Category: Kota Bandung (Page 2 of 15)

Rencana Pemekaran Wilayah Bandung Utara – Bagian 1

Sampul dan cuplikan halaman dalam buku Uitbreidingsplan Noord Bandoeng yang diterbitkan oleh N.V. Mij. Vorkink, Bandoeng, 1919. Sumber dokumen digital: delpher.nl

Uitbreidingsplan Noord Bandoeng (Rencana Pemekaran Wilayah Bandung Utara)

Beberapa waktu lalu saya membaca berita kecelakaan tentang seorang pengendara motor yang terjatuh usai menabrak beton proyek galian di sekitar Tamansari, Bandung. Akibatnya korban mengalami luka serius. Kecelakaan ini memantik kejengkelan warga Bandung terhadap proyek ini. Sebelum terjadinya kecelakaan, warga melalui berbagai kanal telah mengeluhkan adanya proyek tersebut. Umumnya mereka mengeluhkan imbas kemacetan yang ditimbulkan akibat adanya proyek ini.

Melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Bandung Infra Investama (BII), Pemkot Bandung berencana melakukan penertiban kabel udara di Bandung guna menambah estetika kota dan meningkatkan keamanan masyarakat. Nilai proyek ini secara keseluruhan sebesar Rp 313 milar dengan pengerjaan selama 3 tahun ke depan.

Pada 29 November 2024, PT BII melalui laman media sosialnya, mengunggah pengumuman berisi informasi beberapa ruas jalan yang sedang mengalami proyek penggalian, di antaranya adalah Jalan Merdeka, Jalan Gudang Selatan, Jalan Lombok, Jalan Kalimantan, Jalan Tongkeng, Jalan Bangka, Jalan Trunojoyo, Jalan Cilaki, Jalan Sumatera, dan Jalan Rangga Gading. Jika diperhatikan, seluruh jalan tersebut berada di wilayah Bandung bagian utara. 

Bandung bagian utara semenjak zaman kolonial Belanda memang selalu mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Terang saja sebab wilayah ini memang diproyeksikan sebagai tempat beraktivitas orang-orang Eropa. Hampir kebanyakan bangunan megah dan monumental bikinan arsitek kenamaan dibangun di bagian utara jalur kereta api ini. Bahkan ide pembangunan Bandung utara dilegalisasi melalui dokumen perencanaan kota bernama Uitbreidingsplan Noord Bandoeng. Melalui blueprint ini, pemerintah Kota Bandung kala itu melakukan proyek pembangunan perumahan, kantor pemerintah, dan kawasan bisnis yang berorientasi pada Eropa. 

Dokumen ini berisikan perencanaan teknis kawasan beserta peruntukannya. Disertai dengan kajian sosial dan demografi Bandung pada saat itu. Perencanaan ini dipimpin oleh Thomas Karsten, perencana kota yang juga terlibat dalam penataan kota Malang, Bogor, Palembang dan Surakarta. File digital dokumen ini dapat ditemukan di website www.delpher.nl.

Menimbang pentingnya dokumen itu untuk pengetahuan dan wawasan pembangunan Kota Bandung di masa lalu, saya merasa perlu menerjemahkan dan memublikasikannya melalui website ini agar lebih mudah dibaca dan dipelajari oleh banyak orang. Karena bahannya cukup panjang, jadi di sini saya pilah menjadi beberapa bagian.

Selamat membaca…

Irfan Pradana

Komunitas Aleut

_________________________________________________

Rencana Pemekaran Wilayah Bandung Utara – Bagian 1

GEMEENTE BANDOENG

GEDRUKTE STUKKEN

Tahun 1919 No. 126.

Bandung. 12 September 1919.

Kepada Dewan Kota Bandung.

Dengan hormat, saya ingin menyampaikan kepada Kolega Anda:

a. sebuah “Nota Penjelasan” tentang rencana perluasan di Bandung Utara,

b. saran dari Komisi untuk menilai rencana tersebut,

c. peta ringkas (hanya untuk Dewan dan tidak untuk publik), dengan catatan bahwa peta lengkap dalam skala 1:2000 tersedia untuk Kolega Anda.

Sebagai pengingat, bahwa pembuatan rencana perluasan ini didasarkan pada keputusan Kolega Anda tanggal 26 September 1916 yang menyepakati:

a. meminta Direktur Pekerjaan Kota dan seorang ahli kedua (yang dipilih adalah Kantor A.I.A. di Batavia) untuk menyusun rencana perluasan kota Bandung.

b. membentuk sebuah komisi penilaian, terdiri dari dua perwakilan yang ditunjuk oleh Pemerintah (seorang Perwira Jenderal dan seorang Insinyur dari Departemen Bangunan Sipil) dan seorang perwakilan pemerintah daerah. Sebagai perwakilan Pemerintah yang duduk dalam penilaian rencana Utara, adalah Tuan Karsten, Insinyur Utama, Kepala Bagian Air, dan Tuan Schoemaker, Kapten Jenderal. Perwakilan Pemerintah Daerah adalah Tuan Roelofsen, Insinyur Utama, Kepala Kantor Tenaga Air dan Listrik. Seperti yang Kolega Anda ketahui dari perkembangan permasalahan ini, niatnya adalah agar ketiga perwakilan ini mencerminkan sebanyak mungkin kepentingan Negara dan Kota dalam rencana tersebut, dengan mendapatkan dan menyediakan informasi yang diperlukan kepada perancang, sambil memberikan saran akhir sehubungan dengan rencana-rencana tersebut.

Sebagai hasil dari semua ini, disajikan di sini Rencana Perluasan Wilayah Utara yang disusun lengkap, yaitu bagian kota di sebelah utara Jalan Raya Pos dengan perkiraan perluasan untuk jangka waktu 25 tahun ke depan. Rencana ini dijelaskan secara detail dalam catatan dari para perancang dan saran akhir dari Komisi yang juga telah dilihat oleh anggota aktif Komisi Teknis setelah komentar yang dibuat oleh Komisi dimasukkan ke dalam rencana perluasan. Mengacu pada isi catatan tersebut, saya ingin menarik perhatian Kolega Anda terkait diskusi pada halaman II dan seterusnya mengenai perbaikan lalu lintas kereta api, bahwa tujuan dari penetapan rencana Utara bukanlah untuk memutuskan masalah kereta api secara bersamaan, karena, seperti yang diketahui, masalah tersebut akan diajukan sebagai masalah terpisah untuk diputuskan oleh Dewan. Dengan adanya saran dari Komisi Penilaian tentang masalah ini sekarang, saya berencana untuk membawa masalah tersebut ke agenda rapat bulan Oktober mendatang.

Apabila tugas perancang dan komisi terkait rencana Wilyayah Utara telah selesai, langkah selanjutnya adalah tahap penyelesaiannya. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa sangat disarankan untuk sebisa mungkin mengikuti Undang-Undang Perumahan Belanda. Kemudian ada ketentuan bahwa rencana rinci tersebut akan dipajang selama empat minggu agar dapat dilihat oleh semua orang, lalu akan disetujui oleh Dewan, dan diajukan untuk persetujuan kepada Gubernur.

Mengingat bahwa tidak mungkin mengikuti langkah yang sama sepenuhnya di sini, saya ingin memberikan kepada Kolega Anda berikut ini sebagai pertimbangan etis terkait Rencana Perluasan Utara:

  1. Penyampaian untuk dilihat oleh semua orang selama empat minggu,
  2. Setelah itu, dan setelah mempertimbangkan komentar dan keberatan yang mungkin diajukan, dilakukan penetapan sementara oleh Dewan,
  3. Kemudian disampaikan kepada Pemerintah dengan permintaan untuk memberikan persetujuan umum terhadap rencana tersebut,
  4. Setelah diterima kembali, penetapan final oleh Dewan.

Sehubungan dengan pelaksanaan rencana, perlu dicatat bahwa dalam banyak kasus akan diperlukan untuk mendapatkan tanah untuk kompleks bangunan tertentu. Tidak jarang bahwa perolehan (tanah) melalui cara tidak langsung (pembelian) tidak selalu memungkinkan. Sekarang Undang-Undang Eropa memiliki prosedur penggusuran yang sangat disederhanakan yang telah diciptakan “untuk kepentingan perumahan rakyat”. Sebaiknya, menurut pandangan saya, kita berusaha untuk mendapatkan prosedur yang sama untuk pelaksanaan rencana perluasan kota yang dimiliki oleh pemerintah setempat. Saya harap untuk dapat mengajukan proposal yang terperinci kepada Kolega Anda dalam hal ini.

Terakhir, tidak boleh dilupakan bahwa rencana perluasan tidak sepenuhnya berada dalam batas-batas kota. Dengan memperhatikan hal ini, Kolega Anda sebaiknya mengundang saya untuk segera mengajukan proposal untuk memperluas batas-batas kota.

Walikota,
B. COOPS.

NOTA PENJELASAN
YANG BERKAITAN DENGAN RENCANA PERLUASAN
UNTUK BANDUNG UTARA

1:2000 (dalam 8 lembar) dengan peta ringkas 1:5000.

Kami bermaksud dengan penjelasan ini, secara garis besar, menjelaskan dan mengklarifikasi tujuan dan pemikiran utama yang mendasari rencana ini. Keterhubungan yang efisien dengan Bandung Selatan dijamin oleh rencana sementara Bandung yang sudah disampaikan sebelumnya.

Hanya detail-detail penting yang akan diberikan perhatian lebih, sementara untuk detail-detail yang lebih kecil akan dirujuk ke dalam gambar-gambar.

I. Faktor-faktor yang akan menyebabkan perluasan.

Perluasan Bandung akan terutama disebabkan oleh:

a. Pemindahan dan konsolidasi berbagai cabang pelayanan pemerintah dengan tujuan akhir: Bandung sebagai ibu kota pemerintahan. Untuk masa depan yang dekat, pertimbangan utama pertama harus diberikan kepada tanah untuk Departemen Pekerjaan Umum (Kantor Pusat Pertambangan, Kantor Pusat Perkeretaapian, Kantor Pusat Pos dan Telegraf, Kantor Tenaga Air dan Listrik, dll.), Stasiun Uji Hutan, Pengukuran Hutan (dengan tanah uji yang terkait), Institut Pasteur, dll.

b. Perluasan Dinas Militer sehubungan dengan rencana pertahanan. Di sini juga dapat disebutkan pemindahan Dinas Topografi.

c.   Pembangunan bangunan besar baru dari berbagai jenis: Balai Kota, Kantor Pekerjaan Kota, Rumah Sakit Kota, Institut Teknologi, Lyceum, Perpustakaan, Museum, Gedung Gereja, institusi swasta, amal, dan sejenisnya.

d. Pendirian perusahaan industri baru.

e.   Peningkatan jumlah penduduk sebagai hasil dari a, b, dan d (perumahan), langsung melalui penempatan pegawai dan orang-orang terkait dengan institusi tersebut dan tidak langsung melalui peningkatan penduduk swasta (peningkatan perdagangan tengah, perdagangan kecil, dll.).

f.    Kebutuhan tambahan yang timbul dari e untuk meningkatkan jumlah sekolah (Sekolah Eropa, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Belanda-Cina, Sekolah Belanda-Pribumi, Sekolah Pribumi), peningkatan jumlah kantor pos cabang (kantor pos pusat baru), toko-toko, hiburan publik, tempat rekreasi, lapangan olahraga, dan sebagainya.

Berbagai pertimbangan telah menyebabkan munculnya tuntutan agar perencanaan ini menyertakan perluasan untuk periode dua puluh lima tahun mendatang. Satu periode di mana serangkaian bangunan dan institusi yang disebutkan di atas diharapkan sebagian besar sudah selesai, dengan jumlah penduduk yang sudah dua kali lipat dibanding saat ini. Pertumbuhan besar-besaran dalam perdagangan grosir, seperti yang mungkin terjadi di kota pantai, secara jelas tidak diharapkan untuk Bandung karena letak geografisnya. Juga faktor-faktor perluasan yang disebutkan di atas tentu tidak akan memberikan dorongan yang besar pada perdagangan ini, sehingga tidak akan menguasai area bangunan besar. Peningkatan signifikan dalam jumlah usaha budaya di kampung-kampung sekitar Bandung tidak dapat diantisipasi; sehingga bila itu terjadi, sudah di luar perkiraan.

Bandung belum harus memenuhi kebutuhan perdagangan yang jauh lebih besar. Namun, tetap sangat penting memberikan perhatian penuh pada pembentukan industri baru dan nilai besar dari produksi sendiri yang telah menjadi sangat jelas karena kondisi perang, untuk mengikat pertumbuhan yang diharapkan dari perusahaan industri ke tanah yang telah disediakan dengan baik di tempat yang diinginkan. Dalam konteks ini, penting untuk dicatat bahwa penyusunan rencana perluasan kota harus bersamaan dengan penanganan masalah kereta api di Bandung, sehingga dengan kerja sama yang baik dapat ditemukan solusi yang tidak hanya akan melancarkan pertumbuhan kota yang kuat, tetapi juga akan membantu menentukan arah pertumbuhan. Hal ini juga akan memberikan dorongan yang sangat diperlukan bagi perkembangan industri baru yang sukses dengan menyediakan pengiriman dan pengeluaran material dan produk yang sederhana dan cepat.

Secara singkat, faktor-faktor utama yang akan menyebabkan perluasan telah dijelaskan di sini dan karena dapat dikenali dengan cukup akurat, dapat segera menunjukkan arah bagi para perancang dan memberi mereka kesempatan untuk mengatur rencana dengan cukup tajam dalam sketsa awal. Hal ini akan menjadi lebih nyata saat merencanakan pengiriman berbagai cabang layanan pemerintah, perluasan layanan militer, dan pendirian beberapa institusi besar telah mengambil bentuk yang lebih pasti, dan oleh karena itu, konsultasi dengan otoritas yang ditunjuk telah dilakukan dan data yang cukup pun telah dikumpulkan. Sebelum lebih lanjut menjelaskan persyaratan yang lebih ketat yang harus dipenuhi oleh rencana ekspansi ini, diperlukan deskripsi sketsa keadaan yang ada dan gambaran kota yang sudah ada terlebih dahulu.

Berikut ini sebuah deskripsi sketsa tentang keadaan yang ada dan gambaran kota yang sudah ada.

II. Keadaan saat ini.

Kota Bandung kekurangan apa yang sering dimiliki oleh kota-kota dengan sejarah yang lebih penting: tidak ada momen sejarah. Tidak ada bangunan tua bersejarah, lapangan, taman, atau monumen yang menandakan kebaikan dan kecerdasan seni dari generasi sebelumnya.

Bandung adalah sebuah kota koloni dalam arti yang paling tidak menguntungkan dari kata tersebut. Saat berkembang, hanya kebutuhan yang paling penting, kebutuhan yang tidak bisa dihindari dalam perencanaan kota dan arsitektur yang dipenuhi. Kota ini sebenarnya muncul dari kebutuhan lokal yang mendesak secara kebetulan. Perkembangan terutama terjadi di sepanjang jalan-jalan utama, di mana orang-orang kaya mengambil bagian terbaik dan secara perlahan memaksa penduduk pribumi yang tinggal di sepanjang jalan-jalan itu untuk menata kampung-kampung mereka di belakang tanah-tanah itu. Meskipun pada awalnya keadaan diatur dengan baik oleh pengaruh kuat Pemerintah (lihat misalnya Tarot), beberapa pengaruh yang berbeda telah menyebabkan penurunan umum di kampung-kampung dan kompleks yang tidak dapat diterima dari sudut pandang perencanaan kota secara umum.

Kawasan toko-toko Cina, banyak yang relatif baru, mengembangkan diri dengan cepat menjadi kompleks yang padat dan tidak sehat.

Dan sayangnya, mereka yang seharusnya bertugas mencegah perkembangan lebih lanjut dari situasi ini dan menyelesaikan masalah-masalah lokal, justru terdiri dari kelompok-kelompok penduduk yang tidak tetap.

Itulah sebabnya kota ini mencapai bentuknya yang sekarang, tidak terlihat ada pemikiran dari yang memimpin dan wawasan ke depan hampir tidak tampak.

Benar bahwa Pemerintah Pusat akhirnya mencoba memberikan lebih banyak arahan. Melalui campur tangan mereka, desain dan pembangunan bagian-bagian kota baru terwujud, kawasan Merdika dan kawasan Archipelago menjadi saksi. Namun, sangat disayangkan bahwa kawasan-kawasan baru ini kemudian terbukti menjadi yang paling buruk di masa depan.

Sekarang Bandung telah menjadi sebuah Kota dan menghadapi kehidupan baru, minat terhadap pertumbuhannya semakin hidup di antara penduduknya. Sekarang, dengan bangkitnya seluruh Hindia, adalah waktu yang tepat untuk membimbing pertumbuhannya ke dalam jalur tertentu dan bijaksana, dan meninggalkan bentuk lama yang terbengkalai untuk menjadi yang baru, lebih besar, dan lebih indah, yang memadukan elemen-elemen masa lalu dengan cara yang memuaskan.

Oleh karena itu, tidak boleh ragu-ragu untuk dengan tegas melakukan operasi bedah di bagian-bagian kota lama yang paling sakit dan membawa penyembuhan yang masih memungkinkan.

Bandung terletak di dataran rendah, dikelilingi oleh pegunungan. Kota ini dilintasi oleh banyak anak sungai gunung berukuran kecil. Sungai Cikapundung yang mengalir dari utara ke selatan telah membentuk lembah yang lebar dan dalam, akan menjadi bagian penting dalam rencana pengembangan.

Tanahnya di sebelah selatan jalur kereta api hampir datar dengan kemiringan sekitar 1 banding 140. Di sebelah utara, medannya bergelombang, dengan kemiringan 1 banding 40 dan terpotong dengan parit dan lembah yang terbentuk oleh erosi anak sungai. Oleh karena itu, pada pandangan pertama, bagian selatan dan utara akan menunjukkan perbedaan yang jelas. Di bagian selatan, jalan-jalan dapat dirancang lebih teratur dan mudah sesuai dengan kebutuhan lalu lintas, sementara di bagian utara, jalur jalan harus sering disesuaikan dengan kemiringan tanah, terutama terhadap erosi anak sungai.

Oleh karena itu, di bagian-bagian baru kota di utara, tidak boleh diterapkan sistem yang telah dipersiapkan sebelumnya dengan keras kepala, tetapi kondisi tanah harus menentukan persyaratan yang mutlak.

Bagian selatan Bandung menghadapi kondisi drainase dan pembuangan air yang kurang menguntungkan daripada bagian utara; terutama karena kondisi hidrologi yang buruk, namun perbaikan relatif mudah dilakukan di sini (lihat lebih lanjut di bawah judul Drainase).

Sekarang mari kita lakukan tinjauan dasar tentang berbagai wilayah, tujuan dan kelompok penduduk yang dominan, dan untuk selanjutnya, kami akan menyebut bagian yang terletak di sekitar Jalan Braga, Jalan Pasar Baru, dan bagian di antara kedua jalan tersebut sebagai pusat kota. Dapat kita mulai dengan mengatakan bahwa kawasan perdagangan dan perkantoran hampir seluruhnya terletak di pusat kota. Penduduk Eropa sebagian besar tinggal di sebelah utara garis yang membentang dari Jalan Pos ke Jalan Braga hingga ke jalur kereta api, dan seperti di banyak kota di Hindia, kita juga melihat kecenderungan orang Eropa kaya ke tanah yang lebih tinggi dan ke utara.

Terutama di utara terdapat tanah bangunan yang indah dengan lingkungan yang sejuk dan segar, yang cocok untuk pembangunan yang menyenangkan dan bervariasi. Oleh karena itu, rencana pembangunan harus menawarkan kawasan perumahan baru untuk penduduk Eropa di sini.

Namun, perlu diingat bahwa lalu lintas telah berkembang paling kuat dalam arah Timur-Barat. Dengan adanya fasilitas transportasi yang lebih baik (seperti hubungan trem dari Cimahi ke Bandung yang diperpanjang hingga ke batas timur kota terakhir tersebut), ada alasan bagi pengembangan ke Timur untuk kantong-kantong yang lebih kecil di masa depan.

Para pemilik toko dan pedagang Tionghoa secara alami memilih lokasi pemukiman mereka lebih sentral, dan oleh karena itu mereka mendominasi sebagian besar pusat kota dan juga bagian barat kota. Selain itu, penduduk Tionghoa lainnya juga diarahkan untuk menetap di pusat yang sama.

Untuk kelompok penduduk terakhir ini, pembatasan ini baru saja dihapuskan tahun ini. Dengan demikian, dan dengan arus etis baru-baru ini, kecenderungan akan pemukiman akan semakin berorientasi pada kemampuan finansial individu daripada ke ras.

Banyak kampung untuk penduduk pribumi terletak di bagian selatan kota, dan tersebar di antara kawasan-kawasan Eropa dan Tionghoa sesuai kebutuhan.

Sebagai kompleks menarik lainnya, masih ada wilayah industri yang belum signifikan di bagian barat dekat jalur kereta api; kawasan hotel di dekat persimpangan Jalan Pos dan Braga serta di sebelah selatan stasiun; workshop besar dari perusahaan kereta api dan kompleks kamp militer dan gudang, yang terletak di bagian timur kota.

bersambung

M.A.J. Kelling dan Rumah Wijde Blik di Kromhoutweg

Oleh: Aditya Wijaya

Rumah Wijde Blik (Arsip Komunitas Aleut, 2001)

Rumah dalam foto di atas ini terletak di sudut antara Jalan Dayang Sumbi dan Taman Sari, Kota Bandung. Rumah ini ada di pertigaan dan dapat terlihat jelas jika sedang berkendara karena lokasinya yang strategis.

Jika kita melihat foto lama rumah, di atas pintu masuk tertulis “Wijde Blik”. Saya mencoba mencari arti dari kata Wijde Blik melalui Chatgpt. Wijde Blik diterjemahkan menjadi “Pandangan Luas” atau “Perspektif Luas”.

Rasanya arti kata Wijde Blik mencerminkan saat kita memandang rumah ini. Rumah yang luas, dalam sudut pandang orang yang melihatnya.

Rumah Wijde Blik dimiliki oleh Martin Amandus Jonathan Kelling. Bangunannya dirancang oleh arsitek J.C.J. Piso yang memiliki nama lengkap Jelle Carel Johannes Piso. Dalam buku Arsitektur di Nusantara yang disusun oleh Obbe Norbruis, termuat sebuah iklan dari dari arsitek J.C.J. Piso.

Iklan Arsitek J.C.J. Piso (Arsitektur di Nusantara)

Rumah Modern di Hindia Belanda

Dalam sebuah artikel berjudul “De Modernne Indische Woning”  di majalah Tropisch Nederland Edisi No. 6, 13 Juli 1928 yang dijelaskan secara rinci deskripsi rumah ini. Dari judulnya, dapat diterka isi bahasannya adalah gambaran mengenai model atau tipe rumah modern di Hindia Belanda. Artikel ini ditulis oleh sang pemilik rumah, M.A.J. Kelling. Dia adalah adik dari Ernst Gerard Oscar Kelling yang namanya tertulis pada prasasti pendirian rumah sebagai peletak batu pertama dalam pembangunan rumah Wijde Blik. Terpahat juga tanggalnya, yaitu 2 Maret 1927.

Rumah Wijde Blik (majalah Tropisch Nederland)
Prasasti peletakan batu pertama yang dilakukan oleh Ernst Gerard Oscar Kelling (Arsip Komunitas Aleut 2011)

Berikut ini deskripsi rumah Wijde Blik yang dijelaskan dalam artikel:

Dari luar, rumah tinggal ini terlihat seperti sebuah atap dengan empat dinding putih, di mana terdapat beberapa pintu dan jendela. Di dalamnya terdapat beberapa ruangan persegi dengan dinding putih. Ada teras depan yang terbuka dan teras belakang yang terbuka juga. Teras ini dihubungkan dengan koridor beratap besi yang menuju ke “bangunan tambahan” atau bisa juga disebut “bangunan luar”.

Yang dimaksud dengan “bangunan tambahan” adalah deretan kamar-kamar kecil, tempat dapur, kamar mandi, WC, gudang dan kamar-kamar untuk pelayan. Perabotan sepenuhnya selaras dengan dinding-dinding putih yang kaku. Di teras depan biasanya terdapat “set kursi” yang elegan, sebuah meja kecil dengan daun marmer dan empat kursi goyang yang diatur simetris, dikelilingi beberapa pot berisi pohon palem atau begonia di atas dudukan.

Ruang belajar di rumah Wijde Blik. Semua furnitur yang terlihat di ruangan ini dibuat di Hindia Belanda oleh arsitek furnitur Jac Rietdijk. (Tropisch Nederland)

Teras belakang yang biasanya menjadi ruang makan dan ruang keluarga sekaligus, dilengkapi dengan meja persegi panjang dengan enam kursi. Sebuah lemari dengan pintu kawat hijau (untuk menyimpan makanan, roti, mentega, dll.) serta bufet coklat tua, semuanya dibuat oleh seorang Tionghoa. Di kamar tidur terdapat tempat tidur besi dengan kelambu (tirai nyamuk), lemari linen, meja cuci dengan baskom dan kendi, dan tentu saja sebuah “meja kecil”, karena terlalu jauh untuk pergi ke bangunan tambahan di malam hari. Kamar tamu dan jika ada kamar anak-anak, sama dalam hal perabotan. Jika ada ruangan yang tersisa, ruangan itu diberi nama ruang besar “kantor”, yaitu ruang kerja tuan rumah. Di sana ada meja tulis sederhana dengan kursi putar, sebuah rak buku dan sebuah kursi rotan.

Hiasan untuk dinding terdapat beberapa gambar berwarna, gravur baja, dan rak-rak berisi tanaman hias. Penerangan terdiri dari lampu dinding gantung minyak tanah, kadang-kadang lampu gasolin (dengan atau tanpa tekanan), gas penerangan dan pada tahun-tahun berikutnya listrik.

Dari tulisan di atas, terbaca M.A.J. Kelling sedang menyampaikan sebuah gambaran mengenai gaya rumah Indis modern berdasarkan rumahnya yang baru dibangun di Kromhoutweg.

Ruang Penerimaan. Furnitur yang Anda lihat di foto ini, tanpa kecuali, seluruhnya dibuat di Hindia Belanda oleh pedagang furnitur Fa. Jac. Rietdijk. Lukisan menggambarkan pemandangan alam Hindia Belanda yaitu Teluk Sabang (Tropisch Nederland)

M.A.J. Kelling

M.A.J. Kelling menjabat sebagai sekretaris bendahara dari Bandoeng Vooruit. Dia juga menulis satu artikel mengenai “Sejarah Bandung” di majalah Mooi Bandoeng yang sering dijadikan rujukan bagi tulisan populer kesejarahan Kota Bandung. Selain menjabat di Bandoeng Vooruit ia juga menjadi administratur Middenstandsvereeniging (Asosiasi Usaha Kecil). Setelah masa revolusi ia menjabat sebagai Secretary of the Vereeniging van Belanghebbenden bij Onroerende Zaken (sekretaris Asosiasi Pemangku Kepentingan Real Estate). Kelling juga menulis beberapa buku bertemakan hotel, wisata, kebersihan, perbankan dlsb.

Selain itu, Kelling menjadi redaktur di majalah kereta api bernama “Java Expres” yang diterbitkan Staatsspoorwegen beralamatkan di Kromhoutweg No. 8. Jika melihat kepemilikan Wijde Blik saat ini yang dimiliki oleh PT. KAI, bisa saja informasi ini menjadi sebab kenapa rumah tersebut bisa dimiliki oleh KAI. Selain itu, berdasarkan buku Telefoongids Bandoeng (Preanger) 1936, beberapa rumah lain di Kromhoutweg juga ternyata dihuni oleh pegawai dan staf perkeretaapian.

Rumah Wijde Blik pernah dipugar pada tahun 2010 dan diberi nama Graha Parahyangan. Rencananya akan dijadikan museum dan galeri kereta api. ***

Catatan: *Tulisan ini mengandung persepsi dan pendapat pribadi penulis.

Mas Alimu dan Hukuman Gantung di Bale Bandung

Ariyono Wahyu

Alun-alun biasanya menandakan lokasi ibukota sebuah kerajaan atau kabupaten (bahkan ada juga hingga tingkat kawedanaan atau kecamatan). Sebagai pusat kota, Alun-alun mempunyai fungsi sebagai pusat kegiatan administratif dan sosial-kultural khususnya bagi masyarakat pribumi. Sebagai lahan terbuka (plein) di tengah ibukota, Alun-alun sering dipergunakan untuk berbagai acara. Banyak kegiatan dilaksanakan di Alun-alun, dari mulai gelar pasukan kerajaan, acara keagamaan, untuk menyampaikan pengumuman-pengumuman penting, hingga ke pelaksanaan hukuman mati (hukuman gantung). Begitupun halnya dengan di Alun-alun Bandung dahulu.

Dalam buku Pak Kunto, “Semerbak Bunga di Bandung Raya”, ada cerita mengenai Mas Alimu yang menggelapkan kiriman kopi dari gudang kopi (koffiepakhuis) milik Andries de Wilde, yang seharusnya dikirimkan ke Cikao di Purwakarta, malah dilarikannya dan kemudian dijual ke orang Inggris di Cirebon. Konon, Mas Alimu melakukannya sebagai bentuk perlawanan terhadap keserakahan monopoli kebijakan pemerintah Belanda melalui Cultuurstelsel. Mas Alimu ditangkap, lalu diadili di Bale Bandung yang terletak di pojok tenggara Alun-alun. Ia dikenai hukuman mati dengan cara digantung di atas sebuah panggung kayu tempat tiang gantungan berada. Lokasi pelaksanaan hukuman gantung ini terletak di depan bekas Bioskop Dian sekarang ini. Dalam pelaksanaan hukuman gantung itu, daftar kejahatan  atau daftar dosa terhukum akan dituliskan pada selembar kertas yang kemudian dikalungkan di leher sang terhukum.

Tempat mengadili Mas Alimu yang disebut Bale Bandung ini dulu berada di pojok tenggara Alun-alun. Di depan Bale Bandung terletak sebuah panggung kayu dengan tiang untuk pelaksanaan hukuman mati. Bangunan Bale Bandung serupa bangsal dengan tiang-tiang besar yang menyangga atap bersusun, lantainya ditinggikan dua atau tiga kaki dari atas tanah. Bale Bandung ini biasa digunakan sebagai tempat bersidang, rapat, atau menerima tamu bagi Patih dan Jaksa. Tempat tinggal Patih saat itu berada di luar kompleks benteng Pendopo, lokasinya berada di daerah yang dinamakan Kepatihan sekarang ini. Di sebelah timur Alun-alun ada bangunan lain, yaitu rumah gedong tempat tinggal putra sulung Bupati. Di lokasi ini kelak akan hadir kompleks bioskop Oriental, Varia, dan Elita.

Siapakah Mas Alimu? Ternyata terhukum mati ini adalah seorang jurutulis di koffiepakhuis, dia membelot dan berkomplot dengan Mandor Padati dalam perbuatannya. Mas Alimu tidak terima keserakahan Belanda dalam monopoli perdagangan kopi, karena itu ia membawa lari hasil panenan saat itu. Dari sebuah jalan kecil yang saat itu disebut Jalan Pedati (Karrenweg, atau kelak akan dikenal dengan nama Jl. Braga), Mas Alimu mengangkut curiannya menuju Grootepostweg ke arah Sumedang.

Continue reading

Pembunuhan J.F.W. de Kort, Juragan Bioskop di Bandung

Oleh: Irfan Pradana

Foto: Lim Yap Collectables

Siapa yang hobinya menonton film di bioskop? Rasanya selalu menyenangkan menatap gambar bergerak di layar raksasa dilengkapi dengan tata suara yang menggelegar. Saat ini umumnya fasilitas bioskop berada satu gedung dengan pusat perbelanjaan. Di masa lalu kondisinya tidak begitu. Dulu bioskop memiliki gedung sendiri dan dikhususkan untuk memutar film.

Keberadaan bioskop dengan format seperti itu pernah menjamur di kota Bandung dari zaman kolonial hingga ke awal 2000-an. Kemunculan gedung-gedung bioskop tersebut seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk pada awal abad ke-20 di kota Bandung.

Perubahan status Bandung menjadi Gemeente  semakin mendorong penambahan jumlah penduduk, terutama kalangan warga Eropa. Praktis hal ini berimbas juga pada kebutuhan sarana hiburan. Setelah taman, hotel, restoran, dan gedung pertemuan, bioskop tak ingin ketinggalan, turut meramaikan gemerlapnya kehidupan warga pada kala itu.

Mengutip artikel di mooibandoeng.com, gedung bioskop permanen baru muncul pada tahun 1908 dengan berdirinya Elita Biograph. Setelah itu bioskop-bioskop lain mulai menjamur, antara lain Varia, Oriental, Luxor, Roxy, Majestic, Rex, hingga Radio City. Menariknya, sederetan nama bioskop tersebut berada dalam kepemilikan utama dari tiga orang saja, yakni F.A. Busse, Thio Tjoan Tek, dan J.F.W. de Kort.

Usai menulis kasus pembunuhan oleh W.F. Winckel (Wakil Ketua Bandung Vooruit) yang sudah diunggah di sini beberapa waktu lalu, seorang kawan di Komunitas Aleut memberikan ide untuk terus mendokumentasikan kasus-kasus kriminal yang pernah terjadi di Bandung pada masa lalu. Saat mengobrol santai terkait bioskop di zaman baheula, kami menemukan sepotong cerita tentang hidup pengelola bioskop Radio City, J.F.W de Kort, yang berakhir tragis.

Continue reading

Jelajah Ibu Kota Solidaritas Asia-Afrika bersama Bandung Historical Study Games 2024

SMKAA (10/08)- Bandung Historical Study Games (BHSG) kembali digelar oleh Sahabat Museum Konperensi Asia-Afrika, yang didukung oleh Museum Konperensi Asia-Afrika, pada hari Sabtu, 10 Agustus 2024. Sejak 2013, BHSG konsisten menggunakan format kegiatan edukatif yang rekreatif, untuk mengobarkan Semangat Bandung.

BHSG 2024 memilih tema “Time Travel Trivia: Exploring Asian-African Solidarity in Bandung” untuk menegaskan predikat Kota Bandung sebagai Ibu Kota Solidaritas Asia-Afrika, sebagaimana telah disepakati para peserta KTT Asia-Afrika dalam Bandung Message 2015. BHSG tahun ini juga bertujuan untuk menguatkan pemahaman dan merawat makna penting Semangat Bandung, menuju peringatan 70 Tahun KAA di 2025.

(Foto 1 Peserta BHSG 2024)

BHSG juga menawarkan pengalaman yang berbeda setiap tahun. Pada BHSG kali ini, peserta diajak menjelajahi 10 lokasi bersejarah, yang berkaitan dengan peristiwa penting Kota Bandung dan Konferensi Asia Afrika. Pada setiap lokasi, para peserta akan menghadapi berbagai tantangan permainan yang berbeda.

Sejak pukul 05.30, sejumlah 323 peserta mulai berdatangan ke Gedung Dwi Warna sebagai titik awal penjelajahan. Gedung Dwi Warna merupakan representasi dan saksi perjuangan diplomasi Indonesia bersama bangsa-bangsa Asia dan Afrika dalam mengakhiri kolonialisme dan mendorong tercapainya perdamaian dunia, melalui pelaksanaan sidang komite politik, ekonomi dan kebudayaan KAA. BHSG 2024 dibuka oleh Ibu Noviasari Rustam Kepala Museum Konperensi Asia Afrika. Sambutan hangat dan dukungan juga disampaikan oleh Bapak Giri Susilo, Kepala Bagian Umum mewakili Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jawa Barat, selaku pengelola Gedung Dwi Warna.

(Foto 2 Peserta BHSG saat berada di Museum Pos)

Seusai dilepas oleh Kepala Museum KAA, 76 kelompok peserta BHSG akan menempuh perjalanan sejauh 6 km yang berakhir di Gedung Merdeka. Peserta akan melewati Museum Pos, Museum Gedung Sate, Gedung De Driekleur, Taman Dewi Sartika, Gedung DENIS Bank BJB, Gedung YPK, Hotel Grand Preanger, Kantor Pos Besar Asia Afrika dan menyelesaikan permainan di Gedung Merdeka.

Salah satu kelompok yang mengikuti kegiatan ini adalah empat orang teman sepermainan yang berasal dari Kota Bandung dan Bekasi, mereka tergabung dalam kelompok Guinea Khatulistiwa. Walaupun harus menempuh perjalanan yang cukup jauh, mereka tetap antusias. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu anggota kelompok, Orlando, “Melalui kuis, dan tantangan-tantangan yang harus kami selesaikan di setiap tempat yang kami kunjungi membuat kami jadi lebih tau soal sejarah dan juga informasi terkait kawasan yang dilewati. Seru dan cape!” ungkapnya.

(Foto 3 Kartu kelompok dan foto clue menuju tempat berikutnya)

Bandung Heritage dan board games dari Prodi DKV Itenas turut meramaikan kegiatan di Gedung Merdeka menjelang sesi penutupan BHSG 2024 yang diisi penampilan dari Sahabat Museum KAA. Peserta yang tertarik untuk bergabung sebagai relawan di Sahabat Museum KAA juga dapat mendaftarkan diri di hari yang sama.

Pelaksanaan BHSG 2024 didukung oleh Museum KAA Kementerian Luar Negeri dan para pengelola 10 lokasi kegiatan BHSG yaitu Pemprov Jawa Barat, Pemkot Bandung, Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jawa Barat, BTPN Cabang Dago, PT. Pos Indonesia, Grand Hotel Preanger, dan POSCO.

Pemenang BHSG akan diumumkan pada 17 Agustus 2024 melalui media sosial resmi BHSG dan Sahabat Museum KAA. Hadiah utama bagi para pemenang BHSG 2024 berupa sejumlah tabungan dari sponsor prioritas yaitu Bank BJB. Berbagai doorprize bagi para peserta BHSG 2024 berasal dari sponsor lainnya seperti Sindang Reret Hotel & Restaurant, Bromen Personal Care, Monarq Studiom, Implora Beauty Cosmetic, Le Von Boulangerie, Sanqua, BI-MR Photo Studio, dan Kue Balok Brownies Mahkota. BHSG 2024 juga didukung oleh 15 mitra media di Bandung. ***

Narahubung: Media Partner: 0812-2290-4080 (Idan)

Pembunuhan Sadis oleh Sekretaris Bandoeng Vooruit

Oleh Irfan Pradana

Belakangan ini waktu saya di Komunitas Aleut sedang banyak saya gunakan untuk mengulik informasi tentang Bandoeng Vooruit. Perkumpulan ini didirikan tahun 1925 dengan tujuan utama untuk memajukan kota Bandung, khususnya di bidang pariwisata.

Untuk menambah dayanya, sejak 1933 Bandoeng Vooruit menerbitkan majalah bulanan bernama Mooi Bandoeng. Melalui majalah ini Bandoeng Vooruit menginformasikan seluruh programnya kepada publik. Tidak hanya itu, selain memuat berbagai artikel promosi wisata serta trivia yang menarik, majalah ini juga membuat banyak sekali liputan mengenai keadaan kota Bandung, perkembangannya, serta berbagai aktivitas warganya.

Lewat arsip majalah Mooi Bandoeng ini juga saya mendapatkan beragam informasi unik yang bisa memantik ide untuk melakukan riset kecil-kecilan. Salah satu yang dapat saya catat adalah jejak apotek swasta pertama di Kota Bandung yang berawal dari sepotong informasi dari Mooi Bandoeng. Artikelnya bisa dibaca di sini.

Beberapa waktu lalu saat tengah asyik bergumul dengan kata kunci “Bandoeng Vooruit”, saya menemukan berita menghebohkan. Ternyata, di balik sepak terjangnya dalam mengembangkan sektor pariwisata, Bandoeng Vooruit juga tak lepas dari skandal dan kontroversi. Berikut ini adalah salah satu yang sangat menarik perhatian saya.

Continue reading

Apotek Preanger – Apotek Swasta Pertama di Kota Bandung

Oleh: Irfan Pradana

Cerita tentang Braga tidak ada habisnya ditulis. Setiap perjalanan menyusuri jalan sepanjang 850 meter ini selalu berhasil memantik rasa penasaran dan penelusuran baru. Bermula dari sebuah rasa penasaran tentang Braga, saya mengisi waktu libur lebaran tahun ini dengan berselancar di laman pencarian internet. Dalam satu kesempatan, perhatian saya tertuju pada sebuah majalah lama bernama “Mooi Bandoeng” edisi bulan Maret tahun 1938.

Bandung – wabil khususnya Braga—sejak zaman kolonial memang sudah menjadi magnet bagi wisatawan. Guna memfasilitasi gelombang pelancong yang pelesiran di kota Bandung dan juga sebagai upaya promosi Kota Bandung yang lebih luas, perkumpulan Bandoeng Vooruit menerbitkan majalah wisata bulanan. Edisi pertamanya terbit tahun 1933 dengan harapan bisa menjadi pedoman bagi para wisatawan yang hendak menghabiskan waktu menikmati keindahan kota  Bandung. Majalah ini diberi nama Mooi Bandoeng.

Saya tertarik sekali pada sebuah artikel di halaman 11 yang berjudul “Bandoeng in 1874”. Artikel itu menuliskan pengalaman melihat Bandung yang masih serba sederhana. Hanya ada 6-7 bangunan saja saat itu. Namun yang lebih menarik perhatian saya adalah sebaris kalimat yang menyebutkan tentang keberadaan apotek pertama dan satu-satunya di Bandung, sebuah apotek yang dibangun pada tahun pada 1880 oleh orang bernama Verschooff.

Nama Verschooff mula-mula membawa saya pada sebuah buku “Adresboek van Nederlandsch-Indië voor den Handel” yang jika diterjemahkan kurang lebih artinya “Buku Alamat Hindia Belanda untuk Perdagangan”. Buku yang terbit pada 1884 ini berisi informasi tentang bangunan, gedung pemerintah, serta fasilitas umum di seluruh Hindia Belanda. Nama apotek Verschooff tercantum di halaman 5.

Continue reading

Rumah Potong Hewan di Kota Bandung

Salinan tulisan G. Hendriks oleh Komunitas Aleut

Berikut ini adalah artikel dari Gerrit Hendriks (1890-1945) tentang Rumah Potong Hewan di Jalan Arjuna, Bandung, yang kami terjemahkan dari majalah Locale Techniek, volume 5 Tahun 1936. Gerrit Hendriks bekerja sebagai arsitek untuk biro pembangunan Gemeente Bandoeng sepanjang tahun 1929-1942. Ia terlibat dalam perancangan dan pembangunan beberapa bangunan monumental di Kota Bandung, di antaranya Departementsgebouw Gouvernementsbedrijven (Gedung Sate, saat bekerja untuk Burgerlijke Openbare Werken, 1922), Juliana Ziekenhuis (RSHS, 1929), Abattoir di Slachthuisweg 45 (Rumah Potong Hewan, 1935), dan Gebouw Indische Pensioenfondsen Wilhelminaboulevard 9 (Gedung Dwi Warna, 1940). Gerrit Hendriks meninggal dunia di kamp internir Jepang di Cimahi pada tanggal 3 Agustus 1945.

Pada bagian akhir, ditambahkan keterangan pendek dalam bahasa Indonesia saat itu dan kami salin utuh di sini. Keterangan gambar juga kami salin sesuai dengan teks aslinya. Semoga bermanfaat.

“Rumah Potong Hewan di Kota Bandung”

Pada tahun 1935, rumah potong sapi yang baru telah selesai dibangun, sehingga konstruksi seluruh kompleks rumah potong untuk Kota Bandoeng dapat dianggap selesai dan telah digunakan.

Pembangunan dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama mencakup gedung administrasi, dua rumah dinas, dan pintu masuk utama. Pembangunan ini dimulai pada tahun 1934 dengan pembangunan rumah potong babi dan beberapa kandang. Saat ini, tahap ketiga dan terakhir, yaitu rumah potong sapi, juga telah selesai.

Lokasi:

Area rumah potong terletak di bagian barat Bandoeng di Jalan Slachthuis (Slachthuisweg, sekarang Jl. Arjuna), dekat dengan jalur kereta api Bandoeng-Tjimahi. Hewan ternak diantar ke bagian belakang dari tempat pembongkaran khusus yang terletak di jalur samping rel tersebut dan kemudian dibawa ke kandang observasi (Nomor 11 dan 5 pada gambar 1).

Tanah:

Tanahnya hampir datar dan cocok untuk pembangunan. Oleh karena itu, tidak diperlukan langkah-langkah khusus dalam hal pondasi. Selama pembangunan gedung administrasi, rumah dinas, dan pintu masuk, jalan utama (hanya pengerasan sementara) sudah dibangun oleh pemerintah bersamaan dengan penanaman pohon yang diperlukan.

Selama pembangunan selanjutnya, tanaman ini, dengan beberapa pengecualian, tidak mengalami kerusakan sehingga saat ini area rumah potong sudah memiliki tanaman yang cukup maju.

Pembagian:

Persyaratan untuk memisahkan sepenuhnya rumah potong sapi dan babi telah menjadi dasar perencanaan (lihat gambar 1 untuk seluruh rumah potong, dan gambar 2 untuk rumah potong sapi saja). Di kedua sisi pintu masuk utama (yang juga berfungsi sebagai pos penjaga) diatur jalan menuju rumah potong sapi dan babi, yang kemudian terhubung ke ruang distribusi.

Continue reading

Pernah Ada Hassan Bandung dan M. Natsir di Jalan Belakang Pakgade

oleh Insan Bagus Raharja/Komunitas Aleut

Minggu, 14 Januari 2024 saya berkesempatan menjadi bagian dari ekpedisi Komunitas Aleut untuk menelusuri jejak sejarah di sekitaran Tegallega, Bandung. Dari sekian banyak tempat yang kami telusuri, Jalan Belakang Pakgede menjadi tempat yang paling memantik rasa penasaran saya. Meski ukuran jalannya sama saja dengan gang-gang lain di komplek kebanyakan, tapi tempat ini pernah jadi bagian penting dalam perjalanan sejarah beberapa tokoh Islam modernis-konservatif yang sampai sekarang memiliki kedudukan terhormat dalam sejarah pergerakan Islam. Dua dari mereka adalah Hassan Bandung dan Muhammad Natsir.

Bagian belakang lokasi Kantor Pegadaian Negeri. Jalan kecil di belakang kantor ini sekarang bernama Jalan Belakang Pakgade. Foto: Google Maps

Ajip Rosidi dalam buku Muhammad Natsir; Sebuah Biografi (Girimukti Pasaka, 1990) menuturkan bahwa, Pakgade dulunya adalah kos-kosan kelas pekerja dengan latar belakang yang beragam. Mulai dari para pedagang di sekitar Pasar Baru, para pegawai kelas menengah pemerintah Belanda, hingga guru agama seperti Hassan Bandung. Buku itu juga mencatat bahwa di sinilah salah satu tokoh Persis itu menggembleng Natsir tentang keislaman

Situasi jalan ini sekarang sepi, langka terlihat keberadaan orang, baik warga setempat ataupun yang sekadar lewat. Sepertinya tidak banyak rumah juga, hanya ada area parkir luas dengan gedung bertingkat, gudang-gudang penampungan kardus atau rongsok lainnya, sebuah halaman beratap yang cukup besar, entah bekas bengkel atau halaman parkir, seorang ibu warung di Gang Sutur menyebutnya garasi. Halaman kosong dengan fungsi garasi seperti ini terlihat yang paling banyak mengisi ruas Jalan Belakang Pakgade sekarang. Di ujung jalan, dekat Gang Kote, barulah ada beberapa rumah di sisi kiri dan kanan jalan, rasanya hanya ada belasan rumah.

Untuk masuk ke Jalan Belakang Pakgade, kami masuk dari selatan lewat Gang Sutur yang sempit. Bagian kiri jalan ini diisi oleh warung nasi, lalu ada portal yang dijaga oleh seseorang bapak dan ia akan membukanya bila ada mobil yang lewat. Setelah itu ada sebuah rumah bergaya lama di sisi kiri jalan, bukan gaya kolonial, sepertinya dari masa setelah kemerdekaan. Di sisi kanan adalah belokan masuk ke Jalan Belakang Pakgade dari sisi barat. Lalu ada satu rumah di kanan dan di seberangnya sepertinya bekas gedung perkantoran. Entah masih aktif atau tidak, karena tidak terlihat ada tanda-tanda keaktifan dari luar.

Continue reading

Mencari Hassan Bandung

Oleh: Reza Khoerul Iman

Minggu, 14 Januari 2024, kawasan Cibadak yang menjadi sentra cinderamata dan ATK di Kota Bandung tampak lenggang tak seperti biasanya. Toko-toko yang menjajakan cinderamata, souvernir, kertas, hingga alat tulis, hampir semuanya tutup pada hari itu. Hanya sedikit saja yang tampak membuka pintu tokonya.

Pada hari Minggu yang hampir siang itu, saya bersama sepuluh rekan Komunitas Aleut! lainnya hendak mencari-cari jejak Ahmad Hassan (guru utama Persatuan Islam) pada saat ia tinggal di rumahnya Mahmud Yunus. Lokasi persisnya berada di Jalan Belakang Pakgade, seperti yang dikatakan oleh Ajip Rosidi dalam bukunya yang bertajuk “M. Natsir; Sebuah Biografi.”

Peta jalan Pakgade dari oldmapsonline.

Posisi Jalan Belakang Pakgade berada di sebelah selatan Jalan Jendral Sudirman atau sebelah utaranya Jalan Cibadak. Namun untuk menuju ke sini mesti memasuki jalan kecil dulu. Pilihannya dua, bisa masuk lewat Jalan Kote lalu belok ke sebelah barat atau bisa juga masuk lewat Jalan Sutur lalu belok ke sebelah timur.

Waktu itu kami lewat Jalan Cibadak lalu masuk ke Jalan Sutur, baru kemudian sampai di Jalan Belakang Pakgade. Hanya suasana sunyi dan deru motor kami saja yang didapatkan sesampainya di sana. Rumah-rumah sederhana dari kayu dengan dinding anyaman bambu seperti yang dilihat Ajip pada puluhan tahun lalu sudah tak tersisa lagi.

Setiba di ujung Jalan Kote, kami lalu kembali lagi ke Jalan Sutur sambil berharap ada orang yang bisa ditanya dan tahu soal jejak-jejak Ahmad Hassan di sini. Namun nihil, tak ada yang tahu siapa itu Ahmad Hassan atau Hassan Bandung, padahal nama itu sempat populer di tahun 30-an dan Jalan Belakang Pakgade ini pun cukup ramai oleh aktivitas pergerakan Islam yang saat ini dikenal dengan nama Persatuan Islam.

Ayeuna mah tos janten permukiman orang Tiongha,” kata petugas keamanan di Jalan Sutur yang lupa saya tanyakan siapa namanya.

DR. Syafiq A. Mughni, MA penulis buku “Hassan Bandung; Pemikir Islam Radikal” menilai Ahmad Hassan semakin dikenal karena tulisan-tulisannya tentang Islam yang mengundang perhatian dan perdebatan dengan orang-orang, juga kritik-kritiknya yang tajam. Memang itulah kegemarannya dan karena itu pula ia jadi makin dikenal, bukan hanya di Bandung tapi menjalar hingga Singapura dan Malaya.

Continue reading

Ngaleut Jalan Siti Munigar

Oleh: Fikri M Pamungkas

Jika akhir pekan tanpa pergi kemana-mana sepertinya terasa hampa. Minggu lalu saya berkesempatan mengikuti kegiatan ngaleut ke sekitar Jalan Siti Munigar.

 Pagi itu begitu cerah seakan-akan merestui perjalanan ini, dengan rasa penasaran dan ingin tahu saya pun berangkat bersama rekan komunitas aleut. Kami berangkat melewati Jalan Pasir Koja, lalu berbelok kanan, ada sebuah Jalan yang bertuliskan Siti Munigar. Sehari sebelum ngaleut, saya menyempatkan menyusuri rute ngaleut yang telah disusun sebelumnya. Karena saya pernah beberapa kali melewati jalan tersebut, namun ngga ngeuh ternyata Jalan Siti Munigar terdapat sesuatu yang menarik.

Bagian utara Jalan Siti Munigar. Foto: Komunitas Aleut.

Sebelumnya saya sudah sempatkan membaca beberapa tulisan di website Komunitas Aleut yang membahas tentang Jalan Siti Munigar, kalau saya ringkas, kira-kira seperti ini: jalan kecil bernama Siti Munigar ini ternyata merupakan bagian dari sejarah keluarga Orang Pasar. Sebutan Orang Pasar ini mengacu pada para pedagang lama di Pasar Baru Bandung yang ternyata saling memiliki kaitan kekeluargaan.

Continue reading

Rumah Irama di Siti Munigar

Oleh: Elisa Nur Azizah

Hari Minggu 14 Januari 2024, saya mengikuti kegiatan Ngaleut yang berbeda dari sebelumnya. Dalam kegiatan kali ini saya dan rekan-rekan lebih banyak berjalan di gang-gang kecil dan menyapa masyarakat setempat.

Perjalanannya dimulai dengan kunjungan ke Makam Ahli Waris H.St Chapsah Durasid. Sebelum masuk, ada sebuah bangunan Kantor RW dengan plakat yang menerangkan izin pemakaian tanah oleh Ibu H. St. Chapsah alm dan diresmikan oleh Walikota Bandung. Plakat ini berangka tahun 1967. Kemudian kami memasuki area makam dan mulai mengamati keadaan sekitar.

Memeriksa nisan-nisan di kompleks makam ini cukup menarik perhatian saya karena banyak yang masih menggunakan ejaan lama, bahkan ada yang menggunakan huruf Arab pegon. Bisa dipastikan kompleks makam ini sudah cukup tua usianya.

Sebuah rumah tua dengan dinding bilik di Gang Adi Kacih. Foto: Komunitas Aleut.

Setelah dari makam, kami menyusuri sebuah gang, namanya Gang Adi Kacih Tengah. Konon dulunya gang ini bernama Gang Kuburan. Agak di ujung gang, kami menemukan satu bangunan yang bentuknya cukup unik, dan ternyata ada warungnya. Jadi, kami mampir dulu untuk membeli minum dan sekadar ngobrol dengan warga yang ada. Yang terlihat seperti warung ini ternyata adalah sebuah kamar yang di balik jendelanya terpajang bermacam jualan khas warung, minuman sachet dan banyak macam makanan ringan. Kamarnya tidak terlalu besar, sekitar 2×3 meter. Di bagian paling dalam ada kasur, rak, dan lemari kecil. Jadi, ini sebuah kamar yang berfungsi sekaligus sebagai warung.

Continue reading

Mashudi dan Siti Munigar

Oleh: Irfan Pradana Putra

Kalau saja tidak berjumpa dengan penghuni rumah Irama, kemungkinan besar saya tidak akan tahu kalau bangunan modern di depan rumah Irama dahulunya merupakan rumah yang punya cerita sejarah. 

Lokasi rumah tinggal Mashudi bersama kakaknya di Gang Siti Munigar. Bentuk bangunan sudah berubah total. Foto: Komunitas Aleut

Siang itu matahari cukup terik, namun saya dan kawan-kawan yang sedang Ngaleut Siti Munigar cukup beruntung diperbolehkan berteduh sebentar sambil ngobrol bersama salah satu penghuni rumah yang gaya bangunannya terlihat cukup antik. Kami sebut sebagai Rumah Irama, karena di bagian atas tembok depan rumahnya ada relief tulisan “IRAMA”. 

Penghuni rumah yang saya maksud adalah Pak Atep. Ternyata ia juga cukup tertarik pada cerita-cerita seputar sejarah Bandung, jadi lumayanlah isi obrolannya, bisa menambah wawasan. Tulisan yang lebih spesifik mengulas tentang rumah Irama bisa dibaca melalui tautan ini.

Di tengah penceritaan telunjuk Pak Atep mengarah ke rumah bertingkat uang terletak di seberang jalan. Sebuah bangunan dua lantai yang kini difungsikan sebagai kos-kosan. Menurut penuturannya dahulu bangunan itu merupakan kediaman dari Mashudi, Gubernur Jawa Barat yang menjabat selama periode 1960-1970.

Foto Mashudi yang saya dapat dari Wikipedia

Wujud asli bangunannya sudah berubah total, berganti menjadi bangunan modern yang menurut Pak Atep baru dilakukan dalam kurun waktu dua tahun belakangan ini. Benar saja, saat saya mencoba memeriksa menggunakan google street view, terlihat bentuk bangunan yang sama sekali berbeda pada tahun 2019. Itu pun masih agak meragukan, sepertinya juga bukan bangunan asli dari masa kolonial, karena katanya Mashudi sudah tinggal di rumah itu sejak masa ia kuliah di THS (sekarang ITB).

Continue reading

Pajagalan; Rumah Potong Hewan Lama di Bandung

 Oleh: Muhammad Naufal Fadilah

Perjalanan ngaleut di kawasan Pajagalan menyisakan sebuah cerita yang berkesan. Sudah sejak kecil saya diperkenalkan dengan jalan Pajagalan, namun tidak pernah terbersit sama sekali mengapa jalan ini diberi nama tersebut. Berdasarkan hasil diskusi bersama rekan-rekan Aleut, nama pajagalan besar kemungkinan diambil dari keberadaan rumah potong hewan di salah satu sudut jalan tersebut. Dalam bahasa Belanda, rumah potong hewan dikenal juga dengan istilah abattoir, slachthuis, dan slachtplaats. Teringat kembali sebuah memori masa kecil ketika saya sedang bercengkrama dengan seorang teman di depan sebuah bangunan tua bernama serupa yang terletak di jalan Sukimun, Kota Cimahi. Pertanyaan pun kembali menyer, di mana letak rumah potong hewan yang pada akhirnya memberikan nama bagi jalan Pajagalan ini?

(Foto 1: Kondisi abattoir Bandoeng di Cimahi saat ini). Sumber: Dokumentasi Komunitas Aleut

Sebelum memulai kegiatan ngaleut kawasan Pajagalan, kami melakukan perencanaan rute dan pendataan objek-objek yang akan dikunjungi. Melalui penelusuran literatur, kami menemukan peta Bandoeng van Omstreken berangka tahun 1910 yang di dalamnya memuat kata abattoir di ujung jalan Pajagalan. Temuan tersebut kemudian disesuaikan dengan kondisi saat ini melalui pencitraan google maps dan street view. Penelusuran ini menjadi bekal yang penting untuk mengungkap posisi rumah potong hewan di jalan Pajagalan.

(Foto 2: Peta Bandoeng en Omstreken 1910). Sumber: oldmapsonline.org
(Foto 3: Perbandingan peta lama dan sekarang). Sumber: oldmapsonline.org
(Foto 4: Perbandingan peta-peta yang di dalamnya memuat Rumah Potong Hewan di Pajagalan 1905-1939). Sumber: oldmapsonline.org
Continue reading

Masdoeki dan Himpoenan Soedara

Oleh: Aditya Wijaya

Bisingnya suara klakson motor terdengar nyaring di telinga ketika saya dan rekan-rekan Aleut melintas di Kawasan Pasar Astana Anyar. Pagi itu kami hendak Ngaleut ke sekitar Jalan Siti Munigar, dan salah satu tujuannya adalah kompleks Permakaman Keluarga Pasar Baru yang ada di sana. Suara bising di perjalanan tadi berganti senyap setelah berada di area permakaman.

Tadi malam, seperti biasanya sebelum Ngaleut, saya mencoba mencari informasi sebanyak mungkin untuk bantu-bantu menambah sudut pandang baru saat di lapangan nanti. Salah satunya, informasi mengenai Jalan Siti Munigar yang saya temukan di situs KITLV, berupa empat buah foto keadaan Jl. Siti Munigar setelah dilaksanakannya program perbaikan kampung (Kampong Verbetering) oleh pemerintah kota.

Informasi lainnya, saya dapatkan dari sebuah Katalog Koleksi Etnologi Masyarakat Seni dan Sains Batavia (Catalogus der Ethnologische Verzameling van het Bataviaasch Genootschap van kunsten en wetenschappen) yang disusun oleh J. A. van der Chijs dan diterbikan oleh pada tahun 1885-1901. Di dalam katalog itu disebutkan bahwa Siti Munigar merupakan salah satu koleksi dengan keterangan “Beeldje van Amba-karna en Siti Moenigar, vroeger in gebruik bij het gelamar. Werd voor het bed van den man gezet en als souvenir aan het huweljjk bewaard, tevens als bewijs van gegoedheid. Indramajoe”. Artinya: “Patung Amba-karna dan Siti Moenigar, dulunya digunakan di gelamar. Diletakkan di depan tempat tidur pria dan disimpan sebagai kenang-kenangan pernikahan, juga sebagai bukti niat baik. Indramajoe.”

Jika ditelusuri lebih lanjut, nama Amba ini dapat ditemui sebagai tokoh dalam cerita pewayangan Mahabharata. Lalu apa hubungannya dengan nama Siti Munigar? Entahlah, tapi yang pasti jika melihat keterangan katalog tersebut Patung Amba-karna dan Siti Munigar adalah patung yang penting dan berharga, apalagi dijadikan kenang-kenangan pernikahan. Rasanya nama Siti Munigar juga memiliki arti yang dalam, seperti nama Amba dalam cerita Mahabharata yang kelak bereinkarnasi menjadi Srikandi.

Makam H. ST. Chapsah Durasid Singkatnya, kami tiba di area makam dan saya masuk di urutan paling akhir dibandingkan dengan rekan-rekan Aleut yang terlihat semangat sekali. Saya harus menyiapkan dahulu kamera digital yang ternyata cukup ribet untuk dibawa-bawa. Sedapat mungkin saya dokumentasikan seluruh momen di situ, tapi rupanya tidak mudah juga, karena nanti setelah sampai rumah dan melihat hasilnya, barulah tersadar, ternyata sesedikit itu dokumentasi foto yang saya buat. Jika saja seluruh nisan dapat saya dokumentasikan dengan baik, mungkin bisa mudah mencocokkannya nama-namanya dengan buku silsilah Keluarga Pasar Baru Bandung yang ada di Perpustakaan Aleut.

Continue reading
« Older posts Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑