Yzermanpark (Taman Ganesha)
Taman kota adalah salah satu unsur penting dalam konsep Kota Taman (Garden City), yaitu sebagai ruang publik yang memiliki peranan utama dalam menyelaraskan pola kehidupan masyarakatnya (Tibbalds, 2002:1). Dalam sejarahnya Pemerintah Kota Bandung sejak jaman Belanda menyadari hal tersebut sehingga mendasari mereka untuk mendesain Bandung sebagai kota Taman. Saat itu, Taman-taman kota di Bandung sengaja dibangun untuk mengantisipasi perkembangan pesat Bandung di masa depan yang memang sudah diperkirakan sejak itu.
Dalam perkembangannya, konsep kota taman di Bandung telah dilupakan, sehingga saat ini ketika Bandung telah berkembang pesat, banyak masyarakat mulai merasakan kurangnya ketersediaan ruang hijau yang nyaman dan memadai untuk melakukan aktifitas sosial. Di lain pihak, sebagian besar masyarakat serta pemerintah kota cenderung kurang menaruh perhatian terhadap keberadaan taman kota. Padahal unsur taman (lahan hijau) dalam sebuah kota sangat berkaitan dengan kondisi kesehatan masyarakat secara fisik dan psikologis.
Saat ini, beberapa kota yang mengalami masalah sama di dunia mulai menerapkan kembali konsep Garden City dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang lebih realistis dan pertimbangan lainnya.
Ruang Hijau dalam Kota
Kota merupakan wujud fisik yang dihasilkan oleh manusia dari waktu ke waktu yang bertungsi untuk mewadahi aktifitas hidup masyarakat kota yang kompleks dan luas. Pertumbuhan fisik dan masyarakat kota yang pesat tentunya akan menimbulkan permasalahan bagi lingkungan perkotaan maupun sosial masyarakat kota. Salah satu permasalahan tersebut adalah keterbatasan kota untuk memenuhi ketertersediaan ruang-ruang hijau terbuka untuk mewadahi kebutuhanan masyarakat dalam melakukan aktifitas sekaligus untuk mengendalikan kenyamanan iklim mikro dan keserasian estetikanya. Dalam kenyataanya, masalah pemanfaatan lahan ini selalu terkait dengan permasalahan klise antara perebutan kepentingan antara sektor privat dan sektor publik; antara masyarakat strata atas, menengah dan bawah; serta antara kelompok kepentingan ekonomi serta pengambil kebijakan publik. Seringkali yang menjadi korban dalam perebutan kepentingan ini adalah masyarakat berpenghasilan rendah yang harus tergeser kepentingan komersial yang lebih besar.
Saat ini, pemanfaatan taman kota cenderung rnenyimpang dari fungsinya. Ditunjukan oleh adanya perubahan aktifitas di dalam taman yang menunjukan kurangnya kesadaran masyarakat kota dalam memanfaatkan taman kota sebagai penyeimbang kehidupan kota. Padahal masyarakat modern membutuhkan lebih banyak ruang kota yang sehat dan nyaman untuk beristirahat dan menyegarkan diri setelah menjalani pekerjaan rutin selain untuk berinteraksi dengan warga kota lainnya. Berbagai studi telah membuktikan bahwa volume taman serta lahan terbuka dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat suatu kota. Dari segi kesehatan, berdasarkan penelitian yang dilakukan U.S. Surgeon General pada tahun 1996, ditemukan bahwa masyarakat yang rutin melakukan aktifitas fisik dapat terhindar dari resiko kematian prematur; seperti penyakit jantung, hipertensi, kanker, diabetes, serta menguatkan otot, persendian, menjaga berat badan, dll.[1] Untuk itulah masyarakat terdidik cenderung memilih lingkungan yang sehat dengan pertimbangan pengeluaran biaya kesehatan. Taman-taman kota juga dapat berperan sebagai agen pembangunan komunitas. Menjadikan setiap sisi kota sebagai lokasi yang nyaman untuk ditinggali, menyediakan lokasi rekreasi murah dan bersahabat bagi anak-anak muda, yang bisa diakses masyarakat dari berbagai strata. Akses terhadap taman-taman kota dan lahan rekreasi ini, memiliki keterkaitan erat dengan pengurangan aksi kriminal dan kenakalan remaja.[2]
Saat ini banyak anak-anak muda yang lebih memilih untuk berekreasi di dalam bangunan-bangunan mall atau bahkan di dalam dunia maya. Tentu saja pilihan ini memiliki aspek negatif, mulai dari aspek kesehatan psikologis, hingga keterbatasan akses. Ruang-ruang publik tersebut cenderung hanya bisa diakses oleh masyarakat dari golongan tertentu. Akibat dari polarisasi tersebut, masyarakat kota cenderung menjadi lebih individualis dan kurang peka secara sosial terhadap keberadaan golongan masyarakat yang lain. Akibatnya konflik-konflik antar masyarakat akan lebih banyak terjadi.
Ekses-ekses tersebut akan menjadi beban tersendiri bagi Pemerintah kota Bandung apabila terus abai terhadap keberadaan taman kota sebagai unsur yang cukup berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi kota. Pemerintah-pemerintah kota di seluruh dunia yang mengalami permasalahan serupa dengan Bandung mulai menerapkan kembali konsep Garden City yang dimodifikasi sesuai kebutuhan dan permasalahan yang ada saat ini.[3] Hasilnya terbukti bahwa masyarakat kota yang sehat akan mengurangi beban pemerintah dalam menanggung biaya jaminan kesehatan, keamanan, selain dapat menunjang produktifitas ekonomi kota. Selain itu kenyamanan kota yang dipenuhi taman-taman juga bisa menjadi daya tarik bagi turis-turis untuk mengunjungi Bandung.
Garden City
Inti dari dari konsep Garden City yang diusung pencetusnya, Ebenezer Howard adalah keseimbangan antara pemukiman dan tempat kerja. Seperti dikatakan Howard dalam salah satu promosinya terhadap kota Welwyn yang dirancangnya, ‘It is not good to waste two hours daily in trains and buses and trams to and from the workshop, leaving no time nor energy for leisure or recreation. At Welwyn Garden City a man’s house will be near his work in a pure and healthy atmosphere. He will have time and energy after his work is done for leisure and recreation’.[4] Secara tidak langsung, Howard menekankan pentingnya sarana-sarana rekreasi dan istirahan untuk warga untuk menunjang produktifitas mereka. Untuk itu selain pengaturan jarak antara rumah dan tempat kerja, taman-taman kota mutlak diperlukan.
Beberapa ide dalam konsep Howard mungkin tidak cocok untuk diterapkan di masa modern, namun secara umum konsep tersebut berhasil dijadikan acuan bagi pembangunan beberapa kota modern di Dunia. Konsep ini digunakan para perencana kota, contohnya dalam pembangunan perkotaan baru di Inggris pasca perang dunia kedua, antara lain Cumbernauld.
Malaysia turut menerapkan konsep ini, yaitu dalam perencanaan pembangunan kota Petaling Jaya dan Putrajaya. Putrajaya merupakan kota yang didesain sebagai pusat pemerintahan yang nyaman dengan banyak taman dan fasilitas lain. Dari total luas 4.581 hektar, 70% kawasan Putrajaya didesain sebagai lahan hijau dengan hanya menyisakan 30% untuk pembangunan fisik.
‘Garden City’ di Bandung
“Bandung sebagai kota kebun. Begitulah yang diketahui orang dan demikianlah adanya kalau kita berjalan-jalan di pinggiran sentrum Kota Bandung. Di mana tiap rumah mempunyai kebun kecil atau besar dan kita berkomentar : Bandung adalah kota yang bagus dan asri kebun-kebunnya.” Ujar seorang nyonya penghuni Bandung dalam sebuah surat yang dimuat majalah MooiBandoeng yang terbit tahun 1937.[5] Pernyataan sang nyonya merupakan gambaran nyata dari keadaan Bandung saat itu. Rumah-rumah berhalaman luas dengan taman-taman kota sebagai pusat interaksi warganya menjadi pemandangan utama kota Bandung khususnya di bagian utara. Begitu terkenalnya Bandung sebagai kota taman sehingga kota ini pernah mendapat julukan Tuinstad atau Kota Kebun dari walikota Apeldoorn, Holland, Dr. W. Roosmale Nepveu, pada tahun 1936. Julukan lainnya bagi bandung adalah de Bloem der Indische Bergsteden atau bunga di pegunungan Hindia. Istilah kota kebun “Tuinstad” merupakan adaptasi Belanda terhadap konsep Kota Taman.
Perkembangan Bandung saat itu memang tidak bisa dipisahkan dari kemunculan konsep Garden City di Eropa yang dibawa ke Nusantara oleh Belanda. Saat itu tengah digencarkan konsep “Indische Koloniaale Stad” atau kota kolonial untuk menjadi kawasan ideal bagi hunian orang-orang Eropa yang tinggal di Nusantara. Pola baru tata ruang ini mulai diterapkan di kota-kota besar Indonesia pada awal tahun 1920-an, yang sebenarnya hanya berupa perancangan dan pembangunan sebagian kawasan kota secara parsial. Konsep Garden City ini kebanyakan dilakukan dalam pembangunan kawasan kota yang baru “Nieuwe Wijk” , seperti yang dilakukan pemerintah Kota Bandung di kawasan utara kota. Sedangkan perbaikan kawasan hunian pribumi lebih dikenal sebagai “Kampong verbetering”.
Konsep Koloniaale Stad yang mengadopsi konsep Garden City diterapkan dalam pembangunan kawasan pemukiman baru antara lain di Jakarta meliputi kawasan Menteng dan Gondangdia; daerah Palmenlaan di Kupang, Darmo dan Ketabang Boulevard di Surabaya; Daerah Candi di Semarang; wilayah Kota Baru di Yogyakarta; dan Bandung Utara tentunya. Pelaksanaan konsep ini di Bandung terhitung merupakan yang paling berhasil di antara kota-kota lainnya.
Keberhasilan Konsep Kota Taman ini mungkin juga dipengaruhi oleh karakter orang Belanda yang memang dikenal sebagai botanis terbaik di kalangan orang-orang Eropa. Saat itu lahan hijau sendiri memiliki beberapa tipologi yang berbeda sesuai dengan karakteristik dan fungsinya. Tipe-tipe lahan hijau tersebut dikenal dengan istilah-istilah sebagai berikut :
Park : sebidang tanah yang dipagari sekelilingnya, ditata secara teratur dan artistik, ditanami pohon lindung, tanaman hias, rumput dan berbagai jenis tanaman bunga. Selain itu dilengkapi pula jaringan jalan (lorong), bangku tempat duduk, dan lampu penerangan. Kadang kala park dilengkapi dengan kolam ikan lengkap dengan teratai, sebuah ‘koepel’, gazebo, kandang binatang, dan saluran air yang teratur. Park adalah Taman dalam arti yang sebenarnya.
Beberapa lahan hijau di Kota Bandung yang didesain sebagai ‘park’ antara lain Taman Ganeca (Ijzerman Park), Taman Maluku (Molluken Park), Taman Merdeka (Pieter Sijthoffpark), Taman Lalu Lintas (Insulinde Park), dan Taman Sari / Kebon Binatang (Jubileum Park).
JubileumPark
Plein : Lapangan, Lahan datar atau pelatara yang tidak terlampau luas. Biasanya ditumbuhi rumput, terletak di sekitar bangunan atau gedung tanpa jaringan jalan di dalamnya. Terkadang ada satu dua pohon lindung. Pada lahan itu sering dilakukan kegiatan bersifat rekreasi, seperti olah raga, kegiatan pramuka, tempat mengasuh anak, dan lain-lain.
Beberapa plein di Bandung antara lain Taman Anggrek (Orchideeplein), Lapangan Ciujung (Houtmanplein), Lapangan Bengawan (Limburg Stirumplein), Taman Pendawa (Pendawa Plein), Lapang Dr. Otten (Rotgansplein), Lapang Sabang (Sabangplein), Taman Citarum (Tjitaroemplein), Taman Pramuka (Oranjeplein), dan lapang alun-alun.
Oranjeplein (Taman Pramuka)
Plantsoen : Lahan dalam kota yang digunakan sebagai tempat pembibitan. Tempat untuk memelihara dan membudidayakan berbagai jenis pohon tanaman keras. Berfungsi sebagai taman terbuka yang bisa dikunjungi warga kota. Jaringan jalan setapak yang berada di sana membuka kesempatan bagi masyarakat kota untuk berjalan-jalan di dalamnya.
Bentuk Plantsoen biasanya memanjang. Terkadang menyusuri sungai kecil, dengan kedua tepiannya terdapat pohon-pohon besar. Dengan demikian, funhsi Plantsoen dalam kota adalah sebagai jalur hijau “greenbelt” yang menjadi batasan wilayah. Plantsoen juga berfungsi melestarikan lahan sekitar aliran sungai dari kemungkinan erosi dan pembangunan perumahan liar. Beberapa Plantsoen yang pernah dimiliki Bandung antara lain Taman Cibeunying Utara (Tjibeungjingspalntsoen Noord), dan Taman Cibeunying Selatan (Tjibeungjingspalntsoen Zuid). Satu plantsoen lain terdapat di Cibunut, namun kini sudah berubah fungsi menjadi perumahan.
Stadstuin : Kebon pembibitan milih pemerintah kota. Di tempat persemaian ini dibibitkan berbagai jenis tanaman pohon lindung, jenis tanaman keras, tanaman hias,bunga-bungaan dam lahan tempat membudidayakan berbagai jenis rumput.
Di stadstuin, warga Bandung bisa membeli berbagai bibit tanaman untuk ditanam di lahan pribadi. Saat itu stadstuin berada di kawasan Kebon Bibit Tamansari yang kini sudah berubah menjadi kawasan pemukiman dan bisnis.
Boulevard : Sejenis jalur hijau yang menaungi sebuah jalan raya yang lebar. Sederetan pohon lindung sejenis terdapat pada kedua sisi jalan. Sedangkan di tengah jalan terdapat taman bunga yang memanjang, membatasi dua jalur terpisah. Dahulu konsep Boulevard ini pernah diterapkan di sepanjang jalur jalan Dipati Ukur (Beatrix Blvd.), Jl. Ranggagading (Bosscha Blvd.), Jl. Sawunggaling (Dacosta Blvd.), Jl. Surapati (Irene/Juliana Blvd.), Jl. Sulanjana (Multatuli Blvd.), Jl Pasteur dan Jl. Diponegoro (Wilhwlmina Blvd.).[6]
Pembangunan berbagai lahan hijau dengan berbagai karakteristik dan fungsinya tersebut menjadi ciri khas implementasi konsep “Garden City” yang konsisten. Untuk itu, pemerintah kota Bandung di tahun 1930’an sengaja menggunakan jasa planolog terkenal bernama Karsten untuk merancang kawasan ‘tuinstad’ tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ir. Thomas Nix saat itu, angka standar bagi kebutuhan lahan taman bagi kota-kota di Nusantara adalah 3,5 M2 per satu orang penduduk. Khusus untuk Bandung, Thomas Nix bahkan mengajukan angka 6,7 M2 per satu orang penduduk. Angka tersebut diambil dari norma ukuran taman yang diajukan oleh Dr. J. Stubber bagi tipe ‘Kota Taman’ seperti Bandung.
‘Garden City’ Bandung Sekarang
Sejak naiknya Dada Rosada menjadi walikota Bandung (2003-sekarang), beliau telah mencanangkan perbaikan lingkungan hidup sebagai salah satu dari 7 program prioritas pembangunan Kota Bandung. Selama itu hingga saat ini, Walikota yang dikenal sebagai “Wagiman”atau Walikota Gila Tanaman ini telah meluncurkan berbagai program lingkungan seperti penanaman sejuta pohon hingga perluasan Ruang terbuka Hijau dengan bentuk mengubah beberapa lokasi pom bensin menjadi taman kota. Antara lain di Jl.Cikapayang, Jl. Sukajadi, Jl Riau dan Jl. Cibeunying. Perluasan taman juga dilakukan di lokasi tegalega II, TPA Pasir Impun dan Gedebage.[7]
Banjir di taman Ganesha
Namun perlu diperhatikan, bahwa selama pengelolaan Bandung di bawah walikota Dada Rosada tersebut, belum ada perbaikan lingkungan secara signifikan. Berdasarkan data tahun 2010, Ruang terbuka hijau di Kota Bandung kini baru mencapai 8,8 persen. Volume itu jauh dari ideal karena luas RTH seharusnya 30 persen dari luas Kota Bandung 16.729 hektar. Hingga saat ini tengah diusahakan penambahan RTH menjadi 13,14 persen. Masih jauh dari amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengharuskan 30 persen. Adapun dari total luas RTH tersebut, hanya seperlimanya yang berupa taman atau fasilitas umum.[8] Berdasarkan pernyataan pihak Dinas Pemakaman dan Pertamanan (Diskamtam), mereka pun masih meresahkan minimnya anggaran dari APBD 2011 yaitu sebesar Rp5 miliar untuk perawatan sekitar 604 taman di Kota Bandung yang idealnya, mencapai Rp10 miliar.[9] Di luar itu, tidak ada keterangan jelas mengenai kriteria 604 taman di Bandung yang dikelola oleh Diskamtam. Apakah taman-taman ‘portabel’ yang banyak tersebar di Bandung juga termasuk di sana. Anggaran pun masih difokuskan pada pembangunan fasilitas penunjang seperti pemasangan lampu-lampu, papan petunjuk nama pohon, penyiraman, dan kebersihan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, tidak ada perkembangan signifikan dari luas area taman kota sejak pertama kali taman-taman tersebut dibangun oleh Belanda padahal pertumbuhan penduduk Bandung berlangsung dengan pesat. Hingga saat ini hanya beberapa taman saja seperti taman Cilaki dan taman Ganesha yang masih ramai dikunjungi masyarakat walau kondisinya tidak terawat. Perebutan lahan antara pihak swasta dan publik bahkan sempat terjadi saat Walikota mewacanakan pembangunan lahan Babakan Siliwangi yang dilakukan oleh pihak swasta. Pembangunan ini dikhawatirkan oleh sebagian besar warga Bandung dapat merusak ekosistem lingkungan serta mengurangi lahan hijau di Bandung.[10]
Kanal di taman Maluku
Kesimpulan
Pada tahun 1936, Mr. Dr. W. Roosmale Nepveu, Walikota Apeldoorn Holand mengunjungi Bandung dan mengucapkan kekagumannya terhadap keindahan kota ini,”Yang menggairahkan diriku adalah, bahwa kota ini telah dirancang dengan baik sebagai Kota Kebun, dengan pembangunan taman dan jalan rayanya yang lebar-lebar, cita rasa keindahan rumah-rumahnya memberi kesan tenang dan nyaman”.[11] Pernyataan tersebut, menggambarkan betapa baiknya sistem perencanaan beserta implementasi kebijakan tata ruang di Bandung sekitar 70 tahun yang lalu. Kini mungkin tidak ada lagi pengunjung Bandung yang spontan mengeluarkan pernyataan tersebut melihat keadaan di lapangan.
Kini sulit bagi warga Bandung untuk bisa menemukan taman yang nyaman untuk beraktifitas dan bersosialisasi, akibatnya warga berduyun-duyun bepergian ke pinggiran Bandung untuk bisa menikmati udara dan lingkungan yang masih asri. Sayangnya seringkali harapan mereka tidak terwujud karena di waktu yang sama pengunjung dari luar Bandung pun mengunjungi tempat yang sama. Orang-orang kaya yang lebih beruntung bisa mendirikan villa-villa di pinggir kota yang jauh dari hiruk pikuk kota, sedangkan warga miskin harus sebisa mungkin memanfaatkan sedikit ruang di dalam kota untuk bisa berekreasi secara tidak nyaman.
Keadaan ini akan terus menerus terjadi dan ujungnya akan menimbulkan efek negatif bagi semua pihak. Secara ekonomi, masyarakat jadi mengeluarkan dana yang cukup besar hanya untuk beristirahat atau berekreasi, padahal pengelola kota berkewajiban menyediakan fasilitas tersebut kepada masyarakat. Tidak ada pertambahan dan perbaikan yang signifikan terhadap lahan hijau atau taman kota khususnya di kota Bandung sejak Jaman Belanda, padahal Bandung telah mengalami lonjakan penghuni dan “revolusi industri” kecil. Akibatnya kurangnya lahan hijau ini, banyak warga Bandung mengalami “sakit” fisik maupun psikologi yang berakibat pada berkurangnya kualitas kreatifitas, sebaliknya meningkatkan anggaran kesehatan dan pengeluaran pemerintah.
Untuk itu perlu lebih banyak pengalokasian dana untuk perawatan dan pembukaan taman-taman baru alih-alih penambahan anggaran belanja rutin. Selain itu pemerintah juga bisa mengembangkan konsep komunitas dan kerjasama swasta dalam perawatan taman kota tersebut. Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan mengingat kepentingan pemintah dan swasta terhadap kesehatan masyarakat sangatlah berhubungan. Tentu akan menjadi lebih baik dan lebih murah apabila warga Bandung lebih memilih untuk menghabiskan waktunya di taman-taman kota daripada bepergian ke luar kota. Apalagi pemerintah kota tengah menyebarkan image Bandung sebagai kota jasa, tentu unsur estetika menjadi unsur penting yang bisa menarik wisatawan untuk berekreasi di Bandung dan menikmati keindahan lingkungan terutama taman-taman kotanya.
Solusi
Saat ini, taman-taman kota tidak lagi hanya dipandang sebagai kontributor bagi pemenuhan kualitas fisik dan estetika lingkungan saja. Berbagai penelitian telah dilakukan dan menyimpulkan bahwa taman kota memiliki aspek yang lebih luas terhadap pemenuhan tujuan-tujuan kebijakan publik lainya, seperti aspek ekonomi masyarakat, perkembangan anak muda perkotaan, kesehatan publik hingga perkembangan komunitas.
Dalam pandangan ini, taman kota bisa difungsikan secara lebih luas serta menjadi media utama bagi perkembangan komunitas masyarakat kota. Di Bandung saat ini, telah ada beberapa komunitas yang mulai menyadari pentingnya taman kota sebagai media perkembangan masyarakat, komunitas tersebut antara lain Komunitas Aleut, Komunitas Bandung Berkebun, Komunitas Taman Kota dan Komunitas Sahabat Kota dll.. Kegiatan komunitas-komunitas ini difokuskan pada pengembangan pendidikan anak muda, baik melalui program-program bersifat intelektual, emosional hingga sosial. Perkembangan komunitas yang terlepas dari campur tangan pemerintah ini, merupakan suatu potensi positif yang bisa dikembangkan. Untuk itu, pemfungsian taman-taman kota sebagai “Park” yang bernilai sosial perlu lebih ditingkatkan alih-alih memfokuskan diri pada kuantitas tanaman yang ditanam dalam kota. Selain itu, Pembangunan komunitas-komunitas anak muda ini secara tidak langsung juga dapat mengurangi beban pemerintah kota dalam hal penanganan tindakan-tindakan kriminalitas dan vandalisme yang kerap dilakukan anak muda.
Taman kota merupakan sarana kesehatan publik yang sangat terjangkau bagi warga kota dan dapat diakses berbagai golongan masyarakat. Dalam hal ini, sebagian anggaran kesehatan pemerintah kota sepatutnya dialokasikan untuk perbaikan-perbaikan taman kota mengingat perannya yang cukup signifikan dalam menyehatkan warga kota. Untuk itu, taman-taman selayaknya difasilitasi dengan arena berjalan kaki, track jogging, hingga bersepeda. Untuk perawatan, tidak masalah apabila pengelola taman menarik sedikit biaya dari pengguna taman apabila hal tersebut dirasa sangat diperlukan untuk menjaga kenyamanan dan kelayakan taman kota.
[1] CDC, “Surgeon General,” Physical Activity and Health: A Report of the Surgeon General (Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, 1996), Hlm. 4-8, http://www.cdc.gov/nccdphp/sgr/pdf/sgrfull.pdf.
[2] Paul M. Sherer , “The Benefits of Parks: Why America Needs More City Parks and Open Space”. San Francisco – 2006. Hlm. 7.
[3] Kota-kota besar seperti Singapura, Canberra, Christchurch and Adelaide telah menerapkan konsep ini. Bahkan Malaysia mendeklarasikan diri sebagai “Garden Nation”. (Prof. Dr. M. Hamdan Hamad, Malsiah Hamid, Hong Lim Foo, Then Jit Hiung dalam Paper “Defining the Garden City of Kuching”)
[4] Chris Gossop ,”From Garden Cities to New Towns” (2006) Hlm. 2
[5] Nyonya C.S.V., “Mooi Bandoeng”, November 1938 No. 11, Jaargang 6, Hlm. 6
[6] Haryoto Kunto,”Semerbak Bunga di Bandung Raya” (Bandung, 1986) Hlm. 226
[7] Tjetje Hidayat P. (Ed.), “Kang Dada Pengabdian Tanpa Jeda”. (Bandung, 2008) Hlm. 37
[8] http://www.csoforum.net/home/klipping-berita/217-ruang-terbuka-hijau-kota-bandung-baru-88-persen.html
[9] http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/431819/
[10] http://lintasjabar.com/bandung-raya/walikota-babakan-siliwangi-tidak-bisa-jadi-rth-murni/
[11] Mooibandoeng, november 1936
Dulu sebelum saya ke Bandung, banyak yang bilang “Bandung dingin daerahnya sejuk, banyak pohon dan taman” Tapi sekarang sedikit berbeda rasanya. Seharusnya Bandung bisa jadi lebih teduh, hijau dan adem jika saja pemerintah dan kita juga bisa merawat dan menjaga taman agar tetap bisa menjadi paru-paru kota. Wisata taman yang kemarin sungguh menarik, kapan lagi ke taman lansia kalau ga pas pasar pagi hehehe….
Bro, besok tulisannya saya repost di WP ini boleh? pake link ke blog aslinya kok..
keren! artikel yang bagus sebagai salah satu warga bandung sy menyadari hal ini.