Oleh : Indra Pratama

Tadi siang saya bersama pacar memacu motor keliling-keliling kota untuk mencari-cari bahan bacaan, dengan posisi duduk yang kagok-kagok gimana karena puasa, kami berdua mencari-cari seberkas buku untuk dibaca di periode yang membosankan ini.

Setelah menjelajah Palasari dan Togamas serta Rumah Buku, serta berakhir dengan rasa kecewa, kami pun berniat beranjak pulang. Namun sebelum meninggalkan parkiran, saya pun keingetan sesuatu, kenapa gak pergi ke rumah tukang bakmi Jogja yang cunihin itu!.

Argh, untung aja bawa pacar. Saya pun menelpon beliau.. tiit-tiit, pada tiit yang ketiga, terdengarlah suara lembut si bapak. “Hallooo.. ada apa niih..”. Ajegile sungguh mengerikan sekals-ki. Tapi demi keberlangsungan notes ini saya, saya pun berkata kalau saya berencana kerumah beliau untuk bersilaturahim (gila aja, baru juga tadi malem ketemu). Yah, ternyata hari ini beliau sedang istirahat berjualan, warung ditangani oleh anak buah-anak buah beliau. Dan beliau menyambut baik rencana kedatangan kami.

Dalam gerimis mengundang, kami pun bermotor menuju rumah beliau. Di rumah bergaya kolonial tersebut, kami pun turun dan mengetuk pintu.. “salam likum!”. Beliau pun keluar dan mempersilahkan kami masuk ke kamarnya. Kamarnya? ya, kamarnya sodara-sodara. Tampak sedikit gurat-gurat kekecewaan di wajah beliau,tapi saya pun cuek aja kayak bebek. Suasana hening sampai pak Ryzki memecah suasana. “Hari ini kayanya saya gak bisa cerita tentang 17 Agustus ndra..”. Jeng-jeng-jeng-jeng! “Aaapha?!”, “bagaimana bisa!?”, lalu saya dan pacar pun saling berpandangan dengan mulut ternganga plus sedikit kaca2 di mata seperti Fitri dan Farrel saat pak Utama meninggal.

“Ojo toh ojo..” beliau menghentikan adegan ala ending sinetron tadi. “Tapi saya berencana mengirim kalian langsung sebagai saksi sejarah..”. “Haaahh?? how caan??” seru kami berdua. Lalu beliau berjalan menuju ranjang tingkat di kamar beliau, dan membuka pintu lemari seraya menghidupkan komputer. “Masuklah kalian disini, saya akan kirim kalian ke 17 Agustus 1945, saat rapat perumusan teks proklamasi”. Yang boneng aje, beneran ada mesin waktu? di lemari bau apek ini?. Penasaran, kami pun masuk ke dalam pintu lemari. Dan..GUSRAK! saya nabrak tumpukan kolor. Sialan gue ditipu…

Lalu beliau terkekeh, dan sambil membuka2 file komputer, yang rupanya berisi banyak foto-foto jaman dulu, beliau pun akhirnya mulai berkisah tentang sebuah hari yang mahabesar, yang mungkin akan terus dikenang ribuan tahun kedepan, tentang kelahiran sebuah negara besar yang aman, damai, kaya dan mengerti betul arti persatuan dalam kebhinekka-an.

kemarin sampai mana ya?

Sampai ketika Laksmana Tadashi Maeda naik meninggalkan para perumus proklamasi rapat..

Ketika itu, di rumah Maeda sudah berkumpul seluruh anggota PPKI, para pemimpin golongan muda, serta para wakil dari gerakan-gerakan yang ada di Jakarta waktu itu. Total sekitar 40-50 orang. Para anggota PPKI dan para pemuka gerakan berkumpul didalam, sedangkan para pemuda dan anggota gerakan tanpa dikomando berjaga di depan rumah dan beranda. Saya sendiri mengibaratkan rumah Maeda pada saat itu merupakan istana negara kita yang pertama.

Sebetulnya teks proklamasi Indonesia telah dirumuskan pada 22 Juni sebelumnya, yang sekarang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Namun, mengingat kondisi yang serba kepepet pada saat itu, tak ada satupun dari peserta pertemuan yang  membawa teks tersebut. Waduh, gimana atuh ya. Namun Soekarno berinisiatif menyusun sebuah teks ringkas proklamasi yang pasti lebih cocok untuk situasi seperti itu. Ia berkata, ” Aku persilahkan Bung Hatta menyusun teks ini, sebab tutur bahasanya kuanggap yang terbaik.”. ” Dan setelah kita rasa cocok, maka kita bawa ke hadirin di ruang tengah.” (Soekarno-Hatta beserta Soekarni, Soebardjo dan Sayuti Melik pindah ke ruangan kecil yang terpisah saat menyusun teks proklamasi).

Lalu gimana tuh, jadi teks itu 100% karya Bung Hatta?

Enggak gitu anak muda, Soekarno yang menuliskan konsep naskah proklamasi, sedangkan Hatta menyumbangkan pikiran secara lisan dibantu oleh Soebardjo. Kalimat pertama dari naskah proklamasi merupakan saran dari Soebardjo yang diambil dari rumusan BPUPKI. Sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran dari Hatta. Hal itu disebabkan menurut beliau perlu adanya tambahan pernyataan pengalihan kekuasaan (transfer of sovereignty).

Lalu dari penggabungan ide mereka lahirlah teks seperti berikut :

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselengarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja

Djakarta, 17 – 8 –’05

Wakil-2 bangsa Indonesia

Trus, rapat besar dimulai lagi dong..

Betul, lalu dibawalah teks itu kepada pada hadirin yang sudah menunggu di ruang tengah. Soekarno memulai membuka pertemuan denganmembacakan naskah proklamasi yang masih merupakan konsep tersebut. Soekarno meminta kepada semua hadirin untuk menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia. Pendapat itu diperkuat oleh Hatta dengan mengambil contoh naskah “Declaration of Independence” dari Amerika Serikat. Usulan tersebut ditentang oleh tokoh-tokoh pemuda. Karena mereka beranggapan bahwa sebagian tokoh-tokoh tua yang hadir adalah “budak-budak” Jepang. Selanjutnya Sukarni, salah satu tokoh golongan muda, mengusulkan agar yang menandatangani naskah proklamasi cukup Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Usul tersebut disambut riuh setuju para hadirin. Namun saat itu tergurat kekecewaan di wajah Hatta, karena ia mengharapkan mereka ikut serta menandatangani dokumen bersejarah itu, yang mengandung nama dan kebanggaan yang tak akan pudar sampai kapanpun Indonesia hilang dari peta.

Iya sih, ih kalo saya mah udah ikut nandatangan da, yang gede sekalian, biar keciri di buku sejarah anak SMA.. ehhe

Ya entahlah, mungkin saat itu ada pertimbangan lain dari para hadirin. Yang pasti, usulan Sukarni itu disetujui forum. Nah setelah itu, Bung Karno meminta kepada Sayuti Melik untuk mengetik naskah tulisan tangannya tersebut, dengan disertai perubahan-perubahan yang telah disepakati. Ada tiga perubahan yang terdapat pada naskah ketikan Sayuti Melik, yaitu : kata “tempoh” diganti “tempo”, sedangkan kata “wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti dengan “Atas nama bangsa Indonesia”. Perubahan juga dilakukan dalam cara menuliskan tanggal, yaitu “Djakarta, 17-8-05” menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ’05”. Sehingga akhirnya melahirkan teks “akta lahir” bangsa kita ini.

Abis itu, beres lah rapatnya ya?

Enggak semudah itu, masih banyak hal lagi yang kudu dipertimbangin. Selanjutnya timbul persoalan dimanakah proklamasi akan diselenggarakan. Sukarni mengusulkan bahwa Lapangan Ikada (sekarang bagian tenggara lapangan Monumen Nasional) telah dipersiapkan bagi berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengar pembacaan naskah Proklamasi. Namun Bung Karno menganggap lapangan Ikada adalah salah satu lapangan umum yang dapat menimbulkan bentrokan antara rakyat dengan pihak militer Jepang. Oleh karena itu Bung Karno mengusulkan agar upacara proklamasi dilaksanakan di rumahnya, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, pukul 10 pagi, dan disetujui oleh para hadirin. Dan rapat bersejarah itu akhirnya berakhir pukul 03.00 dinihari. Saat itu konon juga terlihat Maeda turun dari kamarnya dan menyalami para konseptor, nampak raut bangga di wajahnya, bahwa “saudara muda” ini akan lahir dan menghirup indahnya udara kemerdekaan.

Nggak pada sahur gitu,pan bulan puasa?

Entah peserta lainnya, tapi Hatta sempat terlihat ikut makan sahur di rumah Maeda, beliau sahur pake roti telor dan ikan sarden, karena Maeda nggak punya nasi. Kasian ya.

Tapi sambil sahur, beliau sempat berpesan kepada BM DIah agar teks proklamasi itu disebar luaskan seluas-luasnya, baik dikirim ke radio-radio, dikawatkan ke seluruh dunia, disundul+ratel di kaskus, di like di FB, serta di RT di twitter.

Haha Bung Hatta BB nya lg error kali ya, sampe harus nyuruh2 BM Diah segala.. ehhe

Hahaha, mungkin aja, karena Bung Hatta pun kesulitan menghubungi supirnya sehingga nebeng Bung Karno sampe rumahnya.

Lanjut pak, trus kan pagi2 udah berangkat lagi, gak capek ya mereka itu..

Iya, seperti saya juga, malemnya beres jualan, jam 9 saya udah nongkrong di Pegangsaan. Pukul 9.30 sudah ramai berkumpul orang di rumah Bung Karno. Sepanjang Pegangsaan Timur hadir  banyak orang dari berbagai golongan, para punggawa PETA terlihat berjaga-jaga, orang-orang radio dari Bandung mempersiapkan alat perekam, Mr.Wilopo menyiapkan microphone, sedangkan Suhud terlihat kebingungan mencari bakal tiang bendera. Semua terlihat agak tegang, namun pancaran excitement gak bisa disembunyikan dari wajah mereka.

Wah iya pak, cerita situasi saat itu dong..

Get ready, anak muda. Saya sempat ngintip kedalam rumah saat ngobrol sama pembantunya Bung Karno, labaan saya waktu itu ehhe. Saya melihat Ibu Fat sedang mengelus sepotong kain, kain yang baru saja ia rapikan jahitannya dengan gunting berwarna hitam legam. Entah kenapa kain itu beliau elus terus, seakan ia sedang membelai Guntur, bagaikan membelai putra sendiri. Apa itu kain ajimat beliau?, yang kalo dipake bisa ngilang gitu?. Segala kepenasaranan saya hilang ketika ia pun membentangkan kain itu. Subhanallah!, kain tak simetris itu, kain jahitan sederhana itu, itu bendera kita kelak! sang saka merah-putih!.

Uhh.. (disebelah pacar saya nyeka air mata, enak dia lagi gak puasa..)

Namun pukul 9.45 suasana sedikit tegang kembali terjadi, golongan muda, yang benar-benar gak sabaran, sedang mendesak Bung Karno untuk segera membacakan proklamasi tanpa menunggu lagi kedatangan Hatta. Saya mendengar Bung Karno sedikit berteriak, “Hatta orang yang tidak pernah ingkar janji, tepat jam 10.00 ia pasti datang!, tunggulah sebentar!”. Segala kharisma Bung Karno dan kepercayaannnya pada sahabat seperjuangannya, lagi-lagi membuat para pemuda hanya bisa terdiam dan mengomel dalam hati.

Dan bener Hatta datang tepat waktu?

09.55 jam di Pegangsaan Timur 56, datanglah mobil Hatta. Sosok jenius sejati itu turun dari mobil, disambut senyum lega para hadirin dan peluk hangat dari Soebardjo. Hatta terkenal sebagai orang yang tepat waktu dan berdisiplin tinggi, sifat yang langka dimiliki orang bangsa ini..hehe..

Dimulailah upacara bersejarah itu..

Hadirin yang hadir semua seakan tercekat nafasnya. Tak ada yang kuasa tersenyum, apalagi ngobrol sambil cekikikan. Tak ada, semua tegang, semua hening. Keheningan itu pecah saat Latief Hendradiningrat, seorang anggota PETA, tanpa dikomando berseru “semua bersiap! semua diharap berdiri!”. Suara yang lantang itu seakan himbauan seorang Jenderal Besar, membangkitkan semua orang disitu, untuk kemudian berdiri tegap dengan sikap sempurna.Saya pun yang tak pernah kenal baris-berbaris segera mengikuti para hadirin, berdiri tegap, memandang tegang kearah serambi rumah.

Glek..

Kedua bapak itu dipersilahkan oleh Latief untuk maju menuju microphone. Mereka benar-benar terlihat agung pada saat itu, seakan imajinasi saya tentang raja-raja Jawa kuno benar-benar terwujud dalam raga dan kharisma mereka berdua. Dari mulai penangkapan saat pidato, pemberedelan harta pribadi, hingga pembuangan di Digul benar-benar tulus dijalani mereka demi lahirnya bangsa ini, dan kini putra mereka akan segera lahir, putra kami semua.

Bung Karno memulai prosesi dengan sebuah pidato kecil, yang mengingatkan kita sudah berapa ratus tahun angan-angan ini ada di mimpi kita setiap malam, dalam lamunan saat terik siang. Namun, sekarang saatnya kita bangun dari lamunan, kita jalani lamunan itu, yeah!.

Iya sih, kebayang sakralnya suasana waktu itu.

Betul, apalagi saat pada akhirnya, teks maha mantap itu diperdengankan via suara lantang sang putra fajar.

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselengarakan dengan tjaraseksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ’05

Atas nama bangsa Indonesia,

Soekarno/Hatta

Ya Allah..

Wah saya gak kuat lagi nahan rasa terharu, gila aja gitu, negara yang cuma ada di angan-angan saya, yang selalu saya ragukan ketika Bung Karno berkoar di warung saya. Sekarang beneran ada! lahir! merdeka!. Ya Tuhan.. alangkah nikmat ramadhanMu ini.. tanpa sadar mulut saya membisikkan takbir lirih.. Allahuakbar..Allahuakbar..

Inilah putra Bung Karno, putra Bung Hatta, putra Soebardjo, Soekarni, Chairul Saleh. Putra dari si Gadis Jepara, putra dari Tirto Adhi Suryo, putra dari Sam Ratulangi, putra dari Tan Malaka, putra dari Tjokroaminoto, putra dari mereka yang dibantai di Kalimantan, putra dari mereka yang tewas dalam takbir di Indramayu dan Singaparna, putra dari tangisan anak para petani tanam paksa, putra dari belulang para pekerja Jalan Raya Pos, putra dari darah, keringat, dan airmata kami semua..

*)Setelah itu entah apa yang pak Ryzki bicarakan, namun lamunan saya sudah jauh dari kamar itu, sudah jauh dari Sumur Bandung.. Masuk ke dalam hati, menusuk dengan sangat kencang.. “dan putra kebanggaan itu akan saya bunuh?”