Oleh : Ayu “Kuke” Wulandari
Saya tak punya pengkotak-kotakan perihal Musik. Dimainkan siapa pun dengan apa pun dari mana pun, sepanjang itu bisa dinikmati dan tidak membuat tatanan imajinasi saya berantakan alih-alih mati, saya akan menerima dengan senang hati. Entah bagaimana awalnya, saya sendiri seperti tak punya ingatan perdana ketika Musik menemukan saya. Sejauh ini yang saya pahami, Musik telah mampu sekonyong-konyong hadir dalam kepala meski tak ada instrumen lazim yang dimainkan di sekitar. Sejauh ini ke manapun saya memilih melangkah pergi, musik ada di kepala, berkumandang di hati, mengiringi peralihan tema waktu, bahkan ketika si kaki-kaki ini hanya berangkat untuk menemui para murid di kelas. Aneh? Terserah saja. Tapi begitulah adanya 🙂 biar saja.
Ketika mendapat pesan singkat dari Indra dan membaca pesan di “halaman rumah” BR (Ridwan Hutagalung) perihal Apresiasi Musik sebagai kegiatan Komunitas Aleut minggu lalu yang bersinggungan dengan Musik Tradisional Indonesia, terlebih satu kalimat, “Jangan kira sudah kenal banyak musik tradisional Nusantara.“, rasanya itu hari berlalu lama sekali. Ingin cepat hari Minggu! Ingin cepat-cepat tahu apa maksud kalimat itu. Ingin cepat mendengar pengolahan nada yang khas Nusantara itu seperti apa. Buncahan rasa ingin tahu itu mungkin seperti ketika “Beluk” sibuk jadi bahan eksplorasi singkat sebagai dampak salah satu edisi ngAleut.

Begitu harinya tiba pun, mendadak saya ingin menggila sendiri. Bagaimana tidak 🙁 aaah.. itu koleksi BR banyak sekali. Itu pun yang terlihat, belum harta karunnya lho! Tumpukan CD, berderet-deret file yang terkategori baik dalam folder-folder, inginnya ada yang berbaik hati menjatuhkan harddisk eksternal tataran terabyte atas nama kebahagiaan dan kedamaian dunia *heh? heuheu.. kuke kesambet..* Sayangnya kesadaran harus tetap terjaga 🙂 saya mematri dulu niatan, “Nanti, balik lagi, bawa eksternal harddisk, kuras habis semuanyah.. nyah.. nyah.. heuheuheu..”
Baiklah. Sebelum kegilaan saya kembali dan jadilah ngalor-ngidul tanpa bobot, saya akan mencoba memaparkan hasil pencatatan plus riset kecil-kecilan untuk melengkapi catatan ini. Mungkin tidak selengkap penuturan BR, saya bukan pengingat kata-kata yang baik 🙂 tapi.. aaah.. sudahlah.. mari.. mari..
Konteks Musik
Sebagai pembuka, BR memperdengarkan lagu “I Want Candy” yang dibawakan oleh Aaron Carter (http://www.youtube.com/watch?v=uxA7UEND0cs) di kisaran tahun 2000 *masih ingat siapa dia?* dengan beat menggoda kepala untuk sekedar manthuk-manthuk atau bisa jadi menggerakkan kaki mengikuti. Hari itu saya baru tahu kalau ternyata lagu ini sebelumnya pernah dibawakan oleh Bow Wow Wow. Menurut BR, jika dibandingkan musik pasar ala Aaron Carter, “I Want Candy” dalam olahan Bow Wow Wow lebih memiliki konteks.
Nah loh, konteks? Apa pula itu??
Hem, saya memilih mencatat dulu saja. Tiba kembali di “kotak nyaman” ya saya langsung sibuk dengan browser juga search-engine, mencoba menemukan siapa itu Bow Wow Wow dan seperti apa mereka membawakan “I Want Candy” pada tahun 1982. Ternyata, waaah (http://www.youtube.com/watch?v=SgZ3KbLNz50) saya suka ini Bow Wow Wow yang dikategorikan sebagai pengusung New Wave pada zamannya. Terlepas dari nyentrik atau apalah penampilan mereka menurut penilaian yang melihat, buat saya karakter Bow Wow Wow ini mengakar sekali sampai ke cara mereka membawakan musik.
Ingin rasanya ngeles bilang, “Aduuh, susah dijelaskan dengan kata-kata..”, tapi mana boleh begitu 🙂 saya coba mengemukakan meski bisa jadi saya salah mengerti. Saya mencoba berani menyatakan bahwa Intepretasi Bow Wow Wow pada “I Want Candy” tidak sekedar “yang-penting-main-&-enak-didengar-lalu-laku*, ada resiko yang diambil. Resiko seperti apa, ya mungkin bisa dibandingkan dengan bagaimana The Strangelove pertama kali membawakan “I Want Candy” pada tahun 1965 (http://www.youtube.com/watch?v=d6roiwPK3Ok), lalu bandingkan kembali dengan versi Aaron Carter. Buat saya, kegairahan lagu itu secara utuh bisa saya temukan pada versi Bow Wow Wow lengkap dengan ingatan bahwa ya yang seperti itu tuh sebentuk ekspresi kegairahan di tahun 1980an. Entah kenapa 🙂
Apa itu konteks yang dimaksud?
Emh, saya rasa bukan 😛 karena pada akhirnya saya malah merasa menemukan cara pemaknaan yang lain ketika menghadapi “I Want Candy” versi pemenuhan kebutuhan industri musik komersil dan “I Want Candy” versi mewakili masa. *maap, Bang.. maap..*
Tradisional & Musik Tradisional
Menurut Wikipedia versi Indonesia, Seni Tradisional adalah unsur kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu kaum/puak/suku/bangsa tertentu. Tradisional adalah aksi dan tingkah laku yang keluar alamiah karena kebutuhan dari nenek moyang yang terdahulu. Tradisi adalah bagian dari tradisional namun bisa musnah karena ketidakmauan masyarakat untuk mengikuti tradisi tersebut.
BR mencontohkan betapa hidupnya Musik Tradisional Celtic, Afrika dan Amerika yang bahkan tak sedikit pun kekurangan penggemar, tidak dijauhkan dari industri musik, tidak sekedar jadi inspirasi melainkan dilibatkan utuh oleh para Pemusik yang hidup di masa kini. Ada kesadaran yang bisa jadi sudah menjadi budaya bahwa Musik Tradisional sudah semestinya dibiarkan hidup, dapat dinikmati lintas generasi, terus mengikuti zaman, tidak dikenai batasan harus dimainkan dengan alat tertentu di waktu tertentu di kondisi tertentu.
Untuk kepentingan pemahaman ini, BR berbagi pengetahuan tentang seorang Leonard Cohen (Musikus, Penulis lagu, Penyajak, Novelis kelahiran 1956) dengan musiknya (musik folk dengan segala perkembangan) yang entah kenapa hingga setua kini meski sesederhana itu justru diminati orang muda (http://www.youtube.com/watch?v=qlNeomq9QRE). Belum lagi ketika BR memperlihatkan rekaman pertunjukan musik seorang ibu tua berkebangsaan Afrika yang membawakan lagu-lagu ratapan (musik tradisional Afrika). Hai, mengejutkan! Bayangkan saja ibu itu adalah Waljinah yang berada di kerumunan besar orang-orang muda usia 17 tahun, bukan para dewasa 50 tahun ke atas yang hanya butuh bernostalgia. Sungguh apresiasi yang berbanding terbalik dengan apa yang bisa didapati di Indonesia.
Agar lebih memperkaya dengaran, BR memilihkan beberapa Musik Tradisional termasuk Musik Nusantara untuk dibahas bahkan sampai ke wujud alat musik yang digunakan, cakupan nada, kaitan dengan etno-musikologi, dsb.
Contoh pertama adalah lagu daerah Sumba yang biasa diperdengarkan untuk menemani aktivitas para Peladang. Penikmat suara-suara merdu ala penyanyi Opera sampai Andrea Bocelli pasti akan dengan gamblang menyatakan betapa tidak merdunya suara si Kakek yang menyanyikan lagu tersebut. Tapi entah kenapa, buat saya lagu itu justru menemukan keseimbangannya. Jika mencari pemaknaan lirik ya jelas susah, saya tidak mengerti bahasa Sumba. Namun jika mau menilik keseimbangan lagu secara keseluruhan, buat saya lagu itu jelas seimbang. Alat musik yang digunakan begitu sederhana, kayu bulat dibentuk seperti gitar kotak bersenar tiga. Nada-nada yang diproduksi alat musik tersebut.. jelas.. sederhana. Apabila kesederhanaan itu ditimpali dengan suara-suara bervibra milyaran *lebay?? biar ah.. hahaha..* entah kenapa saya yakin keduanya tak akan bisa membentuk harmonisasi indah, bahkan dengan kondisi aktivitas sekitar, sampai ke desau-desau Angin yang menggesek-gesek rumput. Uniknya, ya itulah 🙂 ke-Sumba-annya malah terasa. *maaf, belum menemukan contoh yang bisa dibagi di sini, hemm.. mari ke BR.. hihihi..*
Contoh dengaran lain yang berkaitan langsung dengan Musik Tradisional Nusantara agak-agak didominasi Musik Melayu. Tak apa 🙂 rasanya seperti pulang kampung *yang Medan.. yang Medan..* Ketukan kendang Zapin, harmoni Gambus, akhirnya seperti dibelai-belai rindu suasana pagi tepi pantai mana kala BR memperdengarkan “Fajar di Atas Awan” yang dibawakan Suarasama (http://www.youtube.com/watch?v=71QI7WJ_B7A). Lagu yang dirilis pertama kali pada tahun 1998 oleh RFI (Radio France Internationale) ini lebih membanggakan jika dinyatakan sebagai Indonesia yang Go(es) International kalau menurut saya. Orang lain keberatan ya terserah saja.
Sejarah Musik Indonesia(?), Musik Indonesia(?)
Saya ingat betul telah memberikan nomor 16 pada sebuah sajian yang diperdengarkan oleh BR. Berdasarkan hasil pemaparan lisan, musik yang diperdengarkan adalah musik jalanan alias dimainkan oleh seorang Pengamen yang memperkenalkan diri sebagai Saripudin Irama. Wah, dari namanya saja dijamin sudah bisa menebak bahwa Pengamen yang satu ini penggemar Bang Oma 🙂 Bahkan ketika mendengarkan caranya memperkenalkan diri, saya jadi teringat cara Pemusik Dangdut senior itu ketika akan memulai aksi di panggung. Unik. Tapi yang paling mengagumkan dari Saripudin Irama bukan karena ia menirukan Pemusik idolanya (Rhoma Irama), melainkan kepiawaiannya memainkan Kecapi Bugis (salah satu alat musik tradisional Makassar, konon diciptakan oleh seorang pelaut sehingga bentuknya menyerupai perahu, dan dikenal memiliki dua dawai dengan mengambil filosofi tali layar perahu, http://www.youtube.com/watch?v=0zdxh4hlFMQ) ala Ritchie Blackmore-nya Deep Purple! Iya, Deep Purple yang itu! Meski entah kenapa, rasanya ketika mendengarkan melodi “ganas” itu, ya si saya malah terpagut pada Johann Sebastian Bach. Awalnya sempat bingung, tetapi kemudian BR memaparkan bahwa Mr. Blackmore itu memanuti Bach, dan itu kentara sekali mempengaruhi melodi-melodinya. Wow, Musik Klasik mempengaruhi Musik Rock?! Lalu Rock menginspirasi dan memperkaya Dangdut?! Keren!
Sesudahnya BR memperdengarkan berturut-turut Mick Jagger yang menyanyikan Lagu Tradisional Irlandia, gubahan yang disajikan dengan Bagad (melibatkan instrumen Bagpipe, Bombarde yang termasuk keluarga Oboe, dan Perkusi seperti Snare-drum, Tenor-drum, Bass-drum, http://www.youtube.com/watch?v=tIznjBGSGnQ), serta Ali Akbar Khan dkk (Ravi Shankar, Alla Rakha, Kamala Chakravarty) yang beraksi di Madison Square Garden pada tahun 1971 dalam rangkaian Concert for Bangladesh (http://www.youtube.com/watch?v=fnsVOJoGyZ0) *dalam konser tersebut Bob Dylan, Eric Clapton, George Harrison, dan Ringo Starr juga beraksi loh.. wew.. keren ga sih??* tanpa meninggalkan identitas Musik Klasik Hindustan *bayangkan.. tetap dengan identitas musik seperti itu di ruang internasional yang sangat mempengaruhi industri musik dunia ketiga..* Belum lagi, melengkapi bagi dengaran musik ala Ali Khan dkk-nya itu BR memaparkan bahwa di India dikenal Tangga Nada Pagi, Tangga Nada Pagi – Siang (menjelang siang), Tangga Nada Siang, Tangga Nada Siang – Sore (menjelang sore), Tangga Nada Sore, dan Tangga Nada Malam. Alhasil, untuk satu lagu saja, penyajiannya begitu variatif. Intepretasi terhadap susunan nada yang sama bisa berbeda. Bahkan satu lagu berkabung pun bisa jadi tak akan menjadi begitu monoton menyayat jika dimainkan di waktu yang berbeda. Unik!
Terlepas dari rasa bahagia karena bisa menikmati dengaran yang unik-unik dan sangat menyenangkan sebagai musik pengiring brainstroming, jika mau sedikit merunut kembali, sebenarnya BR ingin memberitahukan bagaimana Perkembangan Musik di Eropa dan Amerika dari masa ke masa memiliki keterkaitan. Dimulai dari Abad Pertengahan, Zaman Renaisance (1500 – 1600), Zaman Barok dan Rokoko, Zaman Klasik (1750 – 1820), Zaman Romantik (1820 – 1900), hingga Zaman Modern (1900 – sekarang); kesemuanya tidak saling lepas dan tidak saling menghapuskan. Setiap warna yang dimiliki setiap zaman bahkan tidak jarang bisa dengan mudahnya berkolaborasi atau sekedar menjadi inspirasi bagi zaman lanjutan. Para Pemusik dan masyarakatnya menghidupkan tradisi dan mengapresiasi dengan senang hati dalam setiap zaman.
Hal ini akan sangat berbeda jika mau sedikit saja mengkaji perihal Musik Indonesia. Mulai dari Abad Pertengahan hingga kisaran 1900, Indonesia diperkirakan masih memiliki identitas musik. Paling tidak di setiap daerah, terjaga dalam setiap suku. Namun, kemudian apa yang terjadi pada era Modern (1900 – sekarang)? Di Amerika sedang laris musik semacam apa ya? Bagaimana dengan di Eropa? Pelaku industri musik di Indonesia akan dengan senang hati ikut, mencekoki dengaran segenap bangsa. Era Rock & Roll ala Indonesia (katanya) muncul sekejap mata. Era R&B ala Indonesia (katanya) bahkan sampai mampu membuat perubahan gaya berpakaian anak-anak muda yang “ga gaul” kalau tidak bergaya seperti itu dan “ga gaul” kalau tidak (minimal satu kali) mendengar lagu yang booming saat itu. Era Pop pun masih beranak-pinak. Tapi kesemuanya itu tak saling punya ikatan. Satu-satunya ikatan hanyalah itulah-yang-sedang-marak-di-sana (baca: Amerika, Eropa). Pelaku Industri Musik dan Pengamat Musik Indonesia umumnya lebih senang mengamati music-chart US dan UK, bereksperimen dengan ketenaran dengar semacam itu, lalu meniadakan lainnya yang sudah dianggap tidak memiliki prospek. Eh, sempat. Pelaku Industri Musik Indonesia sempat agak jauh dari pengaruh Amerika dan Eropa, yaitu ketika band-band baru yang (katanya) mengedepankan Pop-Melayu bisa dinyatakan sudah membantu menghidupkan Musik Tradisional Indonesia,berhasil membuat keseragaman (baca: latah) massal yang dianggap ampuh mendongkrak popularitas juga menggembungkan pundi-pundi harta.
Ah, entahlah. Sejujurnya pun hingga saat ini saya masih suka terbingung-bingung dengan Identitas Musik Indonesia itu sendiri. Apa ya masih ada yang benar-benar Indonesia? Selain Keroncong? Selain Dangdut? Identitas itu bukannya sesuatu yang terbentuk sendiri, bisa jadi mendapat banyak inspirasi sebagai pembentuk tapi tidak semata-mata sama persis dengan apa saja yang menjadi inspirasi?? Sisipan instrumen musik tradisional pun sebenarnya pun tak bisa otomatis menjadikan satu gubahan ber-identitas instan Musik Indonesia. Apa semua kemudian akan seaneh ketika Agnes Monica justru mencoba merambah Musik Internasional justru dengan Musik Amerika?? Nah, ya saya jadi bingung-bingung sendiri.
Suliram, Soleram
Sebagai penutup Apresiasi Musik di hari itu, BR mengadakan tebak lagu 🙂 Lagu-lagu tersebut sebenarnya bukanlah lagu yang asing bagi kami semua yang hadir. Hanya saja, aksen si pembawa lagu dan cara membawakannya mampu membuat hampir semua bersangka itu adalah lagu yang berbeda. Dalam hal ini, diketahui pula bahwa itulah keunikan orang-orang Gipsi. Mereka hobi sekali mengintepretasi ulang aneka macam lagu.
Tapi bukan hanya lagu internasional yang jadi materi tebak lagu. BR memilihkan Suliram ala Miriam Makeba(1960) dan Suliram ala Pete Seeger di kisaran tahun yang berdekatan. Jangan kira Suliram adalah lagu asing ya! Suliram itu adalah Soleram yang dikenal sebagai Lagu Daerah Riau yang dibawakan dengan aksen asing hingga terasa menggelitik telinga tapi tetap saja jatuh bangga.
Sebagai dampak mendengarkan Suliram AKA Soleram, jadilah Aleutian yang hadir dengan bersuka cita menghabiskan waktu (sembari menunggu hujan reda) dengan menyanyikan Lagu-lagu Nasional dan Lagu-Lagu Daerah yang tersusun dalam Buku Lagu-nya Pak Simanjuntak milik BR. Mengharukan 🙂 membuat saya tiba-tiba rindu menjadi bagian dari Kelompok Vokal dan Paduan Suara yang selalu ada waktu untuk membawakan lagu-lagu semacam itu.
Tapi.. tapi nih ya.. sampai akhir saya masih memikirkan hal yang sama, “Apa masih akan ada Musik Indonesia?”
* * *

Narasumber:
- Ridwan Hutagalung
Referensi:
- Sejarah Perkembangan Musik Dunia, http://justrangga.multiply.com/journal/item/18/SEJARAH_PERKEMBANGAN_MUSIK_DUNIA
- Wikipedia untuk: Bow Wow Wow, The Strangelove, Leonard Cohen, Ritchie Blackmore, Bagad, Ali Akbar Khan
- Youtube untuk: Bagad, Bow Wow Wow, The Strangelove, Leonard Cohen, Kecapi Bugis, Suarasama, Ali Akbar Khan dkk
* * *
P.S. : maaf jika loncatan-loncatannya dibawakan kurang mulus 🙂 semoga catatan dari Aleutian lain lebih bisa dinikmati ya 😀
Leave a Reply