Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.
Ditulis oleh: Wildan Aji.
Tahukah Anda, selain jalur kereta api Bandung Raya-Padalarang-Cicalengka yang saat ini masih beroperasi, dahulu ada juga rute kereta api antara Bandung dan Ciwidey. Jalur yang dibuat perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen, ini sudah lama dibiarkan terbengkalai. Nah, saya bersama tim ADP-20 Komunitas Aleut menyusuri jejak-jejaknya pada hari Sabtu, 21 November lalu. Ini kisahnya..
Jalur kereta api ke wilayah selatan Bandung yang merupakan kawasan perkebunan-pertanian, cukup penting perannya di masa lalu. Biaya angkut hasil bumi ketika itu hanya 4 sen untuk setiap sen-nya, jauh lebih murah dibanding angkutan reguler yang tersedia waktu itu, yaitu pedati, yang biayanya antara 15-18 sen untuk setiap ton-nya.
Kunjungan pertama kami adalah ke bekas Stasiun Dayeuhkolot yang saat ini terletak di dekat pasar dan tidak jauh dari Jembatan Citarum. Stasiun ini dibuka pada tahun 1921. Ukurannya termasuk besar dan memiliki dua cabang jalur rel, ke kiri ke Majalaya, dan ke kanan ke Banjaran-Ciwidey. Jalur menuju Majayala dinonaktifkan pada masa pendudukan Jepang.
Stasiun Dayeuhkolot tempo dulu dan sekarang. Foto: KITLV/Komunitas Aleut.
Peninggalan perkeretaapian di sini hanya barupa bangunan stasiun yang terlihat masih utuh. Genting yang terpasang sebagai atap bangunan juga merupakan peinggalan lama, terlihat cetakan tulisan JB Heijne, yaitu nama pabrik genting tempo dulu yang berada di Ujungberung. Selain itu, masih ada sisa beberapa gudang kereta api yang digunakan oleh warga sebagai warung-warung.
Tempat kedua yang kami kunjungi adalah bekas Stasiun Banjaran. Stasiun ini menjadi penghubung jalur kereta antara Dayeuhkolot dengan Kopo (sekarang Soreang) dan menjadi simpul penting pengangkutan dari kawasan perkebunan di Pangalengan. Artinya, hasil bumi dari kawasan Pangalengan, seperti Arjasari dan Puntang, dibawa dan dibongkar di sini, lalu dilanjutkan pengangkutannya menggunakan kereta api.
Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.
Ditulis oleh: Reza Khoerul Iman
Bangunan bekas stasiun kereta api Ciwidey. Foto: Komunitas Aleut.
Tidak ada yang pernah bisa menentukan masa depan, manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan. Siapa sangka, sebuah proyek besar yang dibangun untuk jangka panjang, akhirnya mati begitu saja dan terbengkalai sampai sekarang. Bandung merupakan salah-satu daerah yang memiliki banyak peninggalan sejarah. Seperti yang pernah dikatakan Mocca dalam lirik lagunya yang berjudul Bandung (flower city), “In my little town, Every corner tells you different stories, There’s so many treasures to be found” (di kota kecilku, setiap sudut menceritakan banyak cerita berbeda, ada banyak harta karun yang bisa ditemukan di sini).
Salah-satu peninggalan itu adalah jejak-jejak kereta api yang membentang dari Bandung sampai Ciwidey. Lingkungan alam Ciwidey yang berbukit-bukit itu akhirnya dapat ditaklukan oleh Staatsspoorwegen. Tidak mudah dan murah memang, sebelumnya pemerintah tak mampu mewujudkan pembangunan jalur kereta api Bandung-Ciwidey ini karena masalah pembiayaan. Pada 17 Juni 1924 Stasiun Ciwidey diresmikan penggunaannya setelah melewati masa pembangunan selama tujuh tahun. Dimulai dari jalur Dayeuhkolot-Banjaran pada tahun 1917, kemudian dilanjutkan stasiun kopo (soreang) pada 13 Februari 1921, dan akhirnya jalur Ciwidey pada 17 Juni 1924.
Segera saja kereta api menjadi sarana transportasi utama, baik untuk pengangkutan penumpang, ataupun hasil perkebunan. Salah-satu indikasi seriusnya Staatsspoorwegen dalam membangun jalur perkeretaapian di Hindia-Belanda, yaitu penggunaan bahan yang berkualitas baik dari perusahaan terbaik untuk pembangunan rel ini. Nama-nama perusahaan tersebut masih dapat kita temukan tercetak pada batang-batang rel. Saya menemukan dua nama, Carnegie dari USA, dan KRUPP dari Jerman.
Kenapa Staatsspoorwegen memilih dua perusahaan baja ini di antara perusahaan-perusahaan lainnya? Perusahaan Krupp adalah perusahaan baja Jerman yang terkenal memproduksi seamless railway tires atay roda (rel) kereta api tanpa sambungan yang terkenal anti retak. Rel buatan Krupp sangat terkenal walaupun harganya tinggi. Kualitasnya sangat baik. Rel Krupp juga digunakan pada jaringan rel kereta api di Amerika Serikat sejak sebelum Perang Sipil (1860-1865), karena pada saat itu pabrik-pabrik di Amerika Serikat belum mampu memproduksi baja dalam kapasitas besar dan dengan kualitas yang sebaik itu (Komunitas Aleut: Rel Kereta Api memiliki Arti, oleh: Alek alias @A13Xtriple).
Tidak hanya menjadi pemasok ke Amerika Serikat, bahkan Krupp menjadi pemasok juga untuk Napoleon, dan merupakan pemasok baja utama di Eropa. Dengan Kerajaan Prusia, KRUPP mendapatkan kontrak untuk pembuatan senjata. Carnegie adalah perusahaan baja asal USA yang didirikan pada tahun 1892 oleh Andrew Carnegie. Ia meraih kesuksesan dengan menciptakan metode peleburan baja yang efesien, dan menghasilkan baja dengan kualitas terbaik, hingga pada tahun 1900-an, produksi baja Carnegie mampu melampaui produksi baja Inggris.
Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.
Ditulis oleh: Inas Qori Aina
Bukan Surabaya, tapi Ciwidey. Jika saja boleh, saya ingin ubah penggalan lirik lagu Naik Kereta Api ciptaan Ibu Soed itu. Lagu anak-anak yang sering saya dengarkan semasa kecil ini mengantarkan saya untuk bercerita pengalaman Ngaleut Jejak Kereta Api Bandung-Ciwidey (Sabtu, 21 November 2020).
Saya terpikir, pantas saja Ibu Soed menyebutkan Kota Bandung di dalam lagunya, ternyata pengembangan jaringan perkeretaapian di Bandung menyimpan banyak cerita di baliknya. Peresmian masuknya jalur kereta api ke Bandung pada tahun 1884, ternyata berefek panjang. Bandung segera menjadi salah satu kota di Hindia Belanda yang paling berkembang pada masa itu.
Staatsspoorwegen, perusahaan kereta api milik pemerintah itu memulai pembangunan jaringan Bogor–Bandung–Cicalengka sebagai jaringan kereta api tahap awal di Priangan. Kota Bandung yang saat itu mengalami pertumbuhan penduduk cukup pesat, tidak diimbangi dengan pasokan hasil bumi dari daerah sekitarnya, terutama dari Bandung Selatan.
Jembatan kereta api antara Soreang dan Ciwidey foto:KITLV
Bandung Selatan merupakan daerah subur yang menghasilkan berbagai komoditas pertanian dan perkebunan seperti teh, kopi, dan kina. Semua melimpah ruah, namun daerah ini juga agak terisolasi dan tidak memiliki transportasi yang memadai, sehingga untuk mengangkutnya tidaklah mudah. Sebelum kereta api muncul, berbagai hasil bumi dari Bandung Selatan diangkut menggunakan pedati. Jenis angkutan ini tentulah tidak efektif dan efisien. Harga pengangkutan barang per satu ton adalah 15 sampai 18 sen. Belum lagi, waktu perjalanannya cukup lama.
Untuk mengatasi hal itu, Staatsspoorwegen turun tangan dengan membangun sistem jaringan kereta api. Pembangunan jalur antara Bandung-Ciwidey dimulai pada tahun 1917, dengan tujuan awal menuju kawasan Kopo, melewati Dayeuhkolot dan Banjaran. Pembangunan jalur Bandung-Kopo sepanjang 26,5 km menghabiskan dana sekitar 1.385.000 gulden. Setelah empat tahun pembangunan, pada 13 Februari 1921 Stasiun Kopo pun resmi dibuka untuk umum.
Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.
Ditulis oleh: Farly Mochamad
Walaupun jalur kereta api masuk ke Bandung pada tahun 1884, namun percabangannya ke kawasan perkebunan di Bandung Selatan yang relatif masih terisolasi tidak segera disusulkan. Butuh lebih 30 tahun lagi sebelum jalur ke pedalaman itu mulai dibangun.
Harapan baik datang ketika pada tahun 1917 perusahaan kereta api pemerintah, Staatsspoorwegen, mulai membangun jalur yang menghubungkan Bandung dengan Kopo melewati Dayeuhkolot dan Banjaran. Stasiun Dayeuhkolot dan Banjaran adalah titik percabangan jalur lain untuk mengakses daerah Majalaya dan Pangalengan, sedangkan Kopo akan dilanjutkan sampai ke Ciwidey.
Rencana pembangunan ini mulanya dilelang dan didapatkan oleh pihak swasta, namun kebutuhan biaya yang sangat besar membuat pemenang lelang gagal melaksanakan pembangunannya. Oleh sebab itu, Staatsspoorwegen-lah yang kemudian melaksanakan pembangunan jalur ini.
Pembangunan jalur kereta api ini telah menghemat cukup banyak waktu dan biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pengangkutan hasil perkebunan. Dengan alat transportasi tradisional pedati, butuh ongkos antara 15-18 sen untuk setiap ton, sementara dengan kereta api hanya butuh 4 sen saja per ton-nya. Dari segi waktu pun, sangat jauh lebih cepat, juga hemat tenaga.
Tahap Pertama: Bandung – Kopo Pembukaan jalur pedalaman ke Ciwidey dilakukan dalam dua tahap. Yang pertama, jalur rel sepanjang 26,5 kilometer antara Bandung-Kopo dikerjakan selama empat tahun dengan biaya 1.385.000 gulden. Rute ini melewati sejumlah pos dengan rincian: Bandung – Cikudapateuh – Cibangkonglor – Cibangkong – Buahbatu – Bojongsoang – Dayeuhkolot – Kulalet – Pameungpeuk – Cikupa – Banjaran – Cangkuang – Citaliktik – Kopo (Soreang). Seluruh bagian selesai dan diresmikan.
Peresmian kereta api Bandung menuju Soreang foto: KITLV
Dalam prosesi peresmiannya, Bupati Bandung dan Residen Priangan naik kereta api pukul 08.15 dari Karees, Bandung. Kereta api yang dinaiki diberi banyak hiasan bunga. Pukul 10.00, kereta api tiba di Stasiun Kopo dan disambut oleh ribuan orang. Kemudian dilaksanakan ritual pemotongan kepala kerbau yang ditanam di halaman stasiun.
Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.
Ditulis oleh: Annisa Almunfahannah
“Mungkin akan kau lupakan atau untuk dikenang“
Penggalan lirik lagu dari Jikustik di atas sepertinya cocok untuk menggambarkan kondisi beberapa tempat bersejarah yang ada di Bandung, salah satunya adalah jalur kereta api yang menghubungkan antara Bandung dengan Ciwidey. Mungkin banyak dari kita yang belum tahu mengenai rute ini, karena memang jalurnya telah ditutup sejak tahun 1982. Kini, rute tersebut hanya meninggalkan beberapa kerangka dari jejak keberadaanya. Kami, peserta ADP 2020 akan menelusuri jejak tersebut. Lets go!
Jalur yang diresmikan pada tahun 1921 ini merupakan jalur yang membuka akses untuk daerah Bandung Selatan. Pembangunan jalur ini dilakukan melalui dua tahap. Pembangunan pertama dilakukan pada tahun 1917 untuk menghubungkan Bandung dengan Kopo (saat ini menjadi Soreang), dan melewati Dayeuhkolot dan Banjaran sebagai titik persimpangan menuju daerah-daerah perkebunan di Pangalengan, Arjasari, Puntang, dan lainnya.
Selanjutnya, pembangunan tahap kedua, yang menghubungkan Kopo dengan Ciwidey. Pembangunan jalur ini bisa dibilang cukup berat dikarenakan topografi wilayah Ciwidey yang merupakan daerah berbukit-bukit. Namun pada akhirnya Staatsspoorwegen, perusahaan yang membangun jalur ini, berhasil menaklukkan tantangan alam tersebut dan mendirikan Stasiun Ciwidey di ketinggian 1106 mdpl pada tahun 1924. Stasiun Ciwidey merupakan pemberhentian terakhir untuk jalur ini, maka sekitar 800 meter dari stasiun, terdapat sebuah turntable untuk memutarkan lokomotif kereta.
Turntable yang kini menjadi saluran air kotor, Foto: Komunitas Aleut
Pembukaan jalur ini dilakukan karena alat transportasi pedati yang digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan pada masa itu kurang efisien. Biaya perjalanan pun mahal, yaitu 15 sampai 18 sen per ton, kemudian waktu tempuh yang lama mengakibatkan hasil bumi banyak mengalami kerusakan dan tidak dapat dijual. Selain itu jarak yang jauh serta medan yang berat membuat banyak hewan yang menarik pedati tersebut kelelahan dan akhirnya mati, sehingga harga hewan penarik pedati itu naik hingga berkali-kali lipat.
Selain untuk mengangkut hasil perkebunan, jalur ini pun digunakan sebagai sarana transportasi bagi masyarakat. Namun kejadian naas terjadi pada tahun 1970-an ketika sebuah lokomotif yang membawa gerbong melintasi jalur tersebut terguling dan terjatuh ke area persawahan di daerah Cukanghaur. Dua belas tahun setelah kecelakaan tersebut, jalur ini resmi ditutup. Penutupan ini didukung juga oleh kondisi jalur yang dianggap sudah tidak menjadi prioritas dan tidak lagi menguntungkan, karena kalah bersaing dengan truk dan mobil pada saat itu.
Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.
Ditulis oleh: Deuis Raniarti
(SS) pada tahun 1917 membangun jalur kereta api Bandung-Ciwidey. Pada tahun tersebut, Bandung mengalami kenaikan jumlah penduduk yang cepat, sayangnya tidak diimbangi pasokan hasil bumi dari daerah sekitar. Salah satu kendalanya adalah tidak ada transportasi yang murah dan cepat. Dibangunlah jalur kereta api Bandung-Ciwidey sebagai salah satu upaya untuk mengatasi hal ini. Selain untuk mengangkut hasil pertanian dari Bandung Selatan, kereta api juga digunakan untuk transportasi yang lebih baik, murah dan cepat jika dibandingkan dengan pedati. Sabtu, 21 November 2020, saya bersama teman-teman Aleut Program Development menyusuri jejak-jejak Jalur Kereta Api Bandung-Ciwidey.
Ada beberapa stasiun yang dibangun di sepanjang jalur Bandung-Ciwidey, satu di antaranya adalah Stasiun Dayeuhkolot. Stasiun yang berada di ketinggian + 661 mdpl ini dulunya merupakan stasiun kereta api besar dengan empat jalur dan mempunyai jalur percabangan kereta menuju Majalaya.
Atas: Proses pembangunan jalur kereta api di Dayeuhkolot. Bawah: Stasiun Dayeuhkolot. Sumber: KITLV.
Letak bekas stasiunnya tak jauh dari Jalan Raya Dayeuhkolot, cukup berjalan kaki selama dua menit dan sampailah kita di bangunan bekas stasiun yang sudah dipenuhi oleh banyak bangunan baru di sekitarnya itu. Stasiun Dayeuhkolot memang sudah lama ditutup, tak heran bila kondisinya sekarang sangat jauh berbeda dibanding saat masih beroperasi dulu. Stasiun ini tidak digunakan lagi karena sejak tahun 1982 Jalur Kereta Api Bandung-Ciwidey ditutup.
Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.
Ditulis oleh: Agnia Prillika
Mungkin tak banyak khalayak yang mengetahui jejak keberadaan jalur kereta api di daerah Bandung Selatan. Ya, jejak-jejaknya perlahan musnah digerus zaman. Pembukaan jalur kereta api di Bandung pada tahun 1884 seperti memberikan harapan dapat menjangkau daerah-daerah yang jauh dari pusat perkotaan yang sebelumnya hanya menggunakan pedati sebagai sarana angkutan. Hal tersebut membuat banyak pihak berlomba mendapatkan konsesi untuk membangun jaringan jalur kereta api di Bandung Selatan. Beberapa ajuan konsesi pembangunan diterima oleh pemerintah, tapi lalu gagal diwujudkan karena masalah modal yang terlalu besar dan tak dapat dipenuhi. Akhirnya, Staatsspoorwegen (SS) yang merupakan perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda saat itu mengambil alih langsung pembangunan jalur kereta api ke daerah pedalaman, salah satunya yaitu jalur Bandung-Ciwidey.
Kali kedua saya ikut momotoran bersama tim ADP-20 dari Komunitas Aleut, adalah menyusuri jejak jalur kereta api Bandung-Ciwidey yang sudah lama mati. Melalui kegiatan inilah saya mendapatkan cerita yang sebagian akan saya bagikan di sini.
Titik tuju pertama adalah bekas Stasiun Dayeuhkolot yang berlokasi dekat aliran sungai Ci Tarum. Stasiun ini dibuka sebagai bagian jalur kereta api Bandung-Soreang yang selesai dibuat pada 1921. Stasiun Dayeuhkolot memiliki jalur percabangan menuju Majalaya, menggunakan rel yang mengarah ke sebelah kiri. Sementara arah ke kanan menuju ke Banjaran, Baleendah, Pameungpeuk, dan Soreang.
Kondisi bekas Stasiun Dayeuhkolot kini telah berubah menjadi bengkel, toko bahan bangunan, dan toko pakan burung. Lingkungan di sekitarnya telah menjadi jalanan padat yang dipenuhi oleh permukiman warga. Bagian bangunan asli yang masih tersisa dan dapat dilihat hanyalah bangunan kecil dengan atap kusam, serta rel kereta yang tidak terlihat jelas karena sudah tertutup oleh jalanan dan rumah warga.
Bekas Stasiun Dayeuhkolot. Foto: Komunitas Aleut.
Selanjutnya adalah Stasiun Banjaran, yang menjadi sarana utama penghubung antara Soreang, Pangalengan, dan Dayeuhkolot. Stasiun ini digunakan sebagai jalur pengangkutan hasil perkebunan dari wilayah Arjasari, Puntang, Pangalengan, dll. Kawasan perkebunan terdekat dengan stasiun ini adalah Perkebunan Teh Arjasari yang dibuka tahun 1869 oleh R.A. Kerkhoven. Pada tahun 1873, putra R.A. Kerkhoven, yaitu R.E Kerkhoven membuka perkebunan teh di Gambung. Dengan adanya kereta api, pengangkutan hasil produksi dari kedua perkebunan ini menjadi lebih mudah, murah, dan cepat.
Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.
Ditulis oleh: Aditya Wijaya
Sabtu, 21 November 2020, saya bersama ADP 2020 dari Komunitas Aleut melakukan perjalanan ngaleut momotoran Jejak Kereta Api Bandung-Ciwidey. Kami mengunjungi beberapa bekas stasiun dan jembatan rel kereta yang pernah aktif di antara Bandung dan Ciwidey. Kondisi jejak kereta api itu saat ini keadaannya sangat beragam, ada yang sudah menjadi bangunan sekolah, toko bangunan, dan juga toko grosir. Sedangkan kondisi jembatan ada yang terawat dan juga ada yang tidak terawat.
Potret jembatan Sadu saat difoto dari bawah. Foto: Aditya Wijaya
Ketika saya sampai di Jembatan Sadu, saya tertarik dengan nama Carnegie. Nama itu tertulis di bagian tengah setiap potongan rel, dan diikuti oleh tulisan SS dan 1920. Ternyata, Carnegie adalah nama perusahaan pembuat rel, SS adalah singkatan untuk Statsspoorwegen, dan 1920 adalah tahun pembuatannya.
Tulisan CARNEGIE di rel jembatan Sadu. Foto: Aditya Wijaya
Mengenal Andrew Carnegie Setelah saya telusuri lebih lanjut, nama itu merujuk kepada perusahaan Carnegie Steel Company di Amerika Serikat yang merupakan salah satu perusahaan baja terbesar di dunia. Perusahaan ini dimiliki oleh Andrew Carnegie, seorang emigran Skotlandia yang datang ke Amerika pada tahun 1848, dan kemudian bekerja sebagai petugas pengirim pesan telegraf di kantor telegraf di Pittsburgh. Tahun berikutnya Carnegie menjadi sekretaris pribadi Thomas Scott, seorang pejabat di Pennsylvania Railroad Company. Setelah ini karir Carnegie melesat dengan cepat, dan tak berapa lama kemudian, ia menjadi salah satu orang terkaya dan seorang filantropis terbesar di dunia. Kisah tentang Andrew Carnegie mungkin akan saya tulis secara khusus lain waktu.
Carnegie Steel dan Sir Henry Bessemer Perusahaan Carnegie Steel adalah perusahaan produksi baja terbesar di Amerika. Perusahaan ini sukses menciptakan teknologi dan metode peleburan baja yang lebih mudah, lebih baik, dan efisien.
Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.
Ditulis oleh: Farly Mochamad
Sungai Puar
Terdapat sebuah kampung yang permai di daerah Agam, Sumatera Barat. Namanya Sungai Puar. Gunung Merapi di timur, Gunung Singgalang di barat, lalu Danau Maninjau di barat Gunung Singgalang, serta Danau Singkarak di selatan. Indah nian.
Warga Sungai Puar terkenal dengan kerajinan rumahan besi dan baja dengan mutu yang baik. Sungai Puar sering disamakan dengan Sollingen di Jerman Barat, sebuah kota yang banyak menghasilkan besi dan baja, karena itu ada istilah Sungai Puar sebagai Sollingen van Sumatra.
Di kampung ini, pada tanggal 3 Juli 1883, lahir seorang bayi laki-laki dalam keluarga terpandang, ia adalah Abdoel Moeis. Ayahnya seorang Larak Sungai Puar, semacam camat, yang mempunyai perusahaan korek api, namanya Haji Abdul Gani. Ibunya berasal dari Kota Gadang, negeri yang terbilang maju di Sumatra Barat. Ibunya masih berhubungan darah dengan Haji Agus Salim, orang terpelajar yang berasal dari negeri itu. Sejak kecil Abdoel Moeis terbiasa mendengar hiruk-pikuk besi yang ditempa, sama seringnya dengan mendengar orang-orang berdebat dan bersilat lidah. Orang-orang Minagkabau terkenal pandai berbicara.
Batavia
Abdoel Moeis menjalani pendidikan di STOVIA (sekolah Dokter) di Batavia. Di sekolah ini Abdoel Moeis sibuk mengejar cita-citanya, tapi ia juga tak melupakan pergaulannya. Ia berteman dengan pemuda yang berasal dari berbagai daerah dan sering bertukar informasi tentang keadaan daerahnya.
Di STOVIA banyak sekali peraturan dan pembedaan, seperti orang Jawa dan Sumatra yang tidak beragama Kristen, mereka tidak boleh menggunakan pakaian Eropa. Lantas pakain seperti apa? Mereka diwajibkan memakai pakaian dari daerah masing-masing. Selain itu, sikap Belanda sangat angkuh dan sombong, malah orang Cina diberi kedudukan lebih tinggi dari pribumi.
Ketika Abdoel Moeis naik ke tingkat ke tiga yang sering sekali praktik, ia selalu merasa pusing, sehingga ia berpikir, apakah sebaiknya keluar saja dari sekolah dokter itu? Pikirannya penuh oleh pertanyaan: Apakah tidak sia-sia saja orang tua sudah membiayai sekolahnya? Pastilah mereka akan marah. Mau jadi apa nanti? Tukang kerajinan besi, atau bekerja di perusahaan korek ayah? Abdoel Moeis akhirnya memberanikan diri berbicara kepada orang tuanya. Ternyata tanggapan mereka cukup tegas dan bijaksana, “Mungkin ini bukan takdirmu, manusia boleh berkehendak, tapi Tuhanlah yang menentukan.” Ia lalu bekerja menjadi pegawai di Departemen Agama.
Saya kembali melewati Cikajang, sebuah kota kecil di Kabupaten Garut. Malam itu, suasana lengang dan sedikit basah. Cikajang tetaplah Cikajang, kota berhawa dingin ini sering saya kunjungi dahulu, baik saat menempuh perjalanan ke Pangandaran, ataupun secara sengaja untuk melihat-lihat keadaan stasiun di sana. Minggu 8 November 2020 itu, saya melewati Cikajang bersama teman-teman dari Komunitas Aleut. Perjalanan “momotoran” ini merupakan bagian dari Aleut Development Program 2020. Jalur yang kami tempuh saat itu adalah jalur Bandung – Pangalengan – Rancabuaya – Pameungpeuk – Cikajang – Garut – dan kembali ke Bandung.
Saat itu, saya hanya punya waktu beberapa detik saja untuk menengok ke arah Stasiun Cikajang. Stasiun tertinggi di Indonesia ini memang ada di dalam gang. Sebenarnya, keberadaan Stasiun Cikajang ini tidak jauh dari pinggir jalan raya. Stasiun ini hanya tersembunyi di belakang toko-toko, dan dalam keadaaan rusak parah dan menunggu renovasi. Saat melewati Cikajang saat itu, ada beberapa cerita tentang Stasiun Cikajang yang lewat di kepala.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020.
Ditulis oleh: Reza Khoerul Iman
Waktu menunjukkan persis pukul sebelas malam. Sebagian dari kami, termasuk aku. telah sampai di Sekretariat Komunitas Aleut di Pasirluyu Hilir No. 30. Tidak ada yang aku inginkan selain turun dari motor dan segera merebahkan diri di dalam rumah.
Aakhhhh!!! Teriakku sambil melepas penat dan lelah bekas perjalanan panjang.
Tidak lama aku merebahkan badan yang terkoyak-koyak oleh medan perjalanan yang tidak biasa aku lalui. Aku segera bangkit membuat segelas kopi panas agar energiku sedikit kembali pulih.
Akhirnya aku berhasil melewati perjalanan yang mengerikan tersebut, melalui perjalanan panjang yang baru kali ini aku tempuh, membelah pegunungan dengan medan yang cukup menantang, berjalan bersama pantai dengan ketinggian suhu yang tidak biasa kulitku rasakan, dan masih banyak hal yang sebetulnya ingin aku ceritakan andai ruang ini tidak dibatasi.
Meskipun rasa lelah menguasai diri, namun tidak lantas menjadi penghalang bagi kami untuk saling bertukar cerita tentang perjalanan yang baru kami lalui. Kami pun larut dalam persilangan kisah.
Masih terasa hangat dalam benak tentang perjuangan tim ADP-2020 dalam proses pembelajaran kali ini, lewat salah satu programnya yaitu momotoran. Tujuan momotoran kali ini berbeda dari sebelumnya, pada kesempatan ini kami harus menempuh jarak lebih dari tigaratus kilometer antara Bandung-Rancabuaya dan kembali ke Bandung melewati rute yang bebeda, Rancabuaya-Gunung Gelap-Garut-Nagrek- Pasirluyu Hilir.
Berselfie sambil mobile. Foto: Rani.
Banyak hal yang dapat kuambil dari perjalanan momotoran susur Pantai Selatan kali ini. Tapi ingatanku masih terpaku di Gunung Gelap yang beberapa jam ke belakang baru kami lewati. Suasana mencekam sebagaimana yang tersebut dalam dongeng Gunung Gelap sepertinya sudah hilang, mungkin karena sudah banyak kendaraan bermotor yang lalu-lalang, sehingga mengurangi nilai keangkeran Gunung Gelap. Berbeda suasananya ketika kami melewati Gunung Tilu dua minggu lalu. Walaupun jaraknya lebih pendek, namun suasana di sana masih terasa mencekam, sambil waswas bahaya begal pula.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020.
Ditulis oleh : Deuis Raniarti
Selalu ada yang pertama kali dalam hidup, seperti pertama kali menangis, pertama kali bisa mengayuh sepeda, atau pertama kali mencicipi buah lemon. Minggu, 8 November 2020 adalah pertama kalinya saya ke Rancabuaya. Saya ke sana dalam rangka Momotorannya Aleut Development Program angkatan 2020. Ada sepuluh orang peserta yang ikut. Hari cukup cerah saat kami melewati Banjaran, Cimaung, Pangalengan, sampai ke Perkebunan Cukul.
Dalam Momotoran kali ini motor yang saya tumpangi tidak menjadi leader, melainkan berada di urutan kedua. Leader dalam perjalanan ini adalah Adit yang ditemani Inas. Adit memacu motor dengan cukup cepat tanpa ragu. Pemberhentian pertama kami adalah Tugu Perintis Cimaung untuk mengetahui peristiwa apa yang diperingati oleh pendirian tugu itu.
Tugu Perintis Cimaung. Foto: Rani.
Dalam perjalanan ini saya baru menyadari betapa luasnya Perkebunan Teh Pasirmalang. Pada Momotoran lalu, kami juga ke Pasirmalang, tapi di bagian dalamnya, itu pun dalam keadaan hujan besar serta kabut yang tebal. Jalanan mulus di perkebunan ini terasa menyenangkan sekali. Ada banyak kelompok pengendara lain juga di jalur ini, mungkin menuju berbagai tempat wisata yang semakin banyak tersebar di kawasan ini.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020.
Ditulis oleh : Madihatur Rabiah
Ini merupakan ketigakalinya diriku menginjakkan kaki di kota yang terkenal dengan dodolnya, dan keduakalinya kuikuti kegiatan momotoran yang kali ini tujuannya ke Rancabuaya.
Pagi, 8 November 2020, aku dan sembilan peserta Aleut Development Program lainnya berangkat dari sekretariat Komunitas Aleut menggunakan enam buah motor. Sebelumnya kami briefing dulu tentang hal-hal yang perlu diperhatikan selama dalam perjalanan, dan berdoa bersama.
Setelah semuanya siap, kami berangkat melalui rute Pangalengan yang sama persis seperti waktu momotoran ke Pangalengan dua minggu lalu. Bedanya, kali ini kami berhenti di sebuah pertigaan di Cimaung. Di sini kami diminta untuk mengamati sebuah tugu yang didirikan di sudut pertigaan jalan itu. Ternyata tugu ini didirikan untuk memperingati suatu peristiwa yang pernah terjadi di situ pada tahun 1932, yaitu ketika Ir. Soekarno memberikan kuliah politik untuk warga setempat. Pada sebuah prasasti tertulis sekitar seratus nama warga yang mengikuti kuliah politik itu, nama yang tertera paling atas adalah Inggit Garnasih.
Tugu Perintis Cimaung. Foto: Madiha.
Setelah diberikan waktu untuk mendokumentasikan area sekitar tugu tersebut, kami lanjutkan perjalanan. Ketika melewati jembatan bertuliskan Cikalong, aku teringat lagi cerita gunung-gunung di sekitar kawasan ini yang disampaikan saat momotoran ke Pangalengan dua minggu lalu.
Tak lama kemudian, kami melewati sebuah gapura batu dengan tulisan Perkebunan Teh Cukul. Beberapa saat kemudian, aku terkesima melihat sebuah bangunan besar berwarna putih yang mirip dengan rumah-rumah di Eropa. Di dekat rumah ini ada sebuah danau kecil yang dikelilingi oleh taman. Indah sekali. Tidak jauh dari situ, kami berhenti untuk mengamati lingkungan sekitar sambil sarapan di sebuah warung.
Di sini aku dengar dari ibu warung bahwa rumah putih tadi sering disebut sebagai Rumah Jerman, pemiliknya adalah perusahaan teh yang juga pemilik Perkebunan Cukul. Ibu warung juga bercerita bahwa perkebunan ini juga berbatasan dengan wilayah Kabupaten Garut. Sebelum berangkat lagi, aku masih mendengar cerita ibu warung tentang Kampung Kahuripan yang ada di bawah, kampung kecil yang terdiri dari 14 rumah dan dihuni oleh 48 keluarga yang semuanya pekerja di Perkebunan Cukul.
Kampung Kahuripan di Cukul. Foto: Komunitas Aleut.
Mulai dari sini, jalanan yang kami lewati jadi ekstra berliku, belokan-belokan pendek dan tajam, tanjakan dan turunan yang curam-curam. Terasa tidak akan mudah mengendalikan kendaraan di jalanan seperti ini. Setelah satu jam lebih menempuh jalan seperti ini, Teh Anis yang memboncengku kehilangan kendali di sebuah tanjakan setelah turunan curam. Motor kami terperosok ke luar badan jalan. Untunglah tebalnya semak-semak membantu menahan motor kami, sehingga tidak terjadi kecelakaan fatal atau kerusakan motor. Hanya tanganku sedikit terkilir dan kaca helm Teh Anis copot dari dudukannya. Kawan-kawan lain dengan sigap pula memberikan bantuan dan P3K yang diperlukan. Dari sini, aku pindah boncengan ke motornya Farly, agar Teh Anis bisa lebih leluasa mengendalikan motor selama kondisi jalanan penuh kelokan ini.
Sekitar satu jam kemudian kami sudah tiba di Pantai Rancabuaya. Aku sempatkan browsing mencari tahu apa arti nama Rancabuaya dan menemukan bahwa arti ranca dalam bahasa Sunda adalah rawa-rawa. Berarti rawa-rawa yang banyak buayanya ya? Semoga sekarang sudah tidak ada buaya lagi di daerah ini. Bakal berbahaya kalau masih ada, soalnya kawasan pantai ini sudah dijadikan salah satu destinasi wisata favorit. Bisa kulihat ada banyak warung, rumah makan, penginapan, dan banyak bale-bale didirikan di tepi pantai. Bisa jadi saat tidak pandemi pantai ini jauh lebih ramai dibanding saat kami datang hari ini.
Kami langsung turun menemui air laut di bibir pantai. Teman-teman pun bersemangat bermain air laut, mencari kerang atau kepiting atau kumang, tentunya sambil banyak-banyak membuat foto juga. Sesudah kenyang bermain di pantai, kami segera melanjutkan perjalanan, kali ini menyusur garis pantai ke arah timur. Keluar dari Rancabuaya kami mengambil jalur yang berbeda dengan jalur kedatangan, melewati padang rumput yang luas dengan pemandangan lepas ke laut selatan. Pemandangannya kok seperti di luar negeri ya..
Padang luas di atas Rancabuaya. Foto: Komunitas Aleut.
Kami sempat berhenti sejenak di warung di seberang sebuah masjid besar, makan-minum seadanya sambil salat juga di masjid yang tampak mewah tapi ternyata sangat sepi dan kondisinya kurang terawat. Beberapa saluran air pun mati. Di warung, kami masih sempat bercanda dengan pasangan suami-istri pemilik warung dan dengan dua anak pemulung kemasan plastik. Walaupun malu-malu, kedua anak ini ikut larut juga berkumpul bersama kami.
Dari sini kami diarahkan untuk mengambil jalur pulang ke Bandung lewat Garut, tujuannya agar dapat mengalami daerah Gununggelap saat hari masih cukup terang. Katanya sih selama ini Komunitas Aleut selalu melewati kawasan itu saat hari sudah malam. Cerita tentang Gununggelap akan diberikan kemudian melalui grup whatsapp ADP-20. Baiklah..
Ternyta perjalanan melewati Gununggelap ya cukup menantang adrenalin, banyak melewati kawasan hutan juga. Sebelum keluar Gununggelap hari pun sudah ikut gelap. Kami masih berhenti sekali lagi di perbatasan Gununggelap untuk melaksanakan salat. Istirahat terakhir kami lakukan di ujung Lingkar Nagreg. Pada bagian akhir perjalanan ini udara terasa lebih dingin sampai menusuk tulang. Makanya perlu sedikit penghangat badan, terutama minuman panas. Pukul sebelas malam, kami semua tiba di sekretariat Komunitas Aleut. Badan terasa sangat lelah. Sebagian teman langsung menyeduh wedang yang tersedia agar tubuh kembali panas.
Perjalanan ini cukup melelahkan, terutama bagi saya yang baru pertama kali mengalaminya, namun juga menyenangkan dan banyak hal baru yang aku dapatkan. Ada banyak cerita dan pengalaman yang lucu juga. Terima kasih untuk perjalanannya, Aleut.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh: Aditya Wijaya.
Minggu, 8 November 2020 ini, Komunitas Aleut mengadakan kegiatan momotoran lagi. Kali ini tujuannya adalah pantai selatan. Oya, seperti momotoran dua minggu lalu, momotoran ini pun diadakan sebagai bagian kegiatan pembelajaran Aleut Development Program.
Memulai perjalanan momotoran kali ini terasa berbeda, karena saya harus menjadi leader dalam perjalanan ini. Leader adalah pemimpin posisi motor saat momotoran. Ternyata sulit menjadi leader itu. Selain sebagai penunjuk jalan, leader juga harus selalu fokus dan memeriksa keadaan rombongan di belakang, agar semuanya terkendali dan aman.
Tempat pertama yang kami singgahi adalah Tugu Perintis Soekarno di Cimaung. “Ternyata Soekarno pernah datang ke sini,” ucap saya dalam hati. Tugu ini didirikan untuk memperingati peristiwa Soekarno ketika memberikan kursus politik di Cimaung. Lokasi tugu ini sangat strategis, berada di pertigaan Jalan Cimaung-Puntang.
Ilustrasi Soekarno sedang memberikan kursus politik di Cimaung. Foto: Reza Khoerul Iman.
Kami melanjutkan perjalanan menuju selatan. Sempat menemui macet di sekitar PLTU Cikalong, namun sejauh ini perjalanan cukup lancar. Kami melewati situ Cileunca dan melihat sekelompok wisatawan yang sedang melakukan arum jeram.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh: Inas Qori Aina
Melelahkan dan mengasyikkan, Itulah kesan Momotoran kedua yang kurasakan bersama ADP-20 Komunitas Aleut. Melelahkan karena panjangnya rute yang harus dilalui, mengasyikkan karena banyak sekali pengalaman dan hal-hal baru yang kulihat dan kualami. Sesuai dengan rencana, Momotoran kali ini (Minggu, 8/11/2020) akan menyusuri Pantai Selatan. Rute keberangkatan kami dimulai dari Pasirluyu Hilir (PH) – Dayeuhkolot – Banjaran – Cimaung – Pangalengan – Talegong – Cisewu – Rancabuaya. Sedangkan untuk jalur pulangnya: Rancabuaya – Santolo – Cisompet – Gunung Gelap – Batu Tumpang – Cikajang – Kota Garut – Leles – Nagreg – Cileunyi – Cibiru – PH.
Kami berangkat sekitar pukul tujuh tigapuluh pagi. Kemacetan dan kerumunan adalah pemandangan yang banyak kulihat di perjalanan pergi dan juga pulang. Pada saat berangkat, dari mulai Dayeuhkolot hingga Banjaran tampak rutinitas masyarakat yang umumnya dilakukan setiap hari Minggu pagi, seperti bersepeda, berbelanja, ataupun sekadar bersantai di kawasan Alun-alun. Di Cimaung, kami berhenti di salah satu tempat bersejarah, yaitu Tugu Perintis Kemerdekaan atau disebut juga Tugu Cimaung. Tugu ini didirikan dan diresmikan pada tahun 1932 dan dipelopori oleh Sukarno yang pada saat itu pernah singgah di Desa Cimaung untuk memberikan pelajaran politik bagi warga desa Cimaung. Terdapat imbauan untuk tidak memasang spanduk ataupun baligo di area Tugu Cimaung. Imbauan hanya sekedar imbauan. Dapat dilihat beberapa spanduk dan baligo terpampang di sekitar area tugu. Mengapa bisa demikian? Entahlah.
Spanduk dan baligo yang terpampang di area Tugu Cimaung. Foto: Inas. Qori Aina
Di Pangalengan, aku menemukan hal menarik yaitu pada angkutan kota atau angkot yang model pintunya berbeda dengan angkot yang selama ini kulihat di sekitar kota Bandung. Angkot berwarna kuning dengan trayek Banjaran-Pangalengan ini pintunya terletak di bagian belakang mobil dan selalu dalam keadaan terbuka. Model pintu seperti itu membuatku berpikir apakah tidak bahaya untuk para penumpangnya? Apalagi dengan jalur Pangalengan yang relatif menanjak dan cukup curam. Entahlah.