Oleh : Lika Lulu
Setelah terakhir ngaleut tgl 27 Maret kemaren.. dan sempat meninggalkan catatan yang menggantung
Masih dengan motif yang sama, ingin lebih mengenal kota dimana saya lahir dan dibesarkan.
Muluk sih… tapi minimal ada usaha setuju?
Mau sedikit bahas yang kemarin, betapa pun megah dan glamour nya kota tua Bandung sekitaran jalan Braga yang menjadi jantung ekonomi kelas atas, tapi sama sekali tidak di nikmati oleh nenek moyang kita dulu.
Tapi itu kan uda lewat, makna positif yang bisa jadi inspirasi salah satunya adalah bagaimana pemerintah Hindia Belanda membangun kota Bandung menjadi hunian yang nyaman bagi kaum mereka, sampai tek-tek-bengek pun mereka rencanakan. Salah satunya adalah penerangan dikala itu belum populer yang namanya listrik, tapi pemerintah Hindia Belanda punya yang namanya saluran gas yang didistribusikan ke rumah2 sebagai sumber energi, gedung tempat pembayaran dan pusat complain nya di jalan braga itu. perencanaan dan pelayanan struktur sudah jauh mereka pikirkan dibanding bangsa lain di zaman itu. Setelah revolusi dan perusahaan itu dinasionalisasi ditempatkan lah orang2 yang tidak berkompeten sehingga munculah kebijakan yang makin aneh dan nyeleneh..
Nah.. itu ada hubungan nya dengan perjalanan Aleut Kota Tua Bandung bagian 2 kali ini,
Ceritanya kita bakal ngaleut ke daerah militer di daerah jalan nusantara, knp jalan nusantara? soalnya pemerintah Hindia Belanda punya sistem pemberian nama jalan sesuai klasifikasinya, di daerah militer ini di beri nama sesuai nama pulau2 yang ada di Indonesia, mulai dari Bali, Belitung, Jawa, Sumatra, Kalimantan, Maluku,dll. selain itu para Aleutian akan mengunjungi perumahan kolonial Belanda di gempol.
Sebelumnya kami melewati Taman Maluku, dan yang menarik adalah bangunan yang bernama Jaarbeurs

Konon katanya dulu Bandung adalah kota yang sepi ga serame sekarang, oleh karena itu untuk lebih menghidupkan lagi kota Bandung dibuat lah bursa dagang tahunan, pasar malam, festival pokonya konsepnya mah mirip-mirip PRJ (Pekan Raya Jakarta) kalo kata Reza mah, di bangun lah gedung Jaarbeurs ini, yg unik dan jadi favorite bu Wiwit katanya, 3 patung Atlas yang sangat vulgar dan sempat di tutup pada masa pemerintahan gusdur, awalnya sempat setengah badan patung, lalu ditutup semua, hingga dibuka tanpa tutup seperti sekarang,
Memang vulgar, jadi malu liatin nya juga. disana ada 3 pos yang jadi tempat penjualan tiket untuk 3 kategori pengunjung, dari yang totok Belanda asli, Campuran dan Pribumi. jelas rasisme sangat di junjung tinggi di zaman itu.
Tempat menarik lainnya, gereja S.Albanus.. banyak desas-desus mengenai gereja ini, mulai dari gereja aliran sesat dll, tapi menurut candra yang pernah ngobrol langsung face to face sama pastur nya mereka bukan aliran sesat ko,
Mungkin hanya beda faham saja dengan kristen katolik dan protestan, yah.. namanya juga manusia. Yang pasti disana skr dibuka kursus bahasa Belanda dan salah satu muridnya menjadi New be Aleut kali ini, Adit baru.
Hal menarik di depan gereja s.Albanus ini, trotoar yang dibangun sejak zaman Walanda yang menjorok kedalam yang dimaksudkan untuk tempat pemberhentian delman, hebat ko kepikiran sampai situ ya? angkot sekarang mana ada yang mau berhenti sesuai aturan?
Jalan-jalan… akhirnya kita masuk ke salah satu gang, kirain aleut nya mau lewat jalan tikus. Eh ternyata kita masuk ke jalur evakuasi kebakaran yang dibuat pemerintah Belanda untuk perumahan para pegawai mereka di jalan Banda namanya “Brandgang” yang tujuan nya memudahkan pemadam kebakaran kalau terjadi kebakaran. selain itu dibawahnya pasti ada saluran air. salut… ayo para planolog? belajarlah..
Akhirnya kita muncul di perumahan gempol, bersih…. bgt, penataan nya memang sudah direncanakan. pokonya ga akan lupa sama daerah ini soalnya ada yang mau dikunjungi, Roti Gempol dan Kupat Tahu Gempol jadi agenda utama kalau kesana lagi.hehe..
Setelah melewati pondasi gerbang yang masi ada, di depannya ada taman, mungkin dulu fungsinya untuk mengakrabkan warga yang tinggal di daerah itu kali ya.. soalnya disitu juga temen2 Aleut mengakrabkan diri sambil jajan batagor yang enak, nyesel cuma minta dari mba Kuke, kapan lagi ketemu sama mang batagornya ya?
Perjalanan berlanjut ke rumah sang arsitek legendaris, Wolff Schoemaker. tidak banyak yang bisa lika infokan pokonya ini jadi tempat favoritenya Lika. share dari Putri katanya dulu bangunan ini sempet terbengkalai dan di renovasi oleh salah satu guru besar arsitektur ITB hmm.. Sudibyo ya? waduh.. tanya Putri deh.. nyesel ga nyatet yang ini. mirip dengan aslinya dengan bahan bangunan yang langsung diimpor yang merogoh kocek yang ga sedikit. tapi entah dibeli siapa, dirubahlah jadi bentuk cafe dengan konsep yang sangat menarik. padahal jika digemborkan bahwa makan-makan adalah rumah nya om Schoemaker pasti yang berkunjung akan lebih banyak lagi..
Nah.. sedikit mengambil pelajaran disana, bahwa pemerintah Hindia Belanda begitu memperhatikan warganya agar Bandung menjadi hunian yang nyaman dan layak ditinggali dengan berbagai fasilitas dan sarana yang direncakan detail, pertanyaan nya..
Mampukah sekarang pemerintah kota bandung memperhatikan KITA, seperti pemerintah Hindia Belanda?
Ada yang mau berpendapat? boleh…
mau tau donga alamatnya kota tua,,kebetulan gag pernah kesana…..trims