Oleh : Erik Pratama
Dalam ngAleut! Jalur Museum Geologi – Cigadung kali ini tak banyak objek ‘bersejarah’ yang kami temui. Jalur yang dirapatkan selama kurang lebih 4 jam ini mungkin sebagai jalan keluar agar pembahasan cepat selesai…hehe….
Rencana memasuki ruangan museum pun dibatalkan karena museum telah dipenuhi oleh rombongan siswa yang karyawisata yang (mungkin) menunggu sejak subuh. Sebagai komunitas yang berjiwa besar kami memutuskan untuk membatalkan rencana memasuki museum demi adik adik kami yang jauh lebih mengharapkan memasuki museum. Jadilah kami memulai perjalanan menembus keramaian Pasar Gasibu yang semakin tidak memberikan ruang bagi para pengunjung,melewati jalan Diponegoro kemudian memotong lewat Jalan Melania untuk menuju ke Jalan Surapati. Di sana kami mengamati barisan Gunung Manglayang (yang sempat membuat saya susah payah untuk mencapai puncaknya), Gunung Palasari , dan kawan-kawan.
Perjalanan kembali dilanjutkan menuju cihaurgeulis hingga tempat tujuan kami Cigadung, yang berakhir di Warung Uwa. Sebuah tempat makan dengan suasana yang nyaman dan harga yang murah serta rasa yang MakNyoos…(Pokona mun kaditu deui kudu gratis..hehe….)
Namun bukan ngAleut! Kalo tak ada pengetahuan baru yang didapat. Inilah yang kami temukan dalam perjalan menuju Cigadung
Pertama :
Di perjalanan kami berpapasan dengan seorang Bapak Tua yang tengah membawa sebuah Lodong (demikian kata Jana) seakan sedang karnaval 17an. Namun bukan sedang membuat polusi suara dengan bunyi ledakan dari lodong. Bapak itu adalah penjual Lahang.

Lahang, minuman tradisional khas Indonesia yang berasal dari sadapan pohon enau tak lagi banyak kita temukan sehari-hari. Tidak sepopuler minuman Isotonik yang iklannya memenuhi tekevisi kita, padahal rasanya fungsinya sama yaitu menghilangkan haus dan juga memulihkan energi. Bukan hal yang aneh jika lahang ini sebagai minuman pemulih energi karena lahang (air enau) ini merupakan bahan utama pembuatan gula merah atau juga dikenal sebagai gula aren. Dengan dimasak kemudian didinginkan jadilah gula merah yang sering kita temukan dalam rujak ataupun colenak. “Ngandung alcohol ga?”, demikian kata salah seorang Aleutian. Dalam kamus lahang sering disamakan dengan Tuak; Nira, Tuak adalah juga minuman tradisional, namun yang ini mengandung alkohol. Lalu samakah dengan Lahang?? Tampaknya tidak saudara-saudara. Tuak memang berasal dari Air Enau atau Lahang namun telah difermentasikan. Sudah menjadi kodratnya jika Glukosa (kita sebut saja gula) jika difermentasikan akan menjadi alkohol. Karena Lahang yang kami minum ini belum difermentasikan tentu saja tidak beralkohol.

Di Medan minuman tradisional itu disebut air nira, sementara orang Jakarta menyebutnya tuak. Dua-duanya disadap dari tandan bunga enau atau aren. Di Jawa Tengah disebut legen. Orang Jawa Timur menyadapnya dari bunga nilo alias siwalan yang disebut mancung sedang orang Jawa Tengah menyadapnya dari tandan bunga pohon nyiur yany disebut manggar.
Minuman lahang ini juga mengingatkan saya akan tokoh penjual lahang di serial TV Kabayan (kalo g salah, karena saat itu saya masih sangat kecil untuk mengingatnya dengan baik). Penjual yang menyebut dagangannya itu sebagai Lahang Litus (lahang Lima ratus). Namun lahang yang kami minum bukanlah lahang litus karena sekarang harganya sudah naik. Harga Premium saja bisa naik, jadi biarlah harga lahang juga naik.
Kedua :
Di halaman sebuah rumah ,Aleutians menemukan pohon buah yang langka.Konon menurut penjelasan BR, di Bandung pohon ini hanya ada dua ( dua-duanya ada di Taman Lalu Lintas), jadilah ini pohon ketiga di Bandung. Setelah meminta izin pada pemilik rumah (entah dengan paksa atau tidak karena saya tidak melihat proses negosiasinya), Jana dengan cekatan memanjat pagar untuk memetik buah tersebut. Kemudian layaknya menemukan bayi naas hasil hubungan gelap yang dibuang ibunya, Aleutians mengerubungi buah yang telah dipetik tersebut, dan dengan sigap BR mengeluarkan pisau McGyver nya lalu memotong buah, yang sayangnya belum matang itu.

Buah itu bernama buah Samolo, atau kata BR dikenal pula dengan nama buah Bisbul. Diospyros blancoi, demikian nama ilmiah buah tersebut, atau sering pula disebut sebagai buah mabolo yang berarti buah berbulu halus, atau buah mentega, karena konon warna dan tekstur buah ini saat matang seperti mentega.
Buah ini bukan asli Indonesia,melainkan berasal dari Filipina, entah bagaimana caranya buah ini sampai ke Indonesia. Jika di Bandung buah Samolo ini langka,lain halnya di Cianjur, buah Samolo ini diklaim menjadi buah khas daerah Cianjur. Pemerintah daerah Kabupaten Cianjur telah memilih dan menetapkan Samolo sebagai flora identitas melalui SK. Bupati Cianjur No. 55.4/SK.133-Pe/1993 tanggal 20 Juli 1993. Tak hanya Cianjur, masyarakat Bogor pun menganggap buah Samolo ini sebagai buah khas daerah Bogor.

Baiklah, agar tidak ada perpecahan antar daerah mari kita sebut saja buah Samolo ini sebagai buah khas Borjur (Bogor Cianjur).
Kata BR rasa buah ini mirip Apel,bentuk dan dagingnya pula mirip dengan apel. Hal ini sangat masuk akal, karena Buah Samolo adalah satu keluarga dengan Apel dan juga Kesemek, jadi mereka ini masih bersaudara sama seperti Indra, Arya dan Nara. Silakan saja anda yang tentukan siapa yang Apel, Samolo, dan Kesemek.
Tumbuh dengan baik hampir di semua jenis tanah sampai dengan ketinggian 800 meter di atas permukaan laut asalkan mendapat curah hujan yang cukup sepanjang tahun. Tajuk pohonnya simetris dan agak melebar, daunnya lebat dan rimbun, dan dikombinasikan dengan warna buahnya yang merah beludru. Pada saat muda, warna kulit buah hijau muda berbulu, menjelang masak warna kulitnya berubah menjadi hijau kecoklatan, dan pada saat masak penuh, warnanya berubah menjadi merah beludru. Buahnya berbulu yang bila terkena kulit akan membuat gatal. Setelah dipetik buah yang disimpan selama 2-3 hari akan menjadi lunak dan muncul aroma.Daging buah masak, berwarna putih hingga krem. Teksturnya empuk padat, halus, seperti mentega, kurang berair, dan rasa dagingnya manis-tanggung. Aroma buahnya, seperti campuran dari keju – mentega yang timbul dari permukaan kulitnya. Sedangkan daging buahnya sendiri setelah dikupas sama sekali tidak beraroma. Buahnya memiliki kandungan gizinya yang lebih tinggi dibanding buah tropika lainnya seperti vitamin B, kalsium, dan zat besi. (http://oq-151086.blogspot.com/)
Pada saat muda, warna kulit buahnya hijau muda berbulu, menjelang masak warna kulitnya berubah menjadi hijau kecoklatan, dan pada saat masak penuh, warnanya berubah menjadi merah beludru.Saat dipetik, bulunya dilap dengan menggunakan kain halus agar tidak gatal bila terkena kulit. Setelah disimpan selama 2 – 3 hari,buah menjadi lunak, dan timbul aroma. Tanaman ini berbuah terus menerus sepanjang tahun. Dari bunga sampai berbuah sekitar empat bulan. (http://manda.blogdetik.com/author/manda/)
Ketiga :Kami menemukan sebuah rambu lalu lintas yang sangat menonjol di jalan sebuah komplek perumahan. Rambu ini berdampingan dengan damai dengan sebuah rambu bertuliskan “ Dilarang Berburu Burung di Kawasan ini”..

Baiklah….rasanya yang ini tidak perlu saya bahas….
***
Seperti kata BR, meskipun tak ada objek sejarah yang dilalui bukan berarti tak ada pelajaran yang dapat diambil.
Apapun dapat menjadi sebuah pelajaran saat kita jeli dan memandang dari sudut yang tepat. Seperti kali ini saya memperoleh pengetahuan baru. Lahang dan Samolo yang mulai tak dilirik lagi. Tersisihkan oleh Donat bermerk asing atau Pizza dan Kopi yang juga bermerk asing yang terkenal dimana-mana.
Namun tak usah kuatir, lagi lagi kata BR zaman itu selalu berulang seperti hal nya tren busana yang kembali berulang. Semoga Samolo dan Lahang menemukan kembali masa jayanya. Semoga suatu hari ini nanti dapat dikemas dalam kemasan yang menarik dan diekspor ke mancanegara. Sehingga suatu saat nanti tatkala kita Umroh ke mekkah, Arab Saudi, kita dapat menemukan minuman dalam botol plastik bertuliskan ‘::Lahang “Al-Majalayi”::Made in Indonesia’

Sumber :
http://manda.blogdetik.com/author/manda/
http://loushevaon7.wordpress.com/
http://clearinghouse.bplhdjabar.go.id/
http://oq-151086.blogspot.com/)
http://majalah.tempointeraktif.com/
http://create-n-live.blogspot.com/2010/02/bapak-tua-penjual-lahang.html
nice gan. like this.
saya berasal dari Cigadung.
Mang Lahang itu namanya Mang Ata hhe hhe
Mungkin dia salah satu penjual lahang yang ada di Bandung.
Segar memang jika siang hari kita meminum air Lahang tersebut.
Mampir2 ke Cigadung memang mengasyikan.
Terima Kasih buat team Aleut 😀
Wah, nuhun infonya ttg Mang Ata.. memang udah langka ya yang jual lahang di kota.. mungkin mang Ata itu termasuk manusia yang harus dilindungi..
Tahu gak kenapa lahang rasanya kayak agak sangit (bau bara) kayak habis dibakar.. Ternyata lahang agak beda rasanya dengan legen (air nira) jawa..
Yg butuh biji benih samolo ada di Perhutani Jabar jln. Soekarno Hatta samping Polda, pohonnya di belakang kantor dekat kantin ada 4, bulan Februari sudah siap panen, kadang buahnya jatuh dan busuk. Mungkin bisa minta ke pegawai disana 😉