Ngaleut de Bragaweg

Oleh : Catra Pratama

Original Post at http://catra.wordpress.com/2010/04/13/ngaleut-di-bragaweg/

Minggu pagi itu saya bangun. Melirik jam dinding dan berpikir sejenak. Ternyata Minggu pagi ini ada agenda saya bersama Komunitas Aleut buat ngaleut bragaweg. Segera saya ke lokasi tempat start ngaleut yaitu di depan gedung Merdeka jalan Asia Afrika Bandung. Di sana telah berkumpul dua puluhan teman-teman pencinta sejarah dan ngaleut Bandung. Ngaleut dalam bahasa Sunda adalah jalan-jalan bareng. Saya berpikir, ternyata masih ada generasi muda Bandung yang bangun lebih awal untuk melakukan hal-hal yang positif tanpa begadang di malam minggunya. Bangun pagi ngaleut sambil mengapresiasi peninggalan-peninggalan bersejarah yang ada di Bandung.

Minggu itu agendanya adalah menelusuri jalanan Braga hingga finish di taman SMAN 5 Bandung. Lokasi start di gedung merdeka sambil ramah tamah antar anggota komunitas membuat kami lebih akrab satu sama lain. Saya baru bergabung dengan komunitas ini sebulan yang lalu. Anggotanya yang kebanyakan mahasiswa dari berbagai macam universitas yang ada di Bandung yang sama-sama memilik rasa cinta terhadap Sejarah dan Kota Bandung. Sangat terbuka dan terkesan tak ada sekat diantara kita membuat selama perjalanan kita bisa berbagi pengetahuan dan wawasan antar sesama anggota.

Dari gedung merdeka kita berjalan ke hotel preanger, salah satu hotel eksotis peninggalan kolonial di jalan Asia Afrika. Hotel ini pernah ditempati oleh delegasi Konfrensi Asia Afrika pada tahun 1955 dahulu. Lanjut ke titik KM 0+00 Kota Bandung. Di titik itu pernah berdiri seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang sewaktu meninjau pemabngnan jalan raya pos yang terbentang dari anyer ke panarukan. Beliau mengatakan dan berharap di tempat ia berdiri itu dibangun sebuah kota. FYI, Bandung ternyata memang dibangun oleh pemerintah kolonial. Ibukota Bandung yang awalnya berada di daerah dayeuh Kolot 10 Km ke selatan Bandung di pindahkan ke alun-alun sekarang agar terletak di pinggir jalan raya pos yang melewati Bandung, sekarang jalan yang membelah kota Bandung itu menjelma jadi jalan Asia Afrika.

Tak jauh dari tempat itu berdiri kokoh hotel Savoy Homann. Hotel bergaya kolonial dengan ciri khas lengkung di sisi timurnya. Gaya khas Arsitek Terkenal Albers. Di hotel ini juga pernah ditempati oleh Kepala negara negara pesarta KAA 1955. Juga, artis dunia Charlie Chaplin. Perjalanan di lanjutkan ke sepanjang Braga. Jalan Braga cukup unik, karena jalan ini tidak memakai aspal, melainkan memakai batu pualam. Kiri-kanan jalan ini terdapat bangunan-bangunan sisa kolonial sehingga jalanan ini membuat kita seolah berada di eropa.

Pada awal abad 20 an Braga merupakan pusat perbelanjaan bagi warga Eropa yang tinggal di sekitar Bandung. Rata-rata warga Eropa tersebut bekerja di perkebunan di sekitar Bandung dan sangat mapan dibandungkan warga pribumi pada saat itu. Banyak sekali gedung-gedung tempat hiburan bagi kaum planters tersebut, tempat pertunjukan musik, Bioskop, Tempat Pemandian dll. Nah, yang bikin miris yaitu fasilitas itu tak bisa dinikmati oleh kaum pribumi sendiri yang merupakan empunya negeri ini. Bahkan di gedung majestik yang merupakan Bioskop tempat pemutaran film pada zaman itu terpampang tulisan Anjing dan Pribumi dilarang masuk. Masyaallah, ternyata status kita disamakan dengan anjing pada saat itu.

Perjalanan dilanjutkan ke arah Balaikota Bandung, melewati Bangunan kuno Polwiltabes Bandung. SMP 2 Bandung yang merupakan tempat pendidikan menengah yang elite pada saat itu. Melewati tempat kompleks perkantoran militer yang juga warisan kolonial. Kolonial membangun negeri ini dengan apik, tertata dan terencana.

Perjalanan ini sangat menarik karena di sepanjang perjalanan saya merasa kembali ke suatu zaman yang tak terbayangkan oleh saya sebelumnya. Ketika kita bangsa indonesia menjadi babu bangsa asing yang bercokol di negara kita. Ketika kita hanya bisa melihat dari jauh kemewahan kaum kolonial di kampung kita sendiri. Ketika kita hanya bisa menelan air ludah karena tak bisa merasakan nikmatnya fasilitas-fasiltas tersebut. Sekarang, Kita sudah merdeka. Sisa-sisa fasilitasnya diwariskan kepada kita. Namun kita seolah menelantarkannya. Terletak bagaikan bangunan rongsok tua yang keropos di pinggir jalan.

3 Comments

  1. fajriedetmen

    kutipan terakhir itu keren:)

    Lihat sekarang, banyak bangunan2 eksotis yg dirubuhkan. Diganti sama mall atau gedung2 yg dibuat sok modern tapi enggak berseni (sebut aja, punten; jakarta) 🙂

    Hayang euy, ngiringan komunitas Aleut :))

    • KomunitasAleut!

      Hayu atuh ngiringan 😀

      • fajriedetmen

        Pengen ih.. tapi masih disibukin urusan duniawi di pandeglang 🙁

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑