Disekitar Nama Gunung Tangkubanperahu

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Repost dari artikel di majalah Bahasa dan Budaja, tahun III No. 5 Djuni 1955, semoga bermanfaat : )

Disekitar Nama Gunung Tangkubanperahu
Oleh : M. Purbohadiwidjojo

Bagi orang jang pertama kali mengundjungi kota Bandung dan mengarahkan pandangannja keutara, maka penglihatannja segera akan tertambat oleh sebuah gunung jang aneh bentuknja. Dan setelah ia mengetahui, bahwa nama gunung itu adalah Tangkubanperahu (atau menurut edjaan Sunda: Tangkubanparahu), maka dalam hatinja ia tentu akan membenarkan , bahwa bentuknja memanglah menjerupai sebuah perahu, tetapi jang terbalik letaknya (lihat gambar). Dengan mengambil beberapa sumber (lihat djuga daftar literature di belakang) dan beberapa pertimbangan, akan dibahas disini pemberian nama itu.

Ada suatu dongeng di Priangan jang mentjeritakan, bagaimanakah terjadinja gunung itu, jaitu dongeng Dajang Sumbi dan Sang Kuriang (lit. 3,5,6,8). Agar lebih djelas kiranja, mengenai apa jang akan dipersoalkan disini ada baiknjya diketahui meskipun setjara singkat, bagaimanakah dongeng itu. Kami ambil garis besarnja sadja, djuga karena tjara berbagai sumber itu mendongengkan, agak berlain-lainan.

Dajang Sumbi, seorang Puteri bangsawan tanah Priangan dari djaman dahulu, mempunjai seorang putera bernama Sang Kuriang. Pada suatu pertjektjokan, dipukullah Sang Kuriang oleh Ibunja pada dahinja jang mengakibatkan luka. Maka pergilah Sang Kuriang, mengembara tak berketentuan arah tudjuannja. Achirnja, denga tiada disangkabertemulah lagi anak dan ibu, tapi tidak saling mengetahui , siapakah mereka masing2. Maka dapatlah terdjadi, bahwa Sang Kuriang kemudian menaruh tjinta kepada ibunja sendiri, karena ketjantikannja tak mengalami perubahan. Ibunja jang mula2 tidak berkeberatan, setelah melihat bekas luka itu, mengetahui bahwa ia sebetulnja berhadapan dengan puteranja sendiri. Karena takut bertjampur malu, ditjarinjalah akal untuk menghindari perkawinan. Udjarnja : Sang Kuriang boleh mengawininja, apabila ia sanggup membendung sungai Tjitarum. Dalam satu malam pekerdjaan itu sudah harus selesai.

Dengan bantuan machluk2 halus dimulailah pekerdjaan besar itu. Bendungan sudah hampir selesai ; maka mulailah ia membuat sebuah perahu untuk berlajar berdua kelak diatas danau jang sedang mendjadi itu. Melihat itu semua Dajang Sumbi menjadi bingung. Maka diambilah djimatnja, jaitu daun ajaib. Ditaburkanlah daun itu …
Fadjar menjingsing. Sang Kuriang melihat maksudnja tidak tertjapai : Dilemparkanlah perahu djang sedang dikerdjakan itu hingga terbalik (nangkub = menelungkup). Maka terdjadilah G. Tangkubanparahu.

Masih ada beberapa gunung2 dan sungai2 jang namanja dapat dihubungkan dengan dongengan ini, misalnja G. Putri, tempat menghilangnja putri Dajang Sumbi, G. Burangrang (rangrang = daun2 pohon jang kajunja terpakai untuk perahu Sang Kuriang), G. Bukit Tunggul*), G. Tambakan (=Bendung). Selanjutnja G. Tjagak, G. Kukusan, Pasir (gunung) Ajam, Kawah Ratu, Sungai Tjipangasahan dan masih beberapa lagi. Semua itu ada sangkut – pautnja dengan dongeng ini. Pendek kata, dongeng ini memang mentjerminkan kedjadian geologi seperti akan dibitjarakan dibawah. Mungkin maksudnja memang suatu sindiran terhadap kaum Menak (bangsawan) seperti pernah dikemukakan oleh Tn. SALMUN, tetapi tentang hal ini tidak akan dibitjarakan disini.

* Menurut lit. 5 nama itu tadinja Beuti Tunggul (beuti = umbi), tetapi karena kesalahan pemetaan mendjadi Bukit Tunggul

Kenjataan geologi, geomorfologi dan prasedjarah

Marilah kita sekarang melihat kenjataan2 (facts) geologi, geomorfologi (ilmu bentuk bumi) dan prasedjarah. Kenjataan geologi menundjukan, bahwa dataran tinggi Bandung dahulu kala memang pernah terendam oleh suatu danau jang terdjadi karena terbendungnja sungai Tjitarum. Dari morfologinja daerah dapatlah diketahui, bahwa sungai itu dahulu pernah mengalir melalui Padalarang terus kebarat-laut. Oleh VERBEEK (lit.10) dikirakan pembendungan ini disebabkan karena aliran2 lumpur jang datangnja dari G. Burangrang. Tetapi menurut penjelidikan2 jang belakangan lumpur itu datangnja dari G. Tangkubanperahu, jakni setelah ada letusan hebat. Pada suatu letusan gunung-api bahan2 jang dikeluarkan gunung itu tidak selalu sama : mungkin bahan2 lepas jang halus (dinamakan abu gunung api), mungkin bahan itu keras dan merupakan gumpalan2 batu, mungkin djuga timbul aliran “batu tjair” jang masih berpidjar jang dinamakan “lava’. Tetapi suatu kombinasi daripada bahan2 tersebut mungkin pula.

Djadi aliran lumpur jang datangnja dari G. Tangkubanperahu itu terdjadi daripada bahan jang halus jang bertjampur air. (setelah ada letusan biasanja djatuh hudjan). Tidaklah mustahil, bahwa kedjadian ini berlangsung sangat tjepatnja ; mungkin dalam satu malam sadja bahan jang banjaknja djutaan meter kubik itu berkerak kearah sungai Tjitarum lama. Karena pembendungan ini, makalah terdjadi suatu danau jang luas, jaitu Danau Bandung.

Tetapi danau jang sedemikian itu sudah barang tentu tidak dapat terus terisi sadja dengan air. Menurut istilah morfologi, danau adalah sesuatu jang hanja sementara sadja. Demikianlah, maka achirnja air itu mentjari djalan keluar, dan ini terdjadi di Barat Batudjadjar jang kini dinamakan Sanghiang Tikoro. VON KOENIGSWALD (lit.4) djuga berpendapat, bahwa usia danau itu tidak seberapa lama. Dengan diketemukannja swisa2 barang purbakala di Madjalaja, jang sudah ada dibekas dasar danau, ia menarik kesimpulan, bahwa pada achir djaman neolotikum (djaman batu baru) air danau telah surut. MEskipun demikian dibeberapa tempat hingga waktu belakangan masih djuga berpaja, terutama didekatnja sungai Tjitarum. Ini ternjata dari nama2 kampung jang kebanjakan memulai dengan kata “rantja” jang artinja “rawa” , misalnja Rantjaekek, Rantjabeureum, Rantjaoraj, dst.

Oleh VAN BEMMELEN (lit.1) ditundjukan , bahwa sisa2 barang batu (implements) di Utara Bandung hanja terdapat di Timur djalan raja Bandung – Lembang jang membudjur di Timur sungai Tjihideung, jakni didaerah jang olehnja dinamakan “Poeloesarischol”. Ketjuali alat2 batu tersebut, didaerah ini djuga telah diketemukan oleh ROTHPLETZ atjuan2 (gietvormen) dari djaman perunggu (lit.7). Oleh sebab inilah, maka VAN BEMMELEN pada waktu achir2 berpendapat, bahwa Danau Bandung lebih muda lagi daripada djaman NEolitikum (lit.3)

Tentang nama dilihat dari sudut etimologi.

Apabila kita melihat kepada nama Tangkubanperahu dan mengingat bentuk gunung tersebut, maka njatalah , bahwa pemberian nama itu terutama ialah beralaskan kepada persamaan (resemblance). Kebanjakan diantara penulis2 mengira, tanpa mengingat akan djalannja bahasa, bahwa arti nama itu tidak lain ialah sebuah perahu jang terbalik. Tetapi seperti halja bahasa2 lainnja di Indonesia, bahasa Sunda ialah Progresif. Djadi apabila, seperti jang telah dikatakan oleh banjak orang, nama itu berarti berarti perahu terbalik (menelungkup), maka seharusnja nama tadi mendjadi “Perahu nangkub”. Djadi timbullah pertanjaan, apakah jang dimaksud dengan “Tangkubanperahu” itu ?
Tentang ini Prof. C.C.BERG, seorang ahli bahasa jang terkenal, mengemukakan pendapatnja kepada VAN BEMMELEN : …Saja tjenderung , bahwa “tangkuban” dalam hal ini berarti “sesuatu jang tertutup oleh sebuah benda, misalnja ember, oleh gelombang atau oleh kain, oleh bahan dari tanahlongsor. Sebuah gunung jang tertutup oleh lapisan2 lava dapat djuga dinamakan “Tangkuban”. Kelompok pegunungan jang mendapat nama Tangkuban dan bentuknja mengingatkan akan perahu dapat dinamakan “Tangkuban Perahu”, jakni gunung jang tertutup oleh lapisan2 lava jang bentuknja menjerupai perahu”.

Mungkin pula nama ini menundjukan “tanah atau orang2 jang tertutup oleh perahu jang terbalik itu dan mendjadi korban daripadanja”. (lit. 2 hal. 644).
Sekianlah pendapat beliau , VAN BEMMELEN sendiri berpendapat, bahwa sangatlah mungkin oleh karena letusan jang hebat, maka lalu timbul nama “tangkuban” , jakni karena tertutup oleh bahan2 asal letusan itu, dan baru kemudian mendjadi “Tangkuban Perahu”.

Penulis karangan ini berpendapat, bahwa nama G. “Parahu” mungkin sudah dikenal orang sebelum letusan jang hebat itu terdjadi, jakni nama ang diberikan oleh orang2 jang berdiam disebelah selatan gunung tersebut. Baru kemudian setelah ada letusan tadi nama itu ditambah dengan “Tangkuban”, karena daerah jang luasnja beribu=ribu hektar tertimpa bentjana, jakni tertutup oleh bahan2 letusan fari g. Perahu. Kami katakana orang2 sebelah selatan, karena dari djurusan2 lain orang tidak dapat melihat bentuk jang menjerupai perahu itu.

Sekianlah pandangan tentang asal-mulanja nama “Tangkubanperahu”. Jang hendak kami tundjukan disini hanjalah, bahwa kadang2 adalah “interessant” untuk meneropong berbagai nama geografi dari berbagai sudut.

Bahan Batjaan

1. BEMMELEN, R.W., Toetlichting bij blad 36 (Bandoeng), Dienst van den Mijnb, in Ned Indie.
2. s.d.a, The Geology of Indonesia vol IA, Gouv. Printing Office, The Hague, 1949.
3. BEZEMER, T.J., Volksdichtung aus Indonesien, Martinus Nijhoff, Den Haag , 1904
4. KOENIGSWALD, G.H.R. von, Das Neolithicum in der Umgebung von Bandoeng, Tijdschr voor Ind. Taal-Land en Volkenkunde, Deel LXXV, 1935
5. PIJL, L.V.d. , Wandelgids voor den Tangkuban Prahoe, Bandoeng Vooruit serie no. 5
6. REITSMA, S.A. en HOOGLAND, W.H. Gids voor Bandoeng en Midden PRiangan, Bandoeng, 1927
7. ROTHPLETZ, W. , Alte Siedlungsplatze bei Bandoeng (Java)und die Entdeckung bronzezeitlicher Guszformen, Sudeestudien, Basel 1951.
8. SADJADIBRAT R., Dongeng2 sasakala, Balai Pustaka, Djakarta, 1952.
9. TAVERNE, N.J.M. Vuulkanstudien op Java, ‘S Gravenhage, Algemeene Landsdrukkerij, 1926
10. VERBEEK, R.D.M. en FENNEMA, R. , Geologische Beschrijving van Java en Madoera, Amsterdam, 1896

3 Comments

  1. Aisyah Azumi

    tangkuban perahu dari sudut pandang ilmiah,,,

    • komunitasaleut

      yup! ayan keren ya.. 🙂

      • Aisyah Azumi

        anak2 aleut mah keren kabeugh!,,,saluddd 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑