Neptunus yang Sedih

Oleh : Caroline Najoan

Dua minggu yang lalu, tanggal 15 Mei 2010 aku ngaleut kedua. Ah, ini ngaleut dalam kota pertama, kalau sama Mooi Bandung sudah beberapa kali.

Ngaleut kali ini tentunya yang menarik adalah pemandian Tjihampelas. Dulu, berenang adalah kegiatan mewah yang paling ditunggu-tunggu. Yang keren tentunya di hotel Preanger, tahun 70-an. Kan tempat berenang terbatas banget. Kita anak-anak selalu menunggu kapan mama papa punya uang untuk ngajak berenang. Atau paling hebat ya ke Taman Lalu Lintas atau ke Kebun Binatang Bandung.

Aku tumbuh sebagai balita gaul dong, pada zamannya. Ke Kebun Binatang yang letaknya di dekat rumah tentu makanan sehari-hari….setelah dewasa aku jadi berpikir, “OOh, dulu waktu kecil dibawa mainnya ke kebun binatang, tak heran kalau sekarang…..” (isi sesuai imajinasi lah yaaa).
Nah, berenangnya pasti pernah ke pemandian Tjihampelas. Sudah tiga generasi kita gunakan, mulai dari nenekku, ibuku dan aku serta adikku. Cerita dari nenek selalu seru, beliau berenang rutin di sama, kan remaja gaul kaya cucunya. Adik-adik lelakinya main polo air disana. Dulu, dalam salah satu album, ada foto nenekku berpose dengan baju renang ala Janet Gaynor (kalau dia pernah pakai baju renang, karena Marilyn Monroe baru tenar setelah beliau jadi nenek). Wah, kereeen bener rasanya waktu lihat begitu. Sekarang sih pakai baju renang begitu mikir dulu ah, da beurat.

Generasi berikutnya adalah generasi ibuku, ia selalu bercerota berenang bersama sobat-sobatnya di air dingin dari mata air yang mengucur di sama. Mereka berjalan kaki dari rumah turun naik sambil bercanda ria. Hmm, tentu banyak cerita gadis-gadis itu disertai jajan-jajan kecil sepangjang Tjihampelas atau lewat jalan memotongnya.

Generasi berikutnya aku dan adikku. Aku ingat betul menggendong adikku di punggung. Kami berjalan dari Gajah Lumantung, di belakangnya Unpas. Lewat Purnawarman, Sawunggaling, Tamansari lalu potong jalan lewat jembatan yang dekat kebun binatang….menyeberang jembatan gantung. Adikku takut katanya. Berat juga, dia. Usianya mungkin sekitar 3 atau 4 tahun maka aku kalau tidak salah ya umur 11 atau 12 tahun. Kamar gantinya remang-remang terbuat dari papan-papan kayu tebal. Sinar matahari menyeruak dari sela-selanya. Hiii, takut ada yang ngintip, ganti bajunya cepetan ah. Di luat adik dan ibuku sudah siap. Kami lewat pancuran panjang di pintu masuk, di bawahnya berupa kolam kecil. Maksudnya untuk menyiapkan suhu badan kita agar tidak kaget kena air dingin di kolam nanti kayaknya. Hiiii…adik takut lagi, gendong lagi lah.

Di dalam kolamnya gede bener ! Yang satu lagi kolam anak-anak, ada patung Neptunus gagah dengan air mancur tidak henti-hentinya. Tegel putih terlihat dasarnya, airnya tidak berwarna. Aneh deh, seingatku tidak berwarna, bukan biru seperti kolam renang umumnya. Yang di Centrum mah ijo..hiii.
Aku berenang di kolam ukuran olimpiknya. Aduh, asa teu nepi-nepi, paru-paru geus deukeut bucat tepian kok masih jauh yaaa…maklum anak SD suka kelebihan PD-nya. Mau balik lagi sama jaunya…euh…terpaksa deh. Setelah beberapa kali ngos-ngosan tapi anehnya tidak berkeringat setetespun, akiu pindah main air di kolam kecil…airnya lebih dingin lagi. Mungkin karena kucuran langsung dari sumbernya. Enak betul ya, jaman sekarang mah lucu, air dipanasin baru berenang. Udah boros energi, ga enak lagi, asa tenggelem ajah.

Saat ngaleut, ngenes juga liat Neptunus yang dulu gagah sekarang digantungi celana dan pakaian lain. Memang dia masih konsisten ngalirin air dan berjaga dengan trisulanya, tapi kok wibawanya luntur ya. Kaya wibawa kota kita juga ya, kalau dipikir-pikir……

Tapi aku masih bersyukur bisa lihat Neptunus itu untuk terakhir kalinya kalau jadi dia dirubuhkan. Memori akan terus hidup sampai orang yang sudi mengingatnya tidak ada lagi. Maka kutuliskan memoriku ini, siapa tahu dalam bentuk tertulis nanti ada yang bisa menikmatinya.

1 Comment

  1. opik

    like this

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑