Category: Cagar Budaya (Page 4 of 4)

Monumen Bandung Lautan Api

Oleh: Irfan Noormansyah (@fan_fin)

image

24 Maret 1946, langit Bandung tak secerah hari ini.
Kepulan asap hitam dan jilatan api merah membara mewarnai jengkal udara di kota ini.
Ratusan ribu warga kota Bandung membakar bangunan dan tempat tinggalnya untuk melindungi Kota Bandung dari penjajah.

70 tahun berselang, Kota Bandung telah lahir kembali dengan membawa banyak perubahan dan inovasi. Sebuah tugu berbentuk kobaran api bertengger kokoh di Lapangan Tegallega, sebagai pengingat untuk mereka yang hidup di masa sekarang dan di masa yang akan datang.

Karya-karya Irfan yang lainnya bisa dilihat di http://instagram.com/fan_fin

M.I. Prawirawinata

image

Di lokasi ini pernah berdiri sebuah Toko Buku dan Percetakan M.I. Prawirawinata, toko buku dan percetakan pertama yang dimiliki oleh seorang pribumi.

Setelah berhenti beroperasi pada pertengahan 1930-an, bangunan yang berada di ruas Jl. Lembong ini beralih fungsi menjadi hotel.

Bangunan Swarha

image

Bangunan ini berada di Jl. Asia-Afrika, beroperasi sebagai hotel sekitar awal 1950-an. Pada saat perhelatan Konferensi Asia-Afrika 1955, gedung ini digunakan sebagai tempat menginap para kuli tinta. Setelah sekitar satu dekade beroperasi, hotel ini kemudian tutup.

Lantai dasar bangunan ini masih digunakan untuk berjualan kain, sedangkan 4 lantai ke atasnya dibiarkan kosong begitu saja. Sempat ada perbaikan di beberapa kamar untuk keperluan syuting film layar lebar.

Gedung Indonesia Menggugat

image

Gedung Indonesia Menggugat, dulunya berfungsi sebagai pengadilan. Nama gedung diambil dari judul pledoi Sukarno dengan judul sama yang ia tulis selama mendekam di Penjara Banceuy.

Nah, lokasi ini merupakan titik kumpul kegiatan Ngaleut Toko Buku dan Percetakan Tempo Dulu hari Minggu besok. Sudahkah Aleutians memastikan diri bergabung?

Foto: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Rumah Tan Shio Tjhie dalam Roman Rasia Bandoeng

20160218022818

Dalam roman Rasia Bandoeng, Chabanneau menggambarkan rumah Tan Shio Tjhie sebagai rumah gedong besar di pinggir Groote Postweg (sekarang Jl. Jendral Sudirman), berhadapan dengan Gang Kapitan (sekarang Gang Wangsa) dan di sebelah timur rumah tersebut mengalir Kali Citepus.

Sosok Tan Shio Tjhie digambarkan sebagai sosok yang progresif karena tidak menentang kehendak anaknya, Tan Tjin Hiaw, untuk menikah dengan Tan Gong Nio atau Hilda. Padahal, dalam adat budaya Tionghoa saat itu, perkawinan satu marga adalah hal tabu dan terlarang. (dikutip dari tulisan bersambung Lina Nursanty di HU Pikiran Rakyat)

Siapakah sebenarnya sosok Tan Shio Tjie ini? Mari mengulasnya bersama hari Sabtu besok bersama @pustakapreanger di acara Diskusi Buku Rasia Bandoeng yang akan berlangsung di rumah Tan Shio Tjie ini. Info acara silakan cek foto sebelumnya atau klik http://bit.ly/1PHHMwR.

Villa Isola

image

Villa Isola dulu dikenal dengan nama Villa Beretty. Dominic Willem Beretty, pemilik awal villa ini, adalah seorang miliuner berkebangsaan Italia pendiri Kantor Berita Aneta.

Villa ini merupakan rancangan C.P. Wolff Schoemaker yang bergaya art deco. Villa ini selesai dibangun pada tahun 1933. Pada tahun 1936, villa ini dibeli oleh Hotel Savoy Homann dan namanya diganti dengan nama sekarang.

Pada masa mempertahankan kemerdekaan, villa ini sempat digunakan sebagai markas pejuang di daerah Bandung Utara. Sekarang, Villa Isola difungsikan sebagai kantor rektorat Universitas Pendidikan Indonesia.

Menara Pemancar Radio Malabar

image

Menara pemancar ini merupakan bagian dari sisa kejayaan Radio Malabar. Radio ini didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1917 dan kemudian diresmikan pada tahun 1923. Radio ini pula yang pertama kali bisa menghubungkan saluran komunikasi antara Hindia Belanda dengan Belanda yang berjarak 12.000 km.

Dari 13 menara yang pernah ada di kawasan Universitas Telkom ini, kini tinggal menyisakan dua buah saja. Kedua menara kini difungsikan sebagai base transceiver station (BTS).

Stasiun Cikajang +1.530

image

Stasiun Cikajang, stasiun kereta api paling tinggi di Indonesia (+1.530 m). Dibangun pada tahun 1926 dan kemudian dinonaktifkan pada tahun 1983 karena mulai rusaknya jalur kereta dan penurunan jumlah penumpang.

Kondisi stasiun ini sudah rusak karena lama tidak dipakai dan semakin lama semakin mengkhawatirkan, tembok-tembok sudah mulai terkelupas dan rusak, bagian atap juga sudah banyak bolong-bolong. Pada bagian tembok belakang sudah menempel tembok sebuah bangunan baru. Di bagian atas satu sisi bangunan masih dapat terbaca tulisan “Cikajang”.

Jalur-jalur rel di depan stasiun sudah banyak yang terkubur tanah, sebagian masih dapat dilihat tersingkap di atas tanah. Sekitar 15-20 meter di depan rel ada sebuah jalur rel yang walaupun samar masih dapat ditelusuri arahnya, menuju ke kampung. Di ujung rel yang terdapat di tengah kampung ada sebuah sisa bak besar yang sudah dipenuhi oleh sampah. Menurut warga lokasi itu memang sudah menjadi TPS.

Bila memerhatikan rangkaian rel di atas bak yang membulat ini, dapat diduga dulunya lokasi itu merupakan tempat pemutaran lokomotif. Sayang sekali, semuanya sudah tidak terperhatikan lagi. Bahkan di sekitar kampung ini sudah sulit untuk mencari bangunan lama. Hanya satu rumah tembok yang sudah setengah hancur masih berdiri di tengah kepungan bangunan-bangunan baru. Pada bagian depan rumah tua ini terdapat plakat seng bertuliskan PT KAI.

Rumah yang tampak berantakan ini ternyata masih berpenghuni, seorang nenek renta yang tinggal sendirian. Suaminya dulu memang bekerja sebagai pegawai kereta api. Kondisi hidupnya menyedihkan. Di ruang depan kasur tanpa seprai menggeletak begitu saja, kain-kain serta pakaian bertebaran, sebuah lemari sederhana berdiri miring seperti menunggu runtuh. Bagian lain dari rumah ini dibiarkan kosong karena bocor di sana-sini. Bagian atapnya banyak yang sudah runtuh. Untuk keperluan memasak, sebuah kompor sederhana diletakkan di ruang yang sama dengan ruang tidur.

Pintu depan rumah ini sudah lepas dari engselnya, sehingga agar dapat tetap berdiri, nenek itu perlu memasang sebuah palang yang menahan pintu dari luar. Untuk keluar masuk rumah, nenek ini menggunakan jendela di depan kasurnya, tentu dengan cara memanjatnya. Stasiun, bak pemutar lokomotif, rumah tua, dan nenek tua ini, semua tampak begitu menyedihkan…

Kosambi Pernah Jadi Pusat Hiburan di Bandung

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Manusia adalah makkhluk hidup yang spesial. Berbeda dengan makhluk hidup lainnya, manusia membutuhkan hal-hal lain untuk tetap bertahan hidup dalam menjalani kehidupannya. Salah satu kebutuhan tersebut adalah hiburan.

Sejak dahulu, manusia menghibur diri mereka dengan berbagai macam hal, seperti musik, drama, dan olahraga. Dengan hiburan, manusia bisa kembali berpikiran jernih dan kembali segar dalam menjalani semua aktifitasnya.

Berbicara soal hiburan, saat ini Bandung menjadi salah satu pusat hiburan alternatif warga ibukota. Jaraknya yang kurang dari 160 km saja bisa ditempuh dalam waktu dua jam saja (dengan kondisi lalu-lintas normal). Bandung menawarkan banyak hal yang tidak dimiliki ibu kota, seperti wisata alam, wisata belanja, dan wisata kuliner. Tangkuban Parahu, Ciwidey, Jalan Dago, dan Jalan Riau akan dipenuhi para pencari hiburan asal ibukota di akhir pekan

Saking seringnya warga ibukota mencari hiburan di Bandung, wawasan mereka tentang dunia hiburan terkadang lebih luas dibanding warga Bandung sendiri. Beberapa bulan terakhir ini saya gelagapan saat ditanya kawan yang berdomisili di Jakarta tentang lokasi-lokasi wisata kuliner kekinian. Bahkan tren kue cubit green tea baru saya ketahui dari sepupu saya yang hampir setiap minggu rajin main ke Bandung.

*** Continue reading

ITB sebagai Objek Wisata Alternatif

Oleh: M. Ryzki Wiryawan (@sadnesssystem)

Alkisah sekitar seabad yang lalu, tepatnya pada 4 Juli 1919, empat gadis mewakili empat bangsa secara simbolis menanam empat batang pohon di tengah lahan persawahan Dago, menandai pembangunan sekolah tinggi teknik pertama di Hindia Belanda – Technische Hogeschool – yang akan didirikan di lahan tersebut.

Beberapa tahun sebelumnya, niat pendirian sekolah tinggi teknik itu sudah dibicarakan oleh sekelompok pengusaha swasta (semacam KADIN) di Belanda. Salah satu pertimbangan utamanya adalah kesulitan mereka memenuhi tenaga teknisi yang handal atas industri mereka di Hindia Belanda. Usaha mendatangkan insinyur-insinyur Eropa ke  Hindia Belanda dianggap sangat mahal, oleh sebab itu muncul ide untuk membuat “pabrik” teknisi sendiri di Hindia Belanda, berbentuk sekolah tinggi teknik yang nantinya diharapkan bisa menghasilkan tenaga-tenaga insinyur “murah” yang kiranya akan diberdayakan pada industri-industri milik orang Eropa.

Nah sampai di sini, bisa disimpulkan bahwa pada awalnya ITB didirikan untuk menghasilkan SDM berkualitas yang diproyeksikan untuk bekerja bagi perusahaan asing. Maka itu, bagi para mahasiswa ITB yang sekarang kuliah hanya untuk bekerja di perusahaan asing, sungguh mulia mereka karena sejatinya telah meneruskan idealisme  para pendiri kampus itu.

Oke lanjut ke sejarah, intinya setelah membentuk komisi khusus yang tugasnya bikin kajian, pengumpulan dana, dan sebagainya, diputuskanlah izin pendirian sekolah teknik di Hindia Belanda oleh kerajaan Belanda sono. Dalam satu pertemuan melibatkan para inisiator dan pemerintah, sempat timbul perdebatan terkait lokasi kampus. Terdapat opsi Batavia, Solo, Yogyakarta dan Bandung. Tampil memberi solusi, Walikota Bandung yang kebetulan ikut rapat, namanya B. Coops (biasa dipanggil Kang Engkus karena ikut-ikutan Kang Emil), langsung tunjuk tangan. Continue reading

Kabar Dari Menara Kembar

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Menara Kembar Masjid Agung


Eta jalan Dalem Kaum

Tah ieu alun-alun

Palih ditu Cikapundung

Mana ari Masjid Agung?

—Deni A. Fajar

 

Adalah hari Ahad bertarikh 25 Januari 2015 yang sedang dirahmati sinar matahari, yang menandai bahwa Ngaleut tidak lagi berjalan dari rute ke rute, melainkan fokus di satu objek dan sekitarnya, demi menggali informasi yang lebih dalam, melebihi dari sekadar pemaparan beberapa orang.

Mula-mula tim saya duduk di dekat pintu masjid. Koordinasi sebentar sebelum akhirnya menyebar. Kemudian dua orang menuju ke ruang sekretariat, dan tiga orang berkeliling menyusuri sudut-sudut masjid sambil sesekali melakukan wawancara dengan beberapa pengunjung.

Kang Atang Wahyudin selaku bagian tata usaha, yang kami temui di ruang sektretariat memberikan sembilan lembar kertas, berisi tentang sejarah dan perkembangan Masjid Agung dari masa ke masa. Lengkapnya saya sajikan di bagian akhir dari catatan ini.

 DSCN3214
Pelataran Masjid Agung

Sebetulnya yang pertama menerima kami adalah seorang laki-laki paruh baya. “Bapak mah bagian kebersihan, sama Kang Atang aja ya, dia lebih tahu tentang sejarahnya,” tutur Pak Haji Nabhan, yang namanya kami ketahui belakangan.

Kang Atang kemudian menerima kami dengan ramah. Pengurus masjid yang “baru” bertugas selama 10 tahun itu dengan antusias menjawab beberapa pertanyaan yang kami ajukan. “Saya mah termasuk baru, tuh Pak Haji yang lama mah, udah 20 tahun lebih di sini, “ tuturnya. Meskipun ada beberapa poin pertanyaan yang terkait dengan dibukanya alun-alun baru—yang sengaja dibekali oleh Koordinator Aleut, namun karena komunikasi yang terbangun begitu cair, maka hal itu dimanfaatkan untuk menggali soal-soal lain yang lebih luas.

Dampak dari dibukanya Alun-alun yang baru, yang berumput sintetis itu, ternyata menambah jumlah jamaah shalat dan juga menambah jumlah uang kencleng. Dari semula rata-rata perbulan hanya 12 juta, namun sekarang bisa mencapai angka 20 juta perbulan.

Dana operasional Masjid Agung pertahun idealnya 4 sampai 5 milyar, namun dana yang ada hanya berjumlah 1 milyar yang bersumber dari hibah Pemprov, serta total shodaqoh pertahun yang berjumlah rata-rata 600 juta. Kekurangan tersebut dapat disiasati dengan membuat skala prioritas pada setiap kegiatan.

 MA 7
Catatan Kegiatan Harian

Rekam harian jumlah jamaah yang sholat lima waktu dicatat dalam sebuah form. Di dalamnya tercantum juga petugas imam dan muadzin, serta kegiatan majlis ta’lim. Dari sana dapat dilihat perkembangan jumlah jamaah setiap hari, jumlah per waktu shalat, dan jumlah jamaah yang mengikuti kegiatan di majlis ta’lim.

Waktu saya melihat jadwal majlis ta’lim yang menempel di dinding kantor sekretariat, Kang Atang menambahkan, “Di sini mah segala organisasi ada. Muhammadiyah, Persis, NU, dan yang lain ada semua.  Hanya Ahmadiyah sama ISIS aja yang ga boleh,” ujarnya sambil tersenyum. Totalnya ada 40 majlis ta’lim yang mengadakan kegiatan di Masjid Agung.

 DSCN3220
Unit Pelayanan Jamaah

Selain majlis ta’lim, di Masjid Agung ada beberapa unit pelayanan jamaah, yaitu; UPZ (Unit Pengelola Zakat), KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji), Koperasi, dan Remaja Masjid. Khusus untuk Koperasi, semula mempunyai sebuah warung di bagian depan masjid, namun karena untuk memberi contoh kepada para PKL, maka warung itu ditutup. Sekarang koperasi yang berjalan adalah koperasi simpan pinjam.

Untuk masalah kebersihan, karena sejak dibuka alun-alun yang baru PKL sudah sangat sedikit, maka permasalahan ini pun sedikit berkurang.  Hanya saja kesadaran yang masih kurang dari pengunjung masjid, masih menjadi PR yang belum sepenuhnya terselesaikan. Dalam kaitannya dengan ritul ibadah shalat, kehadiran para pengunjung memang cukup mengganggu, apalagi suka ada beberapa anakyang  berlari-lari sambil main bola. Untuk mengatasi masalah ini, pengurus secara berkala menghimbau lewat pengeras suara agar pengunjung lebih tertib. Sayangnya suara yang keluar dari pengeras itu terdengar kurang jelas.

 DSCN3113
Foto-foto di dalam masjid

Pengunjung masjid yang semula lebih banyak di pelataran, kini beralih memenuhi bagian dalam masjid, meskipun di pelataran pun masih ada. Dan di dalam masjid ada beberapa hal yang dinilai kurang pantas dilakukan oleh pengunjung, misalnya : memakai rok pendek, atau membagikan selebaran tentang seminar menangkap peluang penghasilan.

Berdasarkan keterangan dari Kang Atang, ternyata tanah yang di atasnya berdiri kantor Satpol PP yang berada di Jl. Dalem Kaum adalah tanah milik Masjid Agung. Pihak pengurus masjid berharap bahwa tanah itu bisa kembali digunakan untuk keperluan masjid, prioritasnya untuk kantor sekretariat dan pusat layanan informasi. Namun entah kenapa sampai saat ini pun hal itu belum juga terselesaikan.

 DSCN3114
Mengbal heula lur meh jagjag!

Dulu syiar dan gema dakwah dari Masjid Agung dapat disimak melalui pesawat “Radio Megaria” di gelombang 91,3 FM. Ke depan, dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada jamaah, Masjid Agung rencananya akan dilengkapi dengan Poliklinik, Station Radio, dan sarana penunjang lainnya.

Ada sedikit cerita unik dari “menara kembar” ini, baik dari penuturan Pak Haji, maupun Kang Atang, keduanya bercerita bahwa di Masjid Agung ini ada beberapa jamaah “fanatik” yang kalau hari Jum’at, mereka bela-belain datang dari Lembang, Padalarang, dan Cicalengka, demi untuk sholat Jum’at di masjid Agung. “Kalau saya tanya, jawaban mereka mah : reugreug bisa jumaahan di sini teh,” terang Kang Atang. Selain soal jamaah jum’atan, ternyata ada juga jamaah dari Tangerang yang kalau berkurban selalu menitipkan hewan kurbannya di Masjid Agung.

 MA 6
Ada yang ngasih ini di dalam masjid

Selain itu, bedug yang biasa dibunyikan setiap kali mau shalat lima waktu, ternyata mempunyai variasi pukulan dan nada yang berbeda-beda, disesuaikan dengan shalat yang akan dilaksanakan. Artinya bunyi bedug untuk sholat subuh, dzuhur, ashar, maghrib, isya, dan bahkan sholat Jum’at; semuanya berbeda.

Keberadaan masjid, termasuk di dalamnya Masjid Raya, memang sangat vital bagi masyarakat Priangan, yang dari dulu sudah dikenal taat dalam menjalankan Agama Islam–hal ini sempat diperkuat dengan pendapat tentang penyebaran Wali Songo, yang hanya menempatkan satu wakilnya di Jawa Barat, yaitu Sunan Gunung Djati. Konon penempatan satu wali ini berdasar pada sudah menyebarnya Agama Islam di Jawa bagian Barat, berbeda dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur; yang masing-masing di tempati oleh tiga dan lima wali.

 MA 2
Daftar Hadir Petugas Masjid

Di masa-masa awal, Bupati Bandung sebagai kepala pemerintahan, adalah juga yang secara institusional menjadi pengelola Masjid Agung. Sedangkan operasionalnya dipegang oleh seseorang yang menjabat sebagai Penghulu Bandung, atau yang sekarang lebih dikenal dengan Ketua DKM. Penghulu Bandung berwenang mengatur tata tertib dan kemakmuran masjid. Dalam pelaksanaannya dibantu oleh staf petugas yang diangkat dan diberhentikan oleh Penghulu yang bersangkutan, jumlahnya sekitar 40 orang. Beberapa tugas pembantu Penghulu Bandung itu adalah menjadi imam, khatib, muadzin, muroqi, dll.

Berikut adalah Penghulu Masjid Agung Bandung dari masa ke masa :

1) Penghulu Rd. KH. Zainal Abidin

2) Penghulu K. Nasir

3) Penghulu K. Hasan Mustofa

4) Penghulu K. Rusdi

5) Penghulu K. Abdul Kodir

6) Penghulu K. Siddiq

7) Penghulu K.R. Hidayat

8) Penghulu K. Muhammad Kurdi

9) Penghulu KH. Tamrin

10) Penghulu KH Tb. Saleh

11) Penghulu KH. Dachlan

12) Penghulu KH. Moh. Yahya

13) Penghulu KH. Rd. Totoh Abdul Fatah

Pada perkembangannya, staf Ketua DKM secara jumlah semakin meningkat. Hal ini seiring dengan kian bertambahnya jumlah jamaah. Kiwari pengurus Masjid Raya dibagi menjadi dua kelompok; yaitu karyawan dan non karyawan. Yang karyawan adalah mereka yang tidak mempunyai pekerjaan lain selain mengurus Masjid Raya (jenis pekerjaannya lebih ke operasional, sumber gaji dari APBD Provinsi), sedang yang non karyawan adalah mereka yang cukup sibuk dengan pekerjaan di luar Masjid Raya (lebih ke soal kebijakan).

Berdasarkan hasil musyawarah para ulama, yang dipimpin oleh KH. R. Totoh Abdul Fatah, posisi kiblat Masjid Agung adalah 25 derajat ke arah utara dan khatulistiwa. Adapun peserta penentuan arah kiblat terdiri dari 12 ulama, yang terdiri dari :

1) KH. Mh. Sudja’I dari Pesantren Cileunyi

2) KH. R. Ahmad Al-Hadi dari Pesantren Sukamiskin

3) KH. O. Burhanudin dari Pesantren Cijaura

4) KH. R. Moh. Jahja dari Wakil Ketua Pengadilan Agama Bandung

5) KH. Mch. Dachlan Kepala Jawatan Pengadilan Tinggi Agama Propinsi Jawa Barat

6) KH. Ali Utsman dari Jl. Pangarang, Bandung

7) KL. Sasmita dari Jl. Nakula, Bandung

8) KA. Iping Zainal Abidin dari Jl. Moh. Toha, Bandung

9) K. Moh. Salmon dari Jl. Saledri, Bandung

10) K.R. Moh. Jahja dari Jl. A. Yani, Bandung

11) KH. R. Moh. Kosim Perwakilan Departemen Agama Kota Bandung

12) K. Isa Maftuh Staf Perwakilan Departemen Agama Kota Bandung

 DSCN3175
Arah Kiblat Masjid Agung

***

Waktu saya bertanya ke Kang Atang, apakah pengurus punya semacam buku saku yang di dalamnya dimuat tentang sejarah Masjid Agung, beliau menjelaskan bahwa saat ini sedang disusun sebuah buku tentang Masjid Agung yang berjudul “Syiar dari Menara Kembar” (lihat lagi judul catatan ini). Sementara buku itu belum selesai, maka pihak pengurus menyiapkan tulisan ringkas tentang sejarah Masjid Agung, yang sewaktu-waktu bisa di-print out jika ada yang memintanya.

Berdasarkan catatan ringkas dari pengurus masjid itulah, berikut adalah sejarah Masjid Agung Bandung yang sekarang bernama Masjid Raya Provinsi Jawa Barat. Semoga bisa melengkapi informasi tentang sejarah Masjid Agung yang telah ada dan beredar di masyarakat :

Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Agung Bandung, dibangun pada tahun 1800-an. Ada dua pendapat ihwal kapan tepatnya masjid ini didirikan.

Pendapat yang pertama menyebutkan bahwa Masjid Agung didirikan pada tahun 1812. Bangunan awal masjid ini berupa panggung tradisional, bertiang kayu, berdinding anyaman bambu, beratap rumbia, serta terdapat sebuah kolam besar untuk keperluan mengambil air wudhu. Kolam ini pun dimanfaatkan juga sebagai sumber air untuk memadamkan kebakaran di daerah sekitar Alun-alun Bandung pada tahun 1825.

 MA 1
Masjid Agung 2014

Sedangkan pendapat lain menyatakankan bahwa pendirian Masjid Agung adalah pada tahun 1810,  bersamaan dengan pembangunan Pendopo Kabupaten Bandung yang diresmikan pada tanggal 25 September 1810. Jika melihat pola pembangunan pusat kota yang ada di Priangan, khususnya pada masa Hindia Belanda, memang posisi antara Masjid Agung dan Pendopo Pemerintahan selalu berdekatan, dan mungkin pembangunannya pun dilakukan pada waktu yang sama.

Bangunan Masjid Agung mengalami beberapa perubahan. Sejak didirikannya, masjid ini telah tigabelas kali dirombak; delapan kali di abad ke-19, dan lima kali pada abad ke-20.

Pada tahun 1826 bangunan Masjid Agung diganti dengan kontruksi kayu. Kemudian di tahun 1850 secara berangsur dirombak lagi dengan meningktakan kualitas bangunan. Atas prakarsa Bupati R.A. Wiranatakoesoemah IV atau Dalem Bintang (1846-1874), masjid Agung diganti lagi dengan tembok batu-bata dan atau genting. Selain itu, di sekeliling masjid pun dibangun pagar tembok bermotif sisik ikan (seperti pagar Pendopo Kota Bandung sekarang) setinggi kurang lebih dua meter. Motif ikan tersebut adalah gaya ornamen khas Priangan.

 DSCN3171
Penambahan Waktu Shalat di Daerah

Tahun 1900 atap Masjid Agung berubah menjadi tumpang susun tiga, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Bale Nyungcung”. Selain itu halamannya pun luas, dan berpintu gerbang. Meskipun masjid belum dilengkapi dengan menara, namun sudah ada mihrab, pawestren, bedug, kentongan, dan kolam.

Berdasarkan rancangan arsitek Maclaine Pont, pada tahun 1930 Masjid Agung dilengkapi dengan sepasang menara pendek tumpang susun di kanan dan kiri bangunan, dan dilengkapi pula dengan serambi (pendopo) depan.

Di sekitar Konferensi Asia Afrika, yaitu pada tahun 1955, Masjid Agung mengalami perombakan total. Atap tumpang susun tiga yang sudah dipakai sejak tahun 1850 diganti dengan atap bergaya Timur Tengah, yaitu model atap bawang. Sebutan “Bale Nyungcung” pun perlahan mulai menghilang. Tak hanya itu, dua menara pendek pun dibongkar dan digantikan dengan sebuah menara tunggal yang letaknya di halaman depan masjid sebelah selatan. Serambi diperluas, ruang panjang di kiri dan kanan masjid (pawestren) digabungkan dengan bangunan induk.

Serambi kanan masjid, pada tahun 1967, ruangannya ditambah. Hal ini sehubungan dengan berdirinya Madrasah Diniyah, Taman Kanak-kanak, dan Poliklinik YAPMA. Setahun sebelumnya, yaitu di tahun 1965, akibat tiupan angin kencang, atap masjid Agung mengalami kerusakan.

Kepala Perwakilan Departemen Agama Propinsi Jawa Barat, R.H.A. Satori, pada tahun 1969 berinisiatif untuk merintis perubahan dan perbaikan Masjid Agung. Rencana tersebut dituangkan ke dalam bentuk maket. Setelah Solihin GP dilantik menjadi Gubernur Jabar, maka rencana tersebut dimatangkan dan direalisasikan, serta beliau langsung yang memimpin proses penyelesaiannya.

 DSCN3229
Himbauan dari Pengurus Masjid

Dalam pelaksanaannya, proses perubahan dan perbaikan Masjid Agung diperkuat dengan terbitnya SK Gubernur Jabar, tanggal 1 Mei 1972 No. 106/XVII/Dirt.Pem./SK/72, yang didasari atas hasil musyawarah semua unsur yang ada di Jawa Barat.

SK tersebut berisi tentang Pembangunan Masjid Agung Bandung dan Pengangkatan Personalia Pembangunan Masjid Agung Bandung. Berikut susunannya :

Ketua Direksi : H. Jahja

Wakil Ketua Direksi : Ir. Karman (Kepala DPU Jawa Barat)

Perencana Pembangunan :

1)  Ir. Adjat Sudradjat

2) Prof. Dr. Sjadali

3) Ir. Noe’man

4) Ir. Luthfi

Para Arsitek :

1) Ir. Slamet Wirasendjaja

2) Ir. Raswoto

3) Ir. Saharti

4) Ir. Toni Suwandito

 MA 4
Buletin Masjid Agung

Rencana tersebut baru dapat dimulai pada tanggal 3 April 1971. Tahap pertama menghabiskan biaya sekitar Rp 20.000.000,- yang digunakan untuk pembuatan menara dan jembatan yang menghubungkan Masjid Agung dengan Alun-alun. Pembangunan tersebut selesai pada tanggal 4 Januari 1972.

Setelah tahap itu selesai, kemudian dilakukan pembongkaran bangunan lama yang hasil bongkarannya disalurkan kepada masjid-masjid yang ada di Kota Bandung. Di atas bangunan lama yang telah dibongkar tersebut kemudian dibangun masjid baru.

Pada tahap kedua, berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No.234/A-V/16/SK/72 tentang Peletakan Batu Pertama Pemabangunan Masjid Agung Bandung, maka pada tanggal 19 Juni 1972 dilakukan peletakan batu pertama oleh Gubernur Jawa Barat dan Pangdam VI Siliwangi.

Masjid yang baru dibuat berlantai dua. Tempat shalat utama dan ruang kantor menempati lantai dasar, sedangkan lantai dua digunakan sebagai mezanin tempat shalat yang berhubungan langsung dengan serambi luar. Kedua tempat tersebut dihubungkan oleh jembatan beton ke tepi Alun-alun di sebelah barat. Satu hal yang disayangkan adalah bahwa jembatan penghubung tersebut hampir menutupi semua tampilan bagian muka masjid. Di bawah permukaan tanah (basement) difungsikan sebagai tempat pengambilan air wudhu.

Biaya total pembangunan Masjid Agung Bandung yang selesai pada tanggal 1 Oktober 1973, diperoleh dari sumber sebagai berikut :

1) Sumbangan Presiden Republik Indonesia sebesar Rp 15.000.000,-

2) Sumbangan Menteri Dalam Negeri sebesar Rp 5.000.000,-

3) Sumbangan dana Nikah, Talak, Ruju’ (Departemen Agama) sebesar Rp 42.000.000,-

4) Sumbangan dari simpanan Calon Jamaah Haji sebesar Rp 22.000.000,-

5) Sumbangan dari APBD Prop. Jabar 1972/1973 sebesar Rp 90.000.000,-

6) Sumbangan dari Pemda Kotamadya Bandung sebesar Rp 14.000.000,-

7) Sumbangan dari Perencana sebesar Rp 3.000.000,-

 MA 3
Informasi yang Disampaikan di Buletin

Masjid baru tersebut berada di atas tanah wakaf, dan ditambah dengan tanah hasil pembelian Pemda Kotamadya Bandung seluas +/- 2.464 M2,menghabiskan biaya sebesar Rp 135 juta. Jamaah yang dapat ditampung di Masjid baru +/- 5000 (di lantai bawah), dan +/- 2000 di lantai atas. Di dalamnya terdapat pula perpustakaan, ruang kantor, dan tempat wudhu.

Memasuki tahun 1980-an kondisi masjid Agung seolah “terisolasi”. Hal ini disebabkan karena adanya tembok tinggi yang diberi ornamen dari batu granit di depan dinding muka Masjid, serta pintu gerbang besi. Dengan kondisi seperti itu membuat masjid seperti tertutup untuk umum. Hal yang mungkin bisa menarik perhatian warga barangkali hanya puncak menara. Puncak tersebut diganti menjadi model kubah yang menyerupai bola dunia, dan terbuat dari rangka besi. Rangkaian lampu-lampu kecil dililitkan di rangka besi puncak menara tersebut dan dinyalakan pada malam hari.

Tahun 2001 terbit SK Walikota Bandung Nomor 023 Tahun 2001 tanggal 11 Januari 2001 tentang Panitia Pembangunan Masjid Agung. SK tersebut diterbitkan dengan niat untuk mengembalikan citra Masjid Agung yang terlihat semakin suram.

 DSCN3234
Rada diaos heula lur!

Hasil dari pembangunan tersebut adalah lantai masjid yang semakin diperluas. Hal ini karena jalan yang semula ada di depan masjid (sebelah barat masjid) dihilangkan, dan bahkan memakan sebagian alun-alun. Kubah beton berdiameter 30 m dibangun untuk menggantikan atap model joglo. Selain itu, di atas bangunan masjid yang semula lahan alun-alun pun dihiasi dengan dua kubah yang masing-masing berdiameter 25 m.

Yang paling menarik adalah dengan dibangunnya menara kembar yang kita kenal sekarang, yang masing-masing mempunyai ketinggian 81 meter. Semula menara ini hendak dibangun dengan ketinggian 99 meter yang dimaksudkan sebagai simbol Asmaul Husna (nama-nama Allah), namun dengan mempertimbangkan keamanan lalu-lintas udara, akhirnya angka yang diijinkan hanya 81 meter. Tapi jika dihitung dari pondasi yang memiliki ketinggian 18 meter, total ketinggian menara tersebut tetap 99 meter.

Pada rencana dan perjalanannya, menara kembar tersebut bukan hanya berfungsi untuk kepentingan spiritual, namun juga dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, telekomunikasi, dan objek wisata.

 DSCN3237
Salah satu Sudut Pelataran Masjid

Karena Provinsi Jawa Barat belum mempunyai masjid Raya, maka Gubernur Jabar waktu itu, yaitu H.R. Nuriana mengadakan pertemuan dengan panitia pembangunan. Dari pertemuan itulah, atas saran dari Drs. H. Tjetje Soebrata, SH., MM selaku Wakil Ketua Pemabangunan, digagaslah untuk mengubah nama Masjid Agung Bandung menjadi Masjid Raya Bandung Jawa Barat. Perlu diketahui bahwa penamaan masjid memang terkait dengan tingkatan di level wilayah dan pemerintahan.

Masjid Nasional (Istiqlal) : Tingkat Negara

Masjid Raya : Tingkat Provinsi

Masjid Agung : Tingkat Kota dan Kabupaten

Masjid Besar : Tingkat Kecamatan

Masjid Jami : Tingkat Kelurahan

Setelah Pemda Jabar dan Pemkot Bandung sepakat ihwal penggantian nama tersebut, maka pada tanggal 4 Juni 2003 nama masjid yang semula Masjid Agung Bandung, diganti dan diresmikan menjadi Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat. [ ]

Tim Ngaleut Masjid Raya Bandung :

1) Deris Reinaldi

2) M. Taufik N.

3) Irfan Teguh Pribadi

4) Kukun Kusnandar

5) Syamsul Arifin

Foto :
1) Arsip Irfan Teguh Pribadi
2) Arsip Deris Reinaldi

 

Tautan asli: http://wangihujan.blogspot.com/2015/01/kabar-dari-menara-kembar.html

Melihat Wajah Baru Alun-alun Bandung

Alun-alun Bandung

Alun-alun Bandung (foto: Arya Vidya Utama)

Setelah selesai direnovasi dan diresmikan pada 31 Desember 2014, Alun-alun Bandung kini menjadi primadona wisata warga Kota Bandung. Hamparan rumput sintetis di tengah kawasan kini dipenuhi pengunjung untuk sekedar duduk-duduk atau untuk bermain bersama buah hati. Renovasi yang memakan waktu 7 bulan dan menghabiskan biaya 10 miliar Rupiah berhasil menghilangkan kesan kumuh yang melekat pada Alun-alun Bandung dalam satu dekade terakhir.

Ramainya kunjungan membuat Alun-alun Bandung menjadi fenomena baru di Kota Bandung. Lini masa berbagai media sosial kini dipenuhi dengan foto Alun-alun Bandung, baik itu foto selfie maupun foto keramaian di dalam komplek ini. Fenomena ini kemudian menjadi sebuah anekdot, bahwa selain musim hujan dan musim kemarau, di Kota Bandung sedang musim berfoto di Alun-alun.

Kondisi terkini Alun-alun mengembalikan fungsinya yang sempat hilang. Kemunculan mal yang dimulai pada era 90-an memperparah keadaan. Pusat keramaian warga Bandung bergeser perlahan dari Alun-alun dan kemudian menyebar ke beberapa titik yang terdapat mal di Kota Bandung. Hal ini membuat Alun-alun ‘mati suri’ selama hampir dua puluh tahun.

***

Tak pas rasanya jika membicarakan Alun-alun Bandung tanpa membahas sejarahnya terlebih dahulu. Alun-alun Bandung muncul seiring dengan perpindahan Ibukota Kabupaten Bandung dari Karapyak (Dayeuh Kolot) ke daerah sebelah selatan Jalan Raya Pos pada tahun 1810. Bisa dibilang Alun-alun adalah lapangan terbuka untuk umum pertama yang ada di Bandung setelah perpindahan Ibukota.

Menurut Haryoto Kunto dalam buku Semerbak Bunga di Bandung Raya, pada dasarnya alun-alun merupakan halaman depan rumah kediaman penguasa lokal. Alun-alun dalam Bahasa Jawa artinya ombak lautan. Halaman tempat kediaman penguasa lokal diasosiasikan dengan ombak lautan karena aktivitas seperti pemerintahaan, perdagangan, budaya, dan keagamaan berpusat di seputar lingkungan kediamaan penguasa lokal.

Seperti alun-alun di Pulau Jawa pada umumnya, Alun-alun Bandung juga dipengaruhi oleh kebudayaan Mataram Islam. Komponen yang melengkapi alun-alun di Mataraman dihiasi dengan empat komponen, yaitu masjid, istana raja/bupati, rumah patih, dan pasar. Maka tak heran jika lingkungan di sekitar Alun-alun Bandung mirip dengan kondisi Alun-alun di daerah Jawa.

Alun-alun Bandung dari masa ke masa

 

Alun-alun Bandung di awal penggunannya selain digunakan sebagai tempat aktivitas warga, juga pernah digunakan sebagai tempat eksekusi mati. Mereka yang diputus hukuman mati di Bale Bandung (berlokasi di bekas lahan Nusantara) akan dijerat tali yang terpasang di Alun-alun Bandung. Mereka yang akan dieksekusi akan dikalungi secarik kertas yang berisi kesalahan yang diperbuat.

Pada sekitar tahun 1900-an, Alun-alun Bandung memiliki fungsi sebagai stadion sepak bola karena minimnya stadion sepak bola pada saat itu. Pertandingan yang dilangsungkan bertaraf nasional, biasanya antar klub sepak bola di Hindia Belanda. Kegiatan sepak bola di Alun-alun Bandung ini akhirnya berhenti dilaksanakan pada sekitar tahun 1920-an seiring dilarang digunakannya Alun-alun sebagai stadion sepak bola dan juga beberapa klub sepak bola di Bandung sudah memiliki stadion sepak bola sendiri.

Alun-alun terus mengalami perubahan hampir setiap satu dekade sekali, dimulai sejak tahun 1954 pada saat menjelang Konfrensi Asia-Afrika hingga yang terakhir dilakukan oleh Ridwan Kamil pada tahun 2014. Total setidaknya telah terjadi perubahan selama tujuh kali sejak 1950.

***

Alun-alun kini menggunakan kombinasi batu andesit dan rumput sintetis. Di tengahnya membentang hamparan rumput sintetis seluas 4.800 m2, sedangkan sisanya menggunakan batu andesit. Di kedua sudut sebelah selatan Alun-alun terdapat taman yang ditumbuhi tanaman-tanaman kecil, sedangkan di sudut kanan sebelah utara terdapat arena bermain anak seperti jungkat-jungkit dan ayunan.

Petugas keamanan Alun-alun yang merupakan gabungan dari Linmas dan Satpol PP Kota Bandung mengamankan Alun-alun. Mereka ditempatkan di setiap sudut taman dan terus berpatroli keliling. Selain menjaga keamanan, petugas keamanan juga seringkali menghimbau para pengunjung untuk berhati-hati dalam membawa barang bawaan terutama anak kecil yang membawa ponsel untuk berfoto.

Kondisi Alun-alun cukup bersih. Tempat sampah tersedia di banyak titik dan sudut. Kondisi ini disebabkan karena kesadaran para pengunjung untuk tertib membuang sampah cukup tinggi dan patroli keamanan sesekali membantu memunguti sampah yang tercecer. Namun di beberapa titik masih terlihat adanya sampah yang dibuang sembarangan oleh pengunjung.

Pengunjung datang ke Alun-alun umumnya untuk melepas penat akibat lelah bekerja. Mereka datang bersama keluarga ataupun bersama pasangan untuk sekedar duduk-duduk menikmati keadaan, botram, atau bercengkrama di rumput sintetis. Jumlah pengunjung per hari bisa mencapai ribuan orang dengan puncak keramaian di hari Sabtu dan Minggu. Bahkan menurut salah satu petugas keamanan, kunjungan di hari Sabtu akan terus ramai hingga pukul 5 pagi di hari Minggunya.

Penggunaan rumput sintetis alih-alih penggunaan rumput biasa sempat menjadi polemik. Namun Walikota Bandung, Ridwan Kamil, di akun Twitter-nya pada 27 Desember 2014 menjelaskan bahwa apabila lapangan tersebut diurug tanah, bebannya terlalu berat untuk dua lantai basement yang ada di bawahnya. Selain itu, rumput sintetis yang dipasang awet untuk digunakan selama 10 tahun.

Rumput sintetis ini dirasa cukup nyaman bagi beberapa pengunjung. Para pengunjung, terutama orang tua yang membawa anaknya, menjadi tak khawatir saat anak-anak mereka bermain di atas rumput sintetis. Hal ini disebabkan karena rumput sintetis relatif aman dan dan resiko akibat terjatuh lebih kecil dibandingkan ketika terjatuh di permukaan yang lebih kasar seperti tanah. Selain itu, para orang tua tidak terlalu khawatir anaknya kotor akibat berguling-guling di atas rumput sintetis.

Alas Kaki Pengunjung yang Disimpan di Sisi Rumput Sintetis

Alas Kaki Pengunjung yang Disimpan di Sisi Rumput Sintetis (Foto: Arya Vidya Utama)

Untuk dapat berkegiatan di rumput sintetis Alun-alun, pengunjung harus melepas alas kakinya terlebih dahulu. Sayangnya, tidak ada rak penyimpanan untuk alas kaki, sehingga alas kaki para pengunjung disimpan di sisi rumput. Hal ini menimbulkan kesan tidak rapi dan faktor keamanan alas kaki juga terbaikan. Untuk menyiasatinya, pengunjung dapat membeli kantong keresek yang dijual oleh beberapa orang pedagang. Alas kaki yang sudah terbungkus keresek dapat anda bawa ke dalam rumput dan mempermudah pengawasannya.

Di sekeliling Alun-alun terdapat beberapa pedagang asongan yang berjualan. Kebanyakan dari mereka menjual minuman, makanan ringan, dan bola karet yang biasa digunakan untuk bermain bola di atas lahan rumput sintetis. Menurut beberapa pengunjung, keberadaan pedagang asongan ini cukup membantu karena tidak adanya kios penjual makanan, minuman, dan bola karet di Alun-alun. Sampai saat ini, para pedagang kaki lima ditempatkan di basement. Keberadaan para pedagang asongan juga perlu menjadi perhatian pengurus Alun-alun karena dapat mengancam kebersihan Alun-alun.

Bus Bandros (Foto: Irfan Teguh Pribadi)

 

Selain berwisata di Alun-alun, pengunjung juga dapat berwisata dengan Bus Bandros. Bus yang sudah beroperasi sejak bulan Juli 2014 ini akan membawa anda berkeliling sekitar Bandung dengan rute: Alun-alun, Jl. Banceuy, Jl. Braga, Jl. Lembong, Jl. Sunda, Jl. Diponegoro, Jl. Dago, Jl. Merdeka, Jl. Tamblong, Jl. Asia-Afrika, Jl. Oto Iskandardinata, Jl. Kepatihan, dan kembali ke Alun-alun. Untuk naik bus ini, anda perlu merogoh kocek Rp 10.000,00 untuk satu kali perjalanan. Bus Bandros beroperasi setiap hari Selasa hingga Minggu, mulai pukul 08.00 hingga pukul 15.00.

Menara Kembar Masjid Raya Bandung (Foto: Irfan Teguh Pribadi)

 

Wisata lain yang dapat dilakukan di Kawasan Alun-alun adalah Menara Kembar. Menara ini terdapat di kedua sisi Masjid Raya Bandung, hasil dari perubahan wajah Masjid pada tahun 2001. Masing-masing menara mempunyai ketinggian 81 meter dan jika ditambah dengan tinggi fondasi menara, ketinggian totalnya mencapai 99 meter yang merupakan simbol dari Asmaul Husna (99 Nama Allah swt.). Dari atas menara, pengunjung dapat melihat pemandangan Bandung dari ketinggian. Menara ini dapat diakses setiap hari mulai pukul 08.00 hingga pukul 16.30, dengan tiket masuk Rp 3.000,00 untuk dewasa dan Rp 2.000,00 untuk anak-anak. Menara yang saat ini bisa diakses adalah menara yang terdapat di sisi utara Alun-alun, sedangkan menara di sisi selatan Alun-alun yang sedang dalam perbaikan dapat diakses bulan depan.

Pemandangan Dari Atas Menara Kembar (Foto: Al-Amin Siharis)

 

***

Perubahan Alun-alun Bandung akan berdampak langsung pada Masjid Raya Bandung yang berada di kawasan yang sama, begitu juga sebaliknya. Sejak didirikan pada tahun 1810, masjid ini telah tiga belas kali dirombak; delapan kali di abad ke-19, dan lima kali pada abad ke-20. Perubahan terakhir terjadi pada tahun 2001, di mana saat Masjid Raya Bandung diperluas, Alun-alun berubah menggunakan konblok dan di bawahnya dibangun basement 2 lantai.

Keramaian Alun-alun saat ini berdampak positif pada Masjid Raya Bandung. Sejak Alun-alun berumput sintetis, jamaah yang shalat di Masjid Raya menjadi semakin meningkat. Hal ini dicatat dengan baik oleh pengurus Masjid Raya Bandung. Peningkatan pengunjung di Masjid Raya juga menambah jumlah uang kencleng yang diterima pihak pengurus. Dari semula rata-rata per bulan hanya 12 juta, sekarang bisa mencapai angka 20 juta per bulan.

Namun selain dampak positif, Masjid Raya Bandung juga terkena dampak negatif. Sejak dibukanya Alun-alun baru, memang permasalahan kebersihan di area masjid berkurang karena minimnya PKL jika dibandingkan dengan wajah sebelumnya. Namun, kurangnya kesadaran para pengunjung masjid membuat masalah kebersihan masih menjadi PR yang belum sepenuhnya terselesaikan bagi Masjid Raya Bandung.

Anak Kecil yang Bermain Bola di Dalam Masjid (Foto: Arya Vidya Utama)

Dalam kaitannya dengan ritual ibadah shalat, kehadiran para pengunjung Alun-alun terbilang cukup mengganggu. Gangguan ini disebabkan oleh banyaknya anak-anak yang berlari-lari sambil main bola dan gaduhnya obrolan para pengunjung yang sedang beristirahat di dalam masjid. Untuk mengatasi masalah ini, pengurus secara berkala menghimbau lewat pengeras suara agar pengunjung lebih tertib. Sayangnya suara yang keluar dari pengeras itu terdengar kurang jelas. Ada juga beberapa hal yang dinilai kurang pantas dilakukan oleh pengunjung di dalam masjid, seperti memakai rok pendek saat berkunjung dan membagikan selebaran tentang seminar menangkap peluang penghasilan.

Berfoto-foto di Dalam Masjid Raya Bandung (Foto: Irfan Teguh Pribadi)

 

***

Alun-alun Bandung saat ini telah berhasil kembali kepada fungsinya sebagai ruang publik dan tempat berinteraksi warga Bandung yang sempat hilang dalam dua dekade terakhir. Namun keberhasilan ini perlu dibarengi dengan perbaikan di beberapa sisi seperti sistem penyimpanan alas kaki, dan penanggulangan dampak negatif terhadap Masjid Raya Bandung.

____

Catatan: Pengumpulan data dilakukan pada 25 Januari 2015.

Para Kontributor Tulisan (Foto: Arya Vidya Utama)

 

Kontributor:

Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Candra Asmara S. (@candraasmoro)

Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Hani Septia Rahmi (@tiarahmi)

Nasir Abdurachman

Ganesha Wibisana (@wibisanaaa)

Bambang Satriya (@bamuban)

Gita Diani Astari (@gitadine)

Hanifia Arlinda (@niviarlinda)

Nida Mujahidah Fathimah (@denidaa_)

Yuningsih

Arif Abdurahman (@yeaharip)

Yanti Maryanti (@adetotat)

Reza Nugraha (@aphrareja)

Rizal N.

Fajar A. (@fajarraven)

Deris Reinaldi

Taufik N. (@abuacho)

Kukun Kusnandar

Syamsul Arifin

Eka Arif Kurniawan (@ekaarif)

Iyan Supiyani (@AangIanzHolic)

Fuji Rahmawati (@nersfuji)

Alifia Rachmanitia Sudrajat

Al-Amin Siharis (@amincun)

Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑