Category: Cagar Budaya (Page 3 of 4)

Nasib Renta Teleskop Zeiss Bosscha Jelang Satu Abad

Lensa teleskop Carl zeiss Observatorium Bosscha. tirto.id/Irfan Teguh Pribadi

Lensa teleskop Carl zeiss Observatorium Bosscha. tirto.id/Irfan Teguh Pribadi
Polusi cahaya di Lembang kini menjadi tantangan terbesar bagi Observatorium Bosscha yang selesai dibangun 1928 atau 90 tahun lalu.
Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)
 

Carl Zeiss lahir di Weimar, Jerman, pada 11 September 1816. Ia adalah pakar optik yang pada 1846 mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang sistem optik di Kota Jena. Perusahaan inilah yang pada 1921, dikunjungi oleh Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang juragan perkebunan teh di Malabar, Bandung, Jawa Barat.

Bersama koleganya, J. Voute, Bosscha memesan sebuah teleskop fotografik dengan diameter 60 cm dan panjang fokus sekitar 11 meter, untuk digunakan di observatorium yang hendak dibangun di daerah Lembang, Bandung Utara. Teleskop tersebut diyakini merupakan instrumen yang tepat untuk melakukan pengamatan paralaks bintang.

Atas permintaan J. Voute, sebuah teleskop visual yang identik ditambahkan sehingga menghasilkan dua buah teleskop yang dapat bekerja mandiri dalam satu buah tabung. Kelak, teleskop refraktor ganda yang dipesan ini dikenal dengan sebutan Teleskop Zeiss.

Rencana pembuatan observatorium diputuskan pada rapat pertama Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging atau Perhimpunan Astronom Hindia Belanda. Pada pertemuan tersebut, Bosscha bersedia menjadi penyandang dana utama. Observatorium yang mulai dibangun pada 1923 itu berdiri di sebidang tanah yang disumbangkan oleh keluarga Ursone, pemilik perusahaan susu bernama Baroe Adjak.

Warsa 1928, atau tujuh tahun sejak pemesanan, Teleskop Zeiss yang dibawa oleh kapal Kertosono milik Rotterdamsche Llyod, akhirnya tiba di Pelabuhan Tanjung Priok. Kapal itu membawa 27 peti berisi bagian-bagian dari teleskop besar. Peti-peti seberat 30 ton dilayarkan secara gratis dari Belanda yang selanjutnya dibawa ke Bandung dengan menggunakan kereta api.

Dari Bandung, perjalanan dilanjutkan ke Lembang dengan menggunakan sejumlah kendaraan milik pasukan Zeni. Bagian Konstruksi dan Bangunan Jembatan Jawatan Kereta Api (Staatspoorwagen) bertugas menyetel teleskop di dalam bangunan kubah besar yang telah disiapkan.

Pemasangan teleskop menghabiskan waktu beberapa bulan. Setelah selesai dipasang, pada 7 Juni 1928 diselenggarakan acara peresmian Teropong Kubah Besar Zeiss. Acara tersebut dihadiri oleh Gubernur Jenderal Belanda, Andries Cornelis Dirk de Graef, yang kemudian memberikan bintang kehormatan kepada Bosscha.

 
Pengamatan Bintang Ganda
Dalam rilis tertulis yang dipublikasikan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (FMIPA ITB) selaku pengelola Observatorium Bosscha, disebutkan bahwa salah satu fungsi Teleskop Zeiss adalah untuk mengamati bintang ganda.Program yang telah dimulai sejak 1924 ini merupakan program prioritas sejalan dengan laju perkembangan ilmu fisika bintang saat itu. Mula-mula pengamatan bintang ganda di Observatorium Bosscha dilakukan secara visual menggunakan mata telanjang. Para astronom melihat langsung posisi bintang ganda dari teleskop, lalu menentukan posisi dan jarak pisahnya dengan bantuan mikrometer.

Mulai 1946 Teleskop Zeiss dilengkapi dengan plate holder yang dapat menyangga plat fotografi di bidang fokus teleskop. Sejak itu, pengamatan fotografi dimulai hingga pengujung 1999, saat plat fotografi tak lagi diproduksi dan pengamatan beralih menggunakan kamera digital.

Hasil pengukuran posisi bintang ganda tersebut dipublikasikan dalam jurnal ilmiah dan dimuat dalam katalog bintang ganda, di antaranya di Washington Double Star Catalog, dan Database of Visual Double Star Observed at Bosscha Observatory. 

Dalam mini museum yang berada di kompleks Observatorium Bosscha dijelaskan bahwa bintang ganda adalah pasangan bintang yang bergerak di sekitar pusat massa sistem di bawah tarikan gravitasi bersama. Pada banyak kasus, bintang-bintang itu bergerak dalam bentuk orbit elips yang dijelaskan dalam hukum Kepler.

Pengamatan bintang ganda sangat penting bagi astronomi karena informasi tentang gerak sistem hasil interaksi kedua komponen bintang, memungkinkan perhitungan massa bintang. Pengamatan ini memungkinkan penghitungan orbit untuk penentuan massa bintang. Selanjutnya, pengetahuan ini dapat dipakai untuk pengujian teori evolusi bintang.

Mahasena Putra, Lektor Kepala di FMIPA ITB dan mantan Direktur Observatorium Bosscha menjelaskan teori evolusi bintang salah satunya untuk menentukan massa bintang, yang selanjutnya dipakai untuk meramal masa depan bintang.

 

Jika massa sebuah bintang diketahui, maka keberakhirannya dapat dihitung. Semakin besar massa bintang ketika dilahirkan, maka umurnya akan semakin pendek karena reaksi nuklir di dalamnya akan semakin kencang, yang menyebabkan bintang tersebut cepat meledak dan mati.

Bintang terbentuk dari awan yang bertebaran di alam semesta—bukan awan yang barada di dalam atmosfer bumi—yang mengandung hidrogen, helium dan lain-lain. Mereka akan berkumpul, berputar, dan semakin padat, lalu terbentuklah bintang. Bintang yang lahir atau terbentuk ini mempunyai massa yang berbeda-beda. Seperti halnya makhluk hidup, bintang mengalami kelahiran, bertambah tua dan mati.

Sebagai contoh, imbuh Mahasena Putra, matahari yang merupakan bintang dilahirkan 4,5 miliar tahun yang lalu, dan kini memasuki tengah umur. Ia diperkirakan akan mati 4,5 miliar tahun yang akan datang.

“Bintang seperti matahari [yang massanya ketika dilahirkan kecil] umurnya bisa sampai 9-10 miliar tahun. Kalau bintang yang massanya besar bisa hanya 10 juta tahun, [reaksi nuklirnya] boros, 10 juta tahun akan mati, meledak,” ucapnya.

Perawatan si Zeiss
 

Teleskop Zeiss merupakan teleskop paling besar dan tertua di Observatorium Bosscha. Meski begitu, performanya masih prima dan masih dapat terus diandalkan. Hal ini tidak terlepas dari perawatan yang dilakukan secara telaten.

Mochamad Irfan, Staf Sains dan Pendukung di Observatorium Bosscha yang bertanggungjawab merawat teleskop tersebut menjelaskan bahwa secara garis besar perawatan ditujukan pada tiga hal, yakni sistem mekanik, sistem kelistrikan, dan sistem optik.

“Secara prinsip sih sederhana, tapi karena ukurannya masif maka pengerjaan [perawatannya] biasanya memakan waktu berhari-hari,” ujarnya.

Teleskop Zeiss yang berada pada bangunan berkubah rancangan Charles Prosper Wolff Schoemaker—yang juga merancang Masjid Cipaganti, Hotel Preanger, Villa Isola, dll—yang sangat ikonik, dilengkapi dengan lantai yang dapat bergerak naik turun. Lantai ini biasanya dinaikkan sampai batas maksimal untuk membersihkan Teleskop Zeiss yang posisinya ditidurkan.

Selain ukurannya yang besar, udara Lembang yang lembab pun menjadi tantangan tersendiri bagi para staf dalam melakukan perawatan teleskop.

Dalam keseharian, setelah dipakai para pengamat bintang, para staf juga selalu memastikan semua benda terletak pada tempatnya dan berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini, imbuh Irfan, dilakukan karena lupa atau lalai bisa menimpa siapa saja, termasuk para pengamat bintang yang memakai ruangan tersebut.

Dalam beberapa peristiwa gempa, meski tidak pernah terjadi kerusakan, para staf di Observatorum Bosscha selalu memeriksa sejumlah bagian di ruangan tempat Teleskop Zeiss berada, untuk memastikan tidak ada kerusakan atau pergeseran sistem mekanik yang bisa membahayakan.

Infografik Observatorium Bosscha

Belakangan, di lantai pertama ruangan berbentuk lingkaran itu dilengkapi dengan peredam suara. Menurut Irfan, agar percakapan di satu sisi tidak terdengar terlalu nyaring di sisi lainnya. Hal ini terbukti saat saya naik ke lantai berikutnya yang tidak dilapisi peredam suara. Percakapan di sisi yang berseberangan dengan posisi saya berdiri, meski dilakukan secara pelan, terdengar sangat jelas.

Perawatan teleskop di kompleks Observatorium Bosscha tidak hanya dilakukan di dalam ruangan, di bagian luar pun rutin dilakukan pembersihan, pengecatan, dan penambalan jika ada atap yang bocor. Saat saya berkunjung, tembok luar bangunan berkubah tempat Teleskop Zeiss berada terlihat cerah karena belum lama dilakukan pengecatan ulang.

“Sekarang [pengecatan tembok] pakai cat yang mahal, karena jika pakai cat murah biasanya hanya bertahan lima tahun,” pungkasnya.

Tantangan Polusi Cahaya
 

Kondisi pencahayaan, khususnya di sekitar observatorium sangat berpengaruh terhadap hasil pengamatan. Langit yang bersih diperlukan agar pengamatan optimal. Jika pencahayaan lampu tidak ditata dengan baik, maka akan menyebabkan polusi cahaya yang akan mengganggu proses pengamatan astronomi.

Lembang yang dulu merupakan daerah yang sepi, sebagaimana daerah-daerah lain di Bandung Raya, mengalami perkembangan permukiman yang signifikan yang akhirnya menimbulkan polusi cahaya. Hal ini membuat Observatorium Bosscha mendapat tantangan yang tak mudah demi menjaga keberlangsungan perkembangan sains di Indonesia.

Untuk menjawab tantangan ini, ITB selalu pengelola Observatorium Bosscha menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah Jawa Barat, instansi-instansi terkait, dan masyarakat untuk menjamin perlindungan terhadap kawasan ini melalui pelbagai aturan dan imbauan.

Perlindungan terhadap Observatorium Bosscha, secara fisik maupun—secara implisit—pengaturan tata cahaya di sekitarnya, juga tercantum dalam Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung.

Pada pasal 61 ayat 2 menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu cagar budaya dan ilmu pengetahuan yang dilindungi. Sementara pasal 99 tentang arahan peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, poin (e) menyebutkan ketentuan untuk kawasan Observatorium Bosscha, yakni (1) ditetapkan dengan radius 2,5 kilometer dari Observatorium Bosscha, (2) ketentuan teknis lain lebih lanjut diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Namun sayang, Perpres yang terdiri dari 121 pasal tersebut tidak secara gamblang menyebut soal pengaturan tata cahaya di sekitar Observatorium Bosscha. Aturan ini hanya disebut dalam pasal 99 poin (e) bagian 2 dengan redaksional “ketentuan teknis lain lebih lanjut diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”, yang barangkali bisa ditafsirkan meliputi soal aturan tata cahaya.

Ikhtiar lain yang dilakukan oleh Observatorium Bosscha untuk mengurangi cahaya lampu adalah dengan membagikan tudung lampu kepada masyarakat sekitar yang fungsinya agar pijar cahaya tidak mengarah ke atas yang dapat mengganggu kejernihan langit.

Tahun 2015, saat Direktur Observatorium Bosscha dijabat oleh Mahasena Putra, saya bersama kawan-kawan dari Komunitas Sahabat Bosscha sempat ikut membagikan tudung lampu itu kepada masyarakat.

Di sebuah lapangan tak jauh dari SD Negeri Merdeka yang beralamat di Jalan Peneropongan Bintang, di sela pembagian dan pemasangan tudung lampu, seorang kawan berujar, “[Pembagian tudung lampu] ini seperti menabur garam di laut ya.”

Ungkapannya tentu saja pesimistis, tapi barangkali itulah cara dia merespons polusi cahaya yang sudah sangat masif, dan menentukan nasib keberadaan observatorium. Bisa jadi lokasi observatorium Bosscha Lembang akan digantikan di lokasi observatorium baru skala nasional yang kini sedang disiapkan di Kupang, NTT.

 
Pertama kali dimuat di Tirto.id pada 3 Desember 2018

Bima Sakti Tertancap di Bosscha

index
Observatorium Bosscha | Foto Tropen Museum

Oleh: Vecco Suryahadi (@Veccosuryahadi)

Pada tahun 1948, Observatorium Bosscha mendapatkan bantuan donasi untuk membuat optik teleskop baru dari Unesco. Bantuan ini didapatkan ketika Egbert A. Kreiken yang pernah menjadi staf Observatorium Bosscha (1928-1930) menghadiri General Meeting UNESCO di Meksiko. Baru pada tahun 1950, berita ini disampaikan kepada Pemerintah Indonesia.

Pada awalnya, teleskop yang akan dibuat berjenis Cassegrain. Kemudian diganti menjadi Schmidt karena pertimbangan transparansi langit di observatorium. Sayangnya, jenis Schmidt tergolong mahal. Akibatnya, terjadi negosiasi antara UNESCO dengan Pemerintah Indonesia. Hasilnya biaya pembangunan mounting, gedung, dan operasional teleskop ditanggung oleh Pemerintah Indonesia. Sedangkan optik teleskop berasal dari bengkel Observatorium Yerkes yang didanai oleh UNESCO.

Saat itu, biaya yang ditanggung pemerintah Indonesia tergolong besar. Biaya pembuatan mounting saja berkisar 150 ribu – 200 ribu dolar. Padahal Pemerintah Indonesia hanya menyediakan sekitar 16 ribu dolar saja. Akibatnya, pihak observatorium meminta bantuan Jan H. Oort, direktur Observatorium Leiden. Atas bantuannya, Observatorium Bosscha mendapatkan desain mounting dari Rademakers di Rotterdam secara gratis.

Pembangunan mounting dimulai pada tahun 1957. Biayanya pun turun menjadi 17 ribu dolar dengan donasi seribu dolar dari Leiden yang sebelumnya menjanjikan 4 ribu dolar.  Akhirnya, mounting selesai pada bulan Maret 1958 dan tiba dua bulan kemudian di Pelabuhan Tanjung Priok.

Continue reading

Sejarah Singkat Pabrik Kina

Pabrik Kina

Bandoengsche Kinine Fabriek N.V. Foto Tropen Museum

Oleh: Vecco Suryahadi (@Veccosuryahadi)

Pada pertengahan abad ke-19, tersebar sebuah penyakit yang memakan banyak orang Eropa di Batavia. Saking banyaknya, Batavia sempat dijuluki Het Graf van Het Oosten atau kuburan di negeri timur. Penyakit yang memakan banyak korban itu bernama malaria.

Saat itu, obat malaria yang ampuh berasal dari pohon Kina. Bagian yang diambil yaitu kulit pohonnya.

Melihat hal itu, pada tahun 1851, Ch. F. Pahud yang menjabat sebagai Menteri Jajahan Seberang Lautan Belanda mengusulkan Junghuhn untuk membudidayakan kina di Jawa. Di tahun yang sama, Prof. de Vriese mendapatkan biji Kina paling baik dari Perancis dan mulai menanam di Kebun Raya Bogor. Continue reading

Dari Situs Penjara Banceuy

Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)

Dari Situs Penjara Banceuy

Saya melihat Sukarno sedang termenung ditemani buku dan pena. Kegelisahan begitu jelas terlihat dari raut wajahnya. Walaupun hanya dalam bentuk patung, keberadaannya terasa esensial. Di tempat inilah Sukarno mendapatkan gagasan dan juga mengumpulkan berbagai rumusan untuk menulis pledoi yang terkenal: Indonesia Menggugat.

Inilah pertama kali saya menginjakkan kaki di Penjara Banceuy, Bandung. Sebuah penjara yang penuh sejarah, terutama yang berkaitan dengan Sukarno.

Angga menuntun saya ke setiap penjuru, “Nah lihat dan bayangkan, di kamar nomor 5 dengan ukuran 1,5 x 2,5 meter ini Sukarno pernah tinggal,” ujarnya sambil menunjuk ke arah bangunan serupa kamar.

“Haaaah!!!!” saya tertegun. “Gilaaaa… Sempit banget.” Continue reading

Gunung-gunung di Gasibu

Oleh: Nandar Rusnandar (@nandarkhan)

Hari Minggu pagi memang asyik bila dimanfaatkan untuk sekadar jalan santai atau olah raga lari-lari kecil, di Bandung ada banyak tempat tempat yang disediakan untuk kegiatan olahraga ringan ini, salah satunya, Gasibu.

Lapangan Gasibu  sekarang sudah lebih bagus dibanding tahun-tahun kemarin, sudah tersedia jogging track berwarna biru mengelilingi lapangan utama, ditambah  dengan fasilitas  perpustakaan, taman, dan toilet yang bersih, membuat para pengunjung yang ingin melakukan aktivitas olahraga seperti bulu tangkis, senam, bermain sepatu roda, dan jogging merasa nyaman dan betah berlama-lama di sana. Selain yang datang untuk berolah raga, ada pula yang hanya sekadar ngumpul bareng keluarga atau teman-temannya sambil duduk duduk dipinggir lapangan dan menikmati jajanan makanan yang tersedia di sana.

Hari ini saya sedang ingin jogging, menikmati hangatnya matahari sambil mendengarkan lagu dari earphone saja. Setelah lari beberapa putaran, saya pun  kelelahan dan melanjutkan dengan berjalan kaki santai saja. Tak sengaja, terasa ada yang menarik pandangan saya ketika asyik jalan kaki menyusuri  jogging track ini. Batas antara area biru dan lapangan bagian dalam yang berumput ternyata dibatasi oleh sebuah jalur lempengan seperti paving block, berukuran 40 x 40 cm, berwarna natural seperti batu semen, dan terdapat lobang di bagian pinggirnya, mungkin lobang itu berfungsi untuk serapan air bila hujan turun.

Ternyata, tidak semua lempengan batu semen itu polos, ada sebagian yang bergambar. Yaa betul saja, ini seperti prasasti, di permukaan lempengan tertulis nama gunung lengkap dengan keterangan ketinggian serta siluet gunung tersebut. Saya iseng-iseng mengelilingi lempengan batu semen itu dan terkumpul ada 17 lempeng nama gunung yang dipasang mengelilingi lapangan Gasibu. Uniknya, jarak lempengan nama gunung satu dengan lainnya itu tidak sama, saya menduga arah pemasangan nama-nama gunung ini disesuaikan dengan lokasi gunung sebenarnya berada. Continue reading

Cara Asik Mengenal Kota Bandung Bareng Komunitas Aleut

Oleh: Intan (Bukalapak)

Naik vespa keliling kota.hatiku jadi gembira.

Begitulah kata Naif dalam lagunya Piknik 72. Memang benar, terkadang untuk sekadar refreshing kamu nggak perlu pergi jauh-jauh ke luar kota atau luar negeri. Dengan pergi mengelilingi kota tempat juga bisa menyenangkan. Kamu jadi punya kesempatan pula mengenali lebih jauh kota yang selama ini kamu tinggali itu. Banyak cerita, banyak sejarah di dalamnya.

Sama seperti yang dilakukan Komunitas Aleut pada kota kesayangannya, Bandung. Tiap akhir pekan mereka rutin berjalan kaki menyambangi sudut-sudut kota kembang itu sambil mempelajari sejarahnya. Beberapa waktu lalu Tim Komunitas Bukalapak berkesempatan mewawancarai Komunitas Aleut. Langsung simak saja obrolan seru kami di bawah ini ya. blush Continue reading

Stasiun (Barat) Bandung

Oleh: Frans Ari Prasetyo

Stasiun Bandung Pintu Selatan (Foto oleh Frans Ari Prasetyo 25 Feb 2016)

Stasiun Bandung Pintu Selatan (Foto oleh Frans Ari Prasetyo 25 Feb 2016)

Stasiun Bandung memiliki cerita panjang terkait sejarah transportasi, heritage, hingga mobilitas dan kehidupan warga di sekitarnya sejak era kolonial hingga sekarang ini. Stasiun Bandung sejak awal diresmikan 17 Mei 1884 lalu mengalami perluasan pada tahun 1909 melalui kerja arsitek  bernama FJA Cousin. Pada awalnya, Stasiun Bandung ini hanya memiliki satu pintu masuk yang kita kenal sekarang sebagai Stasiun Bandung Pintu Selatan dengan desain arsitektur bergaya artdeco, sedangkan Pintu Bagian Utara baru terbagun pada tahun 1990 yang lokasinya berada di jalan Kebon Kawung dengan desain arsitektur modern.

Kedua sisi ini dapat kita bedakan jelas dari segi arsitektural, dan berdasarkan kelas sosial peruntukannya. Pada kedua pintu bagian selatan dan utara tertera angka +709m yang artinya merupakan representasi dari ketinggian kota Bandung yang pada posisi di Stasiun Bandung berada pada ketinggian +709m di atas permukaan laut. Angka ini juga menunjukan bahwa (Stasiun) Bandung berada di dataran tinggi atau pegunungan.  Menurut SHP No.6/1988 dan Perda Kota Bandung No.14/2007 kondisi sekarang  stasiun bandung, area Stasiun Utara  berada di Kelurahan Pasirkaliki-Kecamatan Cicendo dan Stasiun Selatan, sebagian masuk kelurahan Kebon Jeruk – Kecamatan Andir.

Pintu stasiun bagian selatan diperuntukan untuk masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Hal ini dibuktikan dengan loket tiket dan jalur kereta yang berada di area selatan diperuntukan untuk kereta ekonomi yang mayoritas melayani rute ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan rute-rute pendek di sekitar kota dan kabupaten Bandung, seperti Cicalengka dan Rancaekek. Sedangkan pintu bagian utara diperuntukan untuk masyarakat ekonomi kelas menengah keatas yang terbukti dengan tersedianya loket tiket dan jalur kereta untuk kereta kelas bisnis dan eksekutif yang melayani rute ke Jakarta. Walaupun terdapat juga rute ke Jawa Tengah dan Jawa Timur hanya saja kereta dengan kelas bisnis dan eksekutif. Continue reading

Rias Muka Ala Purwakarta

Oleh: Irfan Noormansyah (@fan_fin)

Otot kawat tulang baja julukannya, bertengger Sabtu pagi di Stasiun Purwakarta. Tak lain dan tak bukan adalah Gatot Kaca, putra dari Bima. Tokoh yang terkenal bisa melayang di angkasa ini menyambut gagah kedatangan para tamu yang singgah di Purwakarta lewat kereta. Seringai wajahnya menunjukkan wibawa, seolah menjadi penjaga kota.

Stasiun Purwakarta menjadi langkah pertama saya di daerah yang menjadi sub-urban Kota Bandung ini. Ukurannya tak terlalu besar, namun ada yang berbeda. Di balik kereta-kereta yang sedang menunggu giliran untuk berangkat, terdapat deretan gerbong-gerbong kereta tua yang sudah menjadi bangkai, bertumpuk rapi bagaikan mainan anak yang dapat dibongkar pasang.

“Tua..

Namun Begitu Indah di Mata..

Gerbong kereta yang beragam warna..

Menjadikannya Istimewa..”

Lalu saya ingat persis, tempat inilah yang ternama di dunia maya. Tempat orang berfoto diri karena latar belakang foto yang menjadi tak biasa.

Tak lama saya diperkenalkan kepada si kembar yang berdiri tepat di samping stasiun, tak seperti kembar yang saya bayangkan layaknya kembar yang berada di negeri Paman Sam memang. Si kembar yang dimaksud adalah Gedung Kembar yang sudah berusia satu abad lebih dan merupakan salah satu bangunan heritage di Purwakarta. Nakula Sadewa namanya kini, sama seperti nama si kembar dari ceritera Mahabarata, sehingga menambah kental nuansa pewayangan di Purwakarta. Gedung Kembar Nakula Sadewa kini dipergunakan sebagai museum yang diberi nama Bale Panyawangan Diorama Purwakarta.

Buat saya yang sebenarnya cukup mengikuti perkembangan teknologi terkini, Bale Panyawangan Diorama Purwakarta merupakan satu tempat yang cukup ajaib . Sebuah buku yang menayangkan gambar bergerak di setiap lembarnya seperti Film Harry Potter dan sebuah video virtual yang berjalan dengan kayuhan sepeda sukses membuat saya merasa ndeso. Pada umumnya, Bale Panyawangan, seperti titelnya yang menyandang nama Diorama Purwakarta, menceritakan tentang daerah Purwakarta dari mulai sejarah, perkembangan kota, hingga bagaimana Purwakarta mengangkat berbagai budaya nusantara menjadi bagian dari pariwisata.

Purwakarta memang sempat menjadi saksi sejarah perlawanan rakyat Indonesia terhadap VOC, namun hanya sedemikian saja. Secara budaya dan sejarah sebenarnya tak banyak yang dapat ditawarkan sebagai aspek pariwisata. Namun, kondisi itu tak membuat sang penguasa patah arang. Wajah Purwakarta kini cantik dengan daya tarik di berbagai titik. Dengan dalih ingin mengangkat berbagai kearifan lokal yang dimiliki Nusantara, kini Purwakarta menjelma menjadi kota istimewa yang pariwisatanya tak kalah asik dengan kota-kota besar lainnya. Gapura dan corak khas Pulau Dewata dapat dengan mudah ditemukan menghiasi sudut kota. Berbagai tokoh pewayangan Mahabarata pun menjadi satu gaya yang menjadi tanda kota.

Tak mau kalah dengan tetangganya Kota Bandung, Purwakarta memiliki beberapa taman cantik yang menjadi andalan muda-mudi menghabiskan banyak waktunya di ruang terbuka. Beberapa instalasi seni di sekeliling taman menjadi primadona untuk berfoto selfie tatkala segerombol wisatawan hadir lengkap membawa tongkat narsisnya. Memang tak seramai taman dan alun-alun di Bandung, namun justru hal ini yang menciptakan faktor kelestarian lingkungan sekitar. Tak banyak sampah berserakan dan fasilitas umum relatif masih baik dan terjaga.

Beranjak dari alun-alun, saya dikenalkan kepada Citra dan Sri. Sayangnya bukan dalam wujud perempuan tinggi cantik semampai seperti yang saya khayalkan, tetapi dua nama yang menjadi taman di Purwakarta; Taman Citra Resmi dan Taman Sri Baduga. Dyah Pitaloka Citra Resmi seorang putri kerajaan Sunda yang terlibat dalam terjadinya Perang Bubat merupakan inspirasi bagaimana Taman Citra Resmi di Purwakarta dinamakan. Secara fisik, keberadaannya sangat mencolok dengan keberadaan patung dan relief yang menggambarkan ringkasan peristiwa Perang Bubat ini tertata sangat indah. Di bagian tengah taman terdapat sang boga lakon, yaitu Dyah Pitaloka Citra Resmi yang sedang beradegan akan menikam lehernya dengan pisau, sementara di bagian belakangnya terdapat relief yang menceriterakan bagaimana perang tersebut berlangsung dan memakan banyak korban.

Sri Baduga, yang tentunya bukan nama seorang wanita layaknya nama Sri di jaman sekarang, merupakan nama lain dari Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi dikenal sangat erat kaitannya dengan binatang maung (macan), karena konon di saat kehancuran kerajaan yang dipimpinnya ia dan pengikutnya berubah menjadi maung saat ditemukan sang anak, Prabu Kian Santang, di lokasi bekas kerajaannya. Bagi orang Bandung, nama Sri Baduga sendiri sudah tidak asing, karena di Bandung Sri Baduga merupakan nama museum yang terletak di Jalan Lingkar Selatan.

Untuk memasuki wilayah Taman Sri Baduga yang ternyata sangat luas wilayahnya ini (mungkin hampir seluas Monas), pengunjung harus mengitari setengah lingkaran lebih taman tersebut dari mulai titik awal di Taman Citra Resmi. Sungguh melelahkan rasanya karena ketika menemukan pintu masuk, kita harus kembali mengelilingi setengah lingkaran sebuah kolam besar untuk dapat berfoto dengan patung Sri Baduga dan keempat maung pengikutnya di titik paling dekat. Melelahkan, namun cukup pantas didapat saat melihat dari dekat megahnya patung Sri Baduga dan empat maung pengikutnya yang memancarkan air layaknya patung singa di Singapore.

Sri Baduga dan Citra Resmi hanyalah dua tokoh yang sebenarnya tidak memiliki kaitan erat dengan Purwakarta, namun diangkat oleh pemerintah setempat sebagai bagian dari pariwisata daerah. Walaupun tidak memiliki hubungan budaya dan sejarah dengan tempat-tempat wisata yang dibuat di Purwakarta, namun cara cerdik pemerintah yang mengisi kosongnya kekurangan mereka dengan berbagai konten yang menarik perlu diacungi jempol.

Tentunya kurang rasanya bila berwisata ke suatu kota tapi tak mencoba kuliner khasnya. Es Kuwut, satu kuliner menarik yang menjadi penutup kunjungan saya ke Purwakarta. Lokasinya tepat bersebrangan dengan Stasiun Purwakarta. Es Kuwut terbuat dari air perasan jeruk nipis berisikan hirbis dan selasih, agak asam namun memberikan kesegaran di bawah suhu Purwakarta yang lebih sedikit eksotis dibandingkan di Bandung.

 

Tautan asli: http://ceritamatakata.blogspot.co.id/2016/06/rias-muka-ala-purwakarta.html

 

Kapel RS Borromeus

image

Kapel ini didirikan bersamaan dengan pembangunan RS Borromeus pada pertengahan tahun 1920-an. Jika bangunan utama rumah sakit menghadap ke Jl. Dago, kapel ini menghadap ke sisi lainnya yaitu ke Jl. Suryakencana.

Selama hampir 100 tahun berdiri, bangunan ini belum pernah diubah bentuknya alias masih asli!

10 Hal yang Diingat dari Aleut

Oleh: Candra Asmara (@candrasmarafaka)

Ada beberapa hal yang saya ingat tentang Aleut. Saya batasi sampai 10 saja, biar sama dengan angka ulang tahun Aleut. Berikut 10 hal yang diingat dari Aleut versi on the brot:

1. Aceng

Bukan nama pegiat ataupun nama pemain Persib. Aceng adalah nama asbak berbentuk kura-kura milik mantan kordinator Aleut, M. Ryzki Wiryawan. Meskipun sang pemilik bukan perokok, bukan berarti Aceng tak dipeliharanya. Entah kenapa bisa diberi nama Aceng, apa mungkin terinspirasi dari Aceng Djuanda pemain Persib? Terlepas dari itu, Aceng setia menanti dan siap menampung abu-abu rokok para pegiat Aleut agar calacahnya tidak berserakan di mana saja.

2. Ica

Begitu banyak nama Ica di dunia ini. Biasanya Ica adalah nama imut dari Anisa, Aisya, dan sebagainya. Untuk Ica yang satu ini, adalah nama kucing yang menghuni basecamp Aleut saat itu di Sumur Bandung No.4. Ica adalah betina yang mengeong-ngeong minta tolong pukul 11 malam, ditemukan oleh para pegiat yang kebetulan masih terjaga. Tampaknya, kami anggap, melarikan diri dari majikannya karena tak tahan dengan siksaan yang kerap mendera dirinya. Ica berhasil kabur, namun terjebak di dalam got tepat di depan basecamp Aleut. Beberapa pegiat Aleut yang memang memiliki rasa kasih sayang berlebih kemudian merawatnya dengan penuh suka cita. Memberinya makan, memandikannya, dan kadang berbicara dengannya. Kini, Ica masih mendiami basecamp Aleut yang dulu, beranak pinak tak tertahankan karena enggan ikut program KB.

3. Hari Tanpa Tembakau

Bagi para pegiat Aleut, hari tanpa tembakau tidaklah pernah sama. Tergantung dari pihak pemangku otoritas yang bisa kapan saja hadir. Pacar, istri, anak atau gebetan (mungkin) adalah sang penegak hukum boleh-tidaknya merokok. Larangan pun hanya berlaku bagi pihak yang bersangkutan saja, tidak untuk semua. Jadi, para pegiat yang sedang bebas merokok akan maklum ketika melihat ada seorang pegiat yang sedang diiringi sang penegak hukum saat Ngaleut. Maklum dalam bentuk rokok yang ia bawa kita habiskan saja, toh ia tidak akan berani merokok seharian. Yah namanya juga hukum merokok, kita begitu menikmatinya tapi kemudian lupa untuk apa gunanya.

4. Toponimi Kontak Handphone

Beberapa pegiat tertangkap basah memiliki nama kontak di handphone-nya dengan nama yang aneh-aneh. Ada yang namanya Yusup Jakarta, Kantor, Apotek Damai dan lain sebagainya. Yang mengherankan adalah ketika menerima telepon dari nama-nama tersebut, nada suara si penerima akan terdengar mesra, atau saat SMS-an air mukanya terlihat mesem-mesem bikin sirik. Entah siapa sebenarnya pemilik kontak tersebut, hanya Sumedang dan bulat yang tahu.

5. Patah Hati

Begitu banyak para pegiat Aleut yang curhat tentang kepatahan hatinya. Jarang yang menceritakan kebahagiaan, semua tentang broken heart. Mungkin sudah tertanam bahwa menyebarkan kabar gembira hanya tugas para nabi, atau mungkin kebahagiaan adalah kesunyian masing-masing? Entahlah. Yang jelas, setiap pegiat memiliki cara yang berbeda dalam mengekspresikan apa yang tengah dirasakannya. Ada yang mematikan lampu lalu membakar dupa kemudian berkisah-kisah, ada yang berjalan kaki dari Buah Batu ke Kircon dalam rangka mencari sesuatu yang memabukkan, ada yang mendadak rajin bersih-bersih dan cuci piring karena sedang mabuk dan lain sebagainya. Aroma galau menyeruak, ada yang gigih berstrategi ingin punya pacar, ada yang keukeuh ingin meninggalkan, ada yang patah karena ditinggalkan. Sedangkan, aroma kegembiraan pun jadi milik masing-masing. Ketika yang jomblo berhasil dapat pacar di Aleut, kemudian hilang dua-duanya. Lalu, ketika putus balik lagi ke Aleut. Bergalau-galau lagi, mencari-cari lagi. Begitu seterusnya, sedangkan Jalan Braga tak sekali pun diinjaknya.

6.
7.
8.
9.
10.

Demikian 10 hal yang diingat dari Aleut versi On The Brot. Lho, lima lagi mana? Namanya juga manusia, ingatannya terbatas. Silakan diingatkan kalau mau.

Stadion Persib

Oleh: Irfan Noormansyah (@fan_fin)

image

Stadion Persib, lebih populer dengan nama Stadion Sidolig, merupakan cikal bakal lahirnya SSB Sidolig.

Sidolig sendiri merupakan sebuah singkatan dari “Sport in de Openlucht is Gezond” yang artinya “berolahraga di tempat terbuka itu sehat”.
Saat ini Stadion Persib dikenal juga sebagai lokasi mess para pemain serta salah satu stadion yang sering digunakan untuk menggelar latihan reguler.

Satu cerita yang tak banyak orang tahu, bahwa di stadion ini pernah terjadi insiden berdarah yang menewaskan 3 orang tentara belanda dan 1 orang pemain Jong Ambon. Tragedi terjadi saat APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) memaksa masuk ke dalam stadion saat turnamen sepakbola yang digelar Divisi Olahraga S.A.D Belanda. Turnamen ini dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur atas dipulangkannya sisa tentara Belanda menjelang Natal.

Insiden Sidolig ini tak terlepas dengan sentimen masyarakat terhadap tragedi pembantaian warga oleh Tentara Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin Raymond Westerling.

Pabrik Teh Sedep

Oleh: Mooibandoeng (@mooibandoeng)

image

Pabrik Teh Sedep di lingkungan pergunungan yang bener-bener sedep. Selain pabrik, bangunan-bangunan sekitarnya yang selalu menggoda itu, akhirnya dapat terkunjungi juga.

Di dalam rumah Hoofdadministrateur ada plakat yang menyebutkan angka tahun 1930 untuk pabriknya, tetapi cap pada barang-barang rumah tangga menyebutkan angka tahun 1929. Sedangkan palakat khusus untuk hoofdaministrateur menyebut angka tahun 1907 (-1932). Jadi kapan sebenarnya perkebunan ini lahir? :-))

Pintu Air di Cicendo

image

Warga sekitar menyebut tempat ini dengan nama Bong. Padahal, arti dari bong sendiri adalah pemakaman Tionghoa.

Kok bisa? Hehe, soalnya wilayah pemukiman padat di dekat pintu air ini dulunya memang pemakaman Tionghoa. Entah bagaimana di kemudian hari warga sekitar mengenal bong sebagai pintu air.

Ngomong-ngomong, apakah Aleutians tau nama sungai yang ada di foto ini? 😊

Petilasan Ki Ageng Mangir

Oleh: Nurul Fatimah (@nurulf90)

image

Adalah Mangir, sebuah desa yang diyakini menjadi desa tertua di Kabupaten Bantul. Desa ini tidak bisa lepas dari sejarah tokoh Ki Ageng Mangir yang dikenal karena perseteruannya dengan Panembahan Senopati, Raja Mataram.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑