut saya simpulkan beberapa peranan Inggit ketika mendampingi Soekarno saat memasuki dunia politik dan pergerakan Kemerdekaan Indonesia, di antaranya:  :

  • Inggit merelakan mengakhiri hubungan rumah tangga nya yang terlanjur hampa dengan seorang pedagang kaya dan juga salah satu tokoh Sarekat Islam, Bernama H.Sanusi.
  • Setelah terjalin ikatan pernikahan dengan Soekarno, Inggitlah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ia membiayai rumah tangga dan juga uang kuliah, dengan cara meracik jamu, bedak, membuat Rokok Berlabel “Ratna Djuami” , menjahit kutang, dan menjadi agen sabun dan cangkul meskipun kecil-kecilan. Karena saat itu Soekarno masih menjadi Studen di THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Teknik Tinggi yang sekarang menjadi ITB).
  • Membiayai segala bentuk kegiatan politik Soekarno, termasuk menjamu semua tamu Soekarno yang setiap hari datang berkunjung untuk diskusi.
  • Pengabdian Inggit sebagai istri tercermin saat ia menghapus keringat saat Soekarno kelelahan, menemani dan menghibur Soekarno yang tengah kesepian. inggit mampu memerankan 3 sosok sekaligus, yaitu sebagai kekasih, kawan dan ibu yang hanya memberi tanpa menuntut balas.
  • Ia selalu setia mengantarkan makanan, koran, dan uang ketika Soekarno menjalani hukuman di Penjara Banceuy dan Sukamiskin. Meskipun Jarak jauh harus dilewati dengan berjalan kaki bersama Ratna Djuami (anak angkat Inggit dan Soekarno).
  • Inggit juga tabah mendampingi Sukarno hidup di pengasingan, baik selama di Ende maupun Bengkulu. Ia menjadi sumber kekuatan bagi kehidupan Soekarno yang penuh ujian keras.
  • Ia berusaha keras untuk yang menyelundupkan buku-buku untuk Soekarno di dalam penjara. Lewat buku-buku itu Soekarno bisa menyusun pledoi master piece berjudul ‘Indonesia Menggugat’.

Adilkah Jika Masih saja ada orang yang tak mengenalnya ? 🙁

Namun takdir berkata lain. Inggit tak bisa selamanya mendampingi Soekarno. Di tahun 1943 itu, saat Sukarno hampir mencapai puncak kejayaannya. Ia berusia 40 tahun sedang Inggit 53 tahun, terguncang oleh keinginan Soekarno yang beralibi menginginkan keturunan langsung darinya. Inggit memang wanita mandul, ia hanya mampu merawat dan mendidik kedua anak angkatnya, Ratna Djuami dan Kartika, bukan dari rahimnya sendiri.

Sampai suatu saat, terucaplah keinginan Soekarno untuk memperistri sesosok wanita muda bernama Fatimah yang kemudian dikenal Fatmawati. Fatmawati sudah dinggap sebagai anak sendiri ketika mereka berada di pengasingan di Bengkulu.

Dengan tegas Inggit mengucapkan, “Itu mah pamali, ari di candung mah cadu”(itu pantang, kalau dimadu pantang). Setelah melewati berbagai pembicaraan dan pertengkaran, sampailah inggit pada keputusannya, ia enggan dimadu dan memilih untuk bercerai dari seorang Soekarno dan dipulangkan kembali ke Bandung.

Itulah Inggit. Dia berbeda dia mampu menentukan keputusan dan memiliki pendirian. Kesedihan dan kesengsaraan yang di arungi bersama selama hampir 20 tahun tidak dirasakan buahnya saat Sukarno mencapai gemilang. Ia telah menuntun Soekarno menuju gerbang. Sampai disitulah tugasnya, kemudian ia memilih membalikan badan menerima kenyataan tak ada lagi Soekarno sebagai pendampingnya, dan mencoba melanjutkan hidup dengan menjual bedak dan meramu jamu.

Soekarno pun akhirnya menikahi Fatmawati, yang setelah mencapai kemeredekaan pada tahun 1945 menjadi First Lady.
Namun sampai akhir hayat pun bisa dipastikan inggit masih menyimpan cintanya yang begitu besar terhadap Soekarno, termasuk melayat saat Soekarno meninggal dunia. Ia sungguh perempuan berhati tulus, memberi tanpa meminta dan memberi tanpa pamrih.

Sumber dan Referensi :

– Ramadhan KH, Kuantar Ke Gerbang

– Obrolan dengan Pak Tito Zeni Asmarahadi (cucu Inggit Garnasih) pada acara lacak jejak – 13 April 2013

– Naskah Lacak Jejak Inggit Garnasih oleh @mooibandoeng dan @KomunitasAleut

– Monolog Inggit Garnasih oleh Happy Salma – Bale Rumawat Unpad

Ca-Bau-Kan

Oleh : Reza Ramadhan Kurniawan (@kobopop)

Sutradara: Nia Di Nata
Pemain: Ferry Salim, Lola Amaria, Niniek L. Karim, Irgi A. Fahrenzi, Alex Komang, Robby Tumewu, Tutie Kirana, Henky Solaiman, Alvin Adam, Maria Oentoe.
Tahun Rilis: 2002
Judul Internasional:The Courtesan

Diadaptasi dari novel berjudul Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa) karya Remy Sylado, Ca-Bau-Kan menjadi film yang pertama mengangkat tema budaya dan bahasa Tionghoa di Indonesia pada zaman kolonial Belanda.

Film debutan Nia Di Nata sebagai sutradara, produser dan merangkap penulis skenarionya ini merupakan film pertamanya yang mengangkat tema kaum minoritas di Indonesia. Pada film ini Nia Di Nata seakan ingin menunjukan pesan kepada penonton bahwa kaum minoritas Tionghoa tidak bisa dianggap tidak ada, Nia seperti percaya bahwa masing-masing keunikan di dunia ini dapat memperkaya dinamika masyarakat secara umum.

Patutlah dihargai keberanian Nia Di Nata pada debut filmnya ini menyuguhkan tema yang jarang diangkat pada umunya. Kebranian membuat film keluar jalur mainstream menjadikan film ini pelepas dahaga yang beda bagi penikmat film-film Indonesia.

Salah satu yang menarik untuk diamati pada film ini adalah bagaimana unsur sejarah  melekat kuat pada setiap  adegan. Bagaimanapun membuat film bertema sejarah merupakan suatu yang sulit, bukan hanya dari segi cerita, pemilihan detail pakaian, setting tempat, dialek tokoh, set artistik dan hal-hal kecil lainya perlu sebaik mungkin tersesuaikan dengan kekuataan cerita yang ada. Maka wajar saja total dana yang digunakan untuk membuat film ini mencapai lima miliyar.

Secara garis besar setting cerita film mencakup tiga zaman sejarah perkembangan Indonesia, pada zaman kolonial Belanda tahun 1930-an, pendudukan Jepang pada 1940-an, hingga pasca kemerdekaan tahun 1960. Bercerita tentang seorang wanita Indonesia Giok Lan (Niniek L. Karim) yang mencari kembali latar belakang hidupnya. Pada usia senjanya ia lalu memutuskan untuk kembali ke Indonesia untuk mencari asal usulnya. Film ini kemudian beralih ke masa lalu mengupas kisah seorang Ca Bau Kan (perempuan simpanan) bernama Tinung (Lola Amaria) yang memiliki beragam kisah memilukan.

Sebagian besar cerita film ini menceritakan kisah cinta antara seorang pribumi dan seorang Tionghoa asal Semarang bernama Tan Peng Liang (Ferry Salim). Selanjutnya kisah cinta pada film ini diwarnai dengan persaingan perdagangan tembakau dan juga bagaimana terlibatnya seorang etnis Tionghoa memperjuangan kemerdekaan Indonesia.

Butuh beberapa saat agar mata dan logika menjadi terbiasa dengan cerita visual yang disuguhkan, terutama pada tokoh-tokohnya yang awalnya sulit untuk teridentifikasi jelas. Adegan beberapa pemain memang terlihat cukup natural, terutama Ferry Salim yang berperan menjadi Tan Peng Liang pria Tionghoa yang flamboyan. Di sisi lain ada beberapa yang sangat disayangkan pada film ini, posisi tokoh Tinung (Lola Amaria) sebagai seorang Ca-Bau-Kan terhempaskan ditelan alur cerita. Padahal Tinung merupakan salah satu tokoh utama dalam film ini. Sangat disayangkan puncak penderitaan Tinung kurang terasa menyengat pada film ini, Tinung akhirnya menjadi jugun ianfu di masa Jepang dan kemudian di tahun 1960 kehilangan suami yang terlihat getir tapi kurang mengena.

Terlepas dari kekurangan yang ada, film ini enak untuk ditonton bersama-sama atau sendirian. Bagaimanapun film selalu membawa unsur budaya, dari film ini kita bisa banyak belajar bagaimana etnis Tionghoa di Indonesia bergitu beragam karena alkulturasi dengan budaya setempat.  Selain itu kita juga bisa melihat kenyataan yang ada bahwasanya sejarah mengungkapkan bahwa Tionghoa di Indonesia dahulu-pun ternyata ikut juga berperan membantu kemerdekaan bangsa ini. Indonesia adalah cita-cita luhur dari keberagaman yang ada. Film ini sedikit banyak menggambarkan hal tersebut.

Sumber Foto:

Tantri06.Dimuat di http://thoughtsofstupidbookworm.files.wordpress.com/2013/01/cabaukan-all.jpg.Diakses 5 Januari 2013.

“Senangnya” Menjadi Guru Di Zaman Belanda

Oleh : Putri Socko Kayden

Bicara soal pendidikan, ternyata bukan hanya zaman sekarang saja SMP dan SMA dikenal dengan sekolah-sekolah yang bagus di Bandung. Ternyata sejak zaman dulu-pun, Bandung sudah terkenal dengan pendidikannya yang bagus. Namun yang membedakannya terletak pada ‘mau jadi apa lulusan dari sekolah-sekolah tersebutpada nantinya’. Semua ini akan diuraikan dalam catatan perjalanan di bawah ini, bagaimana penulis yang masih amatir ini mencoba mengungkapkan apa saja yang dia dapatkan dari kegiatan Aleut minggu ini.

Aleut, Minggu tanggal 7 April 2013 merupakan Aleut dengan tema kegiatan ‘Pendidikan’. Cukup banyak yang mengikuti kegiatan aleut hari ini, terlihat dari segerombolan orang yang tampak menunggudi depan Patung Badak Putih di dalam Taman Balai Kota. Ya, disitulah start point aleut untuk tema kali ini. Pada start point, dijelaskan bahwa hari itu, para pegiat aleut akan diajak menelusuri jalan bernama kepulauan seperti Jalan Jawa, Sumatera, dan Kalimantan dimana di jalan-jalan tersebut memang sering ditemukan sekolah-sekolah yang didirikan sejak Bandung Tempo Doeloe.

Dari balai kota, para pegiat Aleut menyebrang memakai jembatan penyebrangan untuk sampai di sekolah ST. Angela yang terletak di depan Balai Kota itu. Disitu dijelaskan bahwa ternyata sekolah tersebut dulunya merupakan sekolah khusus Biarawati saja. Sekolah tersebut bukan sekolah formal pada umumnya yang memfasilitasi muridnya untuk dapat calistung, namun lebih ke sekolah keterampilan. Konon katanya, hanya perempuan Belanda saja yang diperbolehkan untuk bersekolah di sekolah tersebut.

 Lanjut beberapa meter setelahsekolah ST. Angela terdapat Kantor Polwiltabes. Gedung yang sudah dialih fungsikan menjadi kantor polisi ini tadinya merupakan Sekolah Raja atau kweekschool. Sekolah ini merupakan sekolah pembibitan dimana lulusan dari sekolah ini akan menjadi guru. Lain dengan Sekolah ST. Angela, Sekolah Raja merupakan sekolah formal yang memfasilitasi muridnya untuk bisa calistung. Murid-murid disekolah ini yang notabene adalah kebangsaan Belanda dan sedikit saja pribumi yang kastanya tinggi (ningrat), diharuskan untuk menginap di sekolah ini.

Sekolah ini memang bersistem asrama dimana terdapat kamar-kamar yang memangdisediakan di bagian belakang gedung. Kembali ke soal lulusan sekolah ini, seperti yang telah dikatakan bahwa lulusan sekolah ini akan dipekerjakan sebagai guru. Nah, untuk praktek mengajarnya, disediakanlah gedung yang berbeda yang letaknya tepat dipinggir gedung Sekolah Raja ini. Gedung ini berfungsi sebagai tempat praktek. Sekarang, gedung tersebut adalah SDN Banjarsari. Nah, lulusan sekolah yang telah menjadi guru ini digaji oleh para bangsa Belanda. Lulusan dari Sekolah Raja ini kalau zaman sekarang disebut dengan PNS atau guru yang bekerja di sekolah negeri. Ironisnya, zaman dulu itu guru sekolah negeri gajinya lebih besar dari pada guru swasta. Jika guru sekolah negeri di gaji 70 gulden, guru sekolah swasta hanya digaji sebesar 45 gulden saja (8 gulden dapatdibelikan 100 kg beras). Hal ini berbeda sekali dengan kenyataan pada zamansekarang.

Oh ya, mengapa dinamakan SekolahRaja? Ternyata memang mempunyai alasan sendiri. Sejarahnya, dahulu saat para Raja berulang tahun, biasanya akan membangun sekolah-sekolah di wilayah yang menjadi tanah jajahannya. Maka itu sekolah yang dibangun tersebut dinamakan Sekolah Raja.

Kemudian, hal yang membuat miris adalah.. pada kenyataannya, sekolah-sekolah ini dibangun bukan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia supaya lebih pintar dengan bersekolah. Namun… ternyata, para lulusan tersebut memang dijadikan pekerja, yaitu tadi sebagai guru. Karena jika mengambil guru dari luar negeri, harus menggaji dengan jumlah yang besar. Maka itu, para Belanda lebih memilih memperkerjakan para pribumi berkasta tinggi. Hmm.. miris sekali.. dipekerjakan di tanahsendiri.

Perjalanan pun dilanjutkan… dari Sekolah Raja, para pegiat Aleut berjalan dan berjalan hingga tiba di depan sebuah sekolah yang terletak di samping Gereja Katredal. Sekolah tersebut merupakan Sekolah Katolik. Sekolah tersebut dibangun karena ada gereja disebelahnya. Jadi memang Gereja Katredal terlebih dahulu yang zaman dahulu dibangun di daerah situ.

Lanjut, dari situ, Aleutian punberjalan menuju dua SMP favorit di Bandung yaitu SMP 5 dan 2. Kedua Sekolah Menengah Pertama ini dulunya merupakan sekolah lanjutan setelah Sekolah Dasar selama 7 tahun (saat zaman Belanda, SD memang 7 tahun. Sistem pendidikan SD menjadi 6 tahun lamanya berubah saat zaman penjajahan Jepang). Untuk melanjutkan ke sekolah lanjutan ini, berbeda dengan zaman sekarang yang ditentukan dengan NEM sekolah, diputuskan oleh Kepala Sekolahnya masing-masing. Jadi hanya anak-anak yang telah tamat belajar atau mendapatkan rekomendasi untuk meneruskan sekolah dari Sang Kepala Sekolah saja yang dapat masuksekolah-sekolah ini.

Hmm.. bicara soal gedung, ada yang unik dari tampilan gedung SMPN 2. Gedung yang dicat serba hijau ini di gedung sebelah kirinya tertulis ANNO, kemudian di gedung sebelah tengahnya SMP NEGERI 2 Bandung, dandi sebelah kanannya terdapat tahun 1913. Maksud dari tulisan di sebelah kiri dan kanan gedung adalah ‘Didirikan Tahun 1913’. Jadi ‘ANNO’ ini artinya ‘didirikan tahun’.. begitu ^^ (Penulis juga baru tahu, hehehe)

Aleut kali ini memang singkat. Setelah dari SMP 5 dan 2, para pegiat aleut langsung berjalan menuju titik finish kegiatan aleut kali ini, yaitu di SMAN 3 dan 5 Bandung. Disana, para pegiat aleut saling sharing mengenai pengalaman di sekolah SMP ataupun SMA-nya masing-masing. Setelah sharing pengalaman tersebut, kegiatan aleut hari itu punberakhir sudah. Meskipun sangat singkat, kegiatan Komunitas Aleut selalu memberikan hal yang informatif untuk penulis. Dari yang tadinya tidak tahu, menjadi tahu.. ilmu itu mahal, tapi di Aleut, segalanya menjadi terasa lebih mudah 🙂

Aleut Apresiasi Film – Kisah Romansa Tinung si Ca Bau Kan

Oleh : Natasha Bellania Pertiwi (@achabp)

Hallo aleutian, ini merupakan kali pertama saya coba menulis artikel untuk komunitas aleut dan juga kali pertama #ngaleut apresiasi film .

Kesannya, tentu saja saya sangat antusias karena film yang kami tonton bersama hari ini adalah sebuah film lokal yang mengusung tema budaya Tionghoa di Indonesia, yang berjudul CA BAU KAN ( Hanya Sebuah Dosa ) .

Image

Film Ca Bau Kan karya Nia Dinata

Film ini diangkat dari sebuah novel berjudul sama (re: Ca Bau Kan) karangan Remy Sylado. Jujur saya pribadi kebetulan belum pernah membaca novelnya langsung, namun melalui tontonan visual hari ini, lebih kurang saya merasa dapat terjun langsung memahami cerita romansa yang kental akan budaya yang coba disampaikan oleh si penulis.

Yang membuat film ini unik adalah sang sutradara Nia Dinata, yang patut diacungi jempol atas keberaniannya di zaman modern ini menyuguhkan film yang sarat dengan tema budaya Tionghoa Indonesia yang kental pada Zaman kolonial Belanda.

Plot atau alur yang digunakan oleh penulis adalah alur mundur, dimana kita seakan Flashback ke masa pra-kemerdekaan Indonesia di Batavia.

Singkat cerita film ini menceritakan tentang seorang wanita tua bernama Giok Lan (Niniek L. Karim). Dia adalah perempuan turunan Tionghoa yang tinggal dan diadopsi dari kecil oleh keluarga Belanda. Setelah beberapa tahun berlalu, ia memiliki keinginan untuk kembali ke Indonesia, khususnya Batavia demi sebuah misi, yaitu ia ingin mencari tahu asal usul keluarganya. Dan setelah diusut perempuan ini adalah anak kedua dari seorang wanita Betawi bernama Siti Nurhayati atau akrab disapa Tinung (Lola Amalia). Tinung adalah seorang Ca Bau Kan atau dalam bahasa hokkian berarti ‘perempuan’, yang saat zaman kolonial diasosiasikan dengan pelacur, gundik, atau perempuan simpanan orang Tionghoa. Pada era 80-an pun istilah ‘Cabo’ menjadi istilah umum untuk para wanita pekerja seks komersial.

Diusia muda Tinung telah menjadi Istri ke-5 dari seorang lelaki tua yang kemudian meninggal tak lama setelah memperistrinya. Tinung pun diusir oleh istri-istri yang lain dan tak mendapatkan hak warisan. Sejak saat itu Tinung sempat menjadi simpanan seorang tauke (juragan) pisang Tionghoa berperangai kasar bernama Tan Peng Liang (Moeljono).

Karakter Tinung sendiri digambarkan sebagai seorang perempuan pasrah dan konflik yang kita temui sangatlah banyak dimana menjadi seorang Ca Bau Kan merupakan pilihan satu-satunya. Ia didera dengan begitu banyak kekerasan fisik dan kekerasan sexual. Akhirnya Tinung melarikan diri dari Tan Peng Liang saat sedang mengandung anak hasil hubungannya.

Sejak saat itu Tinung yang tinggal dengan bibinya Saodah tidak memiliki pilihan lain, ia dipaksa dan digojlok untuk menjadi penari cokek dan seorang Ca Bau Kan di Kalijodo. Di Kalijodo inilah ia bertemu lelaki yang dicintainya Tan Peng Liang lainnya (Ferry Salim) seorang pedagang tembakau kaya raya dari Semarang.

Menurut saya pribadi ada sedikit kejanggalan atau kelemahan di film ini, Salah satunya adalah posisi tokoh Tinung (Lola Amaria) yang entah kenapa menjadi tenggelam ditelan alur cerita yang sedikit ribet di film ini. Kisah ini malah berpusat pada Tan Peng Liang Semarang (Ferry Salim) yang kedatangannya dari Semarang ke Batavia sebagai pedagang tembakau yang kayaraya, telah mengusik stabilitas sosial-politik-ekonomi kelompok Kong Koan, sebuah kelompok Tionghoa dalam pemerintahan Hindia-Belanda, Bahkan sampai kematiannya.

Selebihnya begitu banyak kelebihan di film ini yang membuat saya berdecak kagum. Sang sutradara Nia Dinata begitu detail dalam menggarap karya ini, semua nilai historikal sangat ia perhatikan, dari hal terkecil sampai hal terpenting sekalipun.

Sekian review saya mengenai film Ca Bau Kan ini, jika tertarik untuk mengetahui ceritanya lebih detail, saya sarankan membaca bukunya terlebih dahulu , karena biasanya dalam pembuatan film ada beberapa bagian yang tak di explore, namun sayang untuk dilewatkan…

Cheers :))

Image

Buku Ca Bau Kan (Hanya Sebuah Dosa) karya Remy Sylado

Ceritera Si Baduyut

Oleh : Arifin Surya Dwipa Irsyam (@poisonipin)

Mau cari sepatu buatan anak bangsa yang kualitasnya tidak kalah bagus? Kunjungi saja Cibaduyut. Ya.. kawasan yang terletak di bagian Selatan Kota Bandung ini memang sudah tersohor sebagai sentra sepatu, sehingga wajar bila kita menjumpai patung berbentuk sepatu yang menjadi ciri dari jalan ini.

Diibalik popularitas sepatu kulit, tahukah bahwa daerah ini menyimpan cerita yang mungkin belum diketahui oleh banyak orang. Berdasarkan kajian toponimi, cibaduyut berasal dari kata ci/cai dan baduyut. Baduyut? nama makanankah? (eta mah burayut -__-).

Baduyut atau juga dikenal sebagai areuy baduyut merupakan sejenis tumbuhan liar yang merambat. Nama latinnya adalah Trichosanthes villosa Blume. Tumbuhan ini masih satu kerabat dengan bonteng, melon, semangka, dan labu siam. Karena masih berada dalah satu famili Cucurbitaceae atau keluarga labu.

Trichosanthes villosa Blume panjangnya mampu mencapai 24 m!. Hampir seluruh bagiannya berambut kuning, sehingga mungkin terlihat sedikit menyeramkan. Daunnya berbentuk bulat telur dengan pangkal daun yang menjantung. Apa yang cantik dari tumbuhan liar ini? mm… buahnya. Buahnya berbentuk elips dengan ukuran sekitar 15 cm. Bagian luar buahnya sangat tebal dan berkayu, berwarna hijau keputihan, atau kuning pucat dengan garis-garis tebal berwarna putih. Bagian dalamnya berwarna putih, sedikit berserat dan rasanya manis.

Baduyut juga dimanfaatkan secara tradisional sebagai obat flu dan mencret. Caranya? seluruh bagiannya diperas, lalu air yang keluar dapat diminum sebagai obat :).

Baduyut secara alami terdistribusi di kawasan Cina Selatan (Yunnan), Indochina, Thailand, Borneo (Kinabalu), Kalimantan, Jawa, dan Kepulauan Sunda Kecil. Tumbuhan ini dijumpai di batas hutan, hutan sekunder, dan di tempat-tempat lembab pada ketinggian hingga 1.500 m dpl.

Namun, sepertinya baduyut hanya tinggal kenangan di Cibaduyut. Sebab belum pernah saya menjumpai kehadirannya di sentra sepatu kulit ini. Yah… setidaknya kalau ingin menjumpai baduyut bisa main-main ke daerah lembang atau kawasan pegunungan di Bandung Selatan.

Image

Tanaman Baduyut

Catatan Ngaleut Imlek – Part 3 : Sejarah Singkat Orang Tionghoa di Bandung

Oleh: Muhammad Ryzki Wiryawan

Image

Entah kapan tepatnya orang-orang Tionghoa pertama kali membentuk komunitas di Bandung. Namun tampaknya baru terjadi di awal abad 19 karena sebelumnya VOC melalui keputusan tanggal 6 April 1764 menutup Priangan dari para pendatang, utamanya orang Tionghoa. Larangan tersebut dikeluarkan untuk melindungi usaha monopoli Kompeni dari gangguan saudagar-saudagar Tionghoa.  Dalam praktiknya, Peraturan yang diterapkan VOC sulit dijalankan mengingat keterbatasan tenaga mereka untuk mengawasi mobilitas penduduk di Priangan, namun berdasarkan suatu laporan pernah disebutkan bahwa pada tahun 1754, seorang Tionghoa diasingkan ke Ceylon karena kedapatan berada di Bandung.

Peraturan-peraturan yang membatasi gerak-gerik orang Tionghoa di Jawa  itu didasari peristiwa pemberontakan tahun 1740 di Batavia, yang mendorong Kompeni untuk menyusun kebijakan wijkenstelsel , yaitu kebijakan yang  mengatur penempatan orang-orang Timur Asing pada suatu perkampungan khusus dengan batas-batas tertentu. Kebijakan ini disertai dengan dikeluarkannya Passenstelsel yang mewajibkan orang Tionghoa untuk membawa surat ijin khusus apabila ingin keluar dari batas wilayahnya. Kebijakan yang terakhir ini hanya berlangsung efektif hingga tahun 1830.

Kemungkinan besar gelombang pertama kedatangan orang Tionghoa ke Bandung baru dimulai ketika Gubernur Jenderal Daendels mengeluarkan Besluit van den Zomermaand tahun 1810,  yang mengatur penempatan orang-orang Tionghoa di perkampungan di Cianjur, Bandung, Parakanmuncang dan Sumedang. Melalui keputusan tersebut Daendels sengaja membentuk simpul-simpul pemukiman Tionghoa untuk menggenjot aktifitas pertanian dan perekonomian di kawasan. Berdasarkan aturan tersebut, pemukim Tionghoa diperbolehkan untuk menanam tembakau, nila, katun dan kacang di lahan-lahan yang tidak cocok ditanami padiInisiatif  Daendels tersebut dalam perjalanannya kurang diminati kalangan Tionghoa  karena mereka lebih suka tinggal di dekat Batavia dibandingkan di kawasan Priangan yang masih sepi dan liar. Menanggapi itu, Daendels bahkan memindahkan paksa orang-orang Tionghoa Cirebon ke Priangan.

Walau Belanda berusaha menerapkan peraturan yang ketat terhadap orang-orang Tionghoa, namun tampaknya peraturan ini diberlakukan secara lebih longgar di Bandung, yang selama paruh pertama abad-19 masih sangat sedikit memiliki penduduk Tionghoa. Menurut data yang dikumpulkan P. Bleeker tahun 1845,  pada tahun tersebut tercatat ada 13 orang Cina di distrik Bandung dan 15 orang di Distrik Ujungberung Kulon. Jumlah tersebut akan mengalami kenaikan signifikan ketika Belanda mulai membuka Priangan untuk orang Tionghoa di tahun pertengahan abad 19.

Setelan khas Tionghoa untuk Pedagang

Selama berpuluh tahun, kaum Tionghoa di Bandung berhasil membentuk komunitas dan mengoptimalkan peran mereka di bidang ekonomi. Kebanyakan dari orang Tionghoa di Bandung bergelut dalam usaha perdagangan barang dan jasa seperti pengrajin kayu, tukang cukur, tukang potong hewan, jasa pemborong bangunan, dll. Kemahiran mereka dalam bidang pertukangan juga memberi bagian besar kepada mereka untuk berperan dalam pembangunan jalur kereta api di Priangan di akhir abad-19.

Kalangan Tionghoa pendatang baru kebanyakan berprofesi sebagai pedagang atau pekerja kereta api lebih memilih untuk tinggal di sekitar kawasan stasiun kereta api dan pasar baru. Lambat laun konsentrasi tersebut akan membentuk kawasan pecinan (Chineese wijk). Namun berbeda dengan kawasan Pecinan di kota-kota Hindia Belanda lainnya, batas-batas kawasan pecinan Bandung tidak terlalu jelas. Beberapa orang Tionghoa bahkan diketahui pernah tinggal di luar area Pecinan.

Pasar Baru Bandoeng

Berdasarkan aturan lama VOC, komunitas-komunitas etnis tertentu diharuskan memiliki pemimpin atau koordinator sendiri yang diangkat atas persetujuan Belanda. Mereka diberi gelar yang menyerupai pangkat militer, antara lain Mayor, Kapten, dan Letnan. Mereka ini biasanya dipilih berdasarkan tinggkat kekayaan atau pengaruh yang dimiliki atas masyarakatnya. Khusus untuk komunitas Tionghoa di Bandung sendiri hanya dipimpin oleh seorang Letnan, yang tugasnya lebih ditujukan untuk memudahkan kontrol Belanda atas kegiatan masyarakat Tionghoa di bidang perdagangan dan pertukangan

Letnan Tionghoa  Pertama di Bandung bernama Oey Bouw Hoen, yang diangkat pada tanggal 2 Maret 1881. Setelah setahun menjabat, pada tanggal 2 Maret 1882 ia digantikan oleh Chen Hailong yang juga dikenal sebagai Tan Hai Liong atau Chen Haishe. Tan Hai Liong merupakan salah satu dari 85 perintis pembangunan kelenteng Hiap Thian Kiong / Xietian Gong. Anaknya yang bernama Tan Joen Liong atau Chen Yunlong (1859-1917) kemudian menggantikannya pada tahun 1888. Ia kemudian mendapat promosi untuk menjadi kapten di akhir abad 19. Oleh karena itu tidak aneh apabila pada makamnya di Cikadut tertulis pangkatnya adalah sebagai ‘Kapiten Titulair Der Chineezen’. Selain itu menurut Haryoto Kunto, terdapat pula asisten Letnan yang disebut wijkmaster. Pada tahun 1914, jabatan tersebut diisi oleh Tan Nyim Coy dan Thung Pek Koey, masing-masing mengepalai distrik Citepus dan Suniaraja. Jabatan Letnan kemudian dihilangkan karena setelah Bandung mendapat gelar Gemeente, peran koordinator golongan Cina  diambil alih oleh anggota dewan kota yang bernama Loa Boeng Eng. Para tahun 1941, dari 27 orang dewan kota terdapat tiga orang perwakilan Tionghoa.

Hilangnya posisi pimpinan kaum Tionghoa juga dipengaruhi semakin kaburnya batas-batas Pecinan. Perkembangan ini terjadi terutama ketika Pemerintah Kota Bandung mempercayakan Ir. Thomas Karsten untuk merancang rencana perluasan kota Bandung tahun 1930 dengan sebutan Uitbreidingsplan Stadsgemeente Bandoeng atau singkatnya dikenal sebagai “Karsten Plan”. Karsten yang telah terpengaruh pemikiran liberal mempercayai bahwa tata kota yang efektif harus lebih menekankan pembagian kota berdasarkan fungsi ekonomi kawasan alih-alih berdasarkan unsur rasial. Sejak itu orang Tionghoa kaya bisa memiliki kediaman di kawasan elit Eropa seperti di daerah Dago dan Cipaganti. Status sosial mereka pun mengalami peningkatan dibanding sebelumnya.

Pemakaman Cikadut

Politik diskrimasi Belanda bagaimanapun telah menciptakan atmosfir kecurigaan antara kaum Pribumi dan Tionghoa. Eskalasi kecemburuan sosial kalangan Pribumi terhadap kaum Tionghoa ini akan meletus menjelang kedatangan Jepang ke Nusantara. Dalam bagian selanjutnya akan dibahas perkembangan pertentangan antara kaum Tionghoa dan Pribumi di Bandung…

Bersambung ke Part 4…

 Image

Catatan Ngaleut Imlek – Part 2 : Keunikan Cap Go Meh Tempo Doeloe

Oleh: Muhammad Ryzki Wiryawan

Image

Masih dalam rangka ngebahas Imlek, ada beberapa hal menarik yang khas terjadi seiring diadakannya perayaan tersebut di masa lalu. Salah satunya adalah tradisi memberi ikan Bandeng kepada pihak mertua. Semakin besar  ikan bandeng yang diberikan seorang calon menantu kepada mertuanya,maka semakin tinggi derajatnya di hadapan sang mertua.  Sebaliknya barang siapa yang gagal mempersembahkan ikan bandeng ke mertua menjelang Cap Go Meh, jangan harap bisa direstui sebagai menantu. Tradisi ini masih ditemukan di kalangan Tionghoa yang masih memegang teguh tradisi leluhur. Oleh karena itu, jaman dahulu tidak aneh apabila harga ikan bandeng melonjak puluhan kali lipat setiap kali menjelang Cap Go Meh.

Selain tradisi memberi Bandeng kepada mertua tersebut, ada juga kebiasaan lain berupa memelihara ikan di bulan Sin Cia (Bulan pertama tahun baru). Oleh karena itu tidak aneh apabila biasa ditemukan penjual-penjual ikan di sekitaran Kelenteng selama bulan tersebut. Konon memelihara ikan sejak dimulainya bulan Sin Cia bisa mempermudah datangnya rezeki.

Menurut orang-orang Tionghoa, pesta Cap Go Meh dianggap sebagai upaya membuang sial yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya dan pengharapan bagi kemajuan usaha di tahun berikutnya. Oleh karena itulah seringkali pesta Cap Go Meh diadakan secara sangat meriah. Kemeriahan tersebut seringkali dilakukan dengan cara melakukan iring-iringan massa yang disertai berbagai tetabuhan musik yang disebut “Tanji”. Tanji adalah alat musik berupa terompet yang diiringi tetabuhan yang biasanya dimainkan orang pribumi. Musik tanji dimainkan berulang-ulang menemani iring-iringan yang saling berjoget ria. Banyak pula peserta iring-iringan ini yang berjoget sambil meminum arak, karena konon semakin mabuk akan semakin mendapat kehormatan. Iring-iringan ini biasanya dikawal pemuda-pemuda yang membawa tali tambang untuk membatasi rombongan. Siapapun yang memasuki batas tali tambang ini diwajibkan untuk ikut berjoget… Nah ternyata kebanyakan orang yang ikut berjoget itu orang-orang kita sendiri…

 Image

Para peserta iring-iringan tersebut biasanya bukan orang-orang biasa melainkan para pemuda Tionghoa terpelajar yang memanfaatkan momen tersebut untuk mencari jodoh. Sudah merupakan aturan bahwa setiap pemuda dalam iring-iringan tersebut bisa bebas untuk mencolek perempaun di sana, sedangkan si perempuan tidak boleh marah. Para pemuda tidak sungkan mencolek dan menggoda walaupun sang perempuan didampingi orang tuanya. Bahkan dalam kesempatan ini sang pemuda boleh langsung melamar sang perempuan. Bagi pemuda yang sudah cukup modal, ia bisa mendatangi kediaman sang perempuan di malam hari Cap Go Meh, menayakan langsung kesediaan sang perempuan dan izin orang tuanya. Biasanya pemuda yang melamar di malam Cap Go Meh ini jarang menemui kegagalan. Konon jodoh yang didapat para hari Cap Go Meh lagi-lagi bisa mendatangkan keuntungan buat usaha.

Nah asal muasal kebiasaan unik sudah berasal dari kejadian di Tiongkok jaman dulu. Kala itu para perawan sangat dilarang untuk keluar rumah. Mereka baru bisa, bahkan harus keluar rumah baru apabila diadakan perayaan Cap Go Meh. Oleh karena itulah, di Tiongkok saat itu hanya ada dua kesempatan bagi seorang laki-laki untuk bisa mempersunting perempuan. Pertama apabila mereka sudah dijodohkan oleh kedua pihak orang tua sejak kecil. Kedua adalah apabila berjodoh di kala pesta Cap Go Meh. Artinya apabila seorang perawan tidak dijodohkan dengan siapapun sejak kecilnya, dia harus menunggu Cap Go Meh untuk mendapatkan jodoh. Apabila di saat itu tidak ada yang berminat terhadapnya, terpaksa pula dia harus menunggu hingga Cap Go Meh tahun berikutnya…

Ada lagi yang unik di malam perayaan Cap Go Meh tempo doeloe, yaitu mendadak lakunya pedagang tongkat rotan. Tongkat rotan ini biasa digunakan pemuda-pemuda “cunihin”  yang menggunakannya dengan cara membalik tongkat, bagian yang melengkung  lantas dikaitkan untuk menarik ikat pinggang cewek-cewek atau untuk menyingkap rok mereka… hehehe…

Iring-iringan ini biasanya dilakukan hingga 50 kali balikan mengelilingi kawasan Pecinan. Suasana kebersamaan begitu kental karena para pesertanya bukan hanya terdiri dari orang Tionghoa, orang pribumi hingga bangsa keturunan arab pun ikut ulubiung di dalamnya. Bubarnya iring-iringan ini biasanya baru terjadi apabila pesertanya sudah kelelahan.

Nah, kemeriahan Cap Go Meh ini sudah lama sekali tidak terjadi karena pemerintah orde baru melarang segala kegiatan berbau tradisi Tionghoa. Beruntunglah kini kemeriahan tersebut masih bisa kita temui kembali, namun sayangnya beberapa tradisi seperti yang dikisahkan di atas tampaknya sudah tidak lagi dilakukan generasi saat ini.  Tapi tak apalah, yang penting kemeriahan Imlek masih tetap ada, serta menjadi bagian dari kekayaan budaya kita. Kung Hua Sin Shi !

Bersambung ke bagian 3…

Gambarnya kurang jelas, tapi ini adalah suasana pemandangan di Situ Aksan tempo doeloe ketika Imlek. Entah apa sebabnya orang-orang Tionghoa Bandung kala itu memilih Situ Aksan sebagai tempat berekreasi…

Catatan Ngaleut-Part 1

Oleh : Muhammad Ryzki Wiryawan

Klenteng Hiap Thian Kong Bandung

Malam itu adalah kedua kalinya Komunitas Aleut mengadakan “Ngaleut  Imlek di Bandung” yang khusus diadakan di malam perayaan Imlek. Seperti biasa, ngaleut kali ini berhasil menggaet antusiasme pegiat yang cukup besar. Hampir 90 orang pegiat mengikuti acara ngaleut Imlek kemarin. Rangkaian tulisan ini disusun untuk melengkapi materi yang telah disampaikan pada perjalanan ngaleut tersebut. Semoga bisa dinikmati.

Dulunya, orang-orang Indonesia lebih mengenal perayaan Imlek dengan istilah lain Sincia. Sampai tahun 50’an, orang-orang Indonesia biasa menikmati perayaan Imlek seperti saat ini, namun semua itu berubah ketika negara api menyerang… eh sampai sentimen anti-China menyeruak sekitar tahun 60’an dan baru berangsur-angsur pulih satu dekade terakhir.

Sudah sejak dulu pula perayaan Imlek selalu diidentikan dengan turunnya hujan, sajian dodol cina/kue keranjang (jawadah korang), dan pertunjukan Barongsai. Perayaan Imlek yang mencapai angka 2564 tahun ini dimulai dari hari lahirnya Kong Fu Tsu atau Confucius. Artinya, hari lahir beliau dipatok sebagai tanggal 1, bulan 1, dan tahun 1.

Lalu apa hubungan imlek dengan turunnya hujan yang selalu menyertainya, tidak ada yang pernah bisa memastikan. Namun biasanya hujan selalu mengisi Tcia Gwee atau bulan pertama di tahun baru Tionghoa. Hal ini biasa dianggap sebagai pertanda “tahun hoki” bagi orang Tionghoa. Tahun baru ini juga selalu dirayakan dengan meriah. Terbitnya matahari di awal tahun baru selalu disambut dengan kedatangan penganut Kong Hu Chu beramai-ramai ke Kelenteng. Sepulangnya dari sana, seperti halnya penganut Islam di bulan Ramadhan,  mereka mengadakan kunjungan ke berbagai kerabat. Anak-anak paling senang mengikuti kegiatan ini karena mengharapkan ang pao yang diberikan kerabat yang dikunjungi.

Sejak tahun baru hingga  lima belas hari setelahnya yang dikenal sebagai Cap Go Meh (Cap Go = 15), dahulu biasa terlihat “pengamen” yang berandang ke toko-toko milik Tionghoa sambil macam-macam tingkahnya, ada menunjukan tarian-tarian, bernyanyi seadanya, hingga menampilkan “barongsai jadi-jadian”. Barongsai jadi-jadian ini sebutan Barongsai yang dimainkan sama orang pribumi, dengan gaya ala kadarnya, tanpa gerakan “kuntaw” seperti halnya barongsai asli dan turut  diiringi musik yang “seadanya” juga. Barongsai jadi-jadian ini berkeliling dari toko ke toko untuk meminta “sumbangan” seikhlasnya dari engkoh-engkoh pemilik toko.  Namun semakin mendekati Cap Go Meh, maka semakin banyak Barongsai asli yang dimainkan orang Tionghoa. Bedanya, bayaran yang mereka dapatkan akan disumbangkan kepada panitia perayaan Cap Go Meh.

Apabila pada tahun baru Imlek biasanya tidak banyak dilakukan banyak perayaan, melainkan ibadah dan silaturahmi, baru pada malam ke-15 bulan Tcia Gwee-lah diadakan pesta Cap Go Meh, yaitu ketika bulan purnama penuh menerangi malam. Saat inilah puncak perayaan tahun baru dilakukan lewat berbagai macam hiburan. Biasanya pesta Cap Go Meh diadakan selama tiga hari pada tanggal 13, 14 dan 15 Tcia Gwee.

Materi berikutnya bersambung ke Part-2…

Iring-iringan pemusik Tionghoa meramaikan kedatangan Ratu Juliana-Pangeran Bernhard ke Bandung

Kue Keranjang

Oleh : Reza Ramadhan Kurniawan (@kobopop)

Image

Kue keranjang memiliki nama asli Nien Kau atau Nian Gao atau Ni kwee yang berarti kue tahunan karena sering dibuat hanya satahun sekali saat perayaan Imlek. Kata Nian sendiri berarti Tahun dan Gao berarti kue, juga terdengar seperti tinggi atau bertingkat. Semakin tinggi keatas makin kecil ukuranya yang bisa diartikan sebagai pengharapan akan peningkatan rezeki atau kemakuran.

Bentuk kue keranjang jika kita lihat secara seksama berbentuk bulat yang mempunyai makna agar keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat hidup rukun, bersatu dan mempunyai tekad bulat dalam menghadapi tahun yang akan datang. Saat Imlek, warga Tionghoa biasnya terlebih dahulu menyantap kue keranjang sebelum nasi sebagai pengharapan agar beruntung dalam pekerjaan sepanjang tahun. Kue keranjang rasanya manis merupakan lambang harapan agar tahun baru membawa hal-hal yang baik dan kemakmuran.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑