Oleh : Ayu ‘Kuke’ Wulandari
*catatan angin yang telah jatuh cinta sejak kali pertama pada Ci Tarum Purba*
Jangan kan biar hilang semua yang telah diberi. Jangan kan pergi rasa manusiawi dan naluri diri. Biar Bumi tetap bersinar di bawah Mentari. Agar kita tetap bersinar di bawah Mentari.
[Deep Blue Sea – Deep Forest feat. Anggun]

.
Surga Kecil berkawal pasukan batu ini masihlah merupakan bagian dari salah satu sungai terbesar dan terpanjang di Indonesia.
Ci Tarum mengalir dari hulu di daerah Gunung Wayang, di sebelah selatan kota Bandung menuju ke Utara dan bermuara di Karawang. Sungai ini diperkirakan memiliki panjang sekitar 225 kilometer.
Surga Kecil yang masih lekat dengan nuansa hijau sejuk ini masihlah merupakan bagian dari sungai yang punya keterkaitan hati dengan masyarakat Sunda sejak awalnya. Sungai yang dulu diposisikan lebih besar sebagai sarana transportasi, pusat pemerintahan dan tapal batas kerajaan-kerajaan di Jawa Barat. Sungai yang sempat menjadi simbol kebesaran para raja/menak yang berkuasa waktu itu.
Pada abad ke-5, dari sebuah dusun kecil yang dibangun di tepi sungai Ci Tarum oleh Jayasinghawarman, lambat laun daerah berkembang menjadi sebuah kerajaan besar, yaitu Kerajaan Tarumanegara, kerajaan Hindu tertua di Jawa Barat.
.
Dulu, Ci Tarum menjadi batas wilayah antara dua kerajaan yaitu Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda (pergantian nama dari Kerajaan Tarumanegara pada tahun 670 Masehi). Ci Tarum sebagai batas administrasi ini terulang lagi pada sekitar abad 15, yaitu sebagai batas antara Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten.
.
[Citarum Dalam Perspektif Sejarah, A.Sobana Hardjasaputra]
Surga Kecil yang pada faktanya kalah populer dengan reputasi pencemarannya yang terlalu aduhai bahkan hingga di mata & telinga dunia (the world’s most polluted river) sebenar-benarnya ada. Masih layak menjadi tempat untuk pulang. Selalu layak menjadi tempat untuk pulangnya para hati yang selalu merindukan makna hening damai, para benak yang selalu terjaga kesadarannya perihal keseimbangan alam dan manusia.
Surga Kecil ini dikenal dengan nama Ci Tarum Purba atau Ci Tarum bersih. Air-nya tidak mengundang kecurigaan akan mengakibatkan sakit perut ketika dikonsumsi (bahkan mentah). Indera penciuman tidak akan terhantui hingga trauma dengan aroma macam Sulfur (belerang) yang menjadi suguhan sekitaran PLTA Saguling dan Sanghyang Tikoro.

.
Dalam bahasan toponimi, Citarum (demikian dunia biasa menuliskannya) berasala dari dua kata yaitu Ci dan Tarum.
Ci atau dalam Bahasa Sunda Cai, artinya air. Sedangkan Tarum, merupakan sejenis tanaman yang menghasilkan warna ungu atau nila sekaligus diyakini dapat digunakan sebagai obat sakit perut dan penyubur rambut [artikel tentang Tarum oleh T. Bachtiar]
Namun, bahkan pada kali ketiga pulang ke Ci Tarum (dan kali ini bersama Komunitas Aleut!), entah mata ini tersilap atau aku memang kurang fasih dalam memperhatikan tumbuhan-tumbuhan di sisian sepanjang sungai, sepertinya benar-benar tak ada Tarum Areuy yang tersisa. Beberapa buah unik macam buah Loa dan Cermot (yang rasanya seperti buah Markisa) ada. Maka untuk sementara, kembali berimajinasi menjadi satu-satunya solusi. Bekalnya adalah gambar-gambar Tarum Areuy hasil googling juga sisian sungai yang sudah aku kenali. Tapi entah kenapa aku malah jadi teringat mbak Diella Dachlan dari Cita Ci Tarum yang punya keinginan untuk kembali menghiasi Ci Tarum bersih ini dengan gerombolan-gerombolan Tarum Areuy. Akan tampak seperti apa ya Ci Tarum dengan tanaman itu?

.
Di hari Minggu (23 Oktober 2011) yang sarat mendung, sebentar gerimis – hujan agak deras – gerimis, disambut lagi dengan mendung lembab selang-seling dengan panas; yang ada di sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya hatiku (sejak 1 Agustus 2010) ini sungguh beragam Bisa jadi karena si Gunung turut serta. Tapi sepertinya yang lebih membuatnya beragam adalah karena perjalanan mudik ini disertai keceriaan para Aleutian (Komunitas Aleut!).
Ya, harus diakui, aku yang sudah sekitar 1 bulan lebih vakum dari kegiatan bersama komunitas (pasal sakit dan kesibukan yang harus ditanggung sebagai dampak istirahat sakit yang 2 minggu itu) menjadikan kesempatan ngAleut bersenang-senang! (yang undangannya diluncurkan 2 hari sebelum perjalanan) sebagai momentum untuk aktif kembali mendokumentasikan aktivitas komunitas, selain berusaha keras menyerap pengetahuan-pengetahuan sejarah Bandung, Indonesia, hingga musik dunia dari para kawan di sana.
.
Ya, harus diakui, para Aleutian lebih banyak ngangeninnya ketimbang ngeboseninnya. Maka seketika perjalanan pulang ini menjadi lebih berharga dibanding perjalanan sebelumnya karena tumpukan kangen beraktivitas bersama terbayar sudah.
Pia tak kunjung habis berdecak kagum ketika kaki-kaki kami semakin menjauhi Sanghyang Poek yang sebelumnya dijadikan spot untuk beristirahat makan siang. Dephol merutuki baterai-baterai DSLR-nya yang sudah kosong sebelum benar-benar jauh meninggalkan Sanghyang Tikoro. Mr. Kobopop berenang senang di salah satu sisian Ci Tarum menjelang Leuwi Malang yang dulu membuatku nyaris tidak ingin lagi pulang ke Bandung. Bey mengambil resiko untuk merekam keceriaan kawan-kawannya dengan masuk ke sungai (yang dibilang dangkal ya dalam, dibilang dalam ya dangkal) sambil tak melepaskan si Alpha DSLR. Nia mengagumi para Aleutian yang saling bahu-membahu di garis belakang demi tidak meninggalkan Pipit.
Ya, Pipit
sepertinya inilah Aleutian yang akan sangat lama lupa dengan pengalaman pertamanya menyusuri rute air berbatu demi ikut bersenang-senang dengan kawan lainnya, kebulatan tekad Pipit kali ini dan pembuktian yang dia tunjukkan (menurutku) layak diapreasi dengan baik
![]()

Keceriaan. Kekaguman.Kebulatan tekad. Kerelaan. Bahu-membahu (foto oleh Kuke)
.
Aku jadi terharu. Lagi-lagi terharu di aliran rumahnya hatiku. Karena ya lagi-lagi dapat pelajaran baru. Perihal manusia, perihal alam, perihal alam yang membawakan kekentalan persahabatan dan kekeluargaan antar manusia. Seperti waktu itu (baca: Persahabatan Ci Tarum)
Ternyata Ci Tarum masih menyimpan keajaiban lain. Ternyata bukan hanya ada Surga Kecil yang berhasil disimpan baik-baik. Ternyata sungai ini sudah menunjukkan, dengan siapa pun aku pergi maka kami semua bersedia dengan rela saling mengulurkan tangan dan berbagi kebahagiaan meski itu sebatas seteguk air.
Jika sudah begini, sepertinya aku susah untuk menghindari tumbuhnya harapan-harapan akan kepedulian manusia pada alam dan keseimbangan hidup. Jika sudah begini, sepertinya aku menjadi sangat susah untuk tidak berharap agar para pemuda-pemudi penerus bersedia untuk tidak sekedar berjalan-jalan senang sampai memenuhi harddisk/flash-disk mereka dengan file foto jalan-jalan entah-di-mana-saja tanpa mengambil sari yang alam maksud. Jika sudah begini, apakah kemudian salah mencetuskan keberanian bermimpi bahwa 10 tahun mendatang Ci Tarum Purba tidak akan kehilangan Surga Kecil-nya, malah semakin meruak menulari bagian panjangnya yang sama sekali tak menyenangkan sebagai pendamping kehidupan masyarakat?
Tapi, apa aku hanya terhenti di situ? Hanya bisa berharap dan bermimpi? Tidak berbuat apa-apa sebiji dzarrah pun?
Surga Kecil berkawal pasukan batu ini masihlah merupakan bagian dari salah satu sungai terbesar dan terpanjang di Indonesia. Surga Kecil yang masih lekat dengan nuansa hijau sejuk ini masihlah merupakan bagian dari sungai yang punya keterkaitan hati dengan masyarakat Sunda sejak awalnya. Surga Kecil yang pada faktanya kalah populer dengan reputasi pencemarannya yang terlalu aduhai bahkan hingga di mata & telinga dunia (the world’s most polluted river) sebenar-benarnya ada. Surga Kecil ini dikenal dengan nama Ci Tarum Purba atau Ci Tarum bersih.
Aku ingin selalu pulang ke sana. Bukan cuma sampai esok atau minggu depan, tapi seterusnya bisa sekali-kali pulang ke sana entah bersama siapa saja. Bersediakah turut menjaganya tanpa seratus persen hanya bergantung pada pasukan batu? Ah, atau, mungkin sebaiknya kau perlu mengalami sendiri perjalanan menuju Surga Kecil itu sepertinya halnya aku, kekasihku, para sahabat, dan kawan-kawanku; agar hatimu bersedia rela ikut menjaga
Leave a Reply