Oleh : Ujang Lukman

Apa kegiatan favorit anda menjelang Ramadhan? bagaimana reaksi anda apabila ada yang mengajak berkunjung ke makam atau kuburan? takut itu pasti, namun perjalanan Aleut kali ini dimana tempat yang banyak dikunjungi ialah makam pedagang pasar Baru jaman dahulu tidak akan membawa ketakutan akan tetapi menambah wawasan dan mengingatkan kita tentang artinya hidup dan ibadah.

Perjalanan penuh hikmah ini dimulai di Masjid Al Ukhuwwah depan Balaikota, sebelum menjadi masjid dulu berdiri gedung Loji Sint Jan yaitu tempat berkumpulnya para teosof untuk membicaraan masalah teosofi, gedung ini terkesan angker dan misterius karena selalu sepi, pintu dan jendela selalu tertutup sehingga masyarakat sering menyebutnya sebagai “gedung setan”, Sekitar tahun 1960-an gedung ini dibongkar untuk mendirikan gedung Graha Pancasila baru pada tahun 1990-an dibangun lah masjid. Pernah baca atau dengar keterangan yang menyatakan bahwa pada bulan Ramadhan setan-setan dibelenggu dan pintu neraka ditutup, tetapi pintu surga dibuka?

Beranjak tidak jauh dari Masjid Al Ukhuwwah, tepatnya dibelakang ada gedung BMC (Bandoengsche Melk Centrale) yang dibangun tahun 1925, konon sekitar tahun 1900-an Bandung terkenal dengan produk susu sehingga dijuluki “Friesland in Indie”, susu yang dihasilkan dari perahan sapi daerah Pangalengan dan Lembang. Lalu kami pun berjalan menuju pusat pemerintahan Hindia Belanda yaitu gedung Pakuan, Bandung pernah merangkap sebagai ibu kota Kab. Bandung dan ibu kota Keresidenan Priangan. Akibat terjadinya kerusakan hebat yang menimpa kota Cianjur karena meletusnya Gunung Gede maka ibu kota Keresidenan dipindahan ke Bandung pada bulan Agustus 1864. Kantor Residen Priangan pernah juga memakai Gedung bekas Olie Fabrieken Insulide di jl. Braga dan gedung karya A.F. Aalbers yang terletak di Jl. Dago sebelah Hotel Holiday inn. ehh.. hampir lupa kata pakuan atau pakuwon dalam dalam bahasa sunda artinya istana.

Mata air Ciguriang

Dan perjalanan religi diteruskan menuju makam keluarga H. Mesri yang terletak didaerah Kebon Kawung (Stasion Bandung) Menurut penuturan salah seorang pesertaH. Mesri merupakan seorang tuan tanah kaya raya, tepat di bawah makan tersebut ada mata air Ciguriang yang mengalir sampai daerah Kepatihan (sebelum bernama pasar baru sekarang, dulunya pasar ini bernama pasar Ciguriang, namun karena peristiwa penusukan Asisten Residen maka dibakarlah pasar Ciguriang sekitar tahun 1856, barulah pada tahun 1906 dibangun Pasar Baru). Berdasarkan penuturan penjaga makam H. Mesri dulu diatas mata air Ciguriang ada pohon caringin namun semenjak pohon itu tumbang air tidak keluar lagi, sekarang mata air tersebut hanya dipakai untuk kolam tadah hujan saja.

Beranjak menuju jl. Kesatriaan tepatnya SMPN 1 Bandung, dulunya merupakan tempat kegiatan pergerakan pemuda dalam merintis kemerdekaan Indonesia seperti Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara dan Dr. Cipto Mangunkusumo. Bung Karno pernah juga mengajar ilmu eksakta disekolah ini. Selanjutnya para peserta menuju makam H. Sarif di jl. Samba daerah Pajajaran, beliau merupakan pedagang Pasar baru yang berjualan batik Pekalongan dan Cirebon. Pada perjalanan Aleut sebelumnya saya juga pernah mengunjungi makam serupa di Jl. Cipaganti dekat dengan Hotel Nyland yaitu makam H. Idris. Jadi teringat amalan yang akan terus mengalir pahalanya walau sudah meninggal yaitu harta yang dibelanjakan di jalan Allah, ilmu yang dibagikan, serta anak yang sholeh.. ehmm thank’s bang Ridwan yang selalu berbagi pengetahuan.

Akhirnya setelah melewati berbagai kondisi jalan dan gang sempit, perjalanan religi ini berakhir di SLB Cicendo (Mereeniging vor Onderwijsaan Doofstomme Kinderen in Indonesia “Lembaga Bisu Tuli”), gedung ini didirikan wali kota Bandung Ir. J.E.A van Wolzogen Kuhr dengan biaya dari K.A.R Bosscha. Lembaga ini diresmikan 18 Desember 1933, memiliki keistimewaan yaitu gedung pertama yang menggunakan sistem rangka baja murni. Namun berdasarkan penelusuran ahli sejarah justru pada masa kepemimpinan Residen Priangan J.H.B kunaeman, SLB Cicendo didirikan 3 Januari 1930 atas prakarsa Ny. C.M Roelfsema Wesling, istri Dr. H.L. Roelfsema seorang ahli penyakit THT, sedang untuk asrama siswa menempati rumah Roelfsema sendiri di jl. Riau no. 20. Material besi hampirmendominasi bagain pintu dan jendela, untuk desain atap menyerupai rumah tradisional Jawa Barat. Saat akan pulang kami berjumpa langsung dengan para siswa SLB Cicendo pada momen itu hati merasa sangat bersyukur kepada Tuhan, karena telah diberikan nikmat dan karunia dengan lengkap, semoga dengan semua anugrah ini dapat memberi kontribusi terhadap sesama.

Akhir kata mohon maaf atas segala kesalahan baik ucap maupun perbuatan, semoga
diberi kemudahan dan kelancaran dalam menunaikan ibadah Shaum di bulan Ramadhan
nanti.. amin

Dan sebagai oleh-oleh bagi teman-teman yang tidak ikut perjalanan ini, saya bawa “foto sawo kenitu”.. silahkan.. diamati..

Sawo kenitu, atau sawo ramadhan karena berbuah pas bulan Ramadhan, nanti lebaran akan panen berniat untuk mencicipi??