Sukawana-Pasir Ipis Fort-Tangkuban Parahu
Sehari menjelang perjalanan bersama Klab Aleut menyusuri kawasan utara Kota Bandung, persiapan fisik sepertinya terabaikan padahal sudah lama sekali aya tidak berolahraga. Yang menjadi perhatian adalah sepatu trekker saya yang sudah tidak nyaman lagi, karena alasnya yang sudah tipis. Akhirnya sepetu itu saya bawa ke tempat sol di sekitaran rumah, hasilnya sepatu kembali nyaman….
Minggu, 120709
06.00
Pagi buta tanpa sarapan nasi terlebih dahulu, tidak seperti biasanya, saya langsung mandi. Sereal dan susu cukup membuatku kenyangg pagi itu.
06.45
Saya berangkat dari rumah berjalan kaki menuju Sirnagalih, untuk kemudian menggunakan angkot St. Hall-Lembang menuju Ledeng.
07.15
Tiba di seberang terminal Ledeng saya berjalan kaki sedikit menuju meeting point di Indomart Ledeng, persis di sebrang Puskesmas Ledeng. Di sana sudah ada tiga orang yang menunggu (Ayan, Adi, Eko). Sambil menunggu pegiat lain datang, saya membeli sedikit bekal untuk perjalanan nanti ; 2 botol minuman elektrolit dan sebungkus roti.
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya 22 orang pegiat mulai bersiap berangkat. 22 orang dalam satu angkot, Yup Amazing….
Semua pegiat terlihat menikmati situasi berdesak-desakan di dalam angkot, saya sendiri beruntung karena hanya menggantung di pintu, berdua bersama Yanto. Udara segar menjadi milik saya kala itu, meskipun sedikit pegal karena harus terus bergantungan.
Starting point perjalanan di terminal Parongpong tepat di gerbang masuk Vila Istana Bunga, disana menunggu satu pegiat lain (Yanstri), setelah berdoa dan briefing, perjalanan dimulai.
Pimpinan rombongan hari itu Adi Nugraha, tapi dengan sok tahunya saya merubah jalur awal perjalanan, idenya muncul karena malas berjalan di atas aspal berpanoramakan bangunan mewah.
Alhasil, meskipun agak bingung, kita sampai di Ciwangun, tepat di pinntu wanawisata Curug Tilu Leuwi Opat. Perjalanan yang seharusnya dapat ditempuh dalam 10 menit, molor jadi 30 menit. Pegiat pun mulai berkeringat…..
Tapa diduga di pintu Curug Tilu Leuwi Opat saya bertemu pelatih tari Lises berserta istrinya.
Setelah sejenak bertegur sapa, perjalanan dilanjutkan.
Akhirnya perjalanan menanjak mulai merongrong, pemanasan, sampai tiba di area desa Ciwangun, sejenak berfoto di areal rumah panggung (khas jaman dulu). Perjalanan berlanjut, sampai tiba di Pabrik Pengolahan/Produksi teh di Sukawana, yang menurut Bapak BR, produksinya yang nomor 1 dijual ke Inggris (Lipton), dan kualitas rendahnya di pasarkan di Indonesia. Aroma teh yang menyengat membuat kepala saya agak pusing, sehingga saya hanya memperhatikan dari kejauhan….
Perjalanan berlanjut, melalui kebun teh yang mirip lingkar labirin. Panas terik mentari mengiringi perjalanan itu, hingga sampai di sebuah tempat yang agak lapang dan cukup luas. Pemandangan kota Bandung dari atas terlihat sangat jelas, dilingkung gunung heurin ku tangtung, Bandung benar-benar padat, meskipun dari atas. Di sana Bapak Ridwan menunjukkan bekas Danau Purba Bandung yang mencekung agak ke arah Barat, kemudian ditunjukkan deretan perbukitan/gunung yang membelah Danau Bandung menjadi dua bagian, yaitu Danau Timur dan Danau Barat.
Dijelaskan rangkaian perbukitan atau gunung tersebut merupakan pematang tengah, yang berupa gunung api tua, dengan batuan intrusif yang muncul pada zaman tersier. Bahkan beberapa daerah menghasilkan batuan yang nilainya sangat berharga (mis: garnet). Beberapa gunung tersebut sedang dalam proses penghancuran, penambangan pasir dan batu dilakukan sudah sejak lama, demi kebutuhan perumahan di kawasan Bandung. Kawasan yang memanjang tersebut diantaranya terdapat ; Gunung Selacau, Gunung Lagadar, Pasir Kamuning, sampai ke pegunungan/perbukitan di Selatan Cimahi.
Terik mentari tidak menghalangi minat kami untuk mengira-ngira bentuk dari Danau Bandung Purba dan seperti apa Bandung kala itu…..
Matahari mulai naik ke atas kepala kami, dan perjalanan pun dilanjutkan. Tujuan berikutnya adalah Benteng Pasir Ipis, saya sendiri baru mendengar nama itu. Memasuki kaki Gunung Tangkuban Parahu, meskipun tidak menanjak, debu dan tanah yang kering menjadi musuh kami… tidak hanya debu, kami pun disajikan hidangan asap pekat knalpot yang penuh CO2 dari para kroser yang melewati, juga tanpa sopan santun. Sepertinya masa kecil mereka terkekang, tidak boleh main kotor apalagi keluar masuk hutan, sehingga masa kecil mereka kurang bahagia dan sudah tua kurang ajar…..!!!
Setelah berhenti sejenak untuk menghindari kepulan asap knalpot, perjalanan dilanjutkan menuju lokasi Benteng, meskipun awalnya kami dibuat bingung oleh Bapak Ridwan mengenai keberadaan Benteng tersebut. Konon, Benteng Pasir Ipis merupakan benteng pertahanan Belanda pada Perang Dunia I (sekitar 1930an). Peralatan yang kami bawa tidak memadai (golok), sehingga ilalang dan semak belukar menjadi sulit untuk dikalahkan. Berfoto sejenak cukup mengobati rasa keingin tahuan kami, sepertinya…
Makan siang pun menjadi agenda selanjutnya, dan terima kasih pada Saudara Cici yang telah menawari saya bekalnya, tanpa rasa malu.. HAJAR…!
Perjalanan dilanjutkan, lagi-lagi Bapak Ridwan bertanya mengenai jalur (ngetes jigana mah), tanpa ragu saya bersama Eko langsung menunjukkan jalur pendakian yang bukan memutar untuk masuk ke kawasan wisata… Nanjak….
Nanjak…..
Masih Nanjak….
Terus Nanjak….
Senyum miris pegiat lain mulai menghantui, seiring tanya yang sama yang terus mereka lontarkan… “masih jauh?” dan “masih lama?’
Hingga akhirnya kami terpaksa beberapa kali berhenti, selain karena lelah, lagi-lagi karena kroser yang tidak mau mengalah.
15.00an
Tibalah kami di puncak, tepat di muka kawah Upas (katanya)… Mantaph….
Disana kami bertemu para kroser yang dengan bangganya berkata…
“dulu jalan ini menanjak, namun setelah dibuka jalur jadi tidak berbahaya lagi, salah satu jalur klasik…”
Saya yang tak mau kalah bersombong ria menjawab, “saya mah resep mapah ka gunung mah, soalna tiasa balap lumpat bari ucing sumput”
Klab Aleut 1 vs 0 Kroser
16.00an
Setelah berfoto dan beristirahat, perjalanan turun dimulai. Menuju terminal di atas Gunung Tangkuban Parahu.
Terjal, bahkan satu jalur dibuat safety lines dengan 4 webbing dan 1 rope…
Perjalanan turun pun diselang beberapa kali istirahat, untuk sekedar berfoto dan jajan. Misalnya di warung dekat Tower (lupa namanya).
Ketika seorang teman bersandar di tugu batu yang tinggi, seorang pemilik warung menunjukkan kalau itu adalah makam 3 orang Belanda, tugu batu yang sudah dipenuhi vandalisme itu anonim, tapi rangka baja sepertinya agak menandakan itu tugu Belanda…..
17.15
Setelah berfoto bersama, kami pulang menuju meeting point menggunakan angkot dengan tarif Rp. 15,000 per orang.
Perjalanan pulang terasa lebih cepat, karena tidak memilih jalur utama (setiabudhi-lembang). Tepat beberapa saat setelah adzan Magrib kami tiba, dan setelah penutupan kami mulai membubarkan diri. Saya sendiri berjalan kaki bersama Galih dan Yanstri sampai tepat di Gerbang Utama UPI. Disana kami berpisah, karena mereka sholat.
Niat jalan kaki sampai Gerlong pun diurungkan, karena saya naik angkot di sekitaran Panorama.
Maklum, takut digodain… dan futsal teu jadi…!!!
Leave a Reply