Detik-detik Proklamasi Series : 16 Agustus 1945

Oleh : Indra Pratama

Intro lagu dari band 90-an, Flowers (sekarang the Flowers) meraung cukup keras dari handphone saya. Intro yang berupa riff gitar blues tersebut nampaknya cukup ampuh buat membangunkan saya..arrghh.. udah jam 11 malam..

setelah berganti pakaian, saya pun pamitan pergi sama Mamah dan Papah..

Malam ini, saya ada janji di kedai Bakmie Jogja bapak Ryzki.. yup! bapak Ryzki yang chatting sama saya kemarin ngobrolin kisah di 15 Agustus tahun 1945..

Beliau malam ini sedang gak bisa OL, entah abis kuota atau belum bayar.. Maka tadi siang beliau sms saya : “Yang, aku tunggu di warung Bakmie aku aja ya, tengah malem lah abis tutup warung..”.. menggelikan sekali, mahal sekali rupanya harga sebuah kisah 16 Agustus. Tapi demi kawan2 semua, saya pun rela menggadaikan tubuh saya.. ahahahhaha boong deng..

Mobil pun parkir di depan Sumurbandung no.4 dan sosok tua itu menyambut saya dengan tangan terbuka ingin memeluk, namun diurungkan karena tetangga2 sudah melongo tak percaya..

Malem pak!!

Yo, selamat malam, selamat malam..

Sehat? warung tadi rame nih kayaya..

Alhamdulillah sehat, cuma lagi sakit aja nih, hari pertama.. iya dek, capek juga ngelayanin anak2 SMP buka bareng, rarecet dan riweuh lah..

Langsung ah pak.. tanggal 16 nih..

Tar dulu, kemaren sampe mana tuh?

Kampanye jangan lupakan 16 Agustus

Sampe pas Wikana dan Darwis keluar pundung dari kediaman Bung Karno..ah pikun sampeyan iki..

Ah iya, iya.. (sambil sesekali ngelirik Punk’d di tivi).. kalo nggak salah gini :

lewat tengah malam Darwis dan Wikana yang pulang dengan perasaan kesal memacu mobil kencang menuju jalan Cikini 71. Sampai sana mereka melaporkan tanggapan golongan tua terhadap rencana golongan muda. Lalu Chairul Saleh dkk kembali menggelar rapat dini hari itu juga. elain dihadiri oleh para pemuda yang mengikuti rapat sebelumnya, rapat ini juga dihadiri juga oleh Sukarni, Jusuf Kunto, dr.Muwardi dari Barisan Pelopor dan Shudanco Singgih dari Daidan PETA Jakarta Syu. Rapat ini membuat keputusan “menyingkirkan Bung Karno dan Drs. Moh. Hatta ke luar kota dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang”. Untuk menghindari kecurigaan dari pihak Jepang, Shudanco Singgih mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan rencana tersebut.

err.. wah menegangkan nih pak.. silahkan lanjutkan..

Sekita pukul 3.30 pagi harinya, para pemuda telah menyiapkan dua buah mobil. Satu mobil untuk ‘menjemput’ Bung Karno, satu mobil lagi untuk menjemput Moh.Hatta. Kira-kira sehabis sahur tim penjemput Bung Karno telah mencapai Pegangsaan Timur 56. Setelah sedikit perdebatan, akhirnya Bung Karno bersedia mengikuti para pemuda. Beliau pun bertanya kepada istrinya, Fatmawati, “Fatma, kau mau ikut denganku atau tidak ?”. Disinilah jawaban mengesankan keluar dari Fatmawati yang entah punya berapa madu, ” Kemana Bapak pergi, Fat ikut..”, jawab wanita luarbiasa itu sambil menatap ke putranya yang masih berusia kurang dari setahun, Guntur.

melting.. keren ya ibu Fatma itu..

Yup.. akhirnya mereka bertiga masuk ke mobil yang dibawa para pemuda. Lalu bertemu dengan mobil satunya yang berisi Hatta, yang sendirian dan terus termenung. Kedua sedan itu pun melaju meninggalkan Pegangsaan Timur. Di Jatinegara, kendaraan pembawa diganti dengan dua kendaraan PETA, mungkin maksudnya biar mudah lolos dari pemeriksaan militer Jepang, lalu lanjut lagi kearah Krawang. Sepanjang jalan, Bung Karno selalu mencoba mengorek keterangan dari sang supir PETA yang bernama M.Iding, namun Iding menjawab tidak tahu karena ia hanya disuruh menjalankan mobil mengikuti mobil pertama di depan yang membawa Hatta. Akhirnya suasana mobil itu pun kembali sunyi dan tegang.

Setelah beberapa jam berkendara, akhirnya pukul 06.30 kaca mobil Bung Karno diketuk dan didapatkanlah hormat dari seorang petinggi PETA setempat. Pintu dibuka dan beliau sekeluarga, serta Hatta, dibawa menuju sebuah ruangan di markas PETA, dimana di plang besar tertulis : CHUDAN RENGSDENGKLOK. Di ruangan tersebut telah duduk Sukarni, Singgih dan kawan-kawan. Oleh para pemuda ini beliau dioper lagi ke rumah penduduk. Rumah tersebut milik Djiau Kie Siong, seorang petani Tionghoa yang sejak muda tinggal disitu.

Rumah bersejarah itu

Wah, pemimpin negara ditempatkan di rumah petani..

Bukan hanya jelek, ternyata di halaman rumah itu penuh dengan kotoran babi! para tamu agung itu harus berjingkat kala memasuki rumah itu. Mereka ternyata dianggurkan di rumah itu sampai siang, mungkin untuk dibiarkan beristirahat. Jam satu siang, pintu diketuk. Tanpa menunggu jawaban, masuklah seorang perwira PETA sambil mengucapkan salam. Beliau membawa sup panas untuk para tamu. Karena sedang berpuasa, maka hanya Fatmawati dan Guntur lah yang makan sup panas itu. Sup itu begitu tajam rasa mericanya, sehingga Guntur kepedasan dan menangis terus menerus.

Untuk menenangkan putranya, wanita anggun itu pun menggendong anaknya keluar. Tanpa memperdulikan aroma kotoran babi, ia bersenandung merdu. Tetapi, mendadak senandung itu berhenti. Matanya tercegat di halaman Pendopo Kewedanan Rengasdengklok. Mulutnya menganga, matanya nampak berkaca-kaca. Ia pun segera berteriak, “Jeng Raka!, kemari, kemari!”. Bung Karno yang sedang duduk di tengah rumah terkaget, tergopoh ia mendatangi istrinya. Namun langkahnya pun terhenti ketika melihat apa yang dilihat istrinya. SANG MERAH PUTIH TELAH BERKIBAR DISINI!

Hah? gimana bisa?!

Nggak lain nggak bukan, ya kerjaannya para pemuda. Para pemuda, meyakinkan dan mengobarkan semangat patriotisme camat setempat, Soejono Hadipranoto. Camat yang sudah dibakar api merah-putih itu kemudian setuju untuk menurunkan Honimaru dan menaikkan sang merah-putih, lalu mengumpulkan rakyat setempat. Camat muda yang terkenal dengan nama Siegfried di kalangan para pemuda itu lantas berkoar mengumumkan pada rakyat yang berhasil ia kumpulkan, “Bahwa sejak saat ini, bangsa Indonesia adalah bangsa yang merdeka, yang berkuasa penuh dalam negaranya sendiri yang berbentuk republik, Republik Indonesia!”. Siegfried pun berteriak lantang, “MERDEKA!”. Seakan pidato singkat barusan adalah kata-katanya sendiri, bukan hasil Soekani, Dr.Soetjipto, dan Singgih. Heheh udah kebakar semangat banget tuh si camat.

Mungkin keilhamin film Braveheart kali ya pak.. hehe

Nya can aya atuh si Mel Gibson na oge..

Trus abis bengong gitu, apa yang terjadi sama Bung Karno?

Tak lama setelah itu, mereka kedatangan beberapa tokoh, antara lain Mr.Soebardjo. Setelah kedatangan Soebardjo, para pemuda pun mohon ijin masuk rumah untuk berunding, lagi-lagi tentang waktu proklamasi kemerdekaan. Pada perdebatan kali ini, argumen para pemuda ‘didukung kuat’ oleh Jepang. Lho kok oleh Jepang? haaa pasti mau nanya itu khaan..huhahaha

Eh, siapa yang mau nanya gitu.. ge-er yey..

euhh..(malu tuuh..)..

Jadi, argumen para pemuda bahwa proklamasi harus dilakukan secepatnya, didukung oleh fakta bahwa tanggal 15 malam Jepang sudah mengeluarkan keputusan untuk melucuti senjata PETA. Dan jika PETA keburu dilucuti, maka tak ada jaminan perlindungan atas para proklamasi dan proklamator itu sendiri ketika nanti seandainya terjadi gonjang-ganjing pasca proklamasi.

Naga-naganya disetujuin atuh para pemuda teh..

saya sendiri nggak tahu persis debat siang itu gimana2nya, soalnya Bung Karno gak cerita detail mengenai waktu itu. Namun, Siegfried, yang memberanikan diri curi2 dengar, sempat mendengar pertanyaan Bung Karno pada Soebardjo, “Jadi besok pagi pukul 10.00 saya umumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ?”. Soebardjo menjawab yakin, “iya bung!”.

Seketika melonjaklah Siegfried dari tempatnya berdiri, ia pun melakukan para-para dance saking girangnya. Sudah nggak sadar bahwa Bung Karno mengamatinya sambil tersenyum. “Dasar tukang nguping.. hehe” mungkin itu gumam Bung Karno saat itu.

Terus, kan udah deal nih, kok Bung Karno dan Bung Hatta nggak dipulangin ke Jakarta ?

Nah, ternyata, saat Bung Karno dicuri denger oleh Siegfried itulah, beliau sedang bersiap-siap pulang ke Jakarta. Waktu itu sekitar waktu ashar, dan ketika mobil dinyalakan, Siegfried pun terlonjak dan spontan memberi hormat. Para tamu agung itu telah bertolak kembali ke Jakarta.

Aseek, udah deket nih ke proklamasinya.. trus2..

Akhirnya tepat pukul 18.00, rombongan dari Rengasdengklok tersebut tiba di Pegangsaan Timur. Bung Karno segera mengontak anggota PPKI. Namun tak diduga tak dinyana, muncullah kabar bahwa Jepang mengkhianati janjinya, dan akan menyerahkan Indonesia kepada sekutu. Anjrot, makin genting aja nih, pikir para pemuda. Mereka pun mulai meragukan lagi niat Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan, melihat Bung Karno begitu pendiam sejak menerima kabar itu. Namun, Soebardjo meyakinkan mereka, ” jika besok proklamasi tidak dibacakan, saudara boleh tembak dada saya!.”. Mendengar jaminan begitu, para pemuda pun terdiam dengan berbagai perasaan.

Dalam diamnya Bung Karno berpikir keras, bagaimana caranya supaya rapat PPKI ttg proklamasi besok tetap bisa dilaksanakan tanpa bisa dicegah oleh Jepang. Ia pun tahu, jika terjadi rapat di rumahnya, maka besar kemungkinan Jepang akan mengrebek rapat itu dan itu akan memusnahkan impian proklamasi yang sudah nyaris banget. Lalu teringatlah Bung Karno pada seorang kawan, seorang laksamana militer Jepan bernama Tadashi Maeda. Maeda ini sebenarnya seorang anti imperialisme, ia hanya terjebak pada karir yang membuatnya harus ikut dalam apa yang dibencinya tersebut.

Tadashi Maeda

Terus, Jepang gimana ? apakah bertindak?

Dasar golongan tua, mereka ternyata berniat mengkonfirmasikan kekalahan Jepang kepada pemimpin militer Jepang di Jakarta. Pukul 22.00 mereka berangkat ke tempat Letjen Yamamoto Moichiro untuk mengkonfirmasikan kekalahan Jepang serta melaporkan akan adanya proklamasi besok.

Aneh.. gimana sih malah bilang-bilang Jepang..

Iya, Jepang ternyata benar mengkhianati janji dengan berniat menyerahkan Indonesia kepada sekutu. Moichiro memerintahkan agar rencana kemerdekaan ditunda, entar-entar ajalah, gitu katanya. Jelas Bung Karno dan Bung Hatta kecewa serta walk out dari ruangan. Uniknya Tadashi Maeda pun mempertaruhkan karirnya setelah ia pun ikut walk out dari ruangan itu.

Maeda akhirnya meyakinkan Bung Karno untuk menyelenggarakan rapat di ruang bawah rumahnya. Ia berjanji akan menyediakan jaminan keamanan untuk rapat itu. Dengan senyum di wajahnya, Tadashi Maeda menaiki tangga menuju lantai dua rumahnya, membiarkan para katalis kemerdekaan menjalani proses persalinan bangsanya, bangsa yang akan menjadi bangsa besar…

Mantap! gimana tuh rapatnya?

Naaah.. soal rapat itu kita ceritain besok ajalah..kan itu sudah masuk tanggal 17 Agustus.. hehe..

Arrghh antiklimaks! nangung banget…

Konsisten dong, katanya mau bikin per hari..

Iya,iya ah cerewet, yaudah deh pak, ane pulang dulu, gila malem2 gini komplek pasti udah diportalin.. btw besok gimana nih.. via YM lagi ato gimana..

Gampang deh, nanti saya kasihtau lagi, besok siang saya sms deh..

Iya sip dah, makasih banyak pak, sukses mie Jogjanya..

Pasti sukses dong, yang jualnya aja ganteng gini

*saya pura2 gak denger dan langsung memacu mobil. Menderukan knalpot ke muka si bapak dan mulai membayangkan meyupiri Bung Karno, Bung Karno suka gak ya kalo saya tune in di Ardan? atau beliau lebih suka OZ?

16 Agustus 2010

sumber : Her Suganda. 2009. Rengasdengklok : Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945. Kompas.

1 Comment

  1. trytry

    rancak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑