Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.
Ditulis oleh: Annisa Almunfahannah
“Mungkin akan kau lupakan atau untuk dikenang“
Penggalan lirik lagu dari Jikustik di atas sepertinya cocok untuk menggambarkan kondisi beberapa tempat bersejarah yang ada di Bandung, salah satunya adalah jalur kereta api yang menghubungkan antara Bandung dengan Ciwidey. Mungkin banyak dari kita yang belum tahu mengenai rute ini, karena memang jalurnya telah ditutup sejak tahun 1982. Kini, rute tersebut hanya meninggalkan beberapa kerangka dari jejak keberadaanya. Kami, peserta ADP 2020 akan menelusuri jejak tersebut. Lets go!
Jalur yang diresmikan pada tahun 1921 ini merupakan jalur yang membuka akses untuk daerah Bandung Selatan. Pembangunan jalur ini dilakukan melalui dua tahap. Pembangunan pertama dilakukan pada tahun 1917 untuk menghubungkan Bandung dengan Kopo (saat ini menjadi Soreang), dan melewati Dayeuhkolot dan Banjaran sebagai titik persimpangan menuju daerah-daerah perkebunan di Pangalengan, Arjasari, Puntang, dan lainnya.
Selanjutnya, pembangunan tahap kedua, yang menghubungkan Kopo dengan Ciwidey. Pembangunan jalur ini bisa dibilang cukup berat dikarenakan topografi wilayah Ciwidey yang merupakan daerah berbukit-bukit. Namun pada akhirnya Staatsspoorwegen, perusahaan yang membangun jalur ini, berhasil menaklukkan tantangan alam tersebut dan mendirikan Stasiun Ciwidey di ketinggian 1106 mdpl pada tahun 1924. Stasiun Ciwidey merupakan pemberhentian terakhir untuk jalur ini, maka sekitar 800 meter dari stasiun, terdapat sebuah turntable untuk memutarkan lokomotif kereta.
Turntable yang kini menjadi saluran air kotor, Foto: Komunitas Aleut
Pembukaan jalur ini dilakukan karena alat transportasi pedati yang digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan pada masa itu kurang efisien. Biaya perjalanan pun mahal, yaitu 15 sampai 18 sen per ton, kemudian waktu tempuh yang lama mengakibatkan hasil bumi banyak mengalami kerusakan dan tidak dapat dijual. Selain itu jarak yang jauh serta medan yang berat membuat banyak hewan yang menarik pedati tersebut kelelahan dan akhirnya mati, sehingga harga hewan penarik pedati itu naik hingga berkali-kali lipat.
Selain untuk mengangkut hasil perkebunan, jalur ini pun digunakan sebagai sarana transportasi bagi masyarakat. Namun kejadian naas terjadi pada tahun 1970-an ketika sebuah lokomotif yang membawa gerbong melintasi jalur tersebut terguling dan terjatuh ke area persawahan di daerah Cukanghaur. Dua belas tahun setelah kecelakaan tersebut, jalur ini resmi ditutup. Penutupan ini didukung juga oleh kondisi jalur yang dianggap sudah tidak menjadi prioritas dan tidak lagi menguntungkan, karena kalah bersaing dengan truk dan mobil pada saat itu.
Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.
Ditulis oleh: Deuis Raniarti
(SS) pada tahun 1917 membangun jalur kereta api Bandung-Ciwidey. Pada tahun tersebut, Bandung mengalami kenaikan jumlah penduduk yang cepat, sayangnya tidak diimbangi pasokan hasil bumi dari daerah sekitar. Salah satu kendalanya adalah tidak ada transportasi yang murah dan cepat. Dibangunlah jalur kereta api Bandung-Ciwidey sebagai salah satu upaya untuk mengatasi hal ini. Selain untuk mengangkut hasil pertanian dari Bandung Selatan, kereta api juga digunakan untuk transportasi yang lebih baik, murah dan cepat jika dibandingkan dengan pedati. Sabtu, 21 November 2020, saya bersama teman-teman Aleut Program Development menyusuri jejak-jejak Jalur Kereta Api Bandung-Ciwidey.
Ada beberapa stasiun yang dibangun di sepanjang jalur Bandung-Ciwidey, satu di antaranya adalah Stasiun Dayeuhkolot. Stasiun yang berada di ketinggian + 661 mdpl ini dulunya merupakan stasiun kereta api besar dengan empat jalur dan mempunyai jalur percabangan kereta menuju Majalaya.
Atas: Proses pembangunan jalur kereta api di Dayeuhkolot. Bawah: Stasiun Dayeuhkolot. Sumber: KITLV.
Letak bekas stasiunnya tak jauh dari Jalan Raya Dayeuhkolot, cukup berjalan kaki selama dua menit dan sampailah kita di bangunan bekas stasiun yang sudah dipenuhi oleh banyak bangunan baru di sekitarnya itu. Stasiun Dayeuhkolot memang sudah lama ditutup, tak heran bila kondisinya sekarang sangat jauh berbeda dibanding saat masih beroperasi dulu. Stasiun ini tidak digunakan lagi karena sejak tahun 1982 Jalur Kereta Api Bandung-Ciwidey ditutup.
Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.
Ditulis oleh: Agnia Prillika
Mungkin tak banyak khalayak yang mengetahui jejak keberadaan jalur kereta api di daerah Bandung Selatan. Ya, jejak-jejaknya perlahan musnah digerus zaman. Pembukaan jalur kereta api di Bandung pada tahun 1884 seperti memberikan harapan dapat menjangkau daerah-daerah yang jauh dari pusat perkotaan yang sebelumnya hanya menggunakan pedati sebagai sarana angkutan. Hal tersebut membuat banyak pihak berlomba mendapatkan konsesi untuk membangun jaringan jalur kereta api di Bandung Selatan. Beberapa ajuan konsesi pembangunan diterima oleh pemerintah, tapi lalu gagal diwujudkan karena masalah modal yang terlalu besar dan tak dapat dipenuhi. Akhirnya, Staatsspoorwegen (SS) yang merupakan perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda saat itu mengambil alih langsung pembangunan jalur kereta api ke daerah pedalaman, salah satunya yaitu jalur Bandung-Ciwidey.
Kali kedua saya ikut momotoran bersama tim ADP-20 dari Komunitas Aleut, adalah menyusuri jejak jalur kereta api Bandung-Ciwidey yang sudah lama mati. Melalui kegiatan inilah saya mendapatkan cerita yang sebagian akan saya bagikan di sini.
Titik tuju pertama adalah bekas Stasiun Dayeuhkolot yang berlokasi dekat aliran sungai Ci Tarum. Stasiun ini dibuka sebagai bagian jalur kereta api Bandung-Soreang yang selesai dibuat pada 1921. Stasiun Dayeuhkolot memiliki jalur percabangan menuju Majalaya, menggunakan rel yang mengarah ke sebelah kiri. Sementara arah ke kanan menuju ke Banjaran, Baleendah, Pameungpeuk, dan Soreang.
Kondisi bekas Stasiun Dayeuhkolot kini telah berubah menjadi bengkel, toko bahan bangunan, dan toko pakan burung. Lingkungan di sekitarnya telah menjadi jalanan padat yang dipenuhi oleh permukiman warga. Bagian bangunan asli yang masih tersisa dan dapat dilihat hanyalah bangunan kecil dengan atap kusam, serta rel kereta yang tidak terlihat jelas karena sudah tertutup oleh jalanan dan rumah warga.
Bekas Stasiun Dayeuhkolot. Foto: Komunitas Aleut.
Selanjutnya adalah Stasiun Banjaran, yang menjadi sarana utama penghubung antara Soreang, Pangalengan, dan Dayeuhkolot. Stasiun ini digunakan sebagai jalur pengangkutan hasil perkebunan dari wilayah Arjasari, Puntang, Pangalengan, dll. Kawasan perkebunan terdekat dengan stasiun ini adalah Perkebunan Teh Arjasari yang dibuka tahun 1869 oleh R.A. Kerkhoven. Pada tahun 1873, putra R.A. Kerkhoven, yaitu R.E Kerkhoven membuka perkebunan teh di Gambung. Dengan adanya kereta api, pengangkutan hasil produksi dari kedua perkebunan ini menjadi lebih mudah, murah, dan cepat.
Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.
Ditulis oleh: Aditya Wijaya
Sabtu, 21 November 2020, saya bersama ADP 2020 dari Komunitas Aleut melakukan perjalanan ngaleut momotoran Jejak Kereta Api Bandung-Ciwidey. Kami mengunjungi beberapa bekas stasiun dan jembatan rel kereta yang pernah aktif di antara Bandung dan Ciwidey. Kondisi jejak kereta api itu saat ini keadaannya sangat beragam, ada yang sudah menjadi bangunan sekolah, toko bangunan, dan juga toko grosir. Sedangkan kondisi jembatan ada yang terawat dan juga ada yang tidak terawat.
Potret jembatan Sadu saat difoto dari bawah. Foto: Aditya Wijaya
Ketika saya sampai di Jembatan Sadu, saya tertarik dengan nama Carnegie. Nama itu tertulis di bagian tengah setiap potongan rel, dan diikuti oleh tulisan SS dan 1920. Ternyata, Carnegie adalah nama perusahaan pembuat rel, SS adalah singkatan untuk Statsspoorwegen, dan 1920 adalah tahun pembuatannya.
Tulisan CARNEGIE di rel jembatan Sadu. Foto: Aditya Wijaya
Mengenal Andrew Carnegie Setelah saya telusuri lebih lanjut, nama itu merujuk kepada perusahaan Carnegie Steel Company di Amerika Serikat yang merupakan salah satu perusahaan baja terbesar di dunia. Perusahaan ini dimiliki oleh Andrew Carnegie, seorang emigran Skotlandia yang datang ke Amerika pada tahun 1848, dan kemudian bekerja sebagai petugas pengirim pesan telegraf di kantor telegraf di Pittsburgh. Tahun berikutnya Carnegie menjadi sekretaris pribadi Thomas Scott, seorang pejabat di Pennsylvania Railroad Company. Setelah ini karir Carnegie melesat dengan cepat, dan tak berapa lama kemudian, ia menjadi salah satu orang terkaya dan seorang filantropis terbesar di dunia. Kisah tentang Andrew Carnegie mungkin akan saya tulis secara khusus lain waktu.
Carnegie Steel dan Sir Henry Bessemer Perusahaan Carnegie Steel adalah perusahaan produksi baja terbesar di Amerika. Perusahaan ini sukses menciptakan teknologi dan metode peleburan baja yang lebih mudah, lebih baik, dan efisien.
Saya kembali melewati Cikajang, sebuah kota kecil di Kabupaten Garut. Malam itu, suasana lengang dan sedikit basah. Cikajang tetaplah Cikajang, kota berhawa dingin ini sering saya kunjungi dahulu, baik saat menempuh perjalanan ke Pangandaran, ataupun secara sengaja untuk melihat-lihat keadaan stasiun di sana. Minggu 8 November 2020 itu, saya melewati Cikajang bersama teman-teman dari Komunitas Aleut. Perjalanan “momotoran” ini merupakan bagian dari Aleut Development Program 2020. Jalur yang kami tempuh saat itu adalah jalur Bandung – Pangalengan – Rancabuaya – Pameungpeuk – Cikajang – Garut – dan kembali ke Bandung.
Saat itu, saya hanya punya waktu beberapa detik saja untuk menengok ke arah Stasiun Cikajang. Stasiun tertinggi di Indonesia ini memang ada di dalam gang. Sebenarnya, keberadaan Stasiun Cikajang ini tidak jauh dari pinggir jalan raya. Stasiun ini hanya tersembunyi di belakang toko-toko, dan dalam keadaaan rusak parah dan menunggu renovasi. Saat melewati Cikajang saat itu, ada beberapa cerita tentang Stasiun Cikajang yang lewat di kepala.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020.
Ditulis oleh: Reza Khoerul Iman
Waktu menunjukkan persis pukul sebelas malam. Sebagian dari kami, termasuk aku. telah sampai di Sekretariat Komunitas Aleut di Pasirluyu Hilir No. 30. Tidak ada yang aku inginkan selain turun dari motor dan segera merebahkan diri di dalam rumah.
Aakhhhh!!! Teriakku sambil melepas penat dan lelah bekas perjalanan panjang.
Tidak lama aku merebahkan badan yang terkoyak-koyak oleh medan perjalanan yang tidak biasa aku lalui. Aku segera bangkit membuat segelas kopi panas agar energiku sedikit kembali pulih.
Akhirnya aku berhasil melewati perjalanan yang mengerikan tersebut, melalui perjalanan panjang yang baru kali ini aku tempuh, membelah pegunungan dengan medan yang cukup menantang, berjalan bersama pantai dengan ketinggian suhu yang tidak biasa kulitku rasakan, dan masih banyak hal yang sebetulnya ingin aku ceritakan andai ruang ini tidak dibatasi.
Meskipun rasa lelah menguasai diri, namun tidak lantas menjadi penghalang bagi kami untuk saling bertukar cerita tentang perjalanan yang baru kami lalui. Kami pun larut dalam persilangan kisah.
Masih terasa hangat dalam benak tentang perjuangan tim ADP-2020 dalam proses pembelajaran kali ini, lewat salah satu programnya yaitu momotoran. Tujuan momotoran kali ini berbeda dari sebelumnya, pada kesempatan ini kami harus menempuh jarak lebih dari tigaratus kilometer antara Bandung-Rancabuaya dan kembali ke Bandung melewati rute yang bebeda, Rancabuaya-Gunung Gelap-Garut-Nagrek- Pasirluyu Hilir.
Berselfie sambil mobile. Foto: Rani.
Banyak hal yang dapat kuambil dari perjalanan momotoran susur Pantai Selatan kali ini. Tapi ingatanku masih terpaku di Gunung Gelap yang beberapa jam ke belakang baru kami lewati. Suasana mencekam sebagaimana yang tersebut dalam dongeng Gunung Gelap sepertinya sudah hilang, mungkin karena sudah banyak kendaraan bermotor yang lalu-lalang, sehingga mengurangi nilai keangkeran Gunung Gelap. Berbeda suasananya ketika kami melewati Gunung Tilu dua minggu lalu. Walaupun jaraknya lebih pendek, namun suasana di sana masih terasa mencekam, sambil waswas bahaya begal pula.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020.
Ditulis oleh : Deuis Raniarti
Selalu ada yang pertama kali dalam hidup, seperti pertama kali menangis, pertama kali bisa mengayuh sepeda, atau pertama kali mencicipi buah lemon. Minggu, 8 November 2020 adalah pertama kalinya saya ke Rancabuaya. Saya ke sana dalam rangka Momotorannya Aleut Development Program angkatan 2020. Ada sepuluh orang peserta yang ikut. Hari cukup cerah saat kami melewati Banjaran, Cimaung, Pangalengan, sampai ke Perkebunan Cukul.
Dalam Momotoran kali ini motor yang saya tumpangi tidak menjadi leader, melainkan berada di urutan kedua. Leader dalam perjalanan ini adalah Adit yang ditemani Inas. Adit memacu motor dengan cukup cepat tanpa ragu. Pemberhentian pertama kami adalah Tugu Perintis Cimaung untuk mengetahui peristiwa apa yang diperingati oleh pendirian tugu itu.
Tugu Perintis Cimaung. Foto: Rani.
Dalam perjalanan ini saya baru menyadari betapa luasnya Perkebunan Teh Pasirmalang. Pada Momotoran lalu, kami juga ke Pasirmalang, tapi di bagian dalamnya, itu pun dalam keadaan hujan besar serta kabut yang tebal. Jalanan mulus di perkebunan ini terasa menyenangkan sekali. Ada banyak kelompok pengendara lain juga di jalur ini, mungkin menuju berbagai tempat wisata yang semakin banyak tersebar di kawasan ini.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh: Inas Qori Aina
Melelahkan dan mengasyikkan, Itulah kesan Momotoran kedua yang kurasakan bersama ADP-20 Komunitas Aleut. Melelahkan karena panjangnya rute yang harus dilalui, mengasyikkan karena banyak sekali pengalaman dan hal-hal baru yang kulihat dan kualami. Sesuai dengan rencana, Momotoran kali ini (Minggu, 8/11/2020) akan menyusuri Pantai Selatan. Rute keberangkatan kami dimulai dari Pasirluyu Hilir (PH) – Dayeuhkolot – Banjaran – Cimaung – Pangalengan – Talegong – Cisewu – Rancabuaya. Sedangkan untuk jalur pulangnya: Rancabuaya – Santolo – Cisompet – Gunung Gelap – Batu Tumpang – Cikajang – Kota Garut – Leles – Nagreg – Cileunyi – Cibiru – PH.
Kami berangkat sekitar pukul tujuh tigapuluh pagi. Kemacetan dan kerumunan adalah pemandangan yang banyak kulihat di perjalanan pergi dan juga pulang. Pada saat berangkat, dari mulai Dayeuhkolot hingga Banjaran tampak rutinitas masyarakat yang umumnya dilakukan setiap hari Minggu pagi, seperti bersepeda, berbelanja, ataupun sekadar bersantai di kawasan Alun-alun. Di Cimaung, kami berhenti di salah satu tempat bersejarah, yaitu Tugu Perintis Kemerdekaan atau disebut juga Tugu Cimaung. Tugu ini didirikan dan diresmikan pada tahun 1932 dan dipelopori oleh Sukarno yang pada saat itu pernah singgah di Desa Cimaung untuk memberikan pelajaran politik bagi warga desa Cimaung. Terdapat imbauan untuk tidak memasang spanduk ataupun baligo di area Tugu Cimaung. Imbauan hanya sekedar imbauan. Dapat dilihat beberapa spanduk dan baligo terpampang di sekitar area tugu. Mengapa bisa demikian? Entahlah.
Spanduk dan baligo yang terpampang di area Tugu Cimaung. Foto: Inas. Qori Aina
Di Pangalengan, aku menemukan hal menarik yaitu pada angkutan kota atau angkot yang model pintunya berbeda dengan angkot yang selama ini kulihat di sekitar kota Bandung. Angkot berwarna kuning dengan trayek Banjaran-Pangalengan ini pintunya terletak di bagian belakang mobil dan selalu dalam keadaan terbuka. Model pintu seperti itu membuatku berpikir apakah tidak bahaya untuk para penumpangnya? Apalagi dengan jalur Pangalengan yang relatif menanjak dan cukup curam. Entahlah.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh : Wildan Aji
‘t Oude moedertje zat bevend
Op het telegraafkantoor
Vriend’lijk sprak de ambt’naar
Juffrouw, aanstonds geeft Bandoeng gehoor
Trillend op haar stramme benen
Greep zij naar de microfoon
En toen hoorde zij, o wonder
Zacht de stem van hare zoon
(Potongan lirik lagu “Hallo Bandoeng” – Wieteke van Dort)
Sebelum mengikuti kegiatan momotoran ke kawasan perkebunan teh di Pangalengan pada hari Sabtu pagi lalu, saya mendengarkan sebuah lagu berjudul “Hallo Bandoeng” yang dinyanyikan oleh Wieteke van Dort. Lagu ini rasanya cocok sekali untuk menemani perjalananku kali ini bersama rombongan Komunitas Aleut. Rasanya seperti akan kembali melihat masa lalu Bandung dan kawasan sekitarnya.
Anggota rombongan yang berangkat ada 14 orang menggunakan 8 motor yang berangkat dari sekretariat Komunitas Aleut di Jalan Pasirluyu Hilir, Buah Batu. Ketika waktu menunjukkan pukul 11.30, kami tiba di kawasan Perkebunan Teh Malabar, setelah sebelumnya mampir dulu ke bekas perkebunan kina di Cinyuruan, Kertamanah, dan ke Pusat Penelitian Teh & Kina di Chinchona, Cibeureum.
Perkebunanan Teh Malabar tentunya sudah tidak asing lagi sebagai tempat wisata. Perkebunan ini bisa dibilang paling terkenal dan merupakan salah satu penghasil teh terbesar di dunia pada masanya dengan kapasitas produksi mencapai 1.200.000 kg/tahun. Sejak era Hindia Belanda produksi teh dari Perkebunan Malabar sangat terkenal dan produksinya dijual di pasar Eropa. Produksi teh hitam menggunakan metode orthodox dan hanya memakai tiga pucuk terbaik. Dengan metode ini proses pengolahan teh tidak dicacah namun digiling sehingga dapat menghasilkan citarasa teh yang lebih nikmat mengalahkan kualitas teh dari Tiongkok dan Srilanka yang saat itu juga menguasai pasar Eropa. Hingga saat ini Perkebunan Teh Malabar masih beroperasi dan konsisten menghasilkan teh dengan kualitas ekspor. Untuk proses pemasarannya, 90% produksi perkebunan teh ini untuk ekspor dan hanya 10% yang dipasarkan di dalam negeri.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh : Madihatur Rabiah
Sekilas terdengar suara melewati gendang telingaku :
Biippp….biipp…biip….
Alarm telah membangunkanku dari peristirahatan semalam …..
Oh, haii.. Kenalin aku adalah anak Jakarta yang bermigrasi sementara waktu ke Bandung dalam keperluan perkuliahan. dan baru-baru ini mengenal satu komunitas yang sedikit banyaknya memiliki peran sumbangsih bagi Kota Bandung dalam meyadarkan betapa pentingnya melihat dan mengetahui lebih dalam sejarah dari suatu tempat dan lingkungan sekitar. Tak banyak hal yang kutahui tentang Bandung karena aku masih baru saja mengenal Kota Kembang ini. Saat aku mengenal Komunitas Aleut, sehentak kubertanya pada diri ini, dan sempat terbersit sebuah lirik lagu:
“Open your eyes “
“Open your eyes”
“Open your eyes, look up to the sky and see ………”
Kata-kata dari lagu Bohemian Rhapsody – Queen itu terngiang dalam benak dan menyadarkanku bahwa ternyata banyak hal yang belum kuketahui dalam kehidupan ini. Ditambah lagi aku yang baru sedikit saja mengenal Bandung. Semenjak mengikuti program momotoran ke Pangalengan-Ciwidey bersama Komunitas Aleut kemarin, aku baru merasakan memotoran keliling salah satu daerah terkenal di Bandug ini, dan mendapatkan banyak hal dari sana.
Sabtu pagi, 24 oktober 2020, perjalanan ke Pangalengan melewati banyak tempat yang baru kukenal, di antaranya, Banjaran –Kertamanah – Pangalengan – Malabar – Pasir Malang – Cileunca – Gambung – Ciwdey – Buahbatu.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh: Farly Mochamad
Sabtu pagi ini, saya ikut rombongan Komunitas Aleut yang mengadakan Ngaleut Momotoran sebagai bagian dari Kelas Menulis untuk para peserta Aleut Program Development (APD) Angkatan 2020. Yang menjadi tujuan adalah kawasan Pangalengan dan Ciwidey.
Pagi-pagi sekali seluruh peserta sudah berkumpul di Sekretariat Aleut di Jalan Pasirluyu. Yang berangkat dari sini ada dua belas orang menggunakan enam motor. Nanti di Banjaran, akan bergabung dua rekan lagi dari Cilampeni dan Ciwidey. Sebelum berangkat, ada briefing dulu, berbagi tugas dalam perjalanan. Jadi, nanti akan ada leader sebagai penunjuk jalan, dan sweeper, yang paling belakang, sebagai pemantau rombongan agar tidak terpencar selama perjalanan. Sementara di bagian tengah, rombongan diberikan nomor urut agar dapat selalu memantau rekan di depan atau di belakangnya sesuai nomor urut.
Di Banjaran, formasi sedikit berubah sesuai dengan arahan sebelumnya, karena ada dua motor yang akan bermasalah bila berboncengan di jalanan menanjak atau rusak.
Kawasan Pangalengan di Bandung Selatan termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung. Kawasan ini sudah sejak lama dikenal karena keindahan alamnya. Jaraknya dari Bandung lebih kurang 47 kilometer dan lebih dari setengahnya merupakan jalur jalan di kawasan pergunungan.
Secara umum Pangalengan dikenal sebagai kawasan perkebunan, pertanian, dan peternakan. Semuanya sudah berlangsung sejak zaman Hindia Belanda. Perkebunan di wilayah Pangalengan sekarang dikelola oleh pemerintah melalui PTPN VIII, sedangkan hasil peternakan, di antaranya, susu, dikelola oleh Koperasi Peternakan Bandung Selatan Pangalengan (KPBS).
Sejak pertemuan hari Kamis sebelumnya, kami sudah dibekali agar nanti di sepanjang perjalanan tidak hanya mengonsumsi pemandangan saja, tapi juga harus mencari berbagai informasi dan pengalaman yang nantinya dapat kami bagikan lagi kepada orang-orang lain. Jadi, perjalanan ini bukan perjalanan wisata, melainkan bagian dari pembelajaran, apalagi setiap peserta diberi tugas membuat tulisan dengan tema berbeda-beda.
Dalam perjalanan kami sempat berhenti sebentar untuk menyimak beberapa informasi tentang arah dan keberadaan dua kompleks gunung yang pagi itu terlihat cukup jelas. Tampak indah dari tempat kami berhenti. Di sebelah kanan jalan ada Gunung Tilu dan di sebelah kiri jalan adalah Gunung Malabar. Dijelaskan juga wilayah-wilayah yang ada di balik kedua gunung itu. Katanya buat panduan untuk mengenal arah bila kapan-kapan nyasar dalam perjalanan.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh: Annisa Almunfahannah
Oke, jadi ngebolang kali ini aku lakukan bersama dengan komunitas Aleut dengan judul Momotoran.
Perjalanan kami dimulai dari Alun-Alun Banjaran sebagai titik pertemuan aku dengan teman-teman lain yang berangkat dari Rumah Aleut di Pasirluyu Hilir, Bandung. Mungkin teman-teman lain sudah menulis catatan bahwa kegiatan momotoran ini adalah bagian dari Kelas Menulis untuk para peserta Aleut Program Development (APD) 2020. Dalam kegiatan momotoran ini semua peserta mendapatkan tugas untuk membuat tulisan dengan tema yang berbeda-beda. Tugas saya menulis apa? Nah, simak saja ceritanya.
Gerbang Perkebunan Malabar. Foto: Aleut.
Singkat cerita, kami tiba di pintu gerbang Perkebunan Teh Malabar yang kini dikelola oleh PTP Nusantara VIII. Sebelumnya, kami sempat mampir dulu ke warung nasi terdekat untuk membeli bekal makan siang yang akan dimakan nanti dalam perjalanan.
Menurut artikel yang pernah aku baca, Perkebunan Teh Malabar adalah perkebunan terbesar ketiga di dunia. Setiap harinya perkebunan ini dapat menghasilkan hingga 60.000 kilogram pucuk teh dan hampir 90% dari hasil produksinya menjadi komoditas ekspor. Perkebunan ini dibuka oleh seorang Preangerplanter bernama Kerkhoven, yang kemudian mengangkat sepupunya, yaitu Karel Albert Rudolf Bosscha untuk menjadi administratur dan mengelola perkebunan tersebut. Beliau menjabat sebagai administratur selama 32 tahun sebelum wafat akibat tetanus setelah terjatuh dari kuda yang ditungganginya.
Tidak jauh dari pintu gerbang, kita bisa melihat pohon-pohon tinggi menjulang dengan batang yang terlihat sudah sangat tua. Pepohonan itu tampak mencolok di antara hamparan tanaman teh sekitarnya. Tempat itu disebut leuleweungan,yang dalam bahasa Indonesia berarti hutan-hutanan, karena memang tempat ini terlihat seperti hutan kecil dengan berbagai vegetasinya. Di sinilah tempat peristirahatan terakhir K.A.R. Bosscha. Pusara Bosscha berbentuk pilar-pilar melingkar yang terbuat dari marmer dan tiang tinggi serta kubah yang menaungi makam di bawahnya. Menurut cerita, pada masa hidupnya, Ru Bosscha senang menghabiskan waktu untuk bersantai di tempat ini, dan beliau pernah berpesan agar dimakamkan di tempat ini bila wafat nanti.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh Rieky Nurhartanto
Sangat senang rasanya bisa kembali menulis walaupun beberapa tulisan yang lain belum selesai wkwkwk. Pengalaman yang sangat berharga, bisa mengenal lebih jauh tokoh luar biasa dan pohon kinanya. Perjalanan ini memang bukan yang pertama bagi saya, karena sebelumnya saya sudah pernah mengunjungi kawasan tersebut. Semakin berharga lagi sehari sebelum perjalanan ini adalah hari yang sangat spesial bagi saya.
Di sini saya menulis petualangan bersama Komunitas Aleut, tapi dengan sedikit perbedaan, karena kali ini hampir semua pesertanya adalah kawan-kawan baru. Oh iya, belakangan ini Komunitas Aleut mengadakan sebuah kegiatan pelatihan untuk umum, yaitu Aleut Program Development (APD). Dalam kegiatan ini Aleut menyelenggarakan berbagai kegiatan secara intensif dengan tujuan pembelajaran dalam berbagai bidang umum yang ditujukan untuk angkatan atau generasi muda. Saya pribadi sih sangat senang sekali dengan program tersebut karena bisa belajar, sambil bertemu, dan mempunyai sahabat-sahabat baru.
Kegiatan momotoran ke Pangalengan ini sebenarnya merupakan sambungan dari hari Kamis sebelumnya, yaitu Kelas Menulis. Kata Bang Ridwan, pada hari Sabtu tanggal 24 Oktober 2020, kami (para peserta APD 20) akan Ngaleut Momotoran ke wilayah Pangalengan-Ciwidey dengan masing-masing peserta mendapatkan tugas penulisan dengan tema yang berbeda-beda. Saya langsung merasa sangat senang sekali karena bisa kembali ke daerah favorit tempat saya niis, yaitu Pangalengan hehehe.
Oh iya, sebenernya pada hari Jumat-nya saya sudah merencanakan ingin membawa motor sendiri ke Pangalengan nanti, karena bagi saya lebih baik membonceng daripada dibonceng hahahahah. Biasanya kalo dibonceng lama-lama akan pegal pantat dan pegal pinggang juga, apalagi kalo dibonceng pake motor Beat wkwkwk. Saya sudah merencanakan akan membawa motor sepupu saya, karena saat ini kondisi motor saya kurang baik, kapas gandanya harus diganti dan akan terlalu riskan kalo tetap memaksakan memakainya. Tapi ternyata motor ternyata sepupu akan dipakai juga besok hari untuk bepergian bersama teman-temannya, tidak jadi deh membawa motor sepupu saya.
Saya segera saja memberitahu teman-teman di grup whatsapp bahwa besok saya tidak jadi membawa motor sendiri. Agak sedikit sedih sih sebenarnya, tapi ya mau bagaimana lagi, untung saja dalam daftar pembawa motor besok ternyata masih cukup untuk membawa saya walaupun harus dibonceng.
Pada hari Sabtu, kami yang akan mengikuti Ngaleut Momotoran ke Pangalengan-Ciwidey diharuskan datang tepat waktu ke Rumah Aleut di Pasirluyu Hilir, yaitu pukul 07.00 teng. Saya bangun pukul setengah 6 pagi. Sebelum mandi, saya mempersiapkan dulu air panas yang akan dibawa dalam termos untuk bekal di perjalanan. Lumayan bisa untuk bikin kopi nanti di perjalanan. Bekal makanan saya persiapkan juga untuk makan siang nanti.
Setelah semuanya siap, kami diberi brefing singkat oleh Bang Ridwan dan Teh Rani tentang hal-hal teknis yang harus diperhatikan selama perjalanan nanti. Oh iya, sebenarnya ada dua kawan lain yang tidak ikut berkumpul di Rumah Aleut pagi itu, yaitu Reza dan Annisa, karena tempat tinggalnya masing-masing di Cilampeni dan di Ciwidey. Bang Ridwan menyuruh mereka untuk menunggu saja di kawasan Alun-Alun Banjaran.
Setelah semuanya siap, saya berpamitan kepada Ibu dan berangkat ke Rumah Aleut. Ternyata sudah ada beberapa kawan yang duduk-duduk di depan teras, di antaranya Adit dan Farly, sedangkan di dalam sudah ada Teh Rani dan Inas sedang sarapan, Oh iya seperti yang sudah saya sebutkan dalam tulisan saya yang pertama, Teh Rani ini adalah salah satu koordinator Aleut, sama seperti kang Ervan, yang kebetulan hari ini tidak bisa ikut momotoran. Bosan kali ya? Karena seminggu sebelumnya pun Komunitas Aleut baru saja mengadakan perjalanan ke Pangalengan hahahah.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh: Inas Qori Aina
Setiap kali mendengar nama Bosscha, yang terlintas di pikiran saya hanyalah peneropongan bintang atau observatorium yang terletak di kawasan Lembang. Hari ini saya mengetahui bahwa Bosscha lebih dari sekadar nama itu, melainkan nama sosok yang punya cukup banyak peran bagi kemajuan Kota Bandung dan tanah Priangan.
Begini kisahnya:
Nama lengkapnya Karel Albert Rudolf Bosscha. Laki-laki kelahiran s-Gravenhage (Den Haag), 15 Mei 1865 ini merupakan anak terakhir dari enam bersaudara. Ayahnya Prof. Dr. J. Bosscha, seorang fisikawan Belanda yang kemudian menjadi direktur Sekolah Tinggi Teknik Delft. Ibunya bernama Paulina Emilia Kerkhoven, putri seorang pemilik salah satu perkebunan teh tertua di Jawa. Trah Kerkhoven inilah yang nantinya membawa Bosscha sampai di tanah Priangan.
Ke Hindia Belanda
Bosscha sempat mengenyam pendidikan dengan berkuliah Teknik Sipil di Politeknik Delft. Pada suatu waktu, Bosscha berselisih dengan dosennya hingga akhirnya Bosscha memilih untuk meninggalkan pendidikannya. Tahun 1887 ia memutuskan untuk pergi ke Hindia Belanda, usianya saat itu baru 22 tahun. Ia hendak ke perkebunan teh di Sinagar Sukabumi milik pamannya, Eduard Julius Kerkhoven. Di sinilah awal Bosscha mempelajari teknik budidaya teh.
Sesampainya di Hindia Belanda, Bosscha tidak lantas menjadi pengusaha perkebunan. Ia sempat pergi menyusul salah satu kakaknya yaitu dr. Jan Bosscha yang bekerja sebagai ahli geologi di Kalimantan. Beberapa tahun Bosscha bersama kakaknya melakukan eksplorasi penambangan emas di Sambas Kecil. Namun pada tahun 1892 Bosscha kembali lagi ke pamannya di Sinagar.
Jan Bosscha di Sambas, Kalimantan Barat. Foto: KITLV.
Menurut Permenkes nomor 1501 tahun 2010, wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.
Menurut Center of Disease Control and Prevention (CDC), wabah atau epidemi adalah penambahan mendadak jumlah kasus suatu penyakit melebihi nilai yang diharapkan yang terjadi pada suatu populasi di suatu kawasan. Epidemi terjadi ketika agen dan penjamu yang cocok muncul pada angka yang cukup. Secara lebih mendalam, epidemi terjadi karena berbagai faktor, antara lain:
Peningkatan jumlah atau virulensi dari agen
Pengenalan agen baru, yang sebelumnya belum pernah terjadi
Cara penularan yang semakin beragam
Perubahan kerentanan faktor penjamu
Sporadik adalah suatu keadaan dimana masalah kesehatan (umumnya penyakit) yang ada di suatu wilayah tertentu frekuensinya berubah-ubah menurut perubahan waktu. Sedangkan endemik memiliki arti suatu masalah kesehatan secara konstan dan terus menerus muncul di suatu wilayah.
Pandemi merupakan kasus epidemi yang telah menyebar dan terjadi di seluruh negara di dunia. Pandemi merupakan suatu kondisi serius dan mendapat penanganan khusus dari Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization.
Menurut Center of Disease Control and Prevention (CDC), wabah atau epidemi adalah penambahan mendadak jumlah kasus suatu penyakit melebihi nilai yang diharapkan yang terjadi pada suatu populasi di suatu kawasan. Epidemi terjadi ketika agen dan penjamu yang cocok muncul pada angka yang cukup. Secara lebih mendalam, epidemi terjadi karena berbagai faktor, antara lain:
Pola Penyebaran Wabah
Wabah atau epidemi dikelompokkan menurut cara penyebaran dan sumber penyebarannya dalam suatu populasi. Wabah dikelompokkan menjadi 3 jenis penyebab utama, yaitu:
Sumber umum
Titik
Berkelanjutan
Berselang
Diperbanyak
Campuran
Lain-lain
Wabah dengan sumber umum adalah wabah dimana sekelompok orang terpapar agen infeksi atau racun dari sumber yang sama. Jika kelompok terpapar dalam waktu yang relatif singkat, sehingga setiap orang yang sakit melakukannya dalam satu masa inkubasi, maka wabah sumber umum selanjutnya diklasifikasikan sebagai wabah sumber titik.
Wabah yang diperbanyak adalah wabah yang menyebar dan menular dari satu orang ke orang lain. Penularan dapat terjadi secara langsung, melalui alat, maupun melalui vektor. Pada jenis wabah ini kasus terjadi lebih dari 1 masa inkubasi. Pada epidemi ini kasus akan berkurang dalam jangka waktu beberapa generasi, baik karena jumlah orang yang rentan menurun atau akibat tindakan intervensi yang efektif.
Beberapa bentuk wabah memiliki karakteristik wabah sumben umum dan wabah yang diperbanyak. Oleh karenanya wabah jenis ini disebut sebagai wabah campuran. Salah satu jenisnya adalah kasus Shigellosis yang mengenai 3000 perempuan yang menghadiri sebuah konser musik. Gejala baru muncul saat mereka sudah kembali ke rumah. Beberapa hari kemudian dilaporkan kasus ini meledak di sebuah area di Amerika Serikat.
Sumber Wabah
Wabah terjadi akibat adanya sumber yang disebut sebagai agen. Agen ini akan menumpangi tubuh dari inang, dan bila telah mencapai jumlah optimum dapat menyebabkan gejala penyakit inang. Wabah dapat berbagai sumber, antara lain:
Zoonosis
Zoonosis merupakan penyakit yang sumber penularannya berasal dari hewan. Hewan menjadi inang sebuah agen dan kemudian menularkannya ke manusia. Hewan yang paling sering menjadi media perantara penyebaran wabah yaitu mamalia. Beberapa penyakit yang termasuk dalam zoonosis adalah flu burung (H5N1), flu babi (H1N1), SARS-Covid19, leptopspirosis, dll.
Keracunan Makanan
Makanan menjadi salah satu media penularan penyakit. Ini dikarenakan makanan merupakan benda yang paling mudah masuk ke dalam tubuh manusia. Makanan telah lama dikenal sebagai sumber sebuah penyakit. Sebuah pepatah Cina Kuno mengatakan, ”kamu adalah apa yang kamu makan”. Makanan yang tidak diolah dengan baik dapat menjadi sumber penyakit. Makanan yang sudah melewati masa kadaluwarsa juga menjadi racun bagi tubuh manusia. Penyakit yang ditularkan melalui makanan antara lain hepatitis A, demam tifoid, keracunan makanan, shigellosis, dll.
Penyakit Menular Seksual
Perilaku seksualitas telah lama menjadi salah satu proses penyebaran penyakit. Hal ini diakibatkan terjadinya interaksi lapisan mukosa antara 2 individu yang berbeda. Perilaku seksual dengan banyak orang menjadi hal yang sangat berisiko. Banyak penyakit telah lama dikenal ditularkan melalui hubungan seksual, antara lain HIV-AIDS, sifilis, gonorea, kutu kelamin, dll.
Wabah Nosokomial
Nosokomial diartikan sebagai segala penyakit yang ditularkan melalui rumah sakit. Rumah sakit sebagai tempat perawatan orang-orang yang memiliki penyakit menjadi tempat yang sangat rawan penularan sebuah wabah penyakit.
Wabah Airborne
Udara dikenal sebagai salah satu media penularan wabah penyakit yang paling mudah dan dapat menyebabkan tingkat pesakitan yang tinggi. Hal ini karena semua manusia menghirup udara sebagai upaya untuk bernapas dan mempertahankan hidupnya. Biasanya penyakit yang disebarkan melalui udara memiliki partikel yang sangat kecil.
Tahapan Wabah & Cara Pengendaliannya
Wabah yang merupakan sebuah fenomena medis dan sosial, membutuhkan pendekatan sosial dalam proses penanganannya. Ancaman penyakit menular baru biasanya dimulai secara lokal, sehingga pemahaman dinamika penyakit menjadi kunci penting dalam usaha pemberantasan wabah penyakit. Hal ini untuk mencegah terjadinya penyebaran yang lebih luas antarmanusia. Dinamika wabah penyakit terjadi dalam 4 tahap.
Tahapan pertama dari sebuah wabah adalah pengenalan atau kemunculan wabah pada suatu komunitas. Tahapan kedua adalah penularan wabah secara lokal. Pada tahap ini terjadi penyebaran patogen. Tahapan ketiga adalah perluasan wabah ke komunitas yang lebih luas. Wabah mulai menular dari manusia ke manusia dalam skala yang luas. Pada tahap ini wabah dapat meluas hingga ke tingkat pandemi. Tahap keempat yang merupakan tahap akhir, terjadi penurunan tingkat penularan. Hal ini terjadi akibat tingkat penularan manusia ke manusia semakin menurun akibat peningkatan kekebalan tubuh pada sebuah komunitas maupun intervensi yang cukup gencar.
Tahapan wabah tersebut menjadi kunci dalam penanganan wabah sehingga setiap tahapan wabah memiliki bentuk penanganan yang berbeda.
Antisipasi
Pada respon tahap awal, kemunculan wabah tidak dapat diprediksi, tetapi masih dapat diantisipasi. Antisipasi mencakup prediksi penyakit yang paling mungkin muncul dan identifikasi pemicu yang akan memperburuk dampak atau memfasilitasi penyebaran.
Deteksi Dini
Wabah penyakit yang muncul dan kembali muncul merupakan penyakit baru yang masih sangat minim informasinya. Oleh karena itu dibutuhkan banyak penyelidikan dan penelitian untuk mendapatkan strategi pengurangan wabah. Wabah penyakit baru juga membutuhkan intervensi baru untuk eradikasinya. Deteksi dini memungkinkan penerapan langkah-langkah penahanan yang cepat dan tepat. Hal ini merupakan kunci untuk mengurangi risiko amplifikasi dan potensi penyebaran yang sangat luas. Deteksi dini dimulai di tempat perawatan kesehatan dengan melakukan pelatihan tenaga kesehatan untuk dapat mengenali wabah penyakit potensial, melaporkan dengan cepat kejadian yang tidak biasa (seperti kelompok kasus atau kematian yang tidak biasa). Peran mereka juga untuk mengurangi risiko penularan komunitas dengan mengisolasi pasien yang sakit parah. Petugas kesehatan juga harus tahu bagaimana melindungi diri mereka sendiri dan menggunakan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi dan bagaimana menghindari wabah yang diperkuat di fasilitas perawatan kesehatan.
Penahanan
Penahanan yang efektif dan cepat dari wabah penyakit baru yang muncul sama pentingnya dengan deteksi dini untuk menghindari epidemi skala besar. Penahanan harus dimulai segera setelah kasus pertama terdeteksi tanpa memandang penyebabnya. Dibutuhkan profesional yang terampil untuk menerapkan tindakan pencegahan yang aman.
Pengendalian dan Mitigasi
Saat ancaman penyakit menular mencapai tingkat pandemi, diperlukan tindaka untuk mengurangi dampak, insiden, morbiditas,dan mortalitas, serta gangguan pada sistem ekonomi, politik, dan sosial.
Pemberantasan
Terdapat tiga kriteria yang perlu dipenuhi untuk memberantas suatu penyakit, antara lain harus ada intervensi yang tersedia untuk menghentikan penularannya. Kriteria selanjutnya adalah harus tersedia alat diagnostik yang efisien untuk mendeteksi kasus yang dapat menyebabkan penularan. Kriteria ketiga adalah manusia harus menjadi satu-satunya reservoir penyakit tersebut.
Upaya Penanggulangan Wabah
Antibiotik
Antibiotik merupakan senyawa yang memiliki efek membunuh atau menghambat perkembangan bakteri. Antibiotik telah digunakan sejak jaman dahulu kala. Catatan mengenai antibiotik pada masa lampau ditemukan pada peradaban Yunani Kuno dan Aztec. Mereka diketahui telah menggunakan daun fillix max atau pakis pria dan minyak chenopodi sebagai obat anticacing. Kandungan minyak atsiri pada chenopodium memiliki efek membunuh cacing yang mnejadi parasit dalam tubuh manusia.
Paul Ehrlich pada 1910 meemukan antibiotik yang disebut sebagai magic bullet. Magic bullet ini mengandung senyawa salvarsan yang memiliki efek mengobati penyakit sifilis. Salvarsan merupakan senyawa turunan arsen. Penemuan Ehrlich ini bermula dari gagasannya mengenai sebuah zat yang dapat membunuh bakteri yang menginfeksi tubuh manusia, tanpa menimbulkan efek bahaya bagi sel tubuh manusia.
Tonggak sejarah penemuan antibiotik adalah saat 1928, ketika Alexander Fleming secara tidak sengaja menemukan penisilin. Alexander Fleming adalah seorang ahli mikrobiologi. Pada suatu akhir pekan, dia meninggalkan cawan petri yang bekas pengembangbiakan bakteri yangs sedang ditelitinya tanpa dicuci. Saat dia kembali ke laboratorium, dia menemukan bahwa bakteri yang dia tumbuhkan ternyata gagal tumbuh dan justru tumbuh beberapa koloni jamur disana. Jamur tersebut adalah jamur Penicillium notatum yang mengandung penisilin. Penelitian mengenai penisilin berjalan beberapa dekade hingga dapat digunakan secara luas sebagai obat antibiotik. Pada 1945 penisilin telah disebarluaskan sebagi obat antibakteri dan pada era itu menjadi era keemasan penisilin. Gerhard Domagk pada 1930 menemuka Protonsil, yang merupakan turunan dari senyawa sulfonamide.
Pada 1943, Selman A Waksman bersama rekannya Albert Schatz berhasil mengisolasi senyawa streptomisin, yang dapat melawan bakteri tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa). Mereka menemukan bahwa pertumbuhan Mycobacterium tuberculosa di cawan petri dihambat oleh pertumbuhan bakteri Streptomyces griseus. Obat ini sampai sekarang masih digunakan sebagai obat tuberkulosis. Selman A Waksman pada 1952 dianugerahi penghargaan Nobel untuk Kedokteran atau Fisika.
Antivirus
Antivirus merupakan senyawa yang digunakan untuk mengatasi penyakit-penyait yang disebabkan oleh virus. Antivirus memiliki kerja menghambat perkembangan virus, bukan membunuh dan merusak komponen tubuh virus. Antivirus pertama kali ditemukan pada 1974 oleh Gertrude Elion. Beliau berhasil menemukan acyclovir yang digunakan sebagai obat mengatasi penyakit herpes hingga sekarang. Perkembangan dalam penelitian dan penemuan antivirus berjalan lambat, tidak seperti antibiotik. Hal ini karena molekul virus yang sangat kecil, kendala dalam penumbuhan virus, dan tingkat perubahan komponen virus yang sangat cepat.
Vaksinasi
Vaksin adalah sebuah senyawa yang digunakan untuk membentuk kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit. Vaksin telah digunakan sejak ratusan tahun lalu. Catatan mengenai vaksin tertua ditemukan di Cina Kuno pada tahun 1500. Pada masa itu para biksu Buddha meminum bisa ular untuk membentuk kekebalan tubuh saat tergigit oleh ular berbisa. Pada masa itu pula telah dilakukan inokulasi atau penanaman virus cacar pada orang hidup. Seseorang yang telah ditanami vírus cacar terbukti memiliki kekebalan terhadap wabah cacar yang sedang menjangkiti Cina. Kaisar K’ang Hsi diketahui selamat dari wabah smallpox, dan ternyata beliau mendapat penanaman vírus cacar saat masih kecil.. Pada 1661 K’ang Hsi memerintahkan semua keluarga dan rakyat untuk dilakukan inokulasi vírus cacar agar wabah ini dapat menyelamatkan sleuruh kerajaannya. Ayah Kaisar K’ang Hsi, Kaisar Shenzi diketahui meninggal akibat cacar (small pox). Praktik inokulasi ini juga terjadi di India.
Edward Jenner pada 1796 menguji hipotesis bahwa infeksi cacar sapi dapat melindungi seseorang dari infeksi cacar. Pada 14 Mei 1796, Jenner menyuntik James Phipps yang berusia 8 tahun dengan materi dari cacar sapi yang menjangkiti tangan gadis pemerah susu bernama Sarah Nelmes. Phipps mengalami reaksi lokal dan merasa tidak enak selama beberapa hari tetapi sembuh total. Pada Juli 1796, Jenner menyuntik Phipps dengan materi yang diambil dari luka cacar manusia baru, seolah-olah ia sedang memberi infeksi anak laki-laki itu, dalam upaya untuk menantang perlindungan dari cacar sapi. Phipps tetap sehat. Jenner selanjutnya mendemonstrasikan bahwa materi cacar sapi yang dipindahkan dalam rantai manusia, dari satu orang ke orang lain, memberikan perlindungan dari cacar.
Louis Pasteur mengenalkan vaksin rabies dengan menumbuhkan virusnya pada kelinci. Pada 1885 vaksin ini ditanamkan pada tubuh seorang anak laki-laki berusia 9 tahun bernama Joseph Meister. Joseph kemudian diawasi selama 3 bulan berturut-turut dan ternyata dia selalu dalam kondisi sehat.
Albert Calmette, seorang fisikawan dan bakteriologis asal Perancis bersama rekannya Camille Guerin, berhasil menemukan vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin) yang berhasil menangkal wabah tuberkulosis. Awalnya mereka berhasil menumbuhkan bakteri tuberkulosis pada médium campuran gliserin, empedu, dan kentang. Pada 1921 BCG pertama kali sukses ditanamkan pada manusia. BCG memiliki keefektivan yang tingi dalam mencegah tuberkulosis meningitis.
Perlindungan Terhadap Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan merupakan pihak yang paling berisiko terkena wabah saat sebuah wabah muncul di suatu populasi. Perlindungan terhadap tenaga kesehatan menjadi hal yang sangat penting, karena tenaga kesehatan menjadi salah satu kunci dalam penanganan wabah. Baju perlindungan bagi tenaga kesehatan telah lama dikembangkan sejak 500 tahun lalu. Pada abad ke-14 dokter Pes diberi tugas untuk mendatangi rumah-rumah orang yang diduga terkena Pes untuk memeriksa dan memastikan diagnosanya. Baju Hazmat menjadi satu-satunya pelindung bagi mereka. Saat itu baju pelindung berupa jubah panjang yang terbuat dari kulit dengan topi dan masker wajah. Masker wajah terbuat dari kayu dengan lubang pada mata yang diberi kaca. Pada bagia tengahnya terdapat moncong berbentuk seperti paruh burung yang digunakan sebagi tempat menyimpan bahan aromaterapi yang dipercaya dapat menangkal wabah pes. Aromaterapi tersebut terdiri dari bunga kering, herba, rempah, kamper, dan cuka.
400 tahun kemudian saat perang dunia pertama, pakaian pelindung kembali dikembangkan mengikuti model pakaian dokter pes. Pakaian ini digunakan untuk mencegah terjadinya kontak terhadap cairan kimia dan senjata biologis yang banyak digunakan pada PD I. Pada masa ini pakaian pelindung dikembangkan dengan model menutup seluruh tubuh dengan alat bantuan napas di bagian dalalamnya. Pada masa perang dunia kedua, produksi pakaian pelindung telah sampai pada tahap masal dan bentuk yang modern. Noddy suit yang dikembangkan oleh tentara Inggris saat itu memiliki keunggulan dapat ditarik secara cepat ke atas. Pada masa selanjutnya pengembangan pakaian pelindung mengalami loncatan yang jauh. Pakaian pelindung menjadi lebih tipis, lebih murah, lebih aman, dan hanya digunakan untuk 1 kali penggunaan.
Karantina
Kata karantina berasal dari bahasa Italia quarantinari, yang memiliki arti 40. Kata itu pertama kali digunakan dalam bahasa Inggris pada 1617 untuk merujuk pada masa selama 40 hari yang digunakan untuk menahan kapal yang diduga membawa orang yang terinfeksi. Sumber lain mengatakan bahwa kata karantina telah digunakan sejak abad 14 saat terdapat usaha menahan kota-kota pantai dari wabah pes. Saat itu semua kapal yang datang dari pelabuhan yang diduga terinfeksi, diwajibkan untuk berdiam diri di laut selama 40 hari sebelum mendarat di pelabuhan. Pada 1370 Venesia memberlakukan peraturan ini.
Penyebutan awal isolasi terkutip dalam Alkitab Kitab Imamat yang ditulis pada abad ketujuh sebelum masehi, yang menjelaskan mengenai tata cara memisahkan orang yang terinfeksi untuk mencegah penyebaran penyakit di bawah Hukum Musa.
Pada masa perkembangan agama Islam, Nabi Muhammad bersabda mengenai karantina, ”Mereka yang memiliki penyakit menular harus dijauhkan dari mereka yang sehat”. Ibnu Sina juga merekomendasikan karantina bagi para penderita tuberkulosis. Pada tahun 706 hingga tahun 707, pemimpin Dinasti Umayyah ke-6, Khalifah Al-Walid I membangun rumah sakit pertama di Damaskus dan mengeluarkan perintah untuk mengisolasi mereka yang terinfeksi kusta. Praktik karantina kusta di rumah sakit ini berlanjut hingga tahun 1431, ketika Ottoman membangun rumah sakit kusta di Edirne.
Pada abad 19 wabah demam kuning melanda kota-kota di Amerika Utara, terutama di Philadelphia. Pemerintah negara bagian saat itu menerapkan peraturan cordon sanitaire sebagai tindakan karantina wilayah untuk mengontrol pergerakan orang yang masuk dan keluar komunitas yang terkena dampak wabah. Saat wabah influenza tahun 1918 beberapa komunitas menerapkan perlindungan sequestrasi agar orang yang terinfeksi tidak menularkan influenza ke orang yang sehat. Sebagian besar negara di Eropa menerapkan berbagai stratgei pertahanan, termasuk isolasi, pengawasan, penutupan sekolah, gereja, gedung kesenian, dan membatasi acara masal.
Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan menurut Piagam Ottawa yang diselenggarakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) pada 1986 memiliki definisi sebagai proses yang memungkinkan orang untuk meningkatkan kendala atas dirinya guna memperbaiki taraf kesehatannya.
Promosi kesehatan telah dimulai sejak tahun 5000 SM saat kebudayaan India Kuno mencatatkan dalam Ayurveda mengenai higienitas personal, sanitasi, pengairan, dan tehnik yang mendukung perbaikan dalam bidang kesehatan. Kedokteran Cina Kuno sejak tahun 2700 SM telah mencatatkan mengenai higienitas, diet, hidroterapi, pemijatan, dan imunisasi. Tahun 200 SM masyarakat Mesir Kuno mengembangkan sistem dalam masyarakat untuk mengumpulkan air hujan, membuang limbah, dan menginokulasikan virus cacar untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Catatan mengenai promosi kesehatan juga ditemukan dalam kode Hammurabi dan Hukum Musa. Disana dicatat mengenai pencegahan penyakit, pembuangan limbah, dan pemisahan orang yang terinfeksi dari masyarakat sehat, terutama bagi penderita kusta. Hukum Musa juga mengajarkan mengenai hari istirahat pada setiap minggu yang juga berguna untuk alasan agama.
Promosi kesehatan berlanjut seiring perkembangan peradaban manusia dalam berkomunikasi. Wabah yang bermunculan pada abad 18 hingga sekarang menjadikan manusia mulai memikirkan melakukan promosi kesehatan melalui poster. Berbagai poster diciptakan sebagai upaya mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya hidup sehat.
Perbaikan Kesehatan Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam perkembangan dan pengendalian wabah. Kesehatan lingkungan, dalam hal ini sanitasi, sistem penyediaan air, dan sistem pengolahan limbah telah menjadi fokus manusia dalam mencebah munculnya penyakit. Manusia pada masa lalu membangun tempat tinggal dimana sumber air bersih tersedia melimpah, dan akses terhadap pembuangan limbahnya mudah.
Pada masa Neolitikum telah ditemukan bahwa manusia telah mengeruk tanah untuk menemukan sumber air. Sebuah bukti ditemukan di Lembah Jazreel, Israel pada masa 6500 SM manusia telah membuat sumur air dengan mengeruk tanah di sekitar pemukimannya. Kebudayaan Mesopotamia mengenalkan pipa pembuangan yang terbuat dari tanah liat sejak 4000 SM. Bukti ini ditemukan di dekat Kuil Bel di Nippur dan Eshnunna yang digunakan untuk membuang air limbah dari situs tersebut. Kota Uruk juga memperkenalkan contoh jamban pertama yang terbuat dari batu bata sejak 3200 SM.
Sistem sanitasi pada masa era modern mengalami banyak perkembangan. Kota-kota seperti Istambul, Roma, dan Fustat memiliki jaringan pembuangan yang masih digunakan hingga saat ini. Alih-alih mengalirkan ke sungai atau laut, kota-kota tersebut mengalirkan sistem pembuangannya ke penampungan pengolahan limbah. Pertumbuhan kota yang sangat pesat pada masa Revolusi Industri menyebabkan jalanan kota menjadi kotor dan menjadi media penyebaran penyakit. Seiring perkembangan kota di abad 19, semakin banyak kekhawatiran mengenai kesehatan masyarakat. Tren kota-kota di dunia pada masa itu adalah membangun sistem saluran pembuangan untuk mengendalikan wabah penyakit seperti tifus dan kolera. Awalnya sistem ini membuang limbah langsung ke permukaan air tanpa pengolahan. Namun pada masa selanjutya, kota-kota berusaha mengolah limbah sebelum dibuang untuk mencegah polusi air dan penyakit yang ditularkan melalui air. Selama setengah abad sekitar tahun 1900, intervensi kesehatan masyarakat ini berhasil secara drastis mengurangi kejadian penyakit yang ditularkan melalui air di antara penduduk perkotaan, dan merupakan penyebab penting dalam peningkatan harapan hidup yang dialami pada saat itu.
Masalah sanitasi ini juga terjadi di Hindia Belanda, terutama di kampung-kampung yang banyak dihuni oleh warga pribumi. Para warga tersebut hidup di bawah garis kemiskinan dan lebih mementingkan masalah menyambung hidup dibanding kesehatan lingkungan. Kampung-kampung yang kumuh dan tidak tertata tersebut juga menjadi tempat berkembangnya wabh pada masa lalu. Pada 1920 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan Kampongverbetering atau perbaikan kampung. Kebijakan ini adalah buah dari politik etis yang dijalankan oleh Belanda dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan dan kesehatan warga pribumi di tanah jajahan. Kebijakan ini berhasil menata dan membersihkan kampung-kampung yang dulu dikenal kumuh dan kotor. Beberapa contoh kampung di Kota Bandung yang merupakan hasil dari kebijakan Kampongverbetering adalah kawasan Gempol, Astana Anyar, Ciateul, dan kawasan Jalan Rasamala yang ditata hingga tahun 1935. Di Kota Semarang kampung yang pertama kali berhasil ditata adalah Kampung Pungkuran pada 1929. 2 tahun kemudian pada 1931 terdapat 7 kampung yang berhasil ditata, antara lain Karangasem, Kebonsari, Pederesan, Kebonagung, Tamanharjo, Petelan, dan Rejosari. Dana yang digunakan berasal dari pemerintah pusat dan pemeritah gemeente.
Keterlibatan Pengambil Kebijakan
Pengambil dan pemegang kebijakan, dalam hal ini pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam pengendalian wabah. Semua kegiatan dalam pengendalian wabah membutuhkan dukungan pemerintah. Kebijakan pemerintah dalam bentuk undang-undang dan peraturan menjadi payung hukum dalam penanganan wabah. Selain itu dukungan dana menjadi sangat penting.
Fathonil Azis adalah seorang dokter dan aktif di Komunitas Aleut sejak masih berstatus mahasiswa kedokteran di sebuah universitas di Bandung.