Oleh : Asep Nendi R.

Perencanaan perjalanan, itu mungkin yang sering kita perbincangkan setiap waktu. Bagaimana merencanakan sebuah perjalanan yang tidak hanya menyenangkan, namun mampu memberikan sesuatu hal yang baru. Terutama pengetahuan.

 

Beberapa perjalanan ngaleut terakhir dilakukan tanpa survei, mencoba mengulang jalur-jalur lama. Hal ini berkaitan dengan banyaknya pegiat baru di Aleut.

 

Namun jangan pernah khawatir, meskipun tanpa survei, Aleut tetap memiliki sebuah pemetaan lapangan/jalur dalam setiap perjalanannya. Safety procedure tetap menjadi hal yang sifatnya mutlak di Aleut. Kenyamanan dan keamanan secara kolektif selalu menjadi tanggung jawab komunitas. Jadi jangan pernah bertanya jalur yang akan dilalui telah disurvei atau belum….!

 

Pengulangan jalur dilakukan bukan karena Aleut kehabisan ide perjalanan. Namun lebih dimaksudkan untuk pemerataan pengetahuan bagi pegiatnya. Untuk pegiat baru ini akan menambah pengetahuan mengenai setiap sudut kotanya. Sementara, bagi pegiat lama dimaksudkan sebagai sarana pemantapan.

Pengulangan jalur/tema pun dikemas dengan alur perjalanan yang selalu berbeda setiap kalinya. Yang sama dalam perjalanan adalah Titik Start dan Titik Finish, jalurnya hampir 99% baru. Intinya tidak ada pengulangan jalur, yang ada hanya pengulangan Titik Start dan Titik Finish saja.. he..

Dua hal inilah yang menarik dalam setiap perjalanan bersama Aleut. Kreatif sesuai dengan idealisme anak muda dan santai (karena titik finish bukanlah tujuan utama, jadi santai weh). Keduanya diramu dalam setiap perjalanan menyenangkan, sehingga penyampaian materi-materi yang berbau sejarah dan pengetahuan umum lebih mudah ditangkap.

 

Akan banyak cerita yang muncul ketika saya membicarakan Aleut. He…

Dicut weh…

 

 

Seperti perjalanan di hari minggu kemarin, 23 Januari 2011, Aleut melakukan perjalanan dari Terminal Dago menuju Gunung Batu (Lembang).

 

Perencanaan perjalanan dilakukan secara terperinci di Buah Batu Dalam (kediaman Pak BR). Pemetaan lapangan, lengkap dengan kondisi medan, sudah dijadikan patokan perjalanan. Namun prakteknya (Hari H), Tuhan berkehendak lain. Selalu saja muncul bisikan malaikat untuk membelokkan jalur perjalanan, menuju ke tempat baru. Tempat baru berarti pengetahuan baru. Prinsip ini yang Aleut pegang sampai hari ini (pribadi inimah).

 

Awal Cerita…..

Tepat pukul 8.30 sebanyak 22 pegiat telah berkumpul di titik start awal untuk briefing dan perkenalan. Waktu untuk beramah tamah pun diberikan selama 30 menitan. Sebagai sebuah komunitas, perkenalan sangat penting dalam setiap perjalanannya. Perkenalan yang tulus, bukan sekedar basa-basi.

 

Terminal Dago-Dago Giri

Dari terminal Dago kami melakukan perjalanan menyusuri jalanan utama menuju Dago Giri. Jalanan aspal ditemani terik mentari pagi akan sangat menyehatkan dalam 5 menit pertama, karena setiap menit berikutnya membuat anda kepanasan dan kelelahan…

Tepat di atas jembatan Cikapundung, memasuki Desa Mekar Wangi, tanjakan dengan kemiringan 600 membuat anda berhenti tersenyum.

Tanjakan selanjutnya lebih ramah, pemandangan pinus dan cemara menemani anda sampai pada sebuah plang bertuliskan M-L…???

 

Dago Bengkok

Sering sekali kita mendengar daerah ini, pertanyaan yang muncul adalah “Apanya yang Bengkok?”

Kata Bengkok kemungkinan besar berasal dari istilah “Tanah Bengkok”. Sebuah istilah yang diterapkan dalam sistem pertanahan. Tanah Bengkok berarti lahan garapan milik Desa, dimana pengelolaannya diserahkan sepenuhnya pada warga desa dengan persetujuan Desa.

 

Dago Giri Blok M-L

Karena penasaran akan plang M-L di kiri jalan, kami memutuskan untuk berbelok ke kiri. Menyusuri perumahan elite yang sepi, entah berpenghuni atau tidak. Hingga pada akhirnya kami menemui “ujung aspal”.

Di kanan jalan terdapat sebuah pabrik tahu, yang mempekerjakan sekitar 15an pegawai. Beberapa pegiat mendokumentasikan kegiatan produksi tahu.

Ya sebuah pabrik tahu, yang membuang limbah produksinya secara langsung ke aliran sungai.

Di sampingnya terdapat sebuah rumah, yang dibangun tepat dibawah lembahan, seperti sebuah tebing vertikal bermaterial tanah dan pasir. Nampaknya tebing pasir tersebut dipapas agar tersedia lahan untuk membangun rumah.

Dari ujung aspal ini, terdapat 2 jalur menuju arah yang berbeda. Satu jalur menuju Ciumbuleuit satu lagi menuju Lembang. Kedua jalur tersebut menanjak, lumayan untuk menyiksa lutut dan betis anda.

Kami pun mengambil jalur ke kanan, ke arah menuju Lembang. Menyusuri perkebunan jeruk dan holtikultura. Wortel, mentimun, brokoli, kembang kol, dan cabe keriting membuat kami terkagum-kagum akan suburnya negeri ini.

 

Kampung Pajagan Desa Mekar Sari

Setelah melalui perkebunan sampailah kami di sebuah kampung. Kampung Pajagan, termasuk kedalam kawasan Desa Mekar Sari Kabupaten Bandung. Dari sini, pemandangan Cekungan Bandung samar-samar mulai nampak. Di sebelah timur memanjang jalan aspal Dago-Lembang, yang seharusnya kita lalui.

Setelah beristirahat sejenak, perjalanan kami lanjutkan.

Dari kejauhan Gunung Batu belum juga nampak. Sehingga pikiran nakal pun muncul. Gunung/BUkit Payung, dengan dominasi pohon pinus, menjadi patokan perjalanan kami. Kini perjalanan kami tempuh, menyusuri ladang, naik turun lembahan dan bebukitan. Istilah dalam Ilmu Navigasi adalah “Teknik Potong Kompas”. Teknik yang menuntun kita ke arah sasaran, dengan perjalanan lurus, tanpa melalui jalur setapak atau jalur umum.

Tanah berdebu dengan dominasi kebun singkong, membuat rasa haus terus menerus meneror. Namun perjalanan harus dilanjutkan. Hingga sampailah kami di Punclut.

Beberapa pegiat sempat tersenyum ketika mengetahui mereka berada di Punclut, namun kami tidak menuju Punclut.

Kami pun memilih menuju lembahan, dimana mengalir aliran sungai yang jernih.

 

Aliran Lava Cikapundung?

Sejenak kami beristirahat di sungai kecil, membasuh tangan dan muka. Ada pula pegiat yang merendam kaki di aliran sungainya. Kanan kiri sungai dipenuhi tanaman air, seperti jarum-jarum. Kupu-kupu (jarum) pun masih nampak beterbangan di sekitarnya.

Aliran sungai tersebut sepertinya berasal dari hulu yang sama, ini dikarenakan letak aliran sungai yang satu dengan yang lainnya berdekatan.

Memperhatikan dinding tebing yang bermaterialkan cadas (sedikit bagiannya), aliran sungai yang dipenuhi bebatuan yang besar. Seperti menjelaskan pada kami, bahwa jalur ini mungkin bagian dari Patahan Lembang. Yang muncul akibat letusan Gunung Api Sunda beberapa  ribu tahun yang lalu. Kemungkinan sungai-sungai kecil ini adalah bagian dari Aliran Lava Cikapundung.

Telah kita ketahui sebelumnya bahwa Letusan Gunung Api Sunda membentuk aliran lava ke beberapa arah. Ke arah Barat terdapat aliran lava Cibeureum dan Aliran lava Cimahi, sementara ke arah selatan membentuk aliran lava Cikapundung.

Gunung Api Sunda yang dimaksud adalah Gunung Api pra-Tangkuban Parahu, Gunung Sunda sekarang yang berdekatan dengan Gunung Wayang dan Burangrang kemungkinan adalah bagian dari Gunung Api Sunda.

 

Kampung Pagersari? (Desa Pagersari)

Untuk menghindari kesalahan pemetaan a.k.a nyasar, kami memilih untuk mencari punggungan. Perjalanan di punggungan berfungsi untuk memberikan banyak gambaran akan perjalanan ke depan, dengan medan yang tidak kita kuasai. Walaupun berjalan di lembahan lebih nyaman, terlindung dari terik mentari, perjalanan di punggungan jauh lebih aman.

Sampailah kami di Kampung Pager Sari, Desa Pagersari. Disini kami kembali beristirahat sejenak, mengganjal perut dengan jajanan khas kampung.

Sebagian besar penduduk kampung berprofesi sebagai peladang dan peternak sapi. Tidak jarang kami melewati kandang sapi yang letaknya sulit dijangkau, kalau tidak di lembahan ya di atas bukit dengan tanjakan yang curam.

 

Kampung Cilanguk Desa Pager Sari

Perjalanan dari Pager Sari menuju Cilanguk kami tempuh dengan menerabas ladang penduduk. Namun tetap berjalan di pinggir ladangnya.

Tepat di atas Kampung ini adalah Gunung Payung.

Di Cilanguk kami hanya menemukan beberapa rumah tinggal saja. Seperti sebuah tempat persembunyian yang jauh dari mana-mana. Berada di lembahan, dimana aliran sungai mengalir dengan jernihnya. Disekelilingnya terdapat bukit-bukit yang telah diladang.

 

Gunung Payung

Perjalanan menuju Gunung Payung kami lalui dengan susah payah, beberapa kali pegiat berhenti untuk mengumpulkan tenaganya.

Namun perjalanan terbayar ketika diatas terdapat 2 buah kolam penampungan air. Air tersebut berasal dari dalam tanah, tepat di bawah sekumpulan pohon bambu.

Kesempatan langka ini tidak boleh dilewatkan, air yang mengalir digunakan untuk mendinginkan muka, tangan dan kaki.

Tepat di atas, pegiat membuka bekal masing-masing. Makanan ala kadarnya disantap beramai-ramai. Satu porsi dihidangkan untuk 15 orang, hehehe…

Namun tetap saja mengenyangkan.

Menurut keterangan, daerah ini dinamakan Gunung Payung karena puncaknya melingkar seperti payung.

Ada sebuah bangunan yang membuat kami bertanya-tanya akan fungsinya. Unik, bangunan berbentuk telur namun tidak sempurna. Di sekelilingnya terdapat kaca, terbuat dari kayu, dan diletakkan diatas bebatuan agar posisinya lebih tinggi dari tanah.

 

Desa Pager Wangi

Dari Gunung Payung kami menuju Desa Pager Wangi, menyusuri jalanan aspal, stamina pegiat mulai terkuras.

Aspal lagi-lagi membuat pegiat berhenti tersenyum

Perjalanan menuju Gunung Batu pun menyita banyak waktu.

 

Gunung Batu

Gunung Batu merupakan bagian dari Patahan Lembang. Berupa batuan keras (cadas) yang membentuk bukit. Dinding-dindingnya berupa tebing batu, yang dijadikan tempat berlatih para pemanjat tebing. Di puncak G. Batu terpasang seismograf yang berfungsi sebagai pencatat getaran-getaran gempa bumi.

Dari Puncaknya kita dapat mengamati Patahan Lembang, dan membayangkan bagaimana dahsyatnya letusan Gunung Api Sunda.

Ke arah selatan terlihat Cekungan Bandung, dikelilingi pegunungan di selatan. Patuha, Malabar, dll. Ke arah utara, Gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Parahu. Gunung Putri, yang berada di sisi barat G. Tangkuban Parahu, yang dijadikan tempat pengintaian musuh dan pengawas wilayah Bandung dan Subang. Di G. Putri terdapat Benteng Kolotok dan Benteng Gunung Putri. Menggeser ke timur dari Tangkuban Parahu, ada G. Bukit Tunggul, G. Palasari, G. Kasur, G.Pangparang, dan G. Manglayang.

Gunung Batu merupakan areal yang nampak, sebagai bagian dari Patahan Lembang.

Patahan Lembang terjadi karena letusan Gunung Api Sunda yang menyebabkan kekosongan pada kantung-kantung magma di sekitar Lembang. Beban berat tak lagi bisa ditahan sehingga terjadilah ambrukan lapisan batuan sepanjang 22 km. Bila diperhatikan, Patahan Lembang sepanjang 22 km memanjang ke Timur dari Cisarua (Lembang) sampai G. Manglayang.

 

Makam Embah Jambrong

Diatas Gunung Batu, terdapat makam keramat yang salah satu nisannya bertuliskan Embah Jambrong. Konon menurut masyarakat setempat, beliau adalah karuhun Bandung. Beberapa cerita menjelaskan bahwa beliau adalah seniman terkenal di Bandung yang dimakamkan di puncak Gunung Batu.

Apapun ceritanya, menurut saya, keberadaan makam yang dikeramatkan di atas Gunung Batu membantu kelestarian Gunung Batu. Meskipun masih saja ada yang membuang sampah dengan sembarangan.

Bukanagara-Pasar Lembang

Setelah turun dari Gunung Batu, perjalanan dilanjutkan melalui jalanana Bukanagara menuju Pasar Lembang. Titik akhir perjalanan.