Oleh: @mooibandoeng

Radio Malabar

Tadi pagi (13/01) sempat nengok sisa-sisa radio Malabar di lereng Gunung Puntang. Kabutnya sedang sangat tebal, jarak pandang begitu pendek. Nunggu sekitar satu jam baru kabut agak memudar dan bisa jalan-jalan keliling puing-puing stasiun radio dan bekas radiodorf. Sepi dan nyaman sekali.

Entah seperti apa suasana kawasan lereng gunung yang jauh dari jalan raya ini saat pembangunan stasiun Radio Malabar di tahun 1916-1918. Lima tahun kemudian di bawah dataran lahan stasiun sudah terbangun satu kompleks permukiman para pegawai, Kampung Radio.

Sebuah kampung dengan fasilitas modern di tengah hutan, di lereng gunung. Begitu ramai sekaligus begitu terpencil. Kampung asli terdekat mungkin berjarak sekitar 6 km di dekat jalur jalan penghubung Bandung-Pangalengan.

Bisa jadi dari masyarakat asli ini lahir sebutan Nagara Puntang untuk kampung radio ini. Nagara di tengah leuweung gerogan. Peralatan besar-besar dengan berat ber-ton-ton, menara-menara besi ukuran raksasa dengan bentangan kabel sampai sejauh 2 km sampai ke gunung sebelahnya. Kolam renang, taman-taman, lapangan tennis, bioskop, rumah-rumah tembok yang kokoh dan luas, pembangkit listrik, gua perlindungan. Semua ada. Nagara anyar di lengkob Gunung Puntang, kiduleun kota Bandung: Nagara Puntang

Sayang, sudah bertahun2 dibiarkan tidak terurus. Puing-puing yang tersisa sedikit demi sedikit akan habis digerus iklim dan waktu. Sampai nanti tidak akan ada lagi jejak Nagara Puntang yang pernah jadi pusat perhatian dunia karena berhasil membuat dua benua tersambung. Dari stasiun radio inilah pertama kali telekomunikasi tanpa kabel antarbenua terlahir, 5 Mei 1923.

__________
Foto koleksi Tropen Museum, Belanda.