Kampung Mahmud, yang tak pernah tenggelam

Oleh : Ujanx Lukman

Apa yang terjadi bila hujan mengguyur kota Bandung?? Pasti akan terjadi banjir, baik itu “cileuncang” maupun lebih besar lagi “banjir bandang” di Dayeuh Kolot dkk. Namun ada satu Kampung walaupun hujan deras dan sungai Citarum “caah” Kampung ini tetap selamat dan tidak terkena banjir, baik itu “cileuncang” maupun “banjir bandang”.. Tanya kenapa??

Kampung Mahmud, nama yang cukup terkenal sebagai suatu kampung adat, kata Mahmud sendiri berasal dari kata bahasa Arab Mahmuudah yang artinya pinuji atau puji. Kata puji sendiri tidak sama artinya dengan terpuji, tetapi berarti reueues atau deudeuh atau kasih sayang yang ikhlas. Pendiri kampung Mahmud adalah Sembah Eyang Dalem Haji Abdul Manaf. Beliau berasal dari keturunan ke-8 wali Cirebon yaitu Syarif Hidayatulloh. Kampung Mahmud didirikan sekitar abad 15 Masehi. Beliau meninggalkan kampung halamannya menuju Mekah dan tinggal di sana. Sampai suatu saat, beliau memutuskan kembali ke tanah air. Sebelum pulang beliau mendapat firasat bahwa tanah airnya akan di jajah bangsa asing (Belanda). Oleh karena itu sebelum pulang beliau berdo’a di suatu tempat yang disebut Gubah Mahmud, berdekatan dengan Masjidil Haram.

Suasana Kampung Mahmud

Dalam do’anya, beliau memohon petunjuk agar dapat kembali ke tempat yang tidak akan tersentuh oleh penjajah. Kemudian petunjuk yang diyakininya sebagai ilham mengisyaratkan bahwa beliau akan tinggal di tempat yang berawa. Kemudian beliau pulang dengan membawa segenggam tanah karomah atau tanah haram dari Mekah. Sesuai petunjuk yang didapat dari Gubah Mahmud, beliau mencari rawa. Pencarian berakhir setelah ditemukannya lahan rawa yang terdapat di pinggiran sungai Citarum yaitu daerah Bojong. Rawa tersebut ditimbun bersamaan dengan tanah karomah dari Mekah, kemudian rawa tersebut berubah menjadi lahan yang layak untuk sebuah perkampungan. Udah dulu cerita asal usulnya ahh.. karena banyak cerita “kearifan” yang terkandung di Kampung ini.

Sebelum dilanjutkan mari kita berkenalan dengan Bapak H. Syafei yang akan banyak bercerita tentang Kampung Mahmud, dengan gaya khas orang sunda yang “resep banyol” beliau menceritakan tentang larangan dan kearifan kampung ini. Karena berbahasa sunda di-translate aja biar enakeun.

Bapak H. Syafei Sesepuh Kampung Mahmud

Dikampung ini banyak larangan diantaranya dilarang membuat sumur, gedung (bangunan tembok), kaca, memelihara domba dan itik (meri), membuat bedug dan yang terpenting jangan “sompral” (berbicara menantang). Lalu apa yang terjadi apabila ada larangan yang dilanggar ??. Pernah ada seorang warga pendatang yang menikah dengan warga asli Kampung Mahmud lalu membuat rumah dari tembok, ia menjadi sakit dan kakinya tidak bisa ditekuk. Ketika berobat kepada ahli hikmah dan ulama (bukan dukun kata pa H. Syafei) sakit ini (syareatnya) dikarenakan melanggar larangan yang ada di kampung Mahmud, karena bingung dan tidak mau membongkar bangunan rumahnya ia sakit selama 1 tahun dan akhirnya meninggal (..hanya Tuhan yang tahu soal ini).  Cerita selanjutnya dulu sungai Citarum masih bersih dan bening sehingga masyarakat dilarang membuat sumur, pernah ada satu keluarga nekat membuat sumur yang akibatnya mereka terserang kolera, untuk menyembuhkannya sesepuh disana menganjurkan untuk mengaji khatam (tamat) Al-Qur’an di makam Eyang Dalem Haji Abdul Manaf tak lama kemudian langsung sembuh. Tapi larangan membuat sumur tidak berlaku saat ini karena sungai Citarum sudah tercemar, maka diperbolehkan dan tidak mengakibatkan mamala (malapetaka) bagi warga nya. Dan pertanyaan utamanya ialah kenapa Kampung Mahmud selalu terlindung dari bencana banjir? menurut penuturan Pa H. Syafei kampung ini dilindungi oleh Raden Kalung Bima Nagara yang merupakan putra dari Eyang Dalem Dayeuh Kolot yang merupakan perwujudan jin dan manusia berupa ular  (hee.heee rada merinding nulisnya.. soalnya ada fenomena “penampakkan” dari kunjungan kemarin), dimana kepalanya berada di Gunung Wayang dan ekornya ada di Citarum (Sanghyang Tikoro). Beliau ngaraksa, tanggel waler (melindungi, bertanggung jawab) terhadap keturunan dan masyarakat Kampung Mahmud dari bahaya banjir dan tenggelam, oleh karena itu tidak pernah diceritakan ada warganya yang mati tenggelam di Citarum…. Udah dulu ya soalnya banyak cerita mistis yang makin merinding nulisnya nggak sanggup nerusin. Pokoknya inti dari penuturan diatas bahwa selama warga di Kampung Mahmud menjaga larangan mereka bisa terbebas dari bencana banjir Citarum dan mamala (malapetaka) dari karuhun. Pasti ingin diterusin ceritanya yaa.. makin disembunyikan makin penasaran hee.heee…

Setelah puas berkeliling dan makan, Bang Ridwan mengajak kami mengunjungi Curug Jompong salah satu “peninggalan” yang dibentuk oleh batuan dasit sejak 4 juta tahun yang lalu, sekitar tahun 1930-1950an tempat ini masih menjadi tujuan wisata orang-orang Belanda (karena saat itu air sungai Citarum masih jernih dan bersih). Klo sekarang ???

Curug Jompong sekarang

Curug Jompong pernah akan dihancurkan oleh Pemerintah Jabar untuk mengatasi banjir di Dayeuh Kolot dkk, karena dianggap sebagai salah satu faktor penyebab banjir. Ah biasa eta mah, selalu mencari “Black Sheep” ketika suatu masalah datang bukan mencari solusi, padahal aliran Citarum yang bergerak pelan berkelok-kelok telah ada berribu-ribu tahun yang lalu. Tanyakan dan siapa yang harus sadar?? Karena dari hulu sekitar wilayah Dayeuh Kolot dkk tersebar banyak pabrik dan pemukiman warga yang mencemari sungai Citarum dengan sampah dan limbah jadi apakah itu yang disebut “siapa yang berbuat ia yang bertanggung jawab”, semoga kita dapt mengambil hikmah dari perjalanan ngAleut kali ini.. Asa rada “wise” notes kali ini, mungkin karena “???” dari foto eta kitu..

Terima kasih buat Pa H. Syafei dan seluruh kwan-kawan

Sumber tambahan :  http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/

1 Comment

  1. mamat

    itu H. Syafei nama julukannya abah jenggot bkan??

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑