oleh : Asri ‘Cici’ Mustikaati
Akhirnyaaa .. Setelah tiga minggu berada di Bali, minggu ke-tiga ini tidak (lagi) saya lewatkan hanya dengan berdiam diri celingak-celinguk pelangak-pelongok krik-krik-krik bengong di tempat kos! Seorang teman dari Bali, bernama Adit, kebetulan mengajak saya melihat prosesi upacara adat di daerah tempat tinggalnya! Waw, pasti akan menarik! Tanpa banyak pikir, saya langsung menerima tawaran itu! Berangkatlah kami di hari Minggu (26/12/10) ke upacara adat Ngerebong di Kesiman.
Kesiman adalah nama suatu daerah di Denpasar, tepatnya di wilayah Denpasar Timur. Dua minggu sebelumnya, masyarakat Bali merayakan hari raya Galungan dilanjutkan dengan Kuningan. Khusus di daerah Kesiman, terdapat satu lagi rangkaian upacara yang diselenggarakan tiap enam bulan sekali dalam hitungan tahun Saka, tepatnya delapan hari setelah hari raya Kuningan, yang disebut dengan upacara Ngerebong.
Menurut Adit, Ngerebong asal kata dari ngerebeng yang artinya berkumpul. Masyarakat percaya bahwa di hari itu adalah hari berkumpulnya para dewa. Tradisi Ngerebong ini berlangsung di Pura Petilan, pura terbesar di Kesiman.
Berkunjung ke pura pada saat upacara ternyata tidak boleh asal/sembarangan. Ada aturan-aturan yang harus dijalankan salah satunya adalah tidak dalam masa datang bulan bagi wanita dan dianjurkan memakai pakaian adat/kebaya khas Bali. Beruntunglah ada Mbak Iis yang dengan senang hati mau meminjamkan saya salah satu kebayanya … Makasiiih Mba Is ! ^^
Wanita-wanita Bali dengan kebayanya, para pria dengan ikat kepalanya, persembahan-persembahan berupa bunga-bungaan dalam tempayan cantik, penjor-penjor, alunan musik tradisional Bali, menjadi pemandangan dan suasana yang menarik bagi saya. Ratusan bahkan ribuan pemedek/bakta (jemaah) datang ke pura Petilan ini untuk bersembahyang. Mereka datang dari pura-pura kecil yang ada di sekitar Kesiman, sebagian wilayah Badung dan Denpasar. Dengan silih berganti, para pemedek datang berombongan membawa bendera/umbul-umbul juga mengusung barong dan rangda diiringi tabuh-tabuhan baleganjur dari tiap banjarnya.

Foto : Aditya Winata
Pukul 3 sore, saya dan Adit sampai di Pura Petilan. Sesampainya di sana, saya menemukan suasana yang cukup meriah. Beberapa ruas jalan ditutup bagi para pengguna kendaraan bermotor. Pedagang-pedagang kaki lima padat memenuhi tepiannya. Penjor-penjor masih berdiri tegak di samping-samping jalan. Dari kejauhan, saya mendengar suara riuh sorak-sorai kaum lelaki. Dengan penasaran, saya segera mendatangi asal keriuhan tersebut. Ternyata di dalam wilayah pura, di satu bangunannya yang menyerupai balé-balé (biasa disebut dengan wantilan) sedang berlangsung adu ayam! Riuh sekali ! Ingin rasanya melihat langsung dari dekat dan ikut merasakan atmosfir pertarungan. Tetapi sangat tidak mungkin karena tidak ada celah sedikit pun untuk saya nyelip-nyelip di antara tubuh para supporter yang kebanyakan lelaki. Yah apa boleh buat, saya hanya bisa menyaksikan dari luar kerumunan sambil menikmati suasana keseluruhan pura Petilan.
Semakin sore, acara semakin ramai dan mencekam. Puncak acara dari Ngerebong ini ditandai dengan penyisiran jalan oleh pecalang (polisi adat). Jalan selebar 3 meter disisakan dari kepadatan penonton dan fotografer yang semenjak siang sudah bertahan demi menyaksikan upacara ini. Waktunya pemedek keluar pura untuk melanjutkan ritualnya dengan mengelilingi wantilan tempat berlangsungnya adu ayam tadi, sebanyak tiga kali putaran. Saat-saat yang mencekam ketika tiba-tiba saja banyak dari pemedek yang mengalami trance/kerasukan. Ada yang berteriak-teriak, menggeram, menangis sambil menari. Mereka kemudian didampingi oleh keluarga atau teman dekat untuk tetap mengikuti ritual mengelilingi wantilan. Kekuatan magis semakin terasa ketika keris dihujam-hujamkan pada dada, leher, bahkan ubun-ubun. Tradisi ini dikenal dengan istilah ngurek. Namun anehnya, ujung keris yang tajam itu tidak membuat luka sedikit pun. Tanda eksistensi roh lain, menurut Adit. Barong dan rangda yang diusung pun tidak luput dari kerasukan. Jepretan kamera para fotografer terlihat dari segala penjuru.

Foto : Aditya Winata

Foto : Aditya Winata

Foto : Aditya Winata

Foto : Aditya Winata
Hari semakin gelap, upacara akan segera berakhir. Saatnya roh-roh dipulangkan ke alamnya. Prosesnya adalah dengan kembali memasuki pura dan menemui sang Pemangku yang sudah menunggu di satu tempat. Pemangku ini mempunyai kekuasaan atas ‘izin tinggal’ roh tersebut. Apakah harus kembali atau dibolehkan untuk masih tinggal. Seketika itu juga mereka yang kerasukan kembali seperti semula. Ritual yang panjang dan penuh makna ditutup dengan satu persembahan terakhir yaitu tarian dewa.
Upacara Ngerebong ini bertujuan untuk mengingatkan umat Hindu melalui media ritual sakral untuk memelihara keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alamnya. (I Ketut Wiana, http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2006/5/17/bd1.htm)
Pengalaman unik dan menambah pengetahuan baru bagi saya, menyaksikan ritual yang tidak dapat ditemukan di tempat lain di daerah mana pun. Hanya ada di Kesiman.
Minggu selanjutnya ke mana yaaa .. ??
Sumber :
Aditya Winata (FB : http://www.facebook.com/profile.php?id=100001420361237)
I Ketut Wiana, http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2006/5/17/bd1.htm
asik…aleut di bali ya ci….
cari donk aleut bahasa balinya apa…
Adat tidak pernah di upacarai
Agamalah yang di upacarai, adat hanyalah pembungkus
salah kaprah yang hendaknya jangan di pelihara
Tidak ada upacara adat……