Oleh : Arya Vidya Utama
Ada hal yang menarik jika kita bepergian melewati Jalan Asia-Afrika, Bandung. Sebuah gedung yang tepat berada di seberang Gedung Merdeka kini tampak megah. Warna barunya lebih hidup, tak ada lagi kaca pecah yang dibiarkan begitu saja, dan kini air hujan pun tak bisa lagi menerobos ke dalamnya. Keadaan ini seolah-olah memunculkan kembali bayangan kejayaannya di zaman kolonial dulu. De Vries, ya, itulah nama gedung itu. Namun sebenarnya seperti apa perjuangan gedung ini dalam memperoleh kejayaan di zamannya?
Pada awalnya, gedung ini berbentuk rumah biasa. Sejak awal didirikan, konsep yang ditawarkan pemilik gedung ini adalah toko kelontong. Pada tahun 1879 Tempat ini sempat dijadikan tempat berkumpulnya orang Belanda untuk berkumpul sambil meminum secangkir kopi, yang kemudian perkumpulan tersebut disebut Societiet Concordia. Namun pada sekitar tahun 1885, tempat berkumpul Societiet Concordia pindah ke gedung Concordia (kini disebut Gedung Merdeka). Pelanggan setia toko ini adalah para Preanger Planters (para petani keturunan Belanda yang kaya raya) untuk membeli minuman keras dan cigar. Cara membawa minuman keras yang dijual di De Vries pun sangat unik. Bila pada saat itu umumnya barang-barang dibawa menggunakan pedati, minuman keras ini dibawa dengan cara digendong dan dibawa berjalan dari Batavia-Bandung hingga masuk ke toko. Konon cara ini dipakai agar kualitas minuman keras yang dijual sangat terjaga kualitasnya.
Pada sekitar tahun 1920-an, gedung yang terletak di Groote Postweg (Jalan Raya Pos, kini disebut Jalan Asia-Afrika) ini direnovasi menjadi bentuk bangunan yang biasa kita lihat sekarang. De Vries merupakan toko pertama yang menyediakan WC bagi para pengunjungnya. Gedung juga ini mengubah konsepnya. Jika pada awalnya hanya berbentuk toko kelontong, De Vries berubah menjadi pertokoan modern. Beberapa bagian gedung disekat dan setiap bagiannya disewakan. Pada saat itu, hanya perusahaan bonafit yang bisa menyewa ย kantor di bangunan ini.
Menurut beberapa sumber, De Vries juga bisa dibilang sebagai pelecut perkembangan Bragaweg (Jalan Braga) hingga jalan ini mendapat sebutan โParijs van Javaโ pada sekitar tahun 1920-1925. Dasar pertimbangannya adalah gedung yang terletak tepat di pertigaan Jalan Asia-Afrika dan Braga ini termasuk pusat keramaian pertama di seputar Bragaweg.
Setelah zaman kemerdekaan, pesona bangunan ini mulai meredup. Sekitar tahun 1967, De Vries dibagi menjadi beberapa bagian. Satu bagian untuk studio foto, satu bagian untuk toko meubel, dan juga ada bagian untuk Toko Wismakarya. Terakhir, Toko Wismakarya dijadikan diskotik. Pada saat inilah, bangunan De Vries mempunyai fungsi lain sebagai tempat prostitusi. Ruang bawah tanah yang dimiliki bangunan ini disekat-sekat dan diberi lampu neon. Para pengunjung diskotik tinggal turun ke ruang bawah tanah dan melampiaskan birahi mereka. Dan akhirnya pada tahun 1980-an, gedung ini dibiarkan kosong terbengkalai.
Gedung yang kini kepemilikannya dipegang oleh Bank OCBC NISP ini akhirnya direstorasi setelah hampir 30 tahun tak terurus pada sekitar bulan Oktober 2010. Keadaan mengerikan sekaligus menyedihkan pun seketika sirna. Sedikit demi sedikit, sinarnya yang pernah redup itu mulai bersinar kembali.
Dan kini, De Vries pun bisa tersenyum kembali…
(Ditulis dari berbagai sumber)
Diposting juga di blog saya (http://aryawasho.wordpress.com/)
Referensi:
http://bandung.detik.com/read/2009/04/29/101131/1123104/667/de-vries-yang-terlantar
http://nn-no.facebook.com/topic.php?uid=114695152833&topic=14108&post=67268
๏ปฟ
Oh . . . Ternyata begitu sejarahnya ๐
kmrn waktu saya city sightseeing saya lihat bangunan itu akhirnya selesai juga ๐
terimakasih bnyk atas informasinya.
yap, akhirnyaa ๐
buat prostitusi??
info baru nih
thanx ya!!