Page 75 of 103

Kunjungan Raja Rama V ke Bandung

Perjalanan ke Jawa I

Seperti sudah diceritakan sebelumnya, Chulalongkorn atau Raja Rama V dari Kerajaan Siam pernah tiga kali mengunjungi Pulau Jawa. Masing2 tahun 1871, 1896, dan 1901. Berikut ini ringkasan kisah kunjungannya, terutama di bagian Bandung dan Priangan.

Chulalongkorn2

Perjalanan luar negri Chulalongkorn yang pertama berlangsung dari tanggal 9 Maret 1871 sampai 15 April 1871. Saat itu usia Chulalongkorn masih 18 tahun. Tujuan perjalanannya adalah semacam study-tour, ingin menyaksikan langsung kehidupan masyarakat di negri lain sambil belajar tata pemerintahan negri2 tetangganya. Detil seluruh perjalanan biasanya diceritakan oleh Rama V kepada asistennya yang selalu mengikuti dan diberi tugas mencatat.[1]

Dalam perjalanan pertama ini Rama V menggunakan kapal kerajaan, Pitthayamronnayuth yang bertolak dari Bangkok dan membawa 208 orang penumpang. Kapten kapal, John Bush, yang saat itu menjabat Kepala Pelabuhan Bangkok, adalah satu2nya orang asing dalam kapal itu. Rute perjalanan melewati dan mampir ke Singapura lalu menyusuri pantai timur Sumatra sampai masuk wilayah Kepulauan Seribu dan akhirnya, Batavia. Di Batavia, Rama V disambut oleh banyak pejabat pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jendral membuat dua surat edaran, “Apa yang Harus Dilakukan Saat Kedatangan Raja Siam” dan “Rangkaian Perjalanan Raja Siam Selama 5 Hari di Batavia”. [2]

Continue reading

Pangeran Paribatra di Bandung

Pada bagian ini, saya kembali lagi ke buku Wisata Bumi Cekungan Bandung seperti yang sudah saya kutip dalam tulisan sebelumnya. Pada halaman 119 ada tulisan sebagai berikut:

“Di tahun-tahun itulah, tepatnya pada tahun 1902, Rama V berkunjung ke Indonesia dan mampir ke Bandung. Mungkin pada saat itu, Rama V mendapat informasi mengenai keindahan alam tatar Priangan, sehingga menyempatkan datang ke Bandung yang saat itu pastinya masih sangat lengang. Rama V mungkin juga bercerita pada cucunya mengenai keindahan Bandung sehingga kemudian sang cucu, Rama VII, menapaktilasi kunjungan kakeknya itu. Bahkan Rama VII sempat membuat taman di kawasan Jl. Cipaganti berikut villanya. Jika kemudian mengunjungi Curug Dago, bisa jadi karena air terjun ini merupakan obyek alam terdekat di sekitaran Bandung, yang tentunya saat itu masih berair bening dan berpanorama indah.”

Di sebelah utara Bandung ada satu tempat yang dinamai Bunderan Siam (biasa dibaca Siem). Lokasi ini persisnya berada di perpotongan antara Jl. Cipaganti dengan Jl. Lamping (sekarang ditempati oleh pom bensin). Bunderan Siam memang cukup unik, selain namanya yang mengingatkan kepada kerajaan Thailand yang memang bernama lama Siam, juga karena di situ dahulu terdapat sebuah taman yang sangat indah.

Continue reading

Prasasti Raja Thailand di Curug Dago

Melanjutkan kisah tentang Chulalongkorn, pada bagian ini saya akan ringkaskan perjalanannya ke Pulau Jawa, terutama pada bagian kunjungan ke Priangan. Sebelumnya, saya kutipkan beberapa paragraf dari buku Wisata Bumi Cekungan Bandung (Budi Brahmantyo & T. Bachtiar, Truedee Pustaka Sejati, Bandung, 2009) yang berkaitan dengan jejak Raja Thailand tersebut di Bandung. Bagian ini dari halaman 116-117 di bagian dengan judul tulisan “Artefak di Ci Kapundung: Dago Pakar dan Prasasti Thai di Curug Dago”. Di situ tertulis:

Inskripsinya berbunyi: Coporo 34 Ra Sok 120, jika dipanjangkan berarti, Chalacomklao Paramintara = Chulalongkorn (gelar paduka raja), 34, Zaman Ratanakosin 120. Prasasti ini kemudian diinterpretasikan sebagai berikut: “Raja Rama V berkunjung ke Bandung saat berumur 34 tahun, sebagai peringatan ibukota Kerajaan Thai Ratanakosin ke-120”. Kerajaan Thai diketahui berdiri pada tahun 1782. Jika demikian, kunjungannya ke Curug Dago adalah pada tahun 1902. Ukiran lain pada batu itu adalah berupa bintang segilima dengan inskripsi berbunyi: Vachira Wudha.

Namun jika melihat biografi singkat Raja Rama V, penafsiran 34 sebagai umur sang raja saat berkunjung ke Bandung, ternyata tidak tepat. Dengan asumsi dia lahir pada 20 September 1853 (wafat pada 23 Oktober 1910 di usia 57), maka pada 1902, usia sang raja seharusnya adalah 49.

Sementara itu pada batu kedua, terdapat tulisan dalam huruf Thailand juga, yang diukir oleh sang penerus, yaitu Raja Rama VII. Inskripsinya berbunyi: Poporo Bu Sok 2472. Artinya: Prajatipok Paramintara, Tahun Budha 2472 (atau tahun 1929 M). Prasasti tersebut menjadi acara napak tilas sang cucu terhadap kakeknya ke Curug Dago, 27 tahun kemudian.

Cuplikan halaman buku Wisata Bumi Cekungan Bandung.

Cuplikan halaman buku Wisata Bumi Cekungan Bandung.

Lalu, pada halaman 119 ada tulisan sebagai berikut:

Di tahun-tahun itulah, tepatnya pada tahun 1902, Rama V berkunjung ke Indonesia dan mampir ke Bandung. Mungkin pada saat itu, Rama V mendapat informasi mengenai keindahan alam tatar Priangan, sehingga menyempatkan datang ke Bandung yang saat itu pastinya masih sangat lengang. Rama V mungkin juga bercerita pada cucunya mengenai keindahan Bandung sehingga kemudian sang cucu, Rama VII, menapaktilasi kunjungan kakeknya itu. Bahkan Rama VII sempat membuat taman di kawasan Jl. Cipaganti berikut villanya. Jika kemudian mengunjungi Curug Dago, bisa jadi karena air terjun ini merupakan obyek alam terdekat di sekitaran Bandung, yang tentunya saat itu masih berair bening dan berpanorama indah.

P1310113

Dari tulisan bagian pertama dibuat sebuah hitungan berdasarkan inskripsi pada batu di Curug Dago. Hasilnya menyimpulkan angka tahun 1902 sebagai tahun kunjungan Raja Rama V ke Bandung. Dalam buku karya Imtip Pattajoti[1] diceritakan bahwa sama seperti kunjungan2 tedahulu, perjalanan Raja Rama V selalu dicatat dan kemudian dibukukan. Seperti sudah dikemukakan dalam tulisan sebelumnya, Rama V dua kali mampir ke kota Bandung dalam perjalanannya ke Pulau Jawa, masing2 tahun 1896 dan 1901.

Chulalongkorn_crowned

Perjalanan tahun 1901 dicatat oleh putrinya yang juga ditugasi sebagai sekretaris pribadi sang raja, yaitu Putri Suddhadibya Ratana (1877-1922). Catatan2 ini kemudian dibuat menjadi dua buku yang diterbitkan pada tahun 1923. Masing2 buku itu: 1) A Diary of the Last Journey to Java in 1901 by H.M. King Chulalongkorn, dan 2) The Official Dispatches of His Majesty’s Daily Activities to the Public of Bangkok, Recorded by Prince Sommot Amornpan and Printed in the Government Gazette.

Dari judul buku itu sudah dijelaskan bahwa tahun kunjungan terakhirnya ke Bandung adalah 1901. Keseluruhan perjalanan berlangsung dari 5 Mei 1901 sampai 24 Juli 1901. Saya tidak tahu bagaimana menginterpretasikan angka 120 dan 34 pada prasasti pertama, namun bila angka tahunnya adalah 1902, memang akan lebih mudah, misalnya tahun Rattanakosin ke-120 yang bila dihitung sejak 1782 akan mendapatkan angka tahun 1902. Begitu pula angka 34 bisa mendapatkan keterangan masa kepemimpinannya sebagai Raja Siam sejak dinobatkan pada tahun 1868, hasilnya akan sama, angka tahun 1902.

Piagam yang dipajang dalam cungkup prasasti. Tertulis: Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand mengunjungi Curug Dago pertama kali pada tanggal 19 Juni B.E. 2439 (A.D. 1896). Dalam kunjungannya yang kedua kali pada tanggal 6 Juni B.E. 2444 (A.D. 1901), Baginda menorehkan parafnya yang dilengkapi dengan tahun Rattanakosin (Bangkok) Era 120 di atas batu.

Piagam yang dipajang dalam cungkup prasasti.
Tertulis: Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand mengunjungi Curug Dago pertama kali pada tanggal 19 Juni B.E. 2439 (A.D. 1896).
Dalam kunjungannya yang kedua kali pada tanggal 6 Juni B.E. 2444 (A.D. 1901), Baginda menorehkan parafnya yang dilengkapi dengan tahun Rattanakosin (Bangkok) Era 120 di atas batu.

Yang cukup jelas, ada kesalahan keterangan dalam paragraf berikutnya yang mengatakan bahwa Rama VII adalah cucu Raja Rama V. Setelah meninggalnya Rama V dan tahta kerajaan dilanjutkan oleh Rama VI atau Vajiravudh (1910-1925). Vajiravudh adalah anak Chulalongkorn dari istrinya yang bernama Saovabha. Vajiravudh memerintah Siam sebagai pemuda lajang. Dia baru menemukan calon permaisurinya, Indrasakdi Sachi, pada tahun 1920. Bahkan, Vajiravudh baru mendapatkan seorang anak perempuan dari selirnya, Consort Suvadhana, hanya dua jam sebelum kematiannya karena sakit pada tanggal 24 November 1925.

Prajadhipok's_coronation_records_-_001

Sebelum kematiannya, Vajiravudh sempat mengumumkan bahwa bila anak yang dikandung istrinya laki2, maka tahta kerajaan akan jatuh kepada sang anak, namun bila perempuan, maka tahta kerajaan akan diberikan kepada Prajadiphok, saudara laki2nya. Kemudian ternyata anaknya perempuan dan Prajadiphok akhirnya menerima tahta kerajaan sebagai Rama VII. Prajadiphok memerintah di Kerajaan Siam antara 1925 sampai 1935.

Vajiravudh memiliki empat orang istri, dan seorang putri. Sementara Prajadiphok yang menghapuskan sistem poligami hanya memiliki seorang istri tanpa membuahkan keturunan.


[1] “Journeys to Java by a Siamese King” – Imtip Pattajoti Suharto (2001)

Chulalongkorn atau Rama V

Lagi buka2 cerita tentang dua Prasasti Raja Thailand di Curug Dago, jadi teringat sebuah buku berjudul Journeys to Java by a Siamese King karangan Imtip Pattajoti Suharto. Buku ini mengkompilasi tiga catatan perjalanan yang dilakukan oleh Raja Thailand, Chulalongkorn atau Raja Rama V ke Pulau Jawa pada tahun 1871, 1896, dan 1901.

Nah, siapakah Raja Rama V?

King_Mongkut_and_Prince_Chulalongkorn

Rama V atau Chulalongkorn adalah anak tertua Raja Mongkut (Rama IV) dan Ratu Debsirindra. Dilahirkan pada 20 September 1853. Dalam usia 15 tahun (1868) Rama V dinobatkan sebagai raja Siam menggantikan ayahnya yang baru wafat. Chulalongkorn mendapat gelar Phra Bat Somdet Phra Poraminthra Maha Chulalongkorn Phra Chunla Chom Klao Chao Yu Hua. Walaupun masih sangat muda, tetapi rakyat akan segera mengenalnya sebagai salah satu raja Siam terbesar. Raja yang akan membawa banyak perubahan dan memberikan kesejahteraan bagi bangsanya. Di masa puncak kolonialisme negara2 Asia, Chulalongkorn berhasil menghindarkan negrinya dari penjajahan bangsa barat.

Continue reading

Tahura Ir. H. Djuanda dan PLTA Bengkok

Pada masa kolonial Kota Bandung dikenal sebagai kota yang asri karena memiliki sangat banyak taman sebagai penghias kotanya. Tak aneh bila saat itu Bandung populer sebagai kota taman. Di tengah kesibukan pembangunan berbagai sarana perkotaan, taman juga menjadi perhatian penting bagi pemerintah saat itu sehingga di sudut- sudut kota dibangun berbagai taman yang dirancang dengan indah. Kondisi seperti ini melahirkan banyak sebutan yang memuji keadaan Kota Bandung waktu itu, de bloem van bergsteden (bunganya kota pegunungan), Europa in de tropen (Eropa di wilayah tropis), sampai The Garden of Allah.

Taman-taman yang asri seperti ini sangat menyejukkan dan menyegarkan bagi warga kota sehingga menjadi tujuan rekreasi yang mudah dan sangat murah bagi siapapun. Setiap saat warga kota dapat melakukan rekreasi ke taman-taman ini, sejak pagi hingga malam hari. Sangat menyenangkan…

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda
Taman terbesar yang pernah dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda berbentuk hutan lindung dengan nama Hutan Lindung Gunung Pulosari. Perintisan taman ini mungkin sudah dilakukan sejak tahun 1912 berbarengan dengan pembangunan terowongan penyadapan aliran sungai Ci Kapundung (kemudian hari disebut sebagai Gua Belanda), namun peresmiannya sebagai hutan lindung baru dilakukan pada tahun 1922.

Continue reading

Ngaleut dan Piknik di PLTA Bengkok, Minggu, 26 Mei 2013

Ini catatan ringkas saja tentang perjalanan ngaleut kemarin bersama @KomunitasAleut. Untuk ngaleut hari ini sudah dirancang sebuah rute pendek dengan beberapa objek berbeda yang berada di jalur jalan kampung antara Kolam Pakar dengan kompleks PLTA Bengkok di Dago.

Peta Pakar Bengkokb       1369671264575
Peta dan rute perjalanan ngaleut kemarin. Rekaman rute oleh @adam_taufik.

Kegiatan dimulai dengan pembagian kelompok untuk berbelanja bahan masakan di Pasar Elos, Terminal Dago. Ada yang bertugas berbelanja bahan sayuran, bahan beberapa macam sambal, bahan lauk, dan lain-lain. Setiap kelompok ini nanti akan bertanggungjawab juga untuk mengolah setiap bahan yang ditentukan. Ternyatalah ada peserta yang belum pernah ke pasar, tidak tahu nama dan bentuk bahan makanan atau masakan tertentu, tidak tahu bahan2 yang diperlukan untuk membuat masakan tertentu, tidak berani menawar, dan sebagainya. Tentu saja ini menjadi pengalaman menarik..

Dari Pasar Elos, rombongan @KomunitasAleut menuju Kolam Pakar sebagai titik awal perjalanan. Dari sini perjalanan tidak terlalu jauh dan melulu akan melalui jalanan menurun. Sebelum mencapai titik tertinggi pipa pesat PLTA Bengkok (Tangga Seribu), rombongan mampir dulu ke suatu kawasan yang oleh masyarakat dulu dikeramatkan, yaitu Kampung Cibitung. Di kawasan lembah curam ini terdapat beberapa mata air yang menjadi sumber kebutuhan air warga sekitar. Terdapat beberapa bak penampungan dengan jalur2 pipa.

Continue reading

Catatan Seputar Penemuan Gunung Padang, Cianjur

Banner 1

Pada bagian Pendahuluan dalam buku Peninggalan Tradisi Megalitik di Daerah Cianjur, Jawa Barat {1}, susunan Haris Sukendar, tertulis seperti ini:
“Penemuan kembali bangunan berundak oleh para petani Endi, Soma, dan Abidin di Gunung Padang yang dilaporkan kepada Kepala Seksi Kebudayaan Kabupaten Cianjur R. Adang Suwanda pada tahun 1979 telah menggugah para arkeolog untuk mengadakan penelitian. Bangunan ini telah dicatat oleh N.J. Krom pada tahun 1914, tetapi penelitian yang intensif belum pernah dilaksanakan. Pada tahun 1979 tim Puspan yang dipimpin oleh D.D. Bintarti mengadakan penelitian  di daerah tersebut. Selajutnya pada tahun 1980 diadakan pula penelitian ulang yang dipimpin oleh R.P. Soejono.

Dr. N.J. Krom dalam Rapporten Oudheidkundige Dienst tahun 1914 menyebutkan sebagai berikut: op dezen bergtop nabij Goenoeng Melati vier door trappen van ruwe steenen verbonden terrassen, ruw bevloerd en met scherpe opstaande zuilvormige andesict steenen versierd. Op elk terras een heuveltje (graf), met steenen omzet en bedekt en voorzien van twee spitse steenen. Rupanya setelah tahun 1914, yaitu setelah N.J. Krom menulis tentang bangunan berundak Gunung Padang ini, bangunan tersebut tertutup oleh hutan dan semak belukar, dan baru ditemukan kembali sesudah tahun 1979”.

Continue reading

Tangkuban Perahu dan Kopi di Priangan

Konon pendakian pertama Gn. Tangkuban Parahu dilakukan oleh Abraham van Riebeeck pada tahun 1713. Pendakian ini merupakan misi pencarian belerang sebagai bahan campuran pembuatan bubuk mesiu untuk meriam dan bedil. Saat itu tentu saja belum ada jalur jalan seperti sekarang, sehingga pendakian ke puncak gunung dengan ketinggian 2.076 mdpl itu bisa sangat melelahkan.

Akibatnya memang fatal bagi van Riebeeck, beliau meninggal dalam perjalanan pulang dari puncak Tangkuban Parahu tanggal 13 November 1713 karena tenaga yang habis terkuras. Sebelumnya van Riebeeck juga sudah mendaki Gn. Papandayan di sebelah selatan. Beruntung van Riebeeck sempat meninggalkan catatan-catatan yang kemudian menyadarkan Kompeni Belanda tentang potensi alam Tatar Ukur (Priangan) waktu itu. {1}

Ridwan Tangkuban Parahu 2
Peta kawah dan trekking dari masa Hindia Belanda.

Abraham van Riebeeck adalah putra Joan van Riebeeck, pendiri Capetown di Afrika Selatan. Pada tahun 1712 ia mendarat di Wijnkoopsbaai (sekarang Pelabuhan Ratu) sebagai salah satu orang pertama yang memperkenalkan tanaman kopi ke Pulau Jawa.{2} Kelak penanaman kopi ini akan menjadi salah satu andalan hasil bumi Priangan hingga dipaksakan penanamannya mulai tahun 1831
melalui kebijakan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa sebagai upaya pemulihan kas Hindia Belanda yang tersedot akibat Perang Diponegoro (atau Perang Jawa, 1825-1830).{3}

Continue reading

Beberapa Tinggalan Sejarah di Sekitar Majalaya

IMG_6221

  1. Di Kampung Kadatuan, Desa Bojong, ada gundukan batuan di tepi jalan yang tidak terlalu diperhatikan orang. Dari cerita mulut ke mulut, batuan itu dipercaya sebagai bekas lokasi pusat Kerajaan Sawung Galah.
  2. Di jalur jalan Sapan-Bojongemas, Desa Bojongemas, Kecamatan Solokanjeruk, di tepi Ci Tarum ditemukan tumpukan batuan yang dipercaya sebagai reruntuhan sebuah candi. Di dekatnya, di bawah pohon kimunding, pernah ditemukan sebuah arca, Durga Mahesasuramardhini, yang oleh warga sekitar disebut Arca Putri. Di lokasi ini juga ada satu bangunan tanah berundak yang disebut Pasaduan. Ada dugaan itu tempat ritual atau situs pemujaan dari masa Rajaresiguru Manikmaya (Kerajaan Kendan).
  3. Di Desa Tangulun, Kec. Ibun, ditemukan juga tumpukan batu yang dipercaya sebagai sisa-sisa sebuah candi. Tumpukan batuan serupa juga ditemukan di sebuah kampung bernama Kampung Candi.
  4. Di Kampung Ciwangi, Ds. Cipaku, Kec. Paseh, terdapat sebuah makam kuno yang dipercaya sebagai makam Eyang Kalijaga atau Eyang Paku Jaya. Itulah makam Ratu Cakrawati Wiranatakusumah yang memerintah di Tatar Ukur pada masa Dipati Ukur bergerilya memberontak terhadap Mataram.
  5. Di kaki Gunung Manik, Desa Nagrak, terdapat dua makam kuno dari abad 16. Masing-masing makam Prabu Raga Mulya Suryakencana (Prabu Seda), raja Pajajaran terakhir, dan makam istrinya, Parahitrasuli-yasahri, putri dari raja Parung Kuyah, Prabu Surgia Dandang. Setelah wafatnya raja Parung Kuyah, Prabu Suryakencana menikahi Putri Parahitrasuliyasahri sebagai selir keempat sekaligus melanjutkan pemerintahan Parung Kuyah.  Continue reading

Terowongan Lampegan 1879-1882

lampegan

Antara tahun 1881 sampai 1884, perusahaan Staatspoorwegen Westerlijnen menyelesaikan pembangunan jalur lintasan kereta api mulai dari Bogor melalui Sukabumi sampai Bandung dan Cicalengka sepanjang 184 kilometer. Jalur kereta ini mencapai Bandung pada tanggal 17 Mei 1884 dan peresmian stasiunnya dilaksanakan pada tanggal 16 Juni 1884.

Pada lintasan Sukabumi-Cianjur sepanjang 39 kilometer terdapat sebuah terowongan yang dibuat dengan membobol badan Bukit Kancana (ada juga yang menyebutkan Gunung Keneng) di Desa Cibokor. Panjang terowongan ini 415 meter. Terowongan ini adalah yang pertama dibuat di wilayah Priangan. Baru pada tahun 1902 dibuat terowongan lain di Sasaksaat pada lintasan Batavia-Bandung via Cikampek, dan buah 3 terowongan di Ciamis selatan dibangun tahun 1918.

Continue reading

Kampung Apandi, Braga

Repost

P1630109B

Ruas Jl. Braga di Bandung tentulah sudah dikenal baik oleh masyarakat, baik sebagai objek wisata berwawasan sejarah atau arsitektur. Sejumlah bangunan tua di Jl. Braga belakangan ini menjadi lebih populer sebagai tempat berfoto-ria yang dilakukan baik oleh kalangan wisatawan atau pun para pelajar dan remaja Kota Bandung. Belakangan Jl. Braga agak mengundang kegaduhan dalam masyarakat sehubungan dengan program revitalisasi yang menggantikan bahan jalan dari aspal dengan batu andesit. Jalan berbatu andesit ini ternyata tak pernah mampu bertahan cukup lama dalam kondisi baik.

Tapi dari pada membicarakan masalah revitalisasi yang tidak vital itu, saya langsung saja ke perhatian utama saat ini, yaitu Kampung Apandi. Ruas Jl. Braga sebetulnya diapit oleh dua kawasan di kiri-kanannya, masing-masing Kampung Apandi di sebelah barat dan sebuah Europeschewijk di sisi timurnya. Europeschewijk yang dulu dikepalai oleh Coorde sekarang menjadi kawasan Kejaksaan Atas dan nama Gang Coorde menjadi Jl. Kejaksaan. Istilah Kejaksaan Atas dan Kejaksaan Bawah adalah istilah tidak resmi dari warga untuk membedakan potongan Jl. Kejaksaan antara Tamblong-Braga dengan Tamblong-Saad.

Continue reading

Prof. Kemal Charles Prosper Wolff Schoemaker

Repost
48a
Para peminat sejarah kolonialisme di Hindia Belanda dan terutama Bandung, tentunya tak asing dengan nama Wolff Schoemaker. Beliau adalah arsitek yang banyak merancang gedung-gedung monumental di Bandung. Dapat disebutkan beberapa karyanya yang terkemuka seperti Villa Isola, Hotel Preanger, Gedung Merdeka, Peneropongan Bintang Bosscha, Bioskop Majestic, Landmark Building, Gedung Jaarbeurs, Penjara Sukamiskin, Gereja Bethel, Katedral St. Petrus, Mesjid Raya Cipaganti, dan banyak lagi yang lainnya. Demikian banyak karyanya diBandungsehingga seorang pakar arsitektur dari Belanda, H.P. Berlage, pernah mengatakan bahwa Bandung adalah “kotanya Schoemaker bersaudara”. Ya, Wolff Schoemaker memang memiliki seorang kakak yang juga terpandang dalam dunia arsitektur masa kolonial, yaitu Richard Schoemaker.

Continue reading

Sekilas Geusan Ulun (1558-1601)

Image

Repost

Gara2 diingatkan pengalaman beberapa waktu lalu berkunjung ke situs makam Dayeuhluhur di Sumedang, jadi ingat postingan ini. Pada publikasi lama cerita ini pernah diprotes oleh mereka yang punya versi cerita berbeda. Tapi saya memang tidak mempunyai pendapat apa pun dan tidak menambahkan apa pun dalam/tentang cerita ini, sepenuhnya hanya mencoba mengenalkan ulang satu tokoh sejarah yang namanya dipakai sebagai salah satu nama jalan di pusat kota Bandung.

Pangeran Angkawijaya bergelar Prabu Geusan Ulun (1558-1601 M) adalah raja Sumedanglarang ke-9 yang bertahta pada 1578-1601 M. Ibunya, Satyasih atau Ratu Inten Dewata (lebih populer dengan gekar Ratu Pucuk Umun) adalah raja Sumedanglarang ke-8. Ratu Pucuk Umun menikah dengan Raden Solih (Ki Gedeng Sumedang atau lebih populer dengan gelar Pangeran Santri), cucu dari Pangeran Panjunan. Pangeran Santri kemudian menggantikan Ratu Pucuk Umun sebagai Raja Sumedanglarang dengan gelar Pangeran Kusumahdinata I dan memerintah pada 1530-1578 M.

Continue reading

P.F. Dahler dan Oeroesan Peranakan

Dahler0

Oleh : R. Indra Pratama

Kepada  gundukan tanah baru di Pemakaman Mrican, Jogjakarta itu, Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara berucap, “Walau masih banyak kekurangan, tetapi jangan hendaknya saudara berkecil hati meninggalkan kita, karena kita tentu akan menyelesaikan usaha yang masih belum sudah ini, dan percayalah saudara bahwa kita tentu akan dapat mencapai apa yang kita idamkan bersama”. Bersamaan dengan ucapan itu, menunduklah orang-orang nomor penting Republik Indonesia, Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta beberapa menteri, Guru-guru besar Universitas Gajah mada, hingga  wakil-wakil partai lintas ideologi; Partai Komunis Indonesia, Partai Nasionalisme Indonesia, dan Masyumi.[1]

Sebelum genap tiga tahun Republik Indonesia diproklamirkan, telah berpulang seorang pejuang tangguh, dengan curiculum vitae perjuangan yang mengagumkan dan berpengaruh bagi berdirinya republik ini. Pejuang yang mulanya aktif memperjuangkan nasionalisme golongan Indo (Eurasia), lalu meleburkan nasionalisme Indo tersebut kedalam nasionalisme Indonesia yang mulai berkembang. Jurnalis media berbahasa Melayu, anggota Volksraad, juga anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Juga berperan besar terhadap perumusan dan pengajaran bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, hingga ditunjuk sebagai kepala Balai Bahasa yang pertama.

Pieter Frederich Dahler, atau umumnya dikenal sebagai P.F. Dahler, atau Frits Dahler (nantinya berganti nama menjadi Amir Dachlan), lahir di Semarang pada 21 Februari 1883 dari Ayah seorang Belanda, dan Ibu seorang Indo Eurasia. Sejauh ini tidak ditemukan sumber latar belakang keluarga Dahler, juga mengenai kisah masa kecil dan sejarah pendidikan Dahler. Dahler meniti karir sebagai pegawai pemerintahan, yang mengantarnya hingga jabatan Controleur di Volkslectuur/Balai Poestaka[2]. Ketika Balai Poestaka mendirikan Divisi Penerjemahan tahun 1919 untuk keperluan penerjemahan karya tulis kedalam bahasa Melayu, Dahler dipilih untuk mengepalai bagian tersebut. [3]Dahler masih tercatat sebagai pegawai di Balai Pustaka hingga tahun 1935. [4]

Dahler mulai masuk ke dunia pergerakan nasionalisme Hindia ketika berkenalan dengan aktivis pergerakan nasionalisme Indo E.F.E Douwes Dekker pada tahun 1918, yang kelak dikenal dengan nama Danudirja Setiabudhi. Ia pun bergabung dengan Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo di Insulinde, organisasi lanjutan dari Indische Partij yang terkena represi. Insulinde aktif meneruskan perjuangan Indische Partij, meskipun pada ideologinya makin bergeser kepada konsep nasionalisme Hindia (termasuk didalamnya asimilasi kaum Indo dengan pribumi, sejalan dengan pemikiran Dahler). Meskipun begitu, Insulinde tidak sepenuhnya mengambil jalan non-kooperasi dengan masih terdapatnya wakil di Volksraad. Kepulangan Dekker dan Tjipto menambah lagi kekuatan radikal Insulinde.

Insulinde mulai berbenah merapikan gerakan organisasi, mengkoordinir afdeling-afdeling di berbagai tempat di Jawa. Lalu Insulinde pun mulai mengkoordinir gerakan-gerakan mogok di berbagai daerah, terutama di Jawa Tengah, yang dipimpin seorang haji radikal eks anggota Sarikat Islam, Haji Misbach. Misbach sanggup menggerakan serangkaian pemogokan buruh di Jawa Tengah, yang berujung dengan penangkapannya Misbach di Surakarta tahun 1919.

Paralel dengan peristiwa diciduknya Misbach, Dahler membantu Dekker untuk membuat reformasi Insulinde.  Dekker menggelar Kongres Kaum Hindia di Semarang tanggal 7-9 Juni 1919, yang mana ia mengungkapkan seruan “revolusi spiritual” dan membentuk front persatuan dengan basis “cita-cita dan ideologi nasional”. Sebagai kendaraan dari cita-cita dan ideologi ini, dibentuklah National Indische Partij – Sarikat Hindia (NIP-SH), yang masih berhaluan keras seperti Indische Partij, yang seperti dikatakan Dekker, adalah sebuah “pernyataan perang”, “sinar yang terang ,melawan kegelapan, kebaikan melawan kejahatan, peradaban melawan tirani, budak pembayar pajak kolonial melawan negara pemungut pajak Belanda”. [5] Namun dua bulan setelah Misbach, giliran Douwes Dekker kembali ditangkap setelah dituduh mengompori aksi mogok di Polanharjo, Klaten.

Di sisi lain, kaum Indo anggota NIP-SH banyak yang merasa kurang nyaman dengan radikalitas dari partai. Para anggota Indo banyak yang beralih kepada gerakan Indo Europeesch Verbond (IEV), yang dibentuk oleh karib lama Dekker, Karel Zaalberg. Jika Dahler dan Dekker mempunyai cita-cita asimilasi kaum Indo dan Pribumi dalam satu nasionalisme Hindia, cita-cita IEV adalah mempertahankan status kaum Indo andaikata kelak Hindia bisa lepas dari Belanda. Namun demikian, kontrol yang baik dari Tjipto, Suwardi (yang baru kembali dari pengasingan), dan Dahler membuat NIP-SH masih mampu bertahan baik. Tercatat tahun 1922 Dahler menjadi wakil dari NIP-SH di Volksraad hingga NIP-SH bubar tahun 1923.[9]

Di Volksraad, Dahler berkenalan dengan politisi asal Minahasa, Sam Ratulangie. Sembari menjadi editor di Bintang Timoer, bersama psikolog M.Amir dan Ratulangie, Dahler bersepakat membentuk majalah mingguan Penindjauan di Batavia. Mingguan ini kemudian mengambil filosofi sebagai “peninjau” kebijakan-kebijakan kolonial Pemerintah Hindia-Belanda. Sudut pandang ini ternyata menghasilkan sudut pandang oposisi bagi Penindjauan. Tulisan-tulisan kritis bernada keras yang ditujukan pada pemerintah satu persatu mulai diterbitkan Penindjauan. Mingguan ini kemudian diperkuat oleh penulis-penulis muda yang kemudian hari akan menjadi tokoh dalam dunia penulisan Indonesia, seperti Armijn Pane, Sanoesi Pane, dan Achdiat K. Mihardja.[6] Armijn, Sanoesi, dan Achdiat kemudian kelak juga bekerja bersama lagi di Balai Poestaka.

Kebijakan tulisan di Penindjauan membuat pemerintah bersikap represif terhadap media ini, terutama pada Sam Ratulangie, yang tulisan-tulisannya menjadi corong media ini. Sam Ratulangie dikenakan dugaan telah mengkorupsi uang perjalanan dinasnya sebagai anggota Volksraad sebesar 100 Gulden. Tuduhan dan proses hukum yang dikenakan pada Ratulangie menjadi bahan polemik cukup seru antara media-media pro pergerakan dengan media-media pro pemerintah. Ratulangie akhirnya dijatuhi hukuman 4 bulan penjara di Sukamiskin, Bandung pada 1936. Di dalam Penjara Sukamiskin ini Ratulangie berhasil membuat sebuah karya geopolitik yang cukup visioner pada masa itu, Indonesia in den Pasific. Dimana didalam salah satu bagian Ratulangie menulis tentang keberadaan Jepang dan kemungkinan invasi Jepang ke Hindia Belanda, juga tentang kemungkinan geo-strategi Hindia di masa depan.[7]

Dahler juga disebut pernah mengajar di Ksatriaan Instituut, dan Pergoeroean Rakjat. Ajip Rosidi menulis bahwa Dahler juga pernah mengajar Achdiat K.Mihardja saat duduk di bangku AMS, meskipun belum jelas AMS Bandung ataukah Solo, karena Achdiat pernah berpindah duduk di bangku AMS di kedua kota tersebut. Pada Oktober 1941 Dahler bekerja di Regeeringpubliciteitsdients (Dinas Penyiaran Pemerintah) di bagian penerangan penyiaran bahasa  pribumi dan Melayu-China, serta biro penterjemahan dan penyusunan rekaman pers pribumi dan Melayu China.

Saat Jepang masuk ke Indonesia, mereka menerapkan kebijakan yang tegas untuk menginternir orang Eropa ke kamp-kamp, dan memilih berusaha menjalin kerjasama dengan pribumi. Dibalik itu Jepang juga menerapkan standar ganda untuk kaum Indo. Banyak diantara kaum Indo yang turut dimasukkan kedalam kamp konsentrasi, namun disisi lain juga Jepang menginginkan kaum Indo untuk bersama pribumi mensukseskan propaganda Jepang sepanjang Perang Dunia II di Pasifik.

Akhirnya Jepang berusaha merangkul kaum Indo dengan menganggap mereka sebagai pribumi, dan dengan sendirinya harus menjadi bagian dari Asia Raja yang dipropagandakan Jepang. Dahler pun dipilih untuk menjadi salah satu juru bicara kaum Indo bersama A.Th.Bogaart. Pada Agustus 1943 Jepang mendirikan Kantor Oeroesan Peranakan sebagai pusat usaha pengintegrasian kaum Indo untuk bersama kaum pribumi membentuk Asia Timoer Raja. Dikepalai oleh Hamaguchi Shinpei, lembaga ini antara lain beranggotakan Dahler.

Dahler, yang dianggap tokoh golongan Indo yang pro Indonesia, bertugas sebagai penghubung antara kaum Indo dengan pemerintah Jepang. Tugas yang sulit, mengingat masih banyak kaum Indo yang lebih merasa terkait dengan kaum Eropa totok di lapisan atas masyarakat, dibandingkan dengan kaum pribumi. Suratkabar Tjahaja tanggal 27 Januari 1943 memuat pernyataan Dahler yang menganjurkan pilihan kaum Indo untuk bekerjasama dengan Jepang. Namun hal tersebut tidaklah mudah, karena tidak seperti Boogarts yang dihargai di mayoritas kalangan Indo (yang merasa lebih sebagai Eropa daripada pribumi), pro-Indonesianis seperti Dahler tidak begitu dihargai.

Kantor Urusan Peranakan

Salah satu cara Jepang membujuk kaum Indo adalah dengan menyuruh mereka memilih, mengidentikkan diri dengan kaum pribumi dan bekerjasama dengan Jepang, atau tetap menjadi tahanan kamp konsentrasi. Kebijakan tersebut diputuskan dalam rapat Jepang dengan Dahler bulan Januari 1944. Kebutuhan akan sumber daya manusia membuat Jepang berusaha membujuk kaum Indo dengan iming-iming bahwa keluarga mereka akan ikut dibebaskan pada momen ulang tahun kaisar pada bulan April jika mereka (lelaki kaum Indo) bekerjasama dengan Jepang.[8]

Bujukan Jepang ternyata tidak berjalan efektif untuk membujuk kaum Indo bergabung. Jepang pun memulai gaya represif dalam menangani kaum Indo dengan menahan lebih banyak lagi kaum Indo yang enggan bergabung. Jepang, yang menganggap Dahler kurang tegas dalam membujuk kaum Indo untuk bergabung, tahun 1944 akhirnya mengutus seorang pro asimilasi yang lebih radikal, yaitu P. H. van den Eeckhout. Dahler sebenarnya tidak menyukai gaya militan Eeckhout, namun tidak bisa berbuat apa-apa karena Eeckhout diutus langsung oleh Jepang.

Pada saat Jepang membentuk Badan Penyelidik Urusan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), nama Dahler masuk menjadi salah satu anggota. Ia hadir dalam kedua rapat BPUPKI (29 Mei – 1 Juni dan 10 Juni – 17 Juli 1945). Dalam rapat 10 Juni, Dahler terlibat aktif dalam beberapa isu, yang paling penting dan pelik adalah isu mengenai siapa-siapa saja warganegara Indonesia kelak. Dahler, yang hadir sebagai perwakilan warga peranakan, bersama A.R Baswedan (mewakili warga keturunan Timur Tengah) dan Liem Koen Hian (mewakli warga keturunan China), menanggapi usulan M.Yamin bahwa untuk warga non pribumi dapat diberikan hak repudiatie (penolakan) terhadap status kewarganegaraan Republik Indonesia. Dahler berpendapat bahwa hak repudiatie dapat memicu masalah kewarganegaraan ganda, dan oleh sebab itu, harus dibuat sebuah Undang-undang khusus yang mengatur masalah kewarganegaraan kaum peranakan tersebut. Undang-undang khusus ini kemudian berhasil dibuat namun pada perjalanannya berubah-ubah sesuai kondisi politik Indonesia, dan undang-undang terkini yang mengatur masalah kewarganegaraan bagi non pribumi ada di UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Setelah proklamasi Dahler makin gencar mengusahakan asimilisasi kaum Indo kedalam republik. Dahler pun bergabung dengan Partai Nasional Indonesia yang dipimpin Soekarno. Namun kondisi keamanan dan euforia revolusi berdampak besar (dan negatif) bagi perjuangan Dahler. Dalam masa yang sering disebut masa “Bersiap” ini (1945-1949) telah terjadi banyak kasus kekerasan berdarah terhadap kaum Indo yang dilakukan oleh para revolusioner republik dari kaum pribumi. Robert Cribb dalam Gangsters and revolutionaries, the Jakarta peoples militia and the Indonesian revolution 1945-1949 melukiskan masa Bersiap di Jakarta sebagai ” terrifying time of regular looting, robbery, kidnapping and random murders were Europeans and Indo-Europeans disappeared even from the heart of the city, to be found floating in the ‘kali’ (canals) days later“. Pembunuhan dan seringkali penyiksaan acak kepada kaum Indo Eurasia terjadi dalam skala besar di beberapa tempat.  Pada 12 Oktober 1945 tercatat 42 pemuda Indo dibunuh di Simpang Club Surabaya, dan ratusan lainnya ditangkap dan disiksa di Penjara Kalisosok. Sepanjang 1945-1946, di Bandung tercatat sekitar 1.200 orang sipil yang dicurigai pro Belanda oleh pada pejuang revolusi tewas dibunuh.

Kekacauan dan kekejaman yang terjadi tersebut menambah sulit upaya asimilasi yang berpuluh-puluh tahun telah diperjuangkan Dahler. Gelombang repatriasi (migrasi kaum Indo yang tak pernah menginjak Belanda sebelumnya, ke Belanda) yang terjadi menyusul kejadian-kejadian tersebut, akhirnya membuat Dahler tidak akan pernah melihat cita-cita asimiliasinya tercapai.

Pada 12 April 1946 Dahler ditangkap oleh pasukan Belanda, karena dianggap pernah bekerjasama dengan Jepang. Ia ditahan berpindah mulai dari Penjara Glodok, Gang Tengah, dan Pulau Onrust. Pada 15 April 1947, karena dianggap hanya berkolaborasi secara moral dengan Jepang, dan tidak ada kejahatan yang dilakukan terhadap warga Belanda di masa Jepang,  Dahler diberi amnesti dan dibebaskan. Hari itu juga Dahler langsung bergabung ke Yogyakarta, yang saat itu menjadi Ibukota Republik.

Setelah kemerdekaan, pemerintah memandang perlu untuk mendirikan sebuah lembaga yang bertugas menangani masalah bahasa persatuan, bahasa Indonesia, yang belum terlalu umum dan dikenal sebagai sebuah konsep utuh, bahkan di wilayah republik sekalipun. Maka pada Juni 1947 pemerintah memutuskan untuk membentuk Panitia Pekerja Bahasa Indonesia, yang diketuai K.R.T. Amin Singgih (kelak menjadi penulis beberapa buku penting dalam studi Bahasa Indonesia). Tim Panitia Pekerja Bahasa Indonesia kemudian pada Februari 1948 mencetuskan lembaga yang berkewajiban mempelajari bahasa persatuan Indonesia dan bahasa-bahasa daerah, serta memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang hal-hal yang berkenaan dengan bahasa-bahasa tersebut, bernama Balai Bahasa. Dahler dipilih sebagai pemimpin Balai Bahasa, karena pengetahuan dan pengalamannya yang luas akan literatur dalam bahasa Melayu, yang menjadi dasar Bahasa Indonesia, juga kemampuan multilingualnya. Kantor pertama Balai Bahasa sendiri terletak di gedung Sekolah Guru Puteri, Jalan Jati 2, Yogyakarta.

Namun medio April 1948 Dahler tua mendadak jatuh sakit. Berita rilisan Antara tanggal 7 Juni 1948 menyebutkan Dahler sudah dua bulan berada di Rumah Sakit Pusat Yogyakarta karena terkena infeksi. Pukul sembilan malam tanggal 7 Juni itu pula Dahler akhirnya meninggal dunia di usianya yang ke 67. Jenazahnya disemayamkan sehari sebelum dikebumikan di Pemakaman Mrican pukul empat sore keesokan harinya. Tercatat yang hadir di pemakamannya untuk menghormati Dahler adalah Wakil Presiden merangkap perdana Menteri Moh.Hatta, Ketua Delegasi Republik, Menteri pendidikan Ali Sastroamidjoyo, Menteri keuangan A.A Maramis, Menteri penerangan M.Natsir, Menteri Luar Negeri Agus Salim, Menteri kemakmuran Sjafruddin Prawiranagara, Jaksa Agung Tirtawinata,  ketua Dewan Pertimbangan Agung Margono Djojohadikusumo, guru-guru besar lembaga-lembaga pendidikan tinggi, serta Wakil-wakil partai, PKI, PNI, dan Masyumi. Pemakaman Dahler sendiri dilakukan secara Protestan dipimpin oleh Domine Harahap dari BOPKRI.

 


[1] Antara 9 Juni 1948 dikutip dari Toer, Pramudya Ananta, dkk. 1999. Kronik Revolusi Indonesia Bagian II (1946). Kepustakaan Populer Gramedia.
[2] Touwen-Bouwsma, E. 1996.  Japanese minority policy; The Eurasians on Java and the dilemma of ethnic loyalty. 152, no.4. (Publisher: KITLV, Leiden) Hlm.39
[3] Jedamski, Doris. 1999. Kebijakan Kolonial di Hindia Belanda. Leiden. Dikutip dari https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/15116/Microsoft%20Word%20-%20jedamski-bijak%20I%20030408.pdf?sequence=5
[4] Touwen-Bouwsma, E. Op.cit. Hlm.39
[5] Van Der Veur. Introduction to a Socio Political Study of the Eurasians of Indonesia. Hlm 163.
[6] Rosidi, Ajip. 2010. Kita Benar-Benar kehilangan. Achdiat K. Mihardja (1911-2010).
[7] Raditya, Iswara.N. 2011. Paman Sam Melayu dari Minahasa. http://melayuonline.com/ind/opinion/read/468/paman-sam-melayu-dari-minahasa
[8] Fields, D. Of, the Japanese civilian camps. Hlm. 446.
[9] Siraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912 – 1926. Pustaka Utama Graffiti.

Dick Tamimi, Di Udara Dia Jaya!.

Oleh : R. Indra Pratama

Manusia sering mengidentikkan udara sebagai tempat yang melambangkan kebebasan. Keinginan untuk lepas dari represi dan kontrol mendorong imaji manusia begitu jauh untuk berjalan di udara, meninggalkan batasan-batasan yang terdapat di darat. Jika tidak percaya silahkan anda berandai bertanya pada Orville dan Wilbur Wright, atau kepada Guglielmo Marconi dan Alexander Graham Bell.

Jika merasa kesulitan berbahasa Inggris atau Italia, anda bisa berandai-andai pula menghubungi seorang Mohammad Sidik Tamimi atau akrab dipanggil Dick Tamimi. Pria kelahiran Karawang, 13 Februari 1922 yang memilih udara sebagai tempat eksistensi diri. Mulai dari radio amatir, menjadi penerbang, hingga memproduseri puluhan album musik Indonesia yang menjadi hits.

Dick-Tamimi-1951-bw

Sulung dari tujuh bersaudara pura-putri pasangan Mohamad Tamimi (asal Riau, keturunan Bugis Luwu) dan Maswarijet (masih merupakan kerabat dari H.Agus Salim, tokoh pergerakan) ini mungkin awalnya tidak membayangkan akan begitu sohor akan perannya di udara. Kehidupan masa kecilnya dilalui seperti kebanyakan anak keluarga yang beruntung lainnya masa itu, menempuh jalur ELS, MULO B, dan AMS B.  Masa sekolah dia habiskan di daerah Petojo, Jakarta Pusat.

Namun ketertarikannya pada suatu benda yang terdapat di rumah, membentuk sebuah lorong yang akan mengangkatnya ke dunia udara. Benda itu adalah sebuah radio elektronik. Dick remaja hobi mendengarkan, dan kemudian berani mengotak-atik radio elektronik tersebut, yang akhirnya pada tahun 1941 mengarahkannya untuk mengambil ujian masuk di Technische Hoogeschool Bandung jurusan elektro setelah menamatkan tiga tahun jenjang AMS . Hasil ujian ternyata menyatakan Mohammad Sidik Tamimi lulus dan berhak menjadi mahasiswa jurusan elektro.

Malang untuk Dick Tamimi, kedatangan tentara Jepang ke Hindia tahun 1942, termasuk ke Kota Bandung, merubah situasi dan kondisi belajar para mahasiswa. Jepang membubarkan organisasi-organisasi mahasiswa dan mengarahkan para pemuda kepada kegiatan-kegiatan dan organisasi-organisasi yang dimaksudkan sebagai pendukung gerakan fasisme seperti Seinendan-Keibondan (Barisan Pelopor) dan Pembela Tanah Air (PETA). Kegiatan-kegiatan seperti indoktrinasi politik serta pelatihan militer menjadi makanan sehari-hari para pemuda.

Dick Tamimi memilih untuk meninggalkan kampus dan kembali ke Jakarta. Ia membuka tempat reparasi radio yang ia namakan “Reparasi Toendjoek”  di daerah Menteng Raya. Ia pun sempat bekerja di kilang pengolahan minyak di Sungai Gerong, dekat Palembang , Sumatera Selatan, sebagai electric engineer, sebelum kembali mendirikan reparasi elektronik “Esta”.

Setelah kemerdekaan, tepatnya tanggal 23 Agustus 1945, pemerintah mengumumkan hasil rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehari sebelumnya, yang menyatakan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dick Tamimi yang saat itu berada di Tangerang, memutuskan bergabung dengan Batalyon Perhubungan (PHB) Siliwangi di Resimen IV Tangerang, dibawah pimpinan Letkol Singgih dengan pangkat Letnan Dua. Kemudian ia dipindah tugaskan ke PHB Siliwangi Pusat yang berkedudukan di Tasikmalaya dengan pangkat terakhir Letnan Satu.

SK-AURI-Komandemen-Sumatera

Tahun 1947,  Dick Tamimi “dipinjam” oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) –sekarang Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU)- untuk ditempatkan di wilayah Sumatera, dibawah pimpinan Komandan Udara Halim Perdana Kusuma. Ia diplot untuk membantu Opsir Udara Dua Iswahyudi, dan kemuadian diberi kuasa mengambil alih peran Iswahyudi.

Kemudian Dick Tamimi, yang kini sudah berpangkat Letnan Penerbang, bersama Ferdy Salim, keponakan dari Haji Agus Salim, sekaligus kakak dari cendikiawan Emil Salim, dipercayakan untuk misi mencari dan menyelundupkan barang-barang militer seperti senjata, radio, dan juga kendaraan dari Singapura dan Bangkok, Thailand.

Salah satu misi terpenting adalah menjembatani pembelian pesawat pertama Republik Indonesia. Pada  1947, republik memang memiliki beberapa pesawat. Namun pesawat-pesawat itu merupakan hasil rampasan dan peninggalan penjajah, baik Jepang maupun Belanda. Pada September 1947 Wakil Presiden Mohammad Hatta menginstruksikan sebuah kebijakan ekonomi yang unik, yaitu mengumpulkan emas dari kerelaan pribadi warga Sumatera Barat untuk nantinya dibelikan pesawat terbang dan kebutuhan-kebutuhan militer lainnya.  Semua unsur-unsur tradisional Minangkabau dikerahkan untuk memobilisasi pengumpulan emas. Para ibu ramai-ramai mendatangi tempat-tempat yang ditentukan untuk menyerahkan perhiasan mereka secara sukarela.

Dalam tempo kurang dari dua bulan, telah terkumpul emas sekitar 14 sampai 15 kilogram. Dick Tamimi dan Ferdy Salim diberi tugas untuk mencari pesawat yang sesuai harga dan kapabilitasnya. Lewat perantara seorang broker asal Burma bernama H.Savage, Dick dihubungkan dengan seorang eks penerbang Royal Australian Air Force (RAF) pada Perang Dunia II bernama Paul Keegan. Paul hendak menjual sebuah Avro Anson miliknya. Paul akhirnya setuju menjual seharga 12 kilogram emas. Avro Anson itu pun diterbangkan ke Lapangan Gadut, Bukittinggi awal Desember 1947.

Tetapi untuk pembayaran Paul meminta pembayaran dilakukan di Songklha, Thailand. Makan Avro Anson pun diterbangkan lagi ke Thailand dengan penumpang Paul Keegan, seorang broker dari Singapura, Dick Tamimi, Is Yasin, Aboe Bakar Loebis (petugas bendahara pengumpulan emas) dan Halim Perdana Kusuma, yang ikut dengan maksud meminta bantuan dari angkatan udara Thailand.

Namun sesampainya di Thailand, tim diusir dengan tuduhan penyelundupan. Dick Tamimi beserta para anggota melarikan diri lewat jalan darat dengan rencana jalur Penang-Singapura-Bukittinggi. Sedangkan pesawat dilarikan oleh Halim Perdana Kusuma dan Iswahyudi. Namun baru satu jam mencapai Singapura,17 Desember 1947, tim darat dikejutkan dengan telegram yang menyebutkan Avro Anson yang dikemudikan Halim dan Iswahyudi jatuh di Pantai Selat Malaka, dekat Tanjung Hantu, Malaysia. Jenazah Halim diketemukan, sedangkan jenazah Iswahyudi tidak diketemukan hingga sekarang. Penyebab jatuhnya kapal pun masih misterius, apakah kecelakaan atau sabotase.

Anggota tim darat, termasuk Dick Tamimi pun tidak luput dari masalah. Aktivitas penyelundupan mereka membuat mereka dikenai status Persona non Grata dari pemerintah Inggris di Malaysia dan Singapura, yang menurut keterangan Allan Tamimi, putra Dick, berlaku 15 tahun, hingga tahun 1962. Namun akhirnya mereka berhasil kembali ke Bukittinggi.

Perjuangan “udara” Dick Tamimi rupanya tidak berakhir sampai saat itu. Saat keadaan darurat melanda republik menjelang Agresi Militer kedua, Mr.Sjafruddin Prawiranegara, pejabat Menteri Kemakmuran, membentuk (dengan inisiatif sendiri, karena sebenarnya beliau belum mendengar mandat dari Soekarno-Hatta mengenai pemerintahan darurat) Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera. Dick Tamimi menjadi salah satu kunci bertahannya pemerintahan darurat Mr.Sjafruddin. Saat wawancara dengan wartawan “Indonesia Raya”, Mr. Sjafruddin mengatakan bahwa “Kalau tidak ada Dick Tamimi, pemerintahan darurat tidak ada artinya”.

Letak keberhasilan terbesar Dick Tamimi pada masa itu ialah tercetusnya Resolusi PBB  yang memerintahkan gencatan senjata, terhadap Belanda di Indonesia. Dick Tamimi, dengan koneksi radio PK UDO yang ia kuasai, berhasil mempertahankan hubungan antara PDRI dengan Menteri Luar Negeri PDRI Mr.Maramis yang berkedudukan di New Delhi, India.

Belanda tak membiarkan begitu saja, para penggerak PDRI terus diburu. Mereka terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Termasuk juga Dick Tamimi beserta perangkat radio kesayangannya. PDRI sampai dijuluki Pemerintah Dalam Rimba Indonesia oleh mereka yang pro-Belanda karena rute pelarian mereka yang bagaikan pasukan gerilya. Mulai dari Halaban, Bangkinang, hingga Pekanbaru dijalani oleh rombongan ini. Tak selalu dengan mobil, kadang mereka harus menumpang rakit untuk berpindah.

Tapi dengan berani Sjafruddin membalas ejekan tersebut melalui pancaran radio ke seluruh dunia sebagai berikut :

Pemerintah kami biarpun dalam rimba, tetapi sah, karena masih di dalam daerah kekuasaan kami (Indonesia). Tetapi Belanda yang terang-terangan dalam undang-undang dasarnya menyatakan tidak sah mendirikan pemerintah atau memindahkannya ke luar daerah kekuasaanya, telah memindahkan kekuasaannya ke London, di waktu Nederland dikuasai Jerman tahun 1940. Pemerintahannya di Indonesia dipindahkan ke Australi. Lalu kenapa Belanda mencap PDRI yang masih di dalam daerahnya tidak sah?“.

Rombongan sempat mengalami penembakan di daerah Taluk. Tapi tetap berhasil melarikan diri ke arah Sungai Darah. Lalu perjalanan terpaksa dilanjutkan dengan berjalan kaki, tak kurang dari 40 kilometer sehari. Setelah berjalan melalui berbagai daerah, maka diputuskan bahwa pemerintahan darurat akan berkedudukan di suatu desa bernama Bidaralam. Disinilah kontak dengan New Delhi, dan juga Jawa, dilakukan, sehingga berita perjuangan PDRI tersebar luas secara internasional, dan peristiwa itu berhasil menguatkan tuntutan Indonesia, dengan dibantu wakil-wakil India di PBB, sehingga resolusi gencatan senjata bisa tembus dan diberlakukan.

Dick pensiun dari AURI tahun 1953 dengan jabatan terakhir Kepala Jawatan Perawatan Radio di Andir (Hussein Sastranegara) dengan pangkat kapten dan mengundurkan diri dari AURI pada tahun 1953 serta mendapat hak pensiun. Sebeumnya ia mendapat wing penerbang militernya pada tahun 1950.
Setelah pensiun, Dick Tamimi bersama Komodor Udara Suyoso Karsono mencoba membuka usaha penyuplai suku cadang pesawat terbang, namun usahanya itu tidak berjalan lancar. Dick pun mengisi waktu dengan menjadi sound engineer untuk studio rekaman Irama milik Suyoso, atau yang lebih dikenal sebagai Mas Yos. Disinilah ia menemukan “perjuangan udara” yang baru, dunia rekaman musik. Di studio garasi kecil itulah kecintaan Dick akan musik terasah.

Setelah puas menimba ilmu di Irama, Dick tahun 1956 akhirnya membentuk PT Dimita Moulding Industries yg dalam perjalanannya menjadi perusahaan piringan hitam dengan label Mesra Records dan Melody Records. Dimita sendiri merupakan gabungan dari para potongan nama para pendirinya, yaitu Di dari Dick Tamimi, Mi dari Soemitro, dan Ta dari Mohammad Tamimi (ayah Dick).

Tahun 1962 Dick merekam sekaligus menggarap album band bersaudara fenomenal Koes Bersaudara. Dick sendiri pernah menjadi soung engineer rekaman-rekaman Koes Bersaudara saat masih berformat duo di Irama. Long play (LP) Angin Laut menjadi awal kerjasama Koes Bersaudara dengan Dick Tamimi. Namun halangan mendera Koes Bersaudara saat mereka harus ditangkap dan dipenjara di Penjara Glodok karena tuduhan “antek nekolim” dengan membawakan lagu-lagu The Beatles di sebuah pesta. September 1965 Koes Bersaudara keluar penjara, saat itu tidak ada yang berani memodali mereka rekaman. Kondisi ekonomi dan politik sedang sulit, ditambah status mereka sebagai band residivis membuat posisi Koes Bersaudara ikut sulit. Namun hanya seorang Dick Tamimi yang berani menawarkan kontrak pada Tonny Koeswoyo dan adik-adiknya. Hasilnya adalah sebuah album ultra ngak-ngik-ngok berjudul To the So Called the Guilties, dengan lagu-lagu protes terkeras pada masa itu seperti “Poor Clown” dan “To the So Called the Guilties”.

Ketika Nomo Koeswoyo keluar dan digantikan oleh Kasmuri, yang mengubah nama Koes Bersaudara menjadi Koes Plus, mereka tetap betah rekaman di Mesra, setidaknya hingga tahun 1972 dimana mereka yang telah merilis enam album plus satu album natal pindah ke perusahaan Remaco. Tidak hanya musik rock n roll, Mesra dan Melody juga merilis album dari berbagai genre musik, seperti album Gumarang Jang Terkenal yang eklektik dengan nuansa Sumatera Barat, beberapa album pop dari penyanyi Alfian, album debut Benyamin Sueb, hingga album Degung Sunda. Tapi album pop yang menjual seperti Koes Plus atau Pandjaitan Bersaudara (Panbers) tetap menjadi garapan utama.

Studio-Dimita-Mesra1

Dalam menggarap rekaman di Mesra dan Melody, Dick Tamimi terkenal dengan sikap perfeksionis yang ia terapkan kepada tata suara. Benny Pandjaitan, frontman band multihits Pandjaitan Bersaudara, pernah berkata dalam suatu forum, “Dia (Dick Tamimi) adalah seorang penerbang namun ahli dalam sound recording. Bayangkan saja waktu itu, echo-nya sebesar lemari, tapi dia bisa cari”.  “Cari sound saja itu setengah mati rasanya. Dick Tamimi cari sampai ketemu dan dia catat semua. Dick  Tamimi memang luar biasa. Kalau untuk urusan kuping, Pak Eugene (produser Remaco) masih kalah jauh”.

Allan Tamimi, putra Dick, mengenang ayahnya sebagai penyuka musik dan elektronik. “ Hampir semua peralatan elektroniknya pernah dimodifikasi oleh beliau, termasuk peralatan studio rekamannya”.

Hobi radio amatir Dick juga makin menggila. Dick yang sejak tahun 1950 sudah tergabung dalam PARI (Persatoean Amatir Repoeblik Indonesia) dan memiliki saluran (YBØAC) dikenal sebagai pegiat radio yang memiliki alat-alat paling canggih, pada masa itu, di Indonesia. Salah seorang senior dunia radio amatir, H.K. Ardiwinata menulis dalam tulisannya yang berjudul “Pengalaman merakit Transceiver SSB”, bahwa perangkat  Homebrew SSB transmitter seperti yang dipakai Dick Tamimi pada dekade 1950-an hingga 1960-an merupakan barang berkualitas yang tidak bisa didapat di dalam negeri. Namun, Ardiwinata juga mengenang Dick Tamimi sebagai seorang yang tidak pelit membagi ilmu, terutama dalam hal kesabaran dan ketelitian, tentang radio amatir kepada junior-juniornya. Dick juga dikenang sebagai orang yang mampu membuat sendiri suku cadang untuk menambah kemampuan perangkat radionya.

IAR-1967-1968

Pada 9 Juli 1968, Organisasi Amatir Radio Indonesia, disingkat ORARI dibentuk atas dasar Peraturan Pemerintah RI No. 21 tahun 1967. Dick Tamimi menjadi salah satu anggota awal yang bergabung dengan cabang Jakarta organisasi tersebut.

Kondisi bisnis musik yang memburuk membuat Dick Tamimi menutup Dimita pada tahun 1976. Ia berkonsentrasi menjadi instruktur di beberapa sekolah penerbangan dan juga kembali intim dengan hobi radio amatir, termasuk dengan Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia yang turut dibidaninya tahun 1968.  Tahun 1976 ia sempat mengikuti misi bantuan Operasi Seroja ke Timor Timur dan tertahan disana selama  sebulan untuk menerbangkan penerbangan VIP ke pelosok Timor Timur yang hanya bisa dijangkau oleh pesawat kecil sejenis Cessna atau Piper.

Untuk mempertahankan lisensi penerbang dan type rating beliau mengajar dibeberapa sekolah penerbangan seperti  Aero Club, Deraya, Jakarta Flying Club, dan Penerbad. Ia juga turut membidani Federasi Aero Sport Indonesia (FASI).

Udara memang telah menjadi sahabat bagi aktualisasi diri bagi seorang Mohammad Sidik Tamimi. Namun pada akhirnya perjalanan udara pula yang merenggut nyawanya. Dalam sebuah perjalanan cross country ke Singapura , pada tanggal 16 Februari 1978, pesawat yang dikemudikannya jatuh di Padamaran, Ogan Komering Ulu, Palembang dan jenazahnya baru diketemukan tanggal 21 Februari. Ia meninggal dalam usia 56 tahun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata sehari setelah jenazahnya diketemukan. Ia meninggalkan seorang istri, Ny.Roekmini Akmam, dan lima orang anak.

Mama-Fari-Mira-Papa-th-50an

Nama Dick Tamimi memang tidaklah menjadi pengetahuan umum kini, tapi kiprah hidupnya terlalu menarik untuk dilupakan. Kegigihan, ketelitian, dan kreativitas yang diterapkannya dalam setiap bidang yang ia tekuni bisa merupakan sesuatu yang inspiratif. Di udara dia jaya!.

Daftar Riwayat Hidup Dick Tamimi

Daftar Riwayat Hidup Dick Tamimi 1

Referensi

  1. Wawancara dengan Allan Tamimi.
  2. Dokumen Riwajat Hidup Dick Tamimi. Dokumentasi keluarga.
  3. Lisensi Stasiun Radio Amatir atas nama M.S. Tamimi. Dokumentasi keluarga.
  4. Surat Perintah AURI no.130/Ksu/Per/47 tanggal 6 Desember 1947. Berisi perintah bahwa Sidik Tamimi diperbantukan pada Opsir Udara II Iswahjudi
  5. Surat Kuasa no.138/C-1/K/47 tanggal 9 Desember 1947 (Angkatan Udara). Berisi perintah dari Komodor Muda Udara H.Perdanakoesoema kepada Sidik Tamimi untuk menggantikan posisi Iswahjudi yang sedang tugas luar.
  6. Benny Pandjaitan dalam diskusi It’s The Vinyl Countdown, Galeri Ruang Rupa Jakarta, Agustus 2011.
« Older posts Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑