Category: Momotoran (Page 4 of 6)

Dua Malaikat di Cisarua Utara

Tulisan ini merupakan lanjutan dari perjalanan Ngaleut Bogor yang diselenggarakan oleh Komunitas Aleut.

Patung dua malaikat, di salah satu nisan komplek permakaman Cisarua Utara. Foto: Aditya Wijaya

Komplek Permakaman Cisarua Utara letaknya tak jauh dari Jalan Raya Utama Cisarua-Puncak. Alamat lengkapnya di Jl. Alternatif Tapos-Ciawi. Permakaman ini berada di pinggir jalan dan tertutup oleh warung dan bengkel motor. Luas makam Cisarua Utara lebih sempit dibanding Cisarua Selatan. Tembok sekeliling makam sudah padat oleh rumah-rumah penduduk.

Continue reading

Memento Mori; Perkebunan Cisarua Selatan & Keluarga Keuchenius

Oleh: Aditya Wijaya

Permakaman Cisarua Selatan. Foto: Aditya Wijaya

Uih deui weh ka jalan ageung, teras ka kenca, engke aya bengkel, tah ti jalan sapaliheunana lebetna,” itu informasi dari seorang penjaga toko di Cisarua ketika kami salah ambil jalan.

Pagi itu saya bersama Komunitas Aleut mencari dua lokasi permakaman eks pemilik Perkebunan Cisarua di Cisarua, Kabupaten Bogor. Perkebunan Cisarua terbagi dalam dua bagian, Cisarua Utara dan Cisarua Selatan. Di masa lalu, wilayah perkebunan ini merupakan bagian Keresidenan Batavia dan Afdeling Buitenzorg.

Pemilik Kebun Cisarua Utara adalah J.M. Bik dengan administratur F.E. Keuchenius, sementara Kebun Cisarua Selatan dimiliki oleh B.Th. Bik yang merangkap sebagai administratur. Pada 1 Januari 1894 tercatat jumlah penduduk di Perkebunan Cisarua Utara sebanyak 3823 jiwa dan 3202 jiwa di Cisarua Selatan.

Continue reading

Momotoran Dewata Tembus Pangalengan

Penulis: Wikayatul Kamila

Aku jarang bepergian, dan tak pernah menggunakan motor untuk perjalanan yang cukup jauh. Momotoran dari Bandung ke Ciwidey adalah pengalaman pertamaku. Sebelum pergi, Teh Rani memberiku beberapa link tulisan catatan perjalanan berjudul Dewata, katanya kita akan ke sana. Aku membaca tulisan itu sambil mengemasi barang bawaan.

Sebelum berangkat Teh Rani memberiku pesan “Lamun cape atau cangkeul bebeja we nya,” begitu katanya. Kami tiba di Ciwidey sekitar pukul 7 malam, dan menginap di rumah A Eza. Begitu sampai, aku langsung memijat kakiku yang terasa pegal. Di sini kami merayakan tahun baru dengan acara bakar-bakar dan memasak tomyam, lalu setelahnya jalan-jalan ke Alun-alun Ciwidey yang dipadati pedagang dan pengunjung. Saat pergantian tahun, suasana ramai dan banyak kembang api dinyalakan.

Pagi hari di tahun baru, kami segera bersiap untuk berangkat momotoran ke Dewata. Menikmati suasana pagi di atas motor tidaklah buruk, aku menikmati pemandangan sekitar, namun keadaan pagi itu jangan ditanya seberapa dinginnya, tangan serta kaki rasanya seperti membeku.

Continue reading

Momotoran Djamboe Diepa, Makam Tua di Pangheotan

Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Beberapa bulan lalu Komunitas Aleut mengadakan Momotoran dengan tema mencari jejak Dipati Ukur. Momotoran ini mengunjungi beberapa tempat yang berkaitan dengan Dipati Ukur seperti Pabuntelan dan Gunung Lumbung. Tulisan Momotorannya dapat teman-teman lihat di website Komunitas Aleut.

Mencari sumber tertulis mengenai Dipati Ukur cukup sulit, salah satu sumber yang kami akses mengenai Dipati Ukur adalah catatan perjalanannya Van Oort dan Muller yang diterbitkan tahun 1833.  Selain pencarian tulisan di catatan perjalanan Van Oort dan Muller mengenai Dipati Ukur kami juga menemukan tulisan sebuah makam keramat yang berada di ketinggian ditanami pohon hanjuang dan dikelilingi parit. Warga sekitar menyebut tempat ini sebagai sisa peninggalan Negara Dalem Djamboe Diepa.

Continue reading

Ikut Muludan di Batukarut dan Rancakalong

Oleh Deuis Raniarti

Selepas dari masa pandemi yang berlangsung sejak dua tahun lalu, sekarang sudah mulai banyak kegiatan offline atau luar ruang dilakukan oleh masyarakat, sekalipun tetap masih ada aturan tertentu, seperti disiplin dan penggunaan perangkat prokes.

Karena kondisi yang sudah lebih longgar itu pulalah belakangan ini Komunitas Aleut mulai banyak mengadakan dan mengikuti kegiatan luar ruang. Selain permintaan beberapa materi tour sejarah dari beberapa lembaga, kami juga mengikuti beberapa kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak-pihak lain. Kebetulan pula ada beberapa kegiatan yang cukup menarik perhatian kami, mulai dari Dieng Culture Festival pada awal bulan September lalu, sampai kegiatan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW atau muludan di dua lokasi berbeda.

Tulisan ini hanya terkait dua kegiatan paling akhir kami ikuti saja, yaitu muludan, masing-masing di Bumi Alit Kabuyutan di Banjaran, dan Seni Ormatan Tarawangsa di Rancakalong Sumedang. Dua kegiatan ini yang membuat aku kali ini tidak pulang ke Cianjur dan merayakannya bersama keluarga di kampung.

Continue reading

Keadaan Pabuntelan Sekarang (Jejak Dipati Ukur)

Ditulis oleh: Deuis Raniarti

Belakangan ini di grup whatsApp kami agak banyak membahas tokoh Dipati Ukur dan berbagai tinggalannya, terutama beberapa nama tempat yang tertulis di buku Ceritera Dipati Ukur karya E. Suhardi Ekajati (1982). Salah satu nama tempat yang cukup penting adalah Pabuntelan yang disebut sebagai ibu kota Tatar Ukur, namun tak banyak orang yang menceritakan kondisinya sekarang, jadi kaya apa ya lokasi Pabuntelan sekarang?

Buat pengantar momotoran kami kali ini, seorang teman menyalinkan teks dari buku yang disebut barusan: Lokasi ibukota daerah Ukur, terletak di suatu tempat yang disebut Pabuntelan, termasuk desa Tenjonagara, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung. Hingga akhir abad yang lalu di tempat itu masih didapatkan kuburan, piagam, naskah, tumpukan batu, dan benda-benda lain yang dianggap keramat (P de Roo de la Faille, 1895:7-8). Peninggalan-peninggalan tersebut sekarang sudah hampir tidak ada lagi. Barangkali hanya sebuah kuburan dan kepercayaan sebagian kecil penduduk yang masih bersisa kini. Utunglah piagam-piagam tentang pengangkatan atau pengukuhan juru kunci tempat keramat tersebut masih dapat diselamatkan dengan dibuatkan salinannya. Salinan piagam-piagam itu terdapat di Universiteit Biblotheek Leiden sebagai naskah dengan kode Lor,8294.

Continue reading

Mengunjungi Jejak Dipati Ukur – Episode Kesekian

Dalam obrolan sehari-hari di Komunitas Aleut ada banyak sekali topik yang dibahas berulang-ulang, seakan tidak pernah ada habisnya. Selain soal sejarah Bandung secara umum, biasanya juga tentang permuseuman, percagarbudayaan, kampung-kampung, kuliner tempo dulu, atau tokoh-tokoh masa lalu, baik dari kalangan pribumi ataupun bangsa lain. Salah satu yang sangat sering dibicarakan adalah tokoh Dipati Ukur. Kebetulan pula beberapa hari lalu, salah seorang rekan kami yang sedang menumpang ojek online mendapatkan pertanyaan tiba-tiba dari drivernya, “Ai Dipati Ukur teh nyaan aya?”

Dalam disertasinya yang dibukukan oleh penerbit Pustaka Jaya tahun 1982 dengan judul Ceritera Dipati Ukur; Karya Sastra Sejarah Sunda, Dr. E. Suhardi Ekadjati menuturkan bahwa Ceritera Dipati Ukur melukiskan peristiwa yang sungguh-sungguh pernah terjadi pada awal abad ke-17 Masehi. Kesaksian-kesaksian orang-orang Belanda pada waktu terjadinya peristiwa yang berupa catatan harian Kompeni (dagh register) dan catatan serta kesaksian-kesaksian lainnya yang didapatkan di daerah Bandung, membuktikan hal tersebut.

Continue reading

Momotoran Paranggong: Camara, Londok sampai Puncakbaru.

Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Berfoto dengan latar belakang Cagar Alam Gn. Simpang. Foto: Komunitas Aleut

“Paranggong euy!” gumam saya dalam hati.

Semalam di Ciwidey terasa cepat dan langit sudah terang kembali, sudah beberapa kali momotoran kami selalu menginap semalam sebelum besoknya menempuh perjalanan, cara ini dilakukan agar bisa menghemat tenaga dan bisa memulai perjalanan lebih dekat. Sebenarnya niatan untuk momotoran ke Paranggong ini baru diputuskan ketika menginap, niat awalnya sih staycation hehe.

Kami memulai perjalanan dari penginapan yang tak jauh dari Jl. Alamendah menuju Kampung Camara. Sepanjang jalan ke Camara ya lumayanlah engga jelek-jelek banget, udah ada cor beton meskipun baru dikit, kata warga itu bantuan dari perusahaan gas. Sebelum sampai Camara sudah ada korban motor kempes, motor Ervan langganan bocor kalau momotoran haha. Sembari menunggu motor yang bocor di Camara, saya dan Pahep mengobrol dengan guru SD Kendeng. Dia bercerita banyak hal mengenai kondisi sekolah, salah satunya tentang satu kelas yang hanya berisikan tiga orang siswa. Pak guru ini pun setiap hari harus menempuh perjalanan Ciwidey-Camara untuk mengajar. Jadi malu rasanya kalau kadang ada yang menyebut perjalanan momotoran kami ini sebagai petualangan mengingat banyak warga yang setiap hari bolak-balik menempuh puluhan kilometer jalanan rusak untuk pekerjaan sehari-hari mereka.

Continue reading

Momotoran Gas Tipis ke Timur: Jejak Kereta Api, Ubi Cilembu, Radio Rancaekek, sampai Candi

Ditulis oleh: Inas Qori Aina

Saya senang karena selalu ada cerita berbeda di setiap Momotoran. Diawali dengan keberangkatan yang agak siang dan perjalanan yang mengarah ke timur, terasa asing karena biasanya jalur selatan yang selalu menjadi jalur utama setiap kali momotoran.

Tema momotoran kali ini adalah Jejak Kereta Api Bandung-Tanjungsari. Sabtu, 30 Januari 2021, saya bersama teman-teman ADP 2020 menyambangi beberapa tempat yang berkaitan dengan jejak jalur Kereta Api Bandung-Tanjungsari yang sudah lama tidak aktif. Kami berangkat dari sekretariat Komunitas Aleut melalui jalur yang sering saya sebut sebagai jalur neraka, karena kemacetannya yang selalu menguji kesabaran, Jalan Soekarno Hatta lalu Cibiru-Cileunyi-Jatinangor.  

Atas: Plang Makam
Bawah: Jembatan Cincin diambil dari pemakaman
Foto: Inas Qori Aina

Tempat pertama yang kami tuju adalah Jembatan Cincin di Cikuda, Jatinangor. Jembatan ini biasanya hanya saya pandangi dari kampus tempat saya berkuliah. Baru kali ini saya menginjakkan kaki di atas jembatan ini. Bukan Cuma berjalan di atasnya, tapi kami pun menyempatkan untuk turun ke bawahnya dan mengamatinya dari area persawahan. Di bawah sini ada sebuah permakaman kecil yang katanya ada makam keramatnya, tapi entah makam yang mana. Dari pemakaman kecil ini kami dapat melihat secara utuh konstruksi jembatan itu.

Cukup lama kami eksplorasi di sekitar Jembatan Cincin Cikuda, sesekali kami juga menyimak berbagai informasi dan cerita yang disampaikan. Berikutnya, kami berangkat lagi menuju titik selanjutnya, yaitu Jembatan Cincin Kuta Mandiri. Untuk menuju jembatan ini kami melalui jalan perdesaan dengan pemandangan sawah yang terhampar di kiri dan kanan jalan. Jembatan ini terletak di tengah Desa Kuta Mandiri, Tanjungsari, sehingga tak heran masih menjadi jalur utama mobilitas warga desa. Ketika kami tiba di sana kami pun harus berhati-hati karena banyaknya kendaraan yang melintas di jembatan ini.

 Jembatan Cincin Kuta Mandiri Foto: Inas Qori Aina

Bentuk jembatan ini mirip dengan Jembatan Cincin Cikuda. Bedanya, di jembatan ini masih dapat dijumpai semacam tempat yang dulu digunakan untuk minggir (safety area) di saat kereta api melintas.

Setelah mendapatkan cerita tentang sejarah jembatan ini, kami bergegas menuju bekas Stasiun Tanjungsari. Bangunan bekas stasiun tersebut kini terletak di tengah permukiman warga yang cukup padat. Hanya sedikit peninggalan yang dapat saya lihat, yaitu papan nama stasiun serta bangunan bekas peron stasiun yang kini digunakan entah sebagai rumah atau taman kanak-kanak. Menurut Pa Hepi, bagian depan dari Stasiun Tanjungsari kini sudah tidak tersisa lagi.

Yang tersisa dari bekas Stasiun Tanjungsari foto: Inas Qori Aina

Tidak jauh dari Stasiun Tanjungsari, terdapat viaduct Tanjungsari yang dibangun melintasi Jalan Raya Pos. Bentuknya mirip dengan viaduct yang berada di Bandung. Hanya saja, Viaduct Tanjungsari tampak lebih sederhana dan lebih pendek.

Dari Tanjungsari kami melanjutkan perjalanan ke Citali. Saya dan teman-teman berhenti di pinggir jalan untuk memarkirkan kendaraan dan berjalan kaki, ngaleut, menuju area persawahan milik warga sana. Siapa sangka, di tengah area sawah milik warga terdapat dua buah struktur bekas fondasi jembatan yang tidak selesai dibangun. Kami hanya memandangi struktur tersebut dari kejauhan, karena tidak berani melintasi jembatan kayu kecil yang di bawahnya terdapat aliran sungai yang terlihat tenang tapi mungkin cukup dalam.

Jembatan kayu menuju bekas jembatan kereta api di Citali Foto:Inas Qori Aina

Perjalanan ini tidak cukup sampai di Citali, dan bukan hanya tentang kereta api. Satu yang tak kami lewatkan yaitu untuk mampir ke sentra ubi Cilembu yang berada di Desa Cilembu. Ketika memasuki gapura desa tampak kebun ubi yang terhampar di kiri dan kanan jalan. Kami pun menyempatkan untuk mampir ke sebuah warung ubi Cilembu milik seorang warga lokal. Di sini kami berbincang mengenai asal mula berkembangnya ubi Cilembu hingga menjadi oleh-oleh yang terkenal saat ini.

Kebun ubi Cilembu Foto: Inas Qori Aina

Oleh-oleh ubi Cilembu telah kami kantongi, saatnya kami melanjutkan perjalanan untuk pulang. Perjalan pulang kami melewati jalur yang berbeda dengan saat kami berangkat. Perjalanan kami melewati Parakan Muncang dan melewati jalur Cicalengka-Rancaekek. Di tengah jalan raya Rancaekek tampak plang yang tidak telalu besar bertuliskan “Situs Candi Bojong Menje”. Untuk menuju situs candi tersebut kami harus memasuki sebuah gang yang cukup kecil. Saya tak habis pikir ketika tiba di sini. Konstruksi batuan candi hanya dilindungi oleh sekeliling pagar yang sudah karatan serta atap yang rusak.

Berbincang dengan Pak Ahmad, kuncen Candi Bojong Menje Foto: Komunitas Aleut

Di sini kami berbincang dengan penjaga candi yaitu Pak Ahmad. Ia menceritakan bagaimana awal mula penemuan situs ini serta kemungkinan masih adanya struktur candi lain yang kini berada di tengah bangunan pabrik.

Tak lama, kami pun melanjutkan perjalanan lagi. Di tengah jalan kami berhenti di sebuah bangunan bekas Stasiun Penerima Radio Nederlands Indische Radio Omroep (Nirom). Kata Pa Hepi, bangunan tersebut kini digunakan sebagai bengkel entah oleh siapa dan masih dimiliki oleh PT Telkom.

Waktu semakin petang, kami mengejar waktu agar sempat untuk melihat satu lagi candi yang masih terletak di Kabupaten Bandung. Beruntungnya, matahari masih mau menemani kami sehingga saat kami tiba keadaan belum terlalu gelap. Candi terakhir yang kami singgahi adalah Candi Bojongemas. Keadaan di sini justru lebih parah daripada Candi Bojong Menje. Papan informasi sudah berkarat dengan tulisan yang tidak cukup jelas. Batuan candi pun hanya dikelilingi oleh pagar kayu yang sangat rentan untuk rusak.

Keadaan di sekitar Candi Bojongemas Foto: Inas Qori Aina

Hanya sebentar kami melakukan pengamatan, keadaan pun semakin gelap. Tandanya perjalanan kami hari itu selesai, dan harus segera pulang. Di perjalanan pulang, pikiran saya tak karuan merenungkan pengalaman dari perjalanan Momotoran ke kawasan timur yang baru saja saya lalui, seperti yang tidak asing karena sering dilalui, tapi ternyata punya banyak peninggalan masa lalu yang rasanya tidak terlalu populer dan jarang dibicarakan orang…

***

Tak Cukup Dua Hari di Desa Cibuluh

Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.

Ditulis oleh: ADP-2020

Sebagaimana pemandangan umum desa pergunungan, begitu pula yang terhampar di Desa Cibuluh. Asri dan menyegarkan. Yang berbeda mungkin ini: Tak perlu angkat kepala tinggi-tinggi untuk melihat rangkaian pergunungan yang mengitari kawasan desa ini. Tak perlu pula menatap jauh-jauah untuk menyaksikan hamparan persawahan yang luas. Semua terbentang dalam jangkauan pandang pendek saja.
Ya, itulah Desa Cibuluh di Kecamatan Tanjungsiang, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Selama dua hari, 5-6 Desember lalu, tim Aleut Development Program (ADP) menyambangi desa asri yang sudah berstatus sebagai Desa Wisata sejak tahun 2017 ini. Kedatangan kami bertepatan waktunya dengan kegiatan Workshop Identifikasi Koleksi Ecomuseum Cibuluh yang diselenggarakan oleh Yayasan Bale Budaya Bandung dan Asosiasi Museum Indonesia Daerah (AMIDA) Jawa Barat. Kebetulan salah satu pengaping kami menjadi narasumber dalam kegiatan itu.

Seperti juga beberapa kegiatan ADP yang lalu, di Cibuluh ini pun kami mendapatkan tugas, yaitu melakukan eksplorasi, merancang tulisan, informasi grafis, dan feature video. Kami dibagi ke dalam tiga kelompok untuk mengerjakan semua tugas itu.

Masuk kawasan Cibuluh, kami diarahkan menuju satu lokasi yang disebut Saung Mulan. Sebetulnya ini bukan saung betulan seperti yang dimaknai dalam bahasa Sunda, yaitu gubug atau dangau, melainkan sebuah rumah permanen dengan teras yang diberi atap jerami. Begitu pula teras di depan pintu utama, beratapkan jerami. Di paviliun, dibangun tempat serupa kafe dengan beberapa meja dan kursi yang semuanya terbuat dari kayu. Beda dengan teras depan, kafe ini beratapkan genting.
Dari halaman Saung Mulan ini terhampar pemandangan perkampungan dengan latar belakang persawahan dan jajaran perbukitan di kejauhan. Rupa bumi Desa Cibuluh berbukit-bukit dan berlembah, sehingga ketinggian kawasan permukiman pun berbeda-beda mengikuti relief bumi. Tim ADP mendapatkan satu rumah warga yang terletak agak di bawah untuk digunakan sebagai basecamp, sementara tempat berkoordinasi yang disepakati adalah Saung Mulan, maka lumayanlah naik-turunnya bila harus bolak-balik antara saung dan basecamp.

Rumah-rumah warga di sekitar Saung Mulan terhitung padat, jarak antarrumah sangat sempit, bahkan tak jarang tak menyisakan ruang kosong sebagai sarana jalan, sehingga seringkali para pejalan harus menggunakan halaman rumah orang sebagai akses jalan. Kondisi begini malah jadi pengalaman baru yang unik untuk sebagian kami. Lelah pasti terasa, tapi rasa senang selalu mengikuti.

Kawasan Pemukiman Desa Cibuluh dilihat dari Saung Mulan. Foto: Komunitas Aleut

Bentang alam pedesaan yang asri dan memikat hati ini mendorong lahirnya gagasan baru, yaitu menjadikannya sebagai sebuah ecomuseum. Ide ini digodog melalui sebuah kegiatan Saresehan di Kantor Desa Cibuluh pada bulan November 2018. Salah satu materi yang disampaikan dalam saresehan itu adalah konsep-konsep dasar tentang ecomuseum serta perumusan daya tarik apa saja yang dapat dikembangkan dari Desa Cibuluh. Selang dua tahun, kami datang lagi dan mencoba melihat langsung berbagai daya tarik tersebut.

Budaya Sungai
Desa Cibuluh memiliki kekayaan sungai yang luar biasa, paling tidak, dari jumlah sungai melewatinya, sebanyak 7 batang sungai. Ketujuh sungai tersebut adalah Ci Punegara, Ci Kembang, Ci Leat, Ci Karuncang, Ci Landesan, Ci Teureup, dan Ci Nyaro. Tak heran bila kebudayaan berbasis sungai hidup di desa ini. Warga desa memanfaatkan sungai untuk pengairan sekaligus sebagai sarana menanam ikan. Kuliner berbahan ikan sangat mudah ditemukan di desa ini.

Sungai juga dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata, seperti penyediaan fasilitas permainan air, mulai dari yang tradisonal seperti papancakan atau icikibung, sampai ke arung jeram yang dikelola secara profesional. Ke arah sungai mana saja langkah kaki kita arahkan, maka akan kita temukan kelompok anak-anak yang bermain air. Yang lebih dewasa, asyik menangkap ikan dengan teknik tradisional, seperti ngeprok, ngecrik, posong, badodong, atau ngagogo.

Teknik menangkap ikan secara tradisional terpelihara dengan baik berkat adanya warga desa yang peduli dan bergabung dalam komunitas perawat sungai, yaitu Lintar Mania. Komunitas ini berupaya melakukan pelestarian budaya sungai, di antaranya dengan menerapkan proses penangkapan ikan dengan tata cara tradisional sehingga dapat memelihara keseimbangan ketersediaan ikan serta tidak merusak lingkungan.
Langkah yang lebih jauh dilakukan dengan penyelenggaraan perhelatan tahunan, Festival 7 Sungai. Selain berbagai kegiatan harian warga yang berhubungan dengan sungai, dalam festival ini juga dipertunjukkan berbagai bentuk kesenian, seperti teater, pencak silat, jaipongan, dan gembyung.

Festival 7 Sungai pada tanggal 12 Oktober 2019 ini adalah yang keempat kalinya diselenggarakan di Desa Cibuluh. Foto: Media Indonesia/Reza Sunarya.

Festival Angin
Festival 7 Sungai bukanlah satu-satunya perhelatan besar yang melibatkan banyak warga desa di Cibuluh, masih ada Festival Angin. Menurut kurator Festival Angin, Bambang Subarnas, warga Desa Cibuluh cukup akrab dengan musim angin barat, yaitu hembusan angin yang datang dari Laut Jawa di sekitar Indramayu menuju ke selatan, melewati lembahan Pasir Ciheulang, Gunung Banjaran, dan Gunung Pasir Cigore. Setelah melewati lembahan Desa Cibuluh, angin naik ke arah Gunung Canggah. Proses ini berlangsung selama tiga bulan, antara bulan Desember sampai Maret.

Di Desa Cibuluh dan wilayah sekitarnya, fenomena angin barat ini melahirkan tradisi permainan kolecer atau baling-baling yang dipasang pada tiang-tiang bambu yang cukup tinggi. Selama tiga bulan itu, warga mendirikan kolecer dengan ketinggian cukup beragam, dari yang ukuran kecil hingga yang tingginya mencapai 8,5 meter. Tentu tidak mudah mendirikan kolecer berukuran besar seperti itu, perlu keterampilan dan teknik khusus untuk membuat dan mendirikannya.

Festival Kolecer tahun 2019 tercatat diikuti oleh 100 peserta yang berdatangan dari sekitar Kabupaten Subang dan Kabupaten Sumedang. Berbagai macam kolecer unik ditampilkan dalam festival tersebut, di antaranya sebuah kolecer tua yang sudah berusia 100 tahun dan didatangkan dari Cikaramas, Sumedang. Ketinggian rata-rata kolecer yang didirikan di Kampung Dago, Desa Cimeuhmal, antara 5-8 meter, sehingga menjadi pemandangan yang tidak biasa selama festival berlangsung.

Festival Kolecer di Desa Cibuluh. Foto: kotasubang.com

Sejak tahun 2020, Desa Cibuluh memulai satu tradisi baru, yaitu Festival Angin. Berbeda dengan Festival Kolecer yang pemasangannya dipusatkan di satu tempat, dalam Festival Angin warga Desa Cibuluh mendirikan berbagai macam kolecer di lingkungannya masing. Selain itu, lingkungan desa juga dipenuhi dengan berbagai instalasi bendera atau panji-panji. Sebagai tambahan, diadakan juga bermacam pertunjukan kesenian.

Di berbagai wilayah Jawa Barat dikenal pembuatan kolecer secara sederhana menggunakan anyaman daun pisang pada sebatang kayu kecil yang dipasang pada bambu yang telah disesuaikan ukurannya. Kolecer seperti ini biasanya buatan anak-anak, sementara orang dewasa membuat kolecer berukuran besar, seperti yang banyak ditampilkan dalam Festival Angin.

Menurut Pak Hakim, salah seorang warga Desa Cibuluh, pembuatan kolecer menyambut musim angin barat memang sudah menjadi tradisi selama ini. Di dalam Festival Angin, kolecer-kolecer tersebut dilombakan dengan penilaian berdasarkan bentuk, kualitas bahan, dan suara nyeguk yang dihasilkan ketika baling-baling berputar tertiup anging. Kolecer terbesar yang ditampilkan dapat serupa baling-baling pesawat, suara yang dihasilkan pun seperti suara gemuruh yang keras.

Air Panas
Seperti yang sudah disebutkan di muka, bentang alam Desa Cibuluh memang memikat. Terdapat cukup banyak mata air dan beberapa curug di kawasan desa ini. Yang cukup unik adalah keberadaan sebuah mata air panas yang ditampung dalam sebuah kolam. Kondisinya memang kurang terawat walaupun beberapa waktu sebelumnya pernah diupayakan pengemasannya untuk pariwisata. Berbeda dengan sumber air panas umumnya yang berasal dari aktivitas gunung berapi, sumber air panas yang terletak di sisi persawahan ini konon mendapatkan panasnya dari kandungan zat besi yang tinggi.

Pak Dedi, Ketua RT di Kampung Ciseupan Satu, bersedia mengantarkan kami melihat kolam penampungan air panas itu. Tiba di lokasi, ternyata sedang ada beberapa anak bermain dan mandi dengan riuhnya di kolam air panas ini. Menurut keterangan dari Pak Dedi, kolam air panas ini biasa digunakan para sesepuh untuk memandikan benda-benda pusaka, selain itu, digunakan juga sebagai tempat berlangsungnya tradisi ngabungbang, yaitu tradisi bergadang semalaman di luar rumah atau di tempat-tempat yang dikeramatkan pada malam 14 Mulud.

Pak Dedi juga menyebutkan keberadaan sebuah makam keramat yang terletak di sebuah bukit di seberang lembahan Ciseupan, namun karena letaknya yang cukup jauh, kami tidak mengunjungi tempat itu. Sebagai gantinya, kami memutuskan untuk mengunjungi sebuah monumen yang juga disinggung oleh Pak Dedi dalam cerita-ceritanya, yaitu Monumen Perjuangan ‘45.

Kolam air panas Ciseupan. Foto: Reza Khoerul Iman.

Monumen Perjuangan ‘45
Saat memasuki kompleks monumen, hujan turun cukup deras. Niat tak jadi surut, kami tetap langkahkan kaki memasuki area monumen. Halaman monumen berbentuk lapang rumput cukup luas yang diberi jalur jalan berbahan beton. Di bagian puncak terdapat patung pejuang merentang tangan, salah satunya memegang sebuah pistol.

Di bawah patung pejuang terdapat tulisan “Monumen Perjuangan ‘45” dan di bawahnya lagi, yaitu pada bagian temboknya, terdapat relief besar berisi fragmen perjuangan TNI di Cibuluh. Di sisi kiri dan kanan tembok relief terdapat masing-masing sebuah prasasti yang berisi ucapan terima kasih Siliwangi kepada rakyat yang telah ikut berjuang dan pernyataan tekad dari generasi muda untuk bergabung mengisi kemerdekaan dengan pembangunan. Kedua prasasti tersebut bertanggal 20 Mei 1976, tanggal peresmian Monumen Perjuangan ’45.

Tim ADP berfoto di Monumen Perjuangan ’45. Foto: Deuis Raniarti.

Hujan terus turun, dingin semakin menggigit. Kami mencoba mencari penghangat badan ke warung depan yang terletak di depan monumen. Sambil memesan apa saja yang dapat menghangatkan badan, kami dekati seorang ibu tua yang sedang duduk di depan warung. Namanya Ema Anesih, usianya sekitar 90 tahunan. Ema berbicara tesendat, tapi masih mengingat beberapa hal, baik tentang Desa Cibuluh, maupun tentang Monumen Perjuangan ’45.

“Ieu perang sareng Walanda, poe Jumaah. Ema nyumput dina liang di sawah (Ini perang dengan Belanda, hari Jumat. Ema sembunyi dalam lubang di sawah).” Ingatan Ema tak jauh dengan berbagai informasi yang dapat kami temui, yaitu bahwa pertempuran di Ciseupan, Cibuluh ini terjadi pada saat kepulangan tentara Indonesia dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Ketika beristirahat di kawasan Ciseupan, sejumlah tentara Belanda melakukan penyerangan dan terjadilah pertempuran itu. Warga Cibuluh menyebut peristiwa itu dengan istilah “Palagan Ciseupan”.

Sungguh di luar dugaan kami, desa yang sepertinya terpencil ini ternyata menyimpan banyak pesona dan cerita. Dua hari kunjungan kami ke desa ini rasanya jadi masih jauh dari cukup, setiap cerita mengarahkan kami kepada cerita lainnya, setiap lokasi membawa kami ke lokasi lainnya, tak cukup waktu dua hari untuk menyusuri semuanya.

Masih banyak cerita yang kami dengarkan, tempat yang ingin kami lihat dan gali kisahnya, seperti ritual sungai, situs Batulawang, Batu Tapak yang katanya saat ini berada di bawah aliran sungai, atau kegiatan keseharian warga yang bertani, membuat opak, membuat kerajinan bubu, dan lain sebagainya. Sepertinya kami akan segera kembali lagi ke Desa Cibuluh untuk merangkai lanjutan cerita yang sudah kami dapatkan.

Pemandangan perkampungan di Desa Cibuluh. Foto: Komunitas Aleut.

Cerita Asyik Jembatan Kereta Api Ciwidey

Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.

Ditulis oleh: Rieky Nurhartanto

Pagi yang sangat cerah mengantar perjalanan kami menyusuri jalur rel tempo dulu yang berada antara Bandung-Ciwidey. Kali ini saya kembali bertualang momotoran bersama Komunitas Aleut dalam program ADP20 (Aleut Depelovment Program 2020).


Senang rasanya bisa kembali menulisakan pengalaman bertualang saya menapaktilasi tiga jembatan kereta api yang ada di daerah Ciwidey. Sebelum siang kami sudah tiba di jembatan pertama di daerah Sadu. Walaupun secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Soreang, tetapi saya pribadi selalu saja menganggap jembatan tersebut sudah ada di wilayah Ciwidey hehehe.

Ini bukan kunjungan pertama saya ke Jembatan Sadu. Setiap kali pergi ke Ciwidey, saya selalu menyempatkan diri mampir ke jembatan ini, baik untuk rehat menikmati pemandang di sekitar, atau sekadar minum kopi di warung kecil yang ada di sini.


Pagi-pagi menikmati kopi dengan camilan gehu panas sambil meresapi keindahan alam di sekitar jembatan tua ini sungguh menyenangkan hati. Hal baru yang saya dapatkan dari kunjungan hari ini adalah saya baru tahu bahwa jembatan ini bernama Jembatan Sadu. Dalam hati saya mengakui ternyata selama ini literasi saya masih sangat kurang. Walaupun agak menjorok ke dalam, tapi letak Jembatan Sadu ini tak jauh dari pinggir jalan raya, sehingga mudah sekali untuk mendatanginya. Yang perlu diperhatikan bila akan berkunjung ke sini adalah ketiadaan tempat parkir, mungkin karena memang tidak dikemas untuk pariwisata sehingga tidak ada fasilitas umum seperti yang biasa ditemui di tempat-tempat wisata. Delapan motor kami susun berdesakan di halaman sempit sebuah warung yang sedang tutup.

Continue reading

Momotoran Tapak Tilas Jalur Kereta Api Bandung-Ciwidey

Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.

Ditulis oleh: Wildan Aji.

Tahukah Anda, selain jalur kereta api Bandung Raya-Padalarang-Cicalengka yang saat ini masih beroperasi, dahulu ada juga rute kereta api antara Bandung dan Ciwidey. Jalur yang dibuat perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen, ini sudah lama dibiarkan terbengkalai. Nah, saya bersama tim ADP-20 Komunitas Aleut menyusuri jejak-jejaknya pada hari Sabtu, 21 November lalu. Ini kisahnya..


Jalur kereta api ke wilayah selatan Bandung yang merupakan kawasan perkebunan-pertanian, cukup penting perannya di masa lalu. Biaya angkut hasil bumi ketika itu hanya 4 sen untuk setiap sen-nya, jauh lebih murah dibanding angkutan reguler yang tersedia waktu itu, yaitu pedati, yang biayanya antara 15-18 sen untuk setiap ton-nya.


Kunjungan pertama kami adalah ke bekas Stasiun Dayeuhkolot yang saat ini terletak di dekat pasar dan tidak jauh dari Jembatan Citarum. Stasiun ini dibuka pada tahun 1921. Ukurannya termasuk besar dan memiliki dua cabang jalur rel, ke kiri ke Majalaya, dan ke kanan ke Banjaran-Ciwidey. Jalur menuju Majayala dinonaktifkan pada masa pendudukan Jepang.

Stasiun Dayeuhkolot tempo dulu dan sekarang. Foto: KITLV/Komunitas Aleut.

Peninggalan perkeretaapian di sini hanya barupa bangunan stasiun yang terlihat masih utuh. Genting yang terpasang sebagai atap bangunan juga merupakan peinggalan lama, terlihat cetakan tulisan JB Heijne, yaitu nama pabrik genting tempo dulu yang berada di Ujungberung. Selain itu, masih ada sisa beberapa gudang kereta api yang digunakan oleh warga sebagai warung-warung.


Tempat kedua yang kami kunjungi adalah bekas Stasiun Banjaran. Stasiun ini menjadi penghubung jalur kereta antara Dayeuhkolot dengan Kopo (sekarang Soreang) dan menjadi simpul penting pengangkutan dari kawasan perkebunan di Pangalengan. Artinya, hasil bumi dari kawasan Pangalengan, seperti Arjasari dan Puntang, dibawa dan dibongkar di sini, lalu dilanjutkan pengangkutannya menggunakan kereta api.

Continue reading

Guratan Sejarah Staatsspoorwegen di Tjiwidej

Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.

Ditulis oleh: Reza Khoerul Iman

Bangunan bekas stasiun kereta api Ciwidey. Foto: Komunitas Aleut.

Tidak ada yang pernah bisa menentukan masa depan, manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan. Siapa sangka, sebuah proyek besar yang dibangun untuk jangka panjang, akhirnya mati begitu saja dan terbengkalai sampai sekarang. Bandung merupakan salah-satu daerah yang memiliki banyak peninggalan sejarah. Seperti yang pernah dikatakan Mocca dalam lirik lagunya yang berjudul Bandung (flower city), “In my little town, Every corner tells you different stories, There’s so many treasures to be found” (di kota kecilku, setiap sudut menceritakan banyak cerita berbeda, ada banyak harta karun yang bisa ditemukan di sini).

Salah-satu peninggalan itu adalah jejak-jejak kereta api yang membentang dari Bandung sampai Ciwidey. Lingkungan alam Ciwidey yang berbukit-bukit itu akhirnya dapat ditaklukan oleh Staatsspoorwegen. Tidak mudah dan murah memang, sebelumnya pemerintah tak mampu mewujudkan pembangunan jalur kereta api Bandung-Ciwidey ini karena masalah pembiayaan. Pada 17 Juni 1924 Stasiun Ciwidey diresmikan penggunaannya setelah melewati masa pembangunan selama tujuh tahun. Dimulai dari jalur Dayeuhkolot-Banjaran pada tahun 1917, kemudian dilanjutkan stasiun kopo (soreang) pada 13 Februari 1921, dan akhirnya jalur Ciwidey pada 17 Juni 1924.

Segera saja kereta api menjadi sarana transportasi utama, baik untuk pengangkutan penumpang, ataupun hasil perkebunan. Salah-satu indikasi seriusnya Staatsspoorwegen dalam membangun jalur perkeretaapian di Hindia-Belanda, yaitu penggunaan bahan yang berkualitas baik dari perusahaan terbaik untuk pembangunan rel ini. Nama-nama perusahaan tersebut masih dapat kita temukan tercetak pada batang-batang rel. Saya menemukan dua nama, Carnegie dari USA, dan KRUPP dari Jerman.


Kenapa Staatsspoorwegen memilih dua perusahaan baja ini di antara perusahaan-perusahaan lainnya? Perusahaan Krupp adalah perusahaan baja Jerman yang terkenal memproduksi seamless railway tires atay roda (rel) kereta api tanpa sambungan yang terkenal anti retak. Rel buatan Krupp sangat terkenal walaupun harganya tinggi. Kualitasnya sangat baik. Rel Krupp juga digunakan pada jaringan rel kereta api di Amerika Serikat sejak sebelum Perang Sipil (1860-1865), karena pada saat itu pabrik-pabrik di Amerika Serikat belum mampu memproduksi baja dalam kapasitas besar dan dengan kualitas yang sebaik itu (Komunitas Aleut: Rel Kereta Api memiliki Arti, oleh: Alek alias @A13Xtriple).

Tidak hanya menjadi pemasok ke Amerika Serikat, bahkan Krupp menjadi pemasok juga untuk Napoleon, dan merupakan pemasok baja utama di Eropa. Dengan Kerajaan Prusia, KRUPP mendapatkan kontrak untuk pembuatan senjata. Carnegie adalah perusahaan baja asal USA yang didirikan pada tahun 1892 oleh Andrew Carnegie. Ia meraih kesuksesan dengan menciptakan metode peleburan baja yang efesien, dan menghasilkan baja dengan kualitas terbaik, hingga pada tahun 1900-an, produksi baja Carnegie mampu melampaui produksi baja Inggris.

Continue reading

Naik Kereta Api ke Bandung-Ciwidey? Engga Percuma dong!

Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.

Ditulis oleh: Inas Qori Aina

Bukan Surabaya, tapi Ciwidey. Jika saja boleh, saya ingin ubah penggalan lirik lagu Naik Kereta Api ciptaan Ibu Soed itu. Lagu anak-anak yang sering saya dengarkan semasa kecil ini mengantarkan saya untuk bercerita pengalaman Ngaleut Jejak Kereta Api Bandung-Ciwidey (Sabtu, 21 November 2020).


Saya terpikir, pantas saja Ibu Soed menyebutkan Kota Bandung di dalam lagunya, ternyata pengembangan jaringan perkeretaapian di Bandung menyimpan banyak cerita di baliknya. Peresmian masuknya jalur kereta api ke Bandung pada tahun 1884, ternyata berefek panjang. Bandung segera menjadi salah satu kota di Hindia Belanda yang paling berkembang pada masa itu.


Staatsspoorwegen, perusahaan kereta api milik pemerintah itu memulai pembangunan jaringan Bogor–Bandung–Cicalengka sebagai jaringan kereta api tahap awal di Priangan. Kota Bandung yang saat itu mengalami pertumbuhan penduduk cukup pesat, tidak diimbangi dengan pasokan hasil bumi dari daerah sekitarnya, terutama dari Bandung Selatan.

Jembatan kereta api antara Soreang dan Ciwidey foto:KITLV

Bandung Selatan merupakan daerah subur yang menghasilkan berbagai komoditas pertanian dan perkebunan seperti teh, kopi, dan kina. Semua melimpah ruah, namun daerah ini juga agak terisolasi dan tidak memiliki transportasi yang memadai, sehingga untuk mengangkutnya tidaklah mudah. Sebelum kereta api muncul, berbagai hasil bumi dari Bandung Selatan diangkut menggunakan pedati. Jenis angkutan ini tentulah tidak efektif dan efisien. Harga pengangkutan barang per satu ton adalah 15 sampai 18 sen. Belum lagi, waktu perjalanannya cukup lama.


Untuk mengatasi hal itu, Staatsspoorwegen turun tangan dengan membangun sistem jaringan kereta api. Pembangunan jalur antara Bandung-Ciwidey dimulai pada tahun 1917, dengan tujuan awal menuju kawasan Kopo, melewati Dayeuhkolot dan Banjaran. Pembangunan jalur Bandung-Kopo sepanjang 26,5 km menghabiskan dana sekitar 1.385.000 gulden. Setelah empat tahun pembangunan, pada 13 Februari 1921 Stasiun Kopo pun resmi dibuka untuk umum.

Continue reading

Awal dan Akhir Kereta Api Bandung-Ciwidey

Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.

Ditulis oleh: Farly Mochamad

Walaupun jalur kereta api masuk ke Bandung pada tahun 1884, namun percabangannya ke kawasan perkebunan di Bandung Selatan yang relatif masih terisolasi tidak segera disusulkan. Butuh lebih 30 tahun lagi sebelum jalur ke pedalaman itu mulai dibangun.


Harapan baik datang ketika pada tahun 1917 perusahaan kereta api pemerintah, Staatsspoorwegen, mulai membangun jalur yang menghubungkan Bandung dengan Kopo melewati Dayeuhkolot dan Banjaran. Stasiun Dayeuhkolot dan Banjaran adalah titik percabangan jalur lain untuk mengakses daerah Majalaya dan Pangalengan, sedangkan Kopo akan dilanjutkan sampai ke Ciwidey.


Rencana pembangunan ini mulanya dilelang dan didapatkan oleh pihak swasta, namun kebutuhan biaya yang sangat besar membuat pemenang lelang gagal melaksanakan pembangunannya. Oleh sebab itu, Staatsspoorwegen-lah yang kemudian melaksanakan pembangunan jalur ini.

Pembangunan jalur kereta api ini telah menghemat cukup banyak waktu dan biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pengangkutan hasil perkebunan. Dengan alat transportasi tradisional pedati, butuh ongkos antara 15-18 sen untuk setiap ton, sementara dengan kereta api hanya butuh 4 sen saja per ton-nya. Dari segi waktu pun, sangat jauh lebih cepat, juga hemat tenaga.


Tahap Pertama: Bandung – Kopo
Pembukaan jalur pedalaman ke Ciwidey dilakukan dalam dua tahap. Yang pertama, jalur rel sepanjang 26,5 kilometer antara Bandung-Kopo dikerjakan selama empat tahun dengan biaya 1.385.000 gulden. Rute ini melewati sejumlah pos dengan rincian: Bandung – Cikudapateuh – Cibangkonglor – Cibangkong – Buahbatu – Bojongsoang – Dayeuhkolot – Kulalet – Pameungpeuk – Cikupa – Banjaran – Cangkuang – Citaliktik – Kopo (Soreang). Seluruh bagian selesai dan diresmikan.

Peresmian kereta api Bandung menuju Soreang foto: KITLV

Dalam prosesi peresmiannya, Bupati Bandung dan Residen Priangan naik kereta api pukul 08.15 dari Karees, Bandung. Kereta api yang dinaiki diberi banyak hiasan bunga. Pukul 10.00, kereta api tiba di Stasiun Kopo dan disambut oleh ribuan orang. Kemudian dilaksanakan ritual pemotongan kepala kerbau yang ditanam di halaman stasiun.

Continue reading
« Older posts Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑