Category: Bandung (Page 3 of 4)

Nisan Luitenant Oeij Bouw Hoen, 1882

Oeij Bouw Hoen 1881-1B

Sabtu lalu saya jalan-jalan menyusuri perkampungan padat di daerah Babakan Ciamis. Dari beberapa bacaan, saya tahu dulu di kawasan itu ada permakaman Cina pindahan dari Oude Kerkhoff (Sentiong) di Banceuy.

Ternyata saat ini kawasan itu sudah sangat padat oleh permukiman, lorong-lorong jalan yang sangat sempit, untuk dilewati satu motor pun susah, dan karena tanahnya berundak-undak, banyak lorong yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki saja.

Permakaman lama sudah tidak bersisa, hanya beberapa orang tua saja yang bisa cerita bahwa dulu di sana memang pernah ada permakaman, warga lainnya umumnya tidak mengetahui karena rata-rata baru datang di wilayah itu pada tahun 1980-an.

Seorang tua yang berasal dari Jawa Tengah bercerita bahwa pada saat dia pindah ke Babakan Ciamis, beberapa puluh meter di belakang rumahnya masih ada 3 buah nisan lama, sayangnya karena renta, beliau tidak bisa mengantarkan. Continue reading

Catatan Ci Kapayang 10.11.13

RAA_Martanagara_nuju_janten_Patih_di_Sumedang

RAA Martanagara (1845-1926) adalah Bupati Bandung periode 1893-1918. Karena bukan berasal dari trah Bandung, maka ia mendapat julukan Dalem Panyelang.

27 Juni 1893, seorang Patih yang bertugas di Afdeling Sukapura Kolot diangkat menjadi Bupati Bandung yang kesepuluh, Raden Adipati Aria Martanagara. Ia menggantikan Bupati Bandung kesembilan, Raden Adipati Kusumadilaga, yang wafat dua bulan sebelumnya.

Pengangkatan ini menimbulkan masalah, karena RAA Martanagara bukanlah seorang berdarah Bandung. Selain itu, Patih Bandung, Raden Rangga Somanagara  yang sudah bertugas menggantikan pekerjaan bupati sehari-hari juga merasa kecewa dan marah karena beranggapan telah terjadi penyerobotan hak dalam meneruskan kepemimpinan di Kabupaten Bandung. Raden Rangga Somanagara adalah menantu Bupati Bandung Wiranatakusuma IV atau Dalem Bintang.

Raden Rangga Somanagara merasa seharusnya dialah yang menggantikan Kusumadilaga sebagai Bupati Bandung. Kekecewaan membuat kalap. Somanagara dibantu beberapa kroninya melakukan beberapa percobaan pembunuhan, baik terhadap bupati yang baru maupun pejabat-pejabat Belanda di Bandung. Continue reading

Ngaleut Inhoftank, 01.12.13

Minggu, 1 Desember 2013, adalah hari yang cukup istimewa. Hari ini kami bersama @KomunitasAleut akan berkenalan dengan satu kawasan di bagian selatan Bandung, yaitu Inhoftank. Walaupun cukup sering melewati kawasan ini dalam berbagai kesempatan, tetapi mengunjunginya secara khusus belum pernah dilakukan. Lagipula sering terpikir, apa perlunya berkunjung ke tempat ini selain karena namanya yang unik itu?

Nama Inhoftank memang terdengar unik dan sering mengundang pertanyaan, apa arti nama itu? Sejarah nama tempat ini pernah dituliskan oleh @mooibandoeng dalam blog-nya, kira-kira seperti ini keterangannya: Imhoff, dan bukan Inhof, adalah nama orang. Ia adalah seorang teknisi yang pernah membuat suatu pabrik pengelolaan limbah rumah tangga di Bandung tempo dulu. Tank adalah tangki-tangki tempat penampungan limbah tersebut.

Dari pengelolaan ini didapatkan bentuk energi yang bisa dimanfaatkan untuk masyarakat banyak, yaitu biogas. Catatan yang ada menyebutkan bahwa energi ini dipergunakan untuk menjalankan bis-bis sekolah. Selain itu, ampas dari hasil pengelolaan ini dapat dipergunakan sebagai pupuk. Nah, pabrik itu berada di kawasan yang sekarang bernama Inhoftank, pelafalan lokal untuk Imhofftank.

Keterangan yang didapatkan dari buku “Kisah Perjuangan Unsur Ganesha 10; Kurun Waktu 1942-1950” itu memang tidak terlalu banyak memberikan informasi latar belakang kawasan yang dijadikan lokasi pabrik tersebut. Tidak rinci juga memberikan catatan tentang apa dan bagaimana sebenarnya pabrik tersebut. Perjalanan bersama @KomunitasAleut hari ini mencoba mendapatkan informasi lebih banyak berkaitan dengan Inhoftank, baik sebagai pabrik di masa lalu maupun sebagai suatu kawasan di Bandung Selatan. Continue reading

Balandongan

Berikut ini cerita singkat tentang balandongan yang pernah menjadi bagian sejarah kota Bandung.
Cerita awalnya pernah saya twitkan melalui akun @mooibandoeng pada tanggal 21 September 2013.

Babakan Surabaya-b

Ini cerita dari zaman pembukaan sebuah kawasan di Bandung yang bernama Kampung Jawa dan Babakan Surabaya. Letaknya di sebelah timur kota Bandung, cukup jauh dari stasiun kereta api Bandung.

Kedua kampung ini dihuni oleh para pendatang dari Jawa Timur, terutama Surabaya dan Ngawi. Mereka ini para pekerja di pabrik senjata dan mesiu yang baru dibangun di Kiaracondong (1895). Ketika itu, pabrik-pabrik senjata dan sejumlah instansi militer memang dipindahkan dari beberapa daerah untuk dipusatkan di Bandung. Continue reading

Catatan Ngaleut Kawasan Trunojoyo – Bagian 2

Catatan Ngaleut Kawasan Trunojoyo – Bagian 2:
Nama-nama Jalan

Mencatat Sudut Kota 031113b
Poster oleh @pamanridwan.

Tulisan ini adalah lanjutan dari bagian pertama CATATAN NGALEUT KAWASAN TRUNOJOYO. Bagian pertama adalah rangkaian perjalanan serta catatan sejarah ringkas dan situasi yang terlihat, sedangkan pada bagian ini saya ingin memberikan penjelasan tentang nama-nama yang hadir di kawasan ini.

Tetapi sebelum melanjutkan, saya ingin menyampaikan isi pikiran yang selama ini sering mengganggu, sebetulnya bagaimana memilih dan menentukan nama-nama tokoh yang dipergunakan sebagai nama jalan di kawasan ini? Atau pertanyaan semacam kenapa nama jalan Sultan Agung atau Diponegoro misalnya, ditempatkan di ruas jalan utama dibandingkan dengan nama-nama seperti Geusan Ulun, Pangeran Kornel, atau Wiraangunangun ? Bahkan nama bupati seperti Martanagara yang punya banyak jasa bagi kota ini kenapa malah disematkan pada jalan kecil yang jauh di sebelah selatan kota?

Kawasan Trunojoyo-b

Baiklah, saya langsung ke nama pertama di kawasan ini, yaitu Jl. Sultan Agung d/h Heetjansweg. Ruas jalan Sultan Agung tidak terlalu panjang, namun lebih lebar dibanding jalan-jalan lain di kawasan Trunojoyo. Letaknya juga strategis karena menjadi salah satu ruas jalan utama yang menghubungkan Dago dengan kompleks vila di kawasan ini, Continue reading

Catatan Ngaleut Kawasan Trunojoyo – Bagian 1

Mencatat Sudut Kota 031113b
Poster oleh @pamanridwan.

Berikut ini adalah catatan santai kegiatan @KomunitasAleut hari ini, Minggu, 3 November 2013. Jelajah kawasan yang dipilih adalah seputaran Jl. Trunojoyo, seperti terlihat dalam peta, dengan batas-batas luar (warna kuning) Jl. Dago (barat), Jl. Trunojoyo-Bahureksa (selatan), Jl. Banda-Cimandiri (timur), dan Jl. Maulana Yusuf-Diponegoro (utara).

Kegiatan ngaleut berlangsung dari jam 8 pagi dan selesai sekitar jam 1 siang atau kalau menurut sistem pembagian waktu budaya Sunda, berlangsung sejak Wanci Ngaluluh Taneuh hingga Wanci Lingsir. Hari yang cerah, namun dengan temperatur yang lebih panas dari biasanya. Jumlah peserta ngaleut hari ini 24 orang, termasuk 8 orang anggota/kawan baru.

Trunojoyo-02
Cuplikan peta dari Google Earth.

Sebagai titik awal perjalanan dipilih tempat berkumpul di depan patung PDAM (depan gedung Driekleur/BTPN) di pertigaan Jl. Dago-Jl. Sultan Agung. Seluruh peserta dibagi ke dalam dua kelompok perjalanan dengan masing-masing rute:

  1. Sultan Agung – Bahureksa – Tirtayasa – Kawasan Gempol – Cilamaya – Banda – Tirtayasa – Wiraangunangun. Kelompok ini dipimpin oleh Vecco dan Mentari.
  2. Sultan Agung –Geusanulun – Maulana Yusuf – Pangeran Kornel – Adipati Kertabumi – Aria Jipang – Diponegoro – Gempol – Wiraangunangun. Kelompok ini dipimpin oleh Hani dan Atria.

Hingga akhir abad ke-19, pola permukiman di Bandung memisahkan kawasan hunian secara sosial dan morfologis. Kawasan hunian orang Eropa (Europeesche zakenwijk) berada di sebelah utara rel kereta api dan kawasan bagi kaum pribumi berada di sebelah selatan. Kelompok sosial lainnya, yang terdiri dari bangsa-bangsa timur seperti Arab, India dan terutama Tionghoa berada di sebelah barat (Pecinan). Pembangunan sarana kota pada masa ini lebih terpusat di sekitar Alun-alun dan di kawasan sepanjang jalur rel kereta api.

Wacana, dan akhirnya, rencana pemindahan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandoeng yang berlangsung di awal abad ke-20 mengundang pembangunan kota secara besar-besaran. Berbagai sektor industri dibuka dan dipusatkan di Bandung. Kawasan hunian modern dibangun, terutama di kawasan sebelah utara kota. Rumah-villa dan kompleks-kompleks perumahan pegawai kantor-kantor pemerintahan pun didirikan di sejumlah lokasi.

Tentang perancangan dan pembangunan kota Bandung pada masa itu bisa dibaca di sini

http://mooibandoeng.wordpress.com/2013/06/05/bandoeng-1918-bagian-1/ dan

http://mooibandoeng.wordpress.com/2013/06/05/bandoeng-1918-bagian-2/

Promosi kenyamanan tinggal di kota Bandung dilakukan di mana-mana. Komunitas semacam Vereeniging tot nut van Bandoeng en Omstreken yang terdiri dari tokoh-tokoh Eropa dan kalangan pejabat pribumi Bandung turut membantu pengembangan Bandung menjadi kota modern. Kegiatan komunitas ini kemudian dilanjutkan oleh banyak kelompok lain, terutama Bandoeng Vooruit yang banyak membantu dalam mengembangkan fasilitas dan promosi dalam kepariwisataan Bandung. Pembangunan sarana perkotaan di Bandung saat itu berlangsung dengan sangat cepat. Continue reading

Ledeng

Foto-foto koleksi KITLV.


Foto-foto koleksi KITLV.

Ledeng… Sebagai nama kawasan, Ledeng sudah sangat akrab dengan warga Bandung, karena terdapat sebuah terminal untuk akses transportasi ke wilayah di sebelah utara kota Bandung. Selain itu juga di kawasan ini terletak salah satu kampus penting di Bandung, yaitu Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Tapi bagaimana ceritanya sehingga kawasan ini dinamai Ledeng?

Sampai tahun 1920-an daerah ini dikenal dengan sebutan Cibadak, sesuai dengan keberadaan sebuah mata air cukup besar di sana, Cibadak. Nama badak di sini ternyata selain dapat berarti mengacu pada hewan badak dan kemungkinan keberadaanya pada masa lampau di daerah ini[1], juga bisa jadi merupakan perubahaan dari kata bahasa Sunda lainnya, badag (=Cibadag), yang berarti besar.

Warga sekitar lokasi mata air ini memang mendapatkan cerita turun-temurun tentang besar atau melimpahnya air dari sumber mata air di sini. Hampir seluruh kampung di sekitar kawasan Cibadak lama memanfaatkan air dari tempat ini. Selain mata air Cibadak, ada juga beberapa mata air lainnya di dekat Cibadak, yaitu Cidadap dan Cikendi. Seluruh sumber air ini diberi benteng pelindung seperti tampak dalam foto kanan bawah, yang dibangun antara tahun 1920-1923.

Air yang melimpah ini disadap dan dialirkan melalui saluran pipa-pipa besar ke kawasan sekitarnya. Bangunan penyadapan tampak pada gambar kanan bawah. Pipa-pipa saluran berukuran besar yang melintang inilah yang yang kemudian menjadi cikal munculnya nama Ledeng bagi kawasan tersebut, karena ledeng (leiding) dalam bahasa Belanda memang berarti saluran. Sampai sekarang pipa-pipa ini masih tertanam dan dipakai sebagai saluran pembagian air ke pemukiman penduduk.

Gambar kiri atas adalah mata air Cibadak, sedangkan gambar kiri dan kanan bawah adalah rekaman foto saat peresmian instalasi penyadap air Cibadak yang dilakukan oleh Walikota Bandung, Bertus Coops, tahun 1921.

(Sumber foto KITLV)

 


[1] Lihat buku “Lie Kim Hok” karya Tio Ie Soei  dan dua buku Haryoto Kunto, “Semerbak Bunga di Bandung Raya” dan “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe”

Beberapa Toko Buku Tempo Dulu di Bandung

Bandung - Jalan Braga (Toko Van Dorp)

1.     N.V.G.C.T. van Dorp & Co.

Toko buku van Dorp dibangun tahun 1922 dengan arsitektur bergaya indo-europeeschen architectuur stijl hasil rancangan arsitek Ir. C.P. Wolff Schoemaker. Dua buah kepala kala menghiasi bagian atas gedung van Dorp seperti yang juga terdapat di gedung bioskop Majestic di Bragaweg. Hiasan kepala kala dapat dikatakan sebagai tanda-tangannya Schoemaker. Bangunan bekas van Dorp saat ini tidak banyak mengalami perubahan sejak didirikan. Semua ornamen masih tampak utuh, demikian juga arcade di bagian depannya.

Toko buku van Dorp sangat terkenal di Bandung masa kolonial dulu. Toko yang berpusat di Batavia ini memiliki jaringan di Bandung, Semarang, dan Surabaya, dengan distribusi ke seluruh wilayah Hindia Belanda. Sejak awal dibuka sudah berfungsi sebagai toko buku dan berlangsung sampai tahun 1972. Kemudian cukup lama dibiarkan kosong hingga tahun 1980-an dijadikan rumah bilyar dan lantai duanya dijadikan bioskop POP. Saat ini bekas van Dorp dijadikan gedung pameran dengan nama Landmark Convention Centre sedang di bagian atasnya beroperasi sebuah night-club/diskotek.

Pada awal tahun 1940-an, toko van Dorp pernah menerbitkan sebuah buku botani berjudul “Indische Tuinbloemen”. Buku ini disusun oleh M.L.A. Bruggeman, botanikus pengelola Kebun Raya Bogor, dengan Ojong Soerjadi sebagai ilustrator. “Indische Tuinbloemen” memuat 107 kolom kosong dengan keterangan nama bunga di bawahnya. Untuk mengisi kolom kosong itu kita dapat menyicil membeli koleksi gambarnya. Setiap membeli sebuah gambar bunga tertentu, pembeli akan mendapatkan juga bibit tanaman bunga yang bersangkutan lengkap dengan potnya. Dengan begitu, van Dorp juga telah berperan mengajak warga Bandung untuk menjadi para penanam bunga.

Dalam satu bulan pertama setelah penerbitan buku “Indische Tuinbloemen”, van Dorp telah menjual sekitar satu juta tanaman bunga beserta potnya akibat permintaan pelanggan yang antusias. Untuk kebutuhan bunga saat itu mudah saja, karena kawasan di seberang van Dorp adalah sebuah pasar bunga yang besar dan ramai. Ini adalah pasar bunga lama sebelum dipindahkan ke Wastukancana. Continue reading

Karl Albert Rudolf Bosscha

Foto koleksi Tropen Museum.

Foto koleksi Tropen Museum.

Perkebunan Teh Malabar sudah dibuka sejak tahun 1890 oleh Preangerplanter bernama Kerkhoven yang sebelumnya sudah membuka perkebunan teh di daerah Gambung, Ciwidey. Namun popularitas kawasan Kebun Teh Malabar berkembang dan memuncak setelah Kerkhoven mengangkat sepupunya, Bosscha, untuk menjadi administratur perkebunan ini pada tahun 1896.

Selain perkebunan, sejumlah jejak Bosscha lainnya masih tersebar di kawasan ini. Di antaranya sebuah rumah tinggal yang saat ini sedang direnovasi akibat kerusakan yang cukup parah oleh gempa bumi pada bulan September lalu. Sebelum kerusakan ini, berbagai barang pribadi peninggalan Bosscha masih tersimpan dan tertata rapi di rumah ini. Saat ini barang-barang tersebut diungsikan ke sebuah gudang sampai renovasi selesai dilakukan. Salah satu spot favorit Bosscha di perkebunan ini adalah sebuah hutan kecil yang sekarang menjadi lokasi makam dan tugu Bosscha. Beberapa pohon besar (termasuk yang langka) memberikan keteduhan pada kompleks makam ini.

Tak jauh dari makam, terdapat suatu area dengan pohon-pohon teh yang sudah berumur lebih dari 100 tahun. Pohon-pohon teh yang mencapai tinggi hingga 6 meter ini berasal dari biji-biji teh Assam (India) yang ditanam pada tahun 1896. Biji teh dari Assam inilah yang kemudian menjadi bibit bagi perkebunan teh di sekitar Pangalengan. Di belakang pasar Malabar hingga saat ini masih dapat juga ditemui sebuah rumah panggung tempat tinggal para buruh perkebunan di masa Bosscha. Konon rumah panggung yang sekarang dikenal dengan nama Bumi Hideung ini didirikan pada tahun 1896, saat yang sama dengan berdirinya Perkebunan Teh Malabar.

Nama Bosscha sebenarnya tak dapat dipisahkan dari kota Bandung. Sifatnya yang dermawan telah melibatkannya dalam berbagai perkembangan dan kemajuan Kota Bandung di masa lalu. Beberapa di antaranya : pembangunan Technische Hooge School (THS atau ITB sekarang) beserta fasilitas laboratoriumnya, Sterrenwacht (peneropongan bintang) Bosscha di Lembang, PLTA Cilaki di Gunung Sorong, serta berbagai sumbangan untuk Doofstommen Instituut (Lembaga Bisu Tuli) dan Blinden Instituut (Lembaga Buta) di Jln. Cicendo dan Jln. Pajajaran, Leger des Heils (Bala Keselamatan), dan beberapa rumah sakit di Bandung.

Foto koleksi Tropen Museum.

Foto koleksi Tropen Museum.

Bioskop di Bandung

Awal Kedatangan

Walaupun popularitasnya sudah tidak seperti 30 tahun lalu, namun bioskop ternyata masih menjadi salah satu media hiburan anak muda masa kini. Saat ini sepertinya sudah tidak ada gedung bioskop yang berdiri sendiri karena umumnya menjadi bagian dari mal atau pusat pertokoan. Satu bioskop bisa punya beberapa ruang sehingga namanya menjadi serial menggunakan nomor urut sesuai jumlah ruang putar film yang dimiliki.

Lain sekarang, lain dulu. Di Bandung baheula terdapat puluhan gedung bioskop yang berdiri sendiri. Bioskop2 ini terdiri dari berbagai kelas, mulai dari yang mewah sampai yang merakyat tanpa gedung alias misbar (gerimis bubar). Semakin mewah sebuah gedung bioskop, semakin tinggi juga kelas sosial pengunjungnya. Sebagian bioskop punya spesialisasi pemutaran film dari kategori tertentu. Selain itu, ada juga bioskop yang hanya memutarkan film dari distributor tertentu saja.

Pemutaran film dalam ruang bernama bioskop di wilayah Indonesia dimulai di Batavia. Waktunya hanya terpaut lima tahun dari saat pertama teknologi ini diperkenalkan di sebuah kedai kopi, Grand Cafe, Boulevard des Capucines, Paris oleh Lumiere bersaudara pada 28 Desember 1895. Kedatangannya di wilayah Indonesia bahkan mendahului ke Korea (1903) dan Italia (1905).

Pada tanggal 30 November 1900, koran Bintang Betawi memuat iklan persiapan pertunjukan perdana ini: De Nerdelandsche Bioscope Maatschappij (Maatschappij Gambar Idoep)nmemberi tahoe bahoewa lagi sedikit hari ija nanti kasi liat tontonan amat bagoes, jaitoe gambar-gambar idoep dari banjak hal jang belon lama telah kedjadian di Europa dan di Africa Selatan.

Beberapa hari berikutnya, 4 Desember 1900, Bintang Betawi memuat lagi iklan bahwa mulai keesokan harinya akan diselenggarakan pertunjukan besar pertama yang akan berlangsung setiap malam. Waktu pemutarannya setiap jam 19.00 bertempat di sebuah rumah di Tanah Abang Kebondjae, bersebelahan dengan bengkel mobil Maatschappij Fuschss. Kelak rumah ini akan menjadi The Rojal Bioscope.

Film pertama yang diputar adalah kompilasi film dokumenter yang berisi: Masoeknja Sribaginda Maharatoe Olanda bersama-sama jang moelja Hertog Hendrik kedalem kota Den Haag, roepa-roepa hal jang telah terdjadi didalem peperangan Transvaal. Lebih djaoeh ditontonkan djoega  gambarnja barang-barang matjem baroe jang telah ada di tentoonstelling di kota Parijs (Bintang Betawi, 30 November 1900).

Continue reading

Verboden voor Honden en Inlander

Schouwburg Concordia koleksi Tropen Museum.

Schouwburg Concordia koleksi Tropen Museum.

Kemarin, seorang teman menelepon karena membutuhkan foto lama plakat yang bertuliskan “Verboden voor honden en inlander” atau “Anjing dan Pribumi dilarang masuk.”

Saya bingung juga, karena walaupun selama ini cerita tentang plakat semacam itu yang konon terdapat di beberapa gedung di Bandung tempo dulu, ternyata saya belum pernah melihat fotonya dan malah belum menemukan catatan dari masa Indies yang menyatakan keberadaan plakat tersebut.

Beberapa buku menyatakan ada dua lokasi di Bandung yang memajang plakat seperti itu di depan gedungnya. Dua lokasi ini anehnya, selalu bervariasi, di antaranya yang paling sering disebut adalah gedung-gedung: Societeit Concordia, Bioskop Majestic, kolam renang Centrum, dan Pemandian Tjihampelas.

Sayangnya, dari banyak foto dan kartu pos lama yang beredar yang dapat diperiksa, saya tidak terjumpai keberadaan plakat semacam itu. Bahkan cerita tentang keberadaan plakat itu, baik dari sumber-sumber Belanda maupun sumber lokal, tidak berhasil saya temukan . Entah dari mana sumber cerita yang selama ini beredar dalam masyarakat Bandung. Lalu bila memang benar pernah ada plakat yang semacam itu, kenapa tidak ada cerita keberadaannya yang dikaitkan dengan Maison Bogerijen, Hotel Preanger, atau Villa Isola yang pernah benar-benar hanya untuk kalangan elite Bandung saja?

Walaupun begitu, dari sebuah buku catatan perjalanan tahun 1918, Across the Equator; A Holiday Trip in Java karangan Thomas H. Reid, saya temukan keterangan lain, yaitu keberadaan plakat yang bertuliskan “Verbodden Toegang” yang terdapat di depan kompleks istana gubernur jendral di Tjipanas, Tjiandjoer. Menurut Reid, pengumuman seperti itu banyak terdapat di tempat-tempat lain di Pulau Jawa. Ya, hanya itu saja yang tercatat, “verboden toegang” dan bukan “verboden voor honden en inlander”.

Satu-satunya plakat “verboden toegang” yang pernah saya temui hanyalah yang berada di sebuah gerbang kompleks gedung di daerah Jl. Sangkuriang. Itu pun kondisinya sudah sebagian tertutupi oleh tembok baru.

Nah mungkin ada temans yang punya informasi lain tentang plakat-plakat verboden ini?

 

Verboden Toegang di Bandung.

Plakat Verboden Toegang di Bandung.

Verboden Toegang di Bandung.

Plakat Verboden Toegang di Bandung.

Schouwburg Concordia koleksi Tropen Museum.

Schouwburg Concordia koleksi Tropen Museum.

Eks Bioskop Majestic koleksi @mooibandoeng

Eks Bioskop Majestic koleksi @mooibandoeng

Kolam renang Centrum koleksi Tropen Museum.

Kolam renang Centrum koleksi Tropen Museum.

Pemandian Tjihampelas koleksi Tropen Museum.

Pemandian Tjihampelas koleksi Tropen Museum.

Pemandian Tjihampelas koleksi Tropen Museum.

Pemandian Tjihampelas koleksi Tropen Museum.

Iklan Badplaats Tjihampelas Bandoeng koleksi @mooibandoeng

Iklan Badplaats Tjihampelas Bandoeng koleksi @mooibandoeng

Iklan The strictly first class Grand Hotel Preanger dari buku Batavia Jaarboek 1927.

Iklan The strictly first class Grand Hotel Preanger dari buku Batavia Jaarboek 1927.

Riwayat Pastor Verbraak yang Tak Pernah ke Bandung

P1060755

Di Salah satu sudut taman kota di Bandung terletak patung seorang pastor. Banyak cerita tidak jelas berkaitan dengan patung ini, mulai dari cerita hantu sampai cerita tentang kecelakaan pesawat yang dialami oleh sang pastor di lokasi tersebut, dan konon karena itulah patungnya diletakkan di situ.

Itulah patung Pastor Verbraak di Taman Maluku.

Namun sebenarnya Pastor Verbraak tidak mengalami kecelakaan pesawat, dan tidak jelas bagaimana berita itu bisa muncul. Bahkan sebenarnya Pastor Verbraak sama sekali tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah Priangan ini. Ini ringkasan riwayatnya.

Henricus Christiaan Verbraak dilahirkan di Rotterdam pada 24 Maret 1835. Pada mulanya ia ingin menjadi pedagang, tetapi pada umurnya yang ke 27 ia mengikuti panggilan hatinya: belajar teologi. Tahun 1869 Verbraak ditahbiskan sebagai pendeta oleh Monseigneur Les Meurin, uskup dari Ascalon & Bomberg. Verbraak menetapkan hati untuk mengabdikan hidupnya dalam pekerjaan misionaris di Indië. Tugas pertamanya adalah menjadi misionaris di Padang. Verbraak berlabuh di kota itu pada tanggal 15 Oktober 1872.

Dari Padang, Verbraak diutus ke Tanah Aceh. Pada tanggal 29 Juni 1874, ia menginjakkan kaki di pantai Pantai Ulee Lheue, Aceh, dan akan tinggal di Tanah Aceh hingga 23 Mei 1907. Hari itu adalah terakhir kalinya Verbraak merayakan Ekaristi bersama umat di Gereja Hati Kudus Yesus Banda Aceh yang sekaligus menjadi acara perpisahannya. Verbraak berangkat menggunakan kereta api dari Ulee Lheue menuju Padang. Sepeninggal Verbraak, umat yang terkenang mendirikan patung Pastor Verbraak di Simpang Pante Pirak dan Peunayong, dekat gerejanya. Simpang itu sekarang dikenal dengan nama Simpang Lima dan patungnya sudah tidak ada lagi.

Selama bertugas di Aceh 33 tahun, Verbraak melaksanakan tugasnya sebagai pendeta dengan penuh pengabdian walaupun berada di tengah kancah pertempuran sengit waktu itu. Sampai tahun 1877 Verbraak harus tinggal di sebuah gubuk sederhana yang sekaligus menjadi tempat pelayanannya. Gubug tersebut merupakan sebuah bagian keraton yang telah dikuasai tentara Belanda. Dari sana Verbraak melayani 2000 orang, 1500 di antaranya adalah tentara.

Tahun 1877, pemerintah Belanda memberikan tanah di pinggir Sungai Atjeh yang juga disebut Pante Pirak. Di situlah para tentara membangun sebuah kapel dan pastoran sederhana dari kayu dan bambu. Namun, daerah tersebut sering dilanda banjir sehingga bangunan itu tidak tahan lama. Penguasa militer saat itu, Van der Heyden, yang mengetahuinya masalah ini memberikan izin untuk mendirikan bangunan yang lebih layak. Dimulailah pembangunan gereja dan pastoran baru yang mulai dilaksanakan pada 5 Februari 1884. Gereja dengan menara tersebut dibangun dari kayu yang berkualitas bagus dan lebih kuat dari sebelumnya. Satu tahun kemudian, pada Hari Raya Paskah, gereja tersebut mulai digunakan dan dipersembahkan kepada Hati Kudus Yesus. Gereja ini menjadi Gereja Katolik pertama di Aceh dan setelah mengalami perombakan pada tahun 1924, masih tetap berdiri hingga saat ini.

verbraak

Tahun 1896-1897 adalah tahun yang paling sibuk untuk Pastur Verbraak. Tiap malam kereta tiba di Kutaraja, mengangkut korban-korban luka dan meninggal. Jika satu kereta memasuki Kutaraja, pastor Verbraak menunggu di depan. Setelah semua korban masuk kerumah sakit, Verbraak siap di samping tempat tidur mereka untuk menghibur dan menguatkan mereka. Bahkan pasien kolera pun ia jenguk. Verbraak tidak menghiraukan risiko tertular kolera di barak ini. Ia juga berani di tengah hujan peluru tetap menghibur dan menenangkan para tentara di medan perang.

Pastor Verbraak, layaknya seorang bapak yang penuh kasih, mencari panti asuhan atau orang tua angkat untuk anak-anak yang tertinggal dan tidak terurus. Semua instansi di Aceh dihimbau Verbraak untuk memenuhi kewajiban mereka sebagai umat Tuhan supaya membantu anak-anak yatim piatu ini. Kepedulian pastor Verbraak kepada anak-anak ini membuatnya dicintai semua orang.

Jika ada berita pastor Verbraak tercinta dari Ulee Lheue akan datang berkunjung ke satu tempat, satu batalyon dengan 30 bayonet dipimpin oleh seorang sersan keluar dari benteng untuk menjemputnya. Setibanya Verbraak di benteng, ia akan disambut seperti kawan lama.

Untuk peringatan 25 tahun bekerja sebagai pendeta dan bersamaan dengan peringatan ia tinggal 20 tahun di Aceh, pemerintah menganugerahkan gelar Ridder in de Orde van den Nederlandsche Leeuw (Ksatria dalam orde Singa Belanda) untuk Verbraak. Gelar ini ia terima disamping Medali Aceh dan bintang Ekspedisi yang telah dimilikinya. Van Heutsz menjadikan Verbraak, pendeta Jesuit ini, sebagai teladan untuk anak buahnya sebelum berangkat bertugas.

Tahun 1907 Pastor Verbraak memutuskan untuk berhenti bekerja setelah 33 tahun bekerja tanpa henti di daerah tropis. Usianya saat itu telah 77 tahun dan ia siap menyerahkan pekerjaannya kepada kaum muda. Walaupun fisiknya masih kuat dan sehat, tetapi penglihatannya saat itu sudah sangat memburuk. Setelah pensiun Verbraak bermukim di Magelang, kota militer di Jawa Tengah.

Di Magelang kesehatan Pater Verbraak terus menurun, banyak orang telah menawarkan pengobatan untuk penyakitnya, namun Verbraak menjawab, “It is old of age. I have lived in good health for 80 years and in the Holy Scripture is written ‘labor et dolor est’ … My old body does not need a nurse; that is too costly”. Pada tahun itu, 1915, ia merayakan ulang tahunnya ke-80. Perayaan ini mendapat perhatian besar dari penduduk Magelang. Pendeta C.W. Wormser yang mengasuh majalah mingguan Tong-tong[1] dan yang menulis bagian artikel yang diterjemahkan ini[2] mengatakan: Saya sangat beruntung waktu itu dapat berjabat tangan dengannya.”

Tiga tahun kemudian Verbraak meninggal dunia. Jasadnya dikubur dengan upacara kehormatan militer. Musik duka terdengar di hati ribuan masyarakat yang berkabung. Verbraak telah mengabdikan hidupnya untuk orang lain, ia hidup di antara militer di Indië, pekerjaannya mengikuti dia. Mottonya menjadi kenyataan: ‘ad majora natus sum‘, ‘Saya dilahirkan untuk mengerjakan hal-hal yang besar’.

Menurut catatan P. van Hoeck, seorang pengajar di Canisius College, Nijmegen, Verbraak wafat pada 1 Juni 1918 dan dimakamkan di Molukkenplein, Magelang. Pada upacara pemakaman yang sederhana, Pastor van Hout SJ menyatakan: “God loved this man who loved his fellow human beings, he was our great example of human endurance and virtue. Dilectus Deo et hominibus cuius memoria in benedictione est. We will never forget you. Farewell and until we meet again in heaven. Amen.”

Pemerintah Kota Rotterdam pada tahun 1922 memberikan penghargaan untuk Pastor Verbraak sebagai warga kota teladan atas segala pengabdiannya bagi kemanusiaan. Di Bandung, lembaga The Dutch East Indian Army mengumpulkan dana dan mendirikan patung Pastor Verbraak pada tanggal 27 Januari 1922 di sebuah taman yang pernah berjuluk ”Paradisi in Sole Paradisus Terrestris” (tanah surga di bawah cahaya matahari). Patung ini dirancang di Belanda oleh seniman G.J.W. Rueb.

Patung badan utuh Verbraak dipasang di salah satu sudut utara Taman Maluku. Letaknya menghadap Jalan Seram. Di sebelah kirinya adalah kompleks gedung militer yang dulu ditujukan untuk Istana Komanda Militer (Paleis van den Legercommandant) di Bandung. Jadi tidak benar juga pendapat yang mengatakan bahwa patung ini dipasang menghadap ke istana komandan militer.[3]

Pada bagian bawah patung terdapat prasasti dengan tulisan:
PASTOOR
H.C. VERBRAAK
1835 – 1918
AALMOEZENIER[4]
1874 – 1881
ATJEH
1874 – 1907

Dalam “The Chaplain: P. Henricus Verbraak S.J.” tulisan F. Van Hoeck S.J., yang dimuat dalam majalah Claverbond tahun 1918, terdapat biografi Verbraak dengan pengantar oleh Gubernur Jendral J.B. van Heutz yang pernah berjumpa langsung dengan sang Pastor: “… I had the privilege to know this great man of whom the Roman Catholic Church can be proud of, during the years of my assignment to Atjeh. I have seen him carry out his duties from close distance. How he administered the means of grace of the Church to the wounded, the sick and the dying, without fear for his own personal safety and not at all concerned about being infected by cholera and other diseases. He was respected and loved by people of all faiths, by officers and minors alike, because for him everybody was the same: everyone was God’s child. He was there to soothe the grief and the pain. And he worked for 33 years as long as his strength did not fail him. A true servant of God, his whole life devoted to his fellow human beings with complete self-denial, without ever asking something for himself.

Foto koleksi Tropen Museum.

Foto koleksi Tropen Museum.

Verbraak-1

Foto koleksi Tropen Museum.

Foto koleksi Tropen Museum.

 

Terima kasih untuk @yoyen yang membantu menerjemahkan sebagian artikel berbahasa Belanda yang saya gunakan di sini.

 


[1] Majalah mingguan Departemen Penerangan Batalyon Indië di bawah pimpinan Biro Institut Kolonial.
[2] Tahun Pertama Nr. 12 28 September 1945.
[3] Sekaligus menambahkan pendapat umum lainnya, tidak benar pula bahwa patung Pastor Verbraak adalah satu-satunya patung dari masa Hindia Belanda yang masih berdiri di Bandung. Di Jl. Pajajaran dan di Lembang masih terdapat patung tokoh lainnya.
[4] Kata bahasa Belanda yang sudah jarang dipakai, artinya: Pembimbing lahir dan batin. Info dari @yoyen.

Cerita Munada – Bagian 2

Melanjutkan Cerita Munada – Bagian 1, maka yang berikut ini agak berbeda pada beberapa nama tokoh, detil tanggal, dan peristiwa.

Ini kisahnya:

Raden Naranata adalah seorang Jaksa Kepala di Bandung. Ia memendam dendam kepada Asisten Residen Nagel karena saudaranya, Mas Soeraredja, pernah dipenjarakan oleh Nagel dan Bupati Bandung dengan tuduhan telah meracuni orang. Naranata juga menyimpan kebencian terhadap Bupati Bandung, Raden Wiranatakoesoemah,yang pernah menolak lamarannya untuk menikahi putrinya.

Dikuasai oleh kebencian, Naranata membuat rencana untuk membunuh Nagel dan bupati. Dikumpulkannya beberapa kawan, di antaranya ada Raden Wirakoesoemah, Rana Djibja, Ba Kento, Raden Padma, Raden Sasmita, dan seorang pedagang Tionghoa-Muslim yang bernama Moenada. Hampir setiap malam komplotan ini berkumpul di rumah Raden Naranata.

Pada tanggal 25 Desember 1845, komplotan ini memutuskan untuk membunuh asisten residen pada malam itu juga. Mereka bersepakat menunjuk Moenada sebagai pelaksananya. Komplotan ini tahu betul bahwa Moenada juga menyimpan dendam kepada Nagel yang pernah memarahi dan memukulnya. Pemukulan oleh Nagel disebabkan oleh sikap Moenada pada saat Nagel menagih hutang-hutang Moenada yang belum dibayarnya.

Continue reading

Imhoff, Mengurusi Limbah Rumah Tangga

Dalam liputan koran Pikiran Rakyat 2 Februari 2011, berjudul “Melebihi Kapasitas, TPSA Ciniru Bisa Meledak”, disebutkan mengenai kekuatiran Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Kuningan bahwa lokasi pembuangan sampah (Tempat Pembuangan Sampah Akhir/TPSA) itu bisa menimbulkan ledakan yang sangat kuat. Kapasitas penampungan tempat itu sudah tidak memadai lagi. Tumpukan sampah di sana sudah mencapai volume 550 meter kubik dengan bobot ribuan ton. Dimulai sejak tahun 2000-an, kini tumpukan itu sudah mencapai ketebalan 7 hingga 10 meter dalam area seluas sekitar 2 hektare.

Liputan koran itu juga menyebutkan bahwa solusi yang diusulkan dalam menghadapi masalah itu adalah dengan mencarikan lokasi lain atau dengan memperluas wilayah buangan di area itu. Untuk itu BPLHD sudah mengajukan anggaran pembelian tanah untuk lokasi baru, itu pun hanya akan efektif untuk dua tahun saja.

Saya teringat salah satu kegiatan Komunitas Aleut! yang saya asuh. Komunitas ini sering mensurvei lokasi-lokasi bersejarah di Kota Bandung untuk kemudian dijadikan bagian dari tour sejarah yang dilakukan setiap hari Minggu. Salah satu lokasi bersejarah yang mungkin berhubungan dengan cerita penampungan sampah di atas adalah Jalan Inhoftank di sekitar Tegalega, Bandung.

Continue reading

Tentang Jam Berangka IIII

Repost

IMG_1004b

Bila sedang berjalan-jalan di sekitar Alun-alun Bandung, ada satu bangunan tua di sudut persimpangan dengan Jalan Banceuy. Sekarang bangunan bekas Nederlandsch Indie Escompto Mij itu dipakai oleh Bank Mandiri. Di menara bangunan ini terdapat jam besar dengan angka Romawi yang unik. Angka 4 yang biasa ditulis IV pada jam ini tertera IIII.

Bila membawa teman yang banyak jalan-jalan, biasanya mereka berkomentar bahwa angka IIII seperti pada jam ini memang unik dan terdapat juga di menara2 gedung kota lain. Yang paling sering disebut adalah Menara Gadang di Bukit Tinggi dan beberapa gedung di Jakarta atau Surabaya.

Dan memang, karena penasaran lalu browsing sana-sini, menara Bukit Tinggi ternyata paling banyak muncul. Lalu banyak cerita ajaib atau disebut misterius seputar angka IIII pada jam itu. Ya, akhirnya mencoba mencari tau lebih banyak saja, dan inilah yang saya dapatkan…

Continue reading

« Older posts Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑