10 Titik Perjuangan Bandung Lautan Api yang mulai Terlupakan

By : Agung Ismail (http://agungsmail.wordpress.com)

Bandung, 22 Februari 2010

di ruang tamu bersama netbook baru

Hallo Bandung!

Apa kabarmu?

Kemarin, bertemu kembali dengan hari minggu pagi bersama teman-teman dari komunitas Aleut.

Di minggu pagi yang cerah, kami (saya, kawan-kawan sahabat kota, teman-teman baru kenal dan tentunya komunitas Aleut) akan ber-aleut aleut ria menyusuri jejak perjuangan Bandung Lautan Api.

Kenapa saya bilang menyusuri jejak, karena entah kenapa jika saya pikir-pikir lagi kegiatan pagi kemarin itu seperti mencari harta karun yang tersembunyi (atau lebih tepatnya disembunyikan dan dilupakan). Serunya lagi, di setiap titik harta karun itu justru ada peta lokasi menuju harta karun berikutnya.

Berbicara mengenai harta karun, hm harta karun seperti apa sih yang disembunyikan dan berkaitan dengan kisah Perjuangan Bandung Lautan Api.

Mungkin tidak banyak orang yang tahu dan menyadari bahwa sebenarnya momentum Bandung Lautan Api (selanjutnya disingkat BLA) bukanlah sekedar Tugu BLA yang terletak di Taman Tegallega yang tidak ramah terhadap masyarakat. Jujur saja, saya sendiri termasuk ke dalam orang yang tidak menyadari itu.

Sejarah memang menjemukan, sejarah memang membosankan. Tapi jika sejarah itu sebenarnya terletak di pinggir rumahmu? Sejarah itu seharusnya menjadi kebanggaan. Sebuah Harta Karun masa lalu.

Lama banget nih prolog-nya… baiklah saya akan menuliskan tentang apa yang kami lakukan di minggu pagi cerah kemarin.

Jadi begini, sesuai dengan undangan yang dikirim oleh teman-teman Aleut. Acara ng-aleut kali ini bertemakan tentang Jalur Bandung Lautan Api (menyemarakkan peristiwa Bandung Lautan Api bulan depan nanti).

Terlebih dahulu, kami-kami yang mengajukan untuk ikut diharuskan kumpul di depan Bank Jabar Braga-Naripan pada pukul tujuh pagi. Setelah berkumpul semuanya, kegiatan pun dimulai dengan pembukaan dari Kang Ridwan (sepertinya sesepuh komunitas Aleut). Di depan gedung Bank, Kang Ridwan sedikit menjelaskan tentang peristiwa BLA yang ternyata jejak kisah perjuangannya itu tidak hanya disimbolkan dengan Tugu melainkan juga dengan stilasi-stilasi yang berjumlah sebanyak 10 buah.

Hah, what is the meaning of stilasi…?

Stilasi, saya baru mendengar istilah ini. Meskipun pernah membaca, mungkin tidak pernah terbayangakan bentuknya seperti apa. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, stilasi itu tidak terdapat di kamus. Jadi makin bingung kan. Ya sudah saya definisikan se ala kadarnya.

Jadi, stilasi itu adalah monumen mini dengan bentuk seperti prisma segitiga sama sisi tegak, pada bagian fondasinya berbentuk seperti tablet sedangkan di puncak prismanya terdapat sebuah tangkai pohon dan bunga yang merupakan lambang dari Kota Bandung yaitu Patrakomala (Caesalpinia sp. -saya poho-).

Nah kesepuluh stilasi yang dibuat oleh bapak Sunaryo (Selasar Sunaryo) dan disponsori oleh American Express dan bekerja sama dengan Bandung Heritage ini didirikan untuk mengenang titik-titik perjuangan para pejuang BLA. Baiklah, kita akan mulai ber-Aleut dari titik stilasi no dua yang tepat berada di dekat pintu ATM Bank Jabar-Banten.

Nah loh kok tiba-tiba no dua, no satunya mana? Berhubung no satunya lumayan agak jauh dari yang lain yaitu berlokasi di Jalan Ir H. Djuanda-Sultan Agung tepatnya di depan gedung bekas kantor berita Jepang Domei atau saat ini menjadi Bank BTPN dan bertuliskan Driekleur yang berarti tiga warna (kata Mbak Dan). Saya belum lihat bagaimana kondisinya sekarang, mungkin aman-aman saja karena dijagain oleh tiga sekawan Tukang Pipa.

Kembali beralih ke Gedung Jabar-Banten. Stilasi kedua ini dulu sejarahnya adalah sebagai tempat perobekan bendera Belanda oleh Moeljono dan E. Kamas. Kondisi stilasi ini lumayan mengkhawatirkan, bunga patrakomala yang terletak di puncak stilasi sudah hilang raib entah dipetik siapa. Tapi untunglah, lempengan besi yang bertuliskan lagu halo-halo Bandung dan peta jalur stilasi-nya masih lengkap walau sedikit bared-bared -mungkin suka diinjak-injak sewaktu ada pagelaran helarfest dan nggak kebagian pemandangan indehoy, saya salah satu pelakunya-.

Beranjak dari Bank Jabar yang dulu punya nama Gedung Denis kami menuju stilasi ketiga yang terletak di Jalan Asia Afrika di depan Gedung Asuransi Jiwasraya di seberangnya Masjid Agung sebelah utara. Stilasi ketiga ini sedikit beraroma pesing, maklum saja lokasinya sangat cocok untuk menyempil sekedar ngahampangan di tengah malam. Menurut cerita, di gedung ini dulunya tepatnya 13 Oktober 1945, para pemimpin TKR (Tentara Kemanan Rakyat) sedang melakukan rapat. Mungkin rapat koordinasi kali yak. Sayangnya, lempengan besi berupa peta pada stilasi ini sudah hilang. Ditambah pula dengan beberapa coretan khas anak muda turut menghias penampilannya yang pesing.

Lepas dari kepesingan kami mencoba menelusuri Pasar Kembang yang terletak berdampingan dengan Masjid Agung. Ini pertamakalinya saya masuk ke dalam. Dulu ada keinginan untuk iseng-iseng masuk, namun sering kali urung ketika melihat lorongnya yang gelap dan takut nyasar ke sarang penyamun. Di dalam Pasar Kembang, selain tentunya banyak yang berjualan ternyata di sini bukan sekedar pasar saja, melainkan sebuah pemukiman padat, persis seperti gang-gang sempit. Berjalan bingung mengikuti Kang Ridwan, akhirnya kami tiba di Makam Mantan Bupati Bandung. Lagi-lagi saya hanya bisa sumpah serapah karena saya baru tahu bahwa Makam Bupati Bandung waktu itu ada di sebelah barat bersebelahan dengan Masjid Alun-alun. Namun akses masuk untuk ke Makam ini hanya bisa dilalui Gang kecil yang terdapat di Jalan Dalem Kaum. Nuansa Makam yang sunyi senyap terkalahkan oleh hingar bingar pertokoan dan pusat DVD bajakan. Ada empat makam utama yang berada di dalam saung sisanya diluar mungkin makam para kerabat bupati. Meskipun begitu, tempat ini tidak pernah sepi dari peziarah.

Dari Jalan Dalem Kaum, kami berlanjut menelusuri jalan pintas Kings Shopping menuju Jalan Simpang. Di lokasi berikutnya saya sempat berpikir bahwa kami akan beristirahat sejenak sambil menikmati sarapan pagi di Warung Makan yang punya nama Simpang Food Court. Salah besar teman. Justru di rumah makan ini, tepatnya di sebelah kirinya terdapat Harta Karun yang keempat. Stilasi keempat ini disembunyikan oleh sang pemilik rumah makan dengan membangun tembok pagar yang lumayan tinggi dan tertutup. Sehingga orang-orang yang melintas ke Jalan Adisuren tidak akan pernah tahu bahwa ada monumen kecil tersimpan di lorong rumah makan yang menuju dapur. Fondasi tablet stilasinya sudah menghilang digantikan keramik berkilau. Bunganya pun sama saja raib. Ini lah yang namanya menutup sejarah dengan tembok.

Dulunya, di rumah inilah perumusan dan pengambilan keputusan pembumihangusan Bandung diambil.

Mari lupakan istirahat sejenak dan makan-makan di Simpang Food Court. Kembali melanjutkan perjalanan menuju Jalan Kautamaan Istri kami menemukan stilasi kelima tepat didalam taman kecil bersebelahan dengan gardu listrik dan dinaungi oleh pohon angsana. Di stilasi ini kami dipertemukan dengan saudaranya bunga patrakomala yaitu Ki Merak (Caesalpinia pulcherima) yang tumbuh di sebelahnya. Bunga dengan mahkota sebanyak lima helai dan berwarna oranye dengan kuning pada tepi mahkota ini secara struktur bunga sama dengan patrakomala, hanya saja patrakomala berwarna kuning semua. Sambil berteduh Kang Ridwan pun bercerita tentang salah satu bangunan yang dulunya digunakan sebagai… apa ya lupa aku. Bagi yang tahu ceritanya harap ditambahkan.

Puas berteduh kami berjalan kembali menyusuri Jalan Kautamaan Istri menuju Jalan Dewi Sartika. Pada tahukan dengan jalan ini. Jalan yang penuh dengan hiruk pikuk pedagang kaki lima dan toko baju yang selalu ramai setiap harinya dengan oleh orang-orang yang berlalu-lalang.

Di stilasi yang keenam ini kami dibuat seakan tidak berdaya akan sebuah penghargaan terhadap perjuangan para Pahlawan yang berjasa mengorbankan jiwa raganya di masa lalu. Setelah dibuat pusing mencari-cari stilasi yang tersembunyi, akhirnya kami menemukan stilasi keenam yang berdiri tegak bersebelahan dengan sebuah kios rokok. Dan dengan santainya, stilasi ini justru digunakan sebagai tempat ganjel kios dan menjajakan minuman botol. Saya yakin si penjaga kios ini tidak tahu, sama seperti saya sebelumnya. Letak stilasi ini dekat dengan hotel Dewi Sartika, lokasi yang sangat potensial untuk mendirikan kios rokok bagi tamu hotel tarif 2 jam.

Dulunya, rumah yang di belakang stilasi dan sekarang sudah dibongkar adalah Markas Komando Divisi III Siliwangi pimpinan kolonel A. H Nasution.

Dari kios rokok kami melanjutkan kembali dan mampir sejenak ke Pendopo. Markasnya pak Walikota Bandung yang BERDADA. Kang Ridwan kembali bercerita dan saya kembali tidak menyimak. Silahkan teman-teman aleut tambahkan.

Menuju stilasi ketujuh kami menelusuri Jalan Sasakgantung, masuk ke pemukiman padat dan menyusuri pinggiran sungai Cikapundung. Keluar dari pemukiman kini kami berada di Jalan Lengkong Tengah. Di persimpangan Jalan Lengkong Dalam, stilasi ketujuh kami temukan. Tepat di pinggir lapangan Voli. Kondisinya tampak tidak jelas, penuh dengan tanda tangan si jahil. Perumahan Lengkong Tengah ini tampak berbeda dengan pemukiman padat yang kami lalui sebelumnya. Hampir kebanyakan rumah-rumahnya masih ber-arsitektur eropa jaman dulu. Ternyata ini adalah tempat tinggal Indo-Belanda. Nggak beda jauh dengan saya keturunan Indo-Mie.

Meneruskan Jalan Lengkong Tengah, kami menyeberangi Sungai Cikapundung dan menuju Jalan Jembatan Baru. Stilasi kedelapan tidak terlalu sulit dicapai namun sulit dilihat karena posisinya satu setengah meter di atas permukaan tanah. Stilasi kedelapan merupakan garis pertahanan pejuang saat terjadi pertempuran Lengkong. Katanya waktu itu tentara pejuang kita diserang bom oleh tentara sekutu. Baru sekutu aja kita udah kerepotan, apalagi klo segajah…

Matahari semakin meninggi dan terik. Beruntunglah tidak ada yang pingsan di jalan. Sedikit menikmati lelah, tiba-tiba si Barbara mengusulkan untuk bersemayam di Es Lilin Pungkur. Lebih tepatnya dia tidak mengusulkan tapi kabita (tergiur, red).

Hehehehe, meluncurlah kami semua ke warung Es Lilin Pungkur yang menyediakan aneka rasa dengan harga Rp. 2000 saja. Nggak tanggung-tanggung saya beli dua, rasa durian dan rasa kacang merah. Istirahat sejenak, masih ada dua stilasi lagi yang tersisa dan lumayan ujah jaraknya (jauh maksudnya).

Puas menikmati es lilin dan ngadem sambil melirik-lirik si neng Kasir yang caem, kami mengangkat dan melangkahkan kaki kembali di bawah terik matahari. Tujuan kami berikutnya adalah SD Negeri Asmi di Jalan Asmi. Di lokasi ini kami cukup beruntung karena bisa melihat stilasi yang utuh. Kuncup bunga patrakomala yang tengah mekar ini masih terjaga dengan baik, bahkan bukan hanya itu saja, katanya lonceng sekolah jaman baheula tea juga masih terawat dengan baik loh. Bangunan sekolah yang tidak banyak berubah ini dulunya digunakan sebagai markas pemuda pejuang PSINDO dan BBRI sebelum terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api. Meskipun hari minggu, sekolah ini cukup ramai dengan kegiatan adik-adik yang tengah bermain sepakbola. Hm, kira-kira mereka tahu nggak klo semen beton yang ada bunganya ini ternyata adalah monumen kecil untuk mengenang perjuangan para pahlawan di masa lalu?

Matahari makin menantang! Tak kuasa kami untuk melanjutkan perjalanan, istirahat sejenak kembali.

Stilasi kesepuluh. The Final.

Dari Asmi kami menyusuri Jalan Mohamad Toha. Sebuah nama jalan yang didekasikan untuk mengenang pahlawan Bandung Lautan Api. Sebuah nama untuk seorang pemuda seusia kami yang berjuang membela negerinya. Sebuah nama untuk sebuah misteri tentang siapakah ia sebenarnya.

Stilasi kesepuluh dapat ditemukan tepat di seberang sebuah Gereja. Gereja itu dulunya merupakan gedung pemancar NIROM yang digunakan untuk menyebarluaskan proklamasi kemerdekaan ke seluruh Indonesia dan dunia. Di seberang stilasi kami dapat melihat Tugu kokoh yang melambangkan perjuangan bangsa kita dari tangan kolonialisme. Karya anak negeri, penghargaan untuk mereka yang terlupakan.

Itulah sedikit cerita yang saya lewatkan bersama teman-teman Aleut mencari 9 dari 10 harta karun sejarah yang mulai terlupakan. Di akhir cerita kami berdiskusi ringan di dalam Taman Tegallega yang tak ramah bagi yang tidak bayar japrem. Sebuah penutup mengajak kami untuk menyebarluaskan informasi ini kepada siapa saja, agar mereka lebih mengerti, agar mereka lebih menghargai, agar mereka lebih peduli, dan agar mereka lebih mencintai Bandung. -tempat tinggalku saat ini-

NB: Postingan ini bukan untuk menceritakan sejarah, tapi apa yang saya lalui untuk mengenal sebuah sejarah dengan cara unik dan menyenangkan.

Hatur nuhun untuk teman-teman Aleut yang telah berbagi cerita dan kepedulian.

3 Comments

  1. Rizal

    Nice activity…….. kapan maen ke Dayeuh kolot untuk ngelihat kolam hasil karya Mohamad Toha? sekalian ke monumen mohamad toha yang di Bale Endah.. siap deh mendukung, silahkan kontak saya ya..

  2. Aki Eman

    Saya yang sudah tua.. keterlaluan sampai baru tahu ada “10 titik perjuangan BLA”. Terima kasih atas informasinya. maju terus komunitas Aleut

  3. Andrean Eka Lucianto

    Terimakasih sudah mengingatkan kami (manusia yg suka acuh terhadap sejarah) untuk kembali membuka lembaran cerita yang mungkin usang bagi kami. Terimakasih Aleut !

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑