Oleh : Nurul Wachdiyyah (Ulu)
Februari 2009 saya menyusuri trek patahan Lembang. Bersama Aleut (yang waktu itu masih bernama Klab Aleut). 17 bulan kemudian saya kembali ikut ngaleut dengan (komunitas) Aleut! Edun udah lama banget ternyata ya…
Bang Ridwan bilang kumpul 7.30 di sebrang Balaikota, depan masjid Al Ukhuwah. Jadi saya datang tepat waktu! Mungkin lain kali panitia bisa ngasih reward buat yang datang tepat waktu dan sanksi kepada yang telat. Ya denda nraktir aja cukup kayaknya. Hehe.
Masjid Al Ukhuwah a.k.a masjid Balaikota ini dahulunya adalah gedung tempat berkumpul kaum teosofi. Dahulu (dan rasanya sekarang masih ada), ada beberapa gerakan terkenal, salah satunya adalah Freemason/Vritmetselarij. Bang Ridwan cerita bahwa sebelum jadi masjid, di tempat saya berdiri dulunya adalah bangunan Loge Sint Jan. Masyarakat mengenalnya sebagai Gedung Setan (Jadi bikin saya inget Gouvernemen Bedrijven yang ngetop dengan nama Gedong Sate). Ungkapan ‘Setan’ bisa jadi terbentuk akibat upacara-upacara yang dilakukan oleh pengikut gerakan ini. Ada efek-efek serem buat yang liat kali. Bisa juga karena kostum yang dikenakan mereka pada waktu berkumpul. Kata Bang Ridwan mah gitu.
Berikutnya adalah menyusuri jalan Aceh dan tembus hingga jalan Kebon Sirih. Bang Ridwan cerita sebentar tentang susu. Kaitannya dengan BMC, Bandung Milk Centre. Adalah Ursone bersaudara, The Italian man yang super kaya raya dan punya banyak tanah luas di Bandung. Selain jago main musik, mereka juga senang berbisnis. Ursone bikin peternakan sapi sekaligus pusat pengolahan susu (BMC). BMC di masa lampau adalah produsen susu terbesar se-Hindia Belanda. Kejayaannya bertahan hingga tahun 50an. Saking kayanya, salah satu tanahnya dihibahkan pada juragan lainnya bernama Bosscha. Di tanah itu sekarang berdiri peneropongan Bosscha.
Gedung Pakuan adalah poin kami berhenti berikutnya. Berdiri di depan ‘kerajaan’ gubernur Jawa Barat ini rasanya gimana gitu. Bener kata Bang Ridwan, ‘semoga gedung kegubernuran ini segera dibuka untuk umum’. Amin! teriak saya, dalam hati.
Kami kembali berjalan. Bangunan SLB Cicendo dilewat. APA! Pekik saya dalam hati. Besar harapan saya buat masuk ke bangunan ini. Yaaahh… gak masuk deh. Yasudahlah.
Kali ini treknya masuk ke kawasan stasiun. Dari jalan Kebon Kawung, masuk ke jalan-jalan kecil. Beberapa jalan dengan nama orang kami lalui. Yang paling saya ingat jl. H. M. Mesri. Kami mengunjungi mata air (iya! Mata air! ada ternyata) Ci Guriang yang letaknya di belakang jl. H. Mesri. Aleut! ngajak kami melihat kompleks pemakaman. Ukurannya kecil. Pemakaman keluarga tampaknya. Salah satu nisan menunjukkan nama seseorang, H. M. Mesri, nama jalan yang saya lalui tadi dan nanti. Wow… “assalamualaikum”, sapa saya dalam hati pada entah siapa.
Di satu-satunya saung di pemakaman tersebut kami beristirahat. Bang Ridwan bercerita tentang orang-orang yang mendiami kawasan Pasar Baru. Bandung pada awal pertumbuhannya kedatangan banyak kaum urban. Mereka datang dari segala penjuru Hindia Belanda. Ada orang Tionghoa, Arab, India, Jawa, dan Sumatera. Tidak sedikit dari mereka yang jadi pembesar, orang kaya raya dan sukses. Mereka mendiami wilayah nadi perekenomian di Bandung: Stasiun dan Pasar Baru. Masyarakat Bandung menyebut mereka dengan sebutan “Orang Pasar”. Salah satunya adalah H. Mesri ini. Beliau punya tanah yang luas. Namanya diabadikan jadi nama jalan. Sepanjang jalan H. M Mesri, kami masih bisa lihat rumah-rumah jadul dan pemiliknya masih keturunan H. Mesri. Ini bisa keliatan dari papan nama pemilik rumah. Tapi sebentar, Bang Ridwan, H. M. Mesri teh jadinya orang mana ya aslinya? Apa hubungannya dengan Pangeran Diponegoro ya? Saya gak bagus nyimak ceritanya nih 😀
Kami sempat mampir di depan rumah Haryoto Kunto. Jl. H. M. Mesri no 5. Gak masuk, hanya ngeliatin dari luar dan mendesah kecewa karena perpustakannya tutup. Tapi dia (perpusnya) memang tutup untuk umum dan siapapun kan ya? kecuali beberapa pihak tertentu.
Berikutnya kaki ini dibawa jalan lagi masuk ke kawasan jalan-jalan wayang. Menuju Pajajaran bagian barat. Pertama-tama kami masuk ke jalan Ksatriaan. Ada sebuah bangunan pojok jalan yang indah. Ah lagi-lagi gak keurus…
Kami masuk ke bangunan SMPN 1 Bandung. Wah ini baru buat saya. Manalah saya tahu tentang sejarah bangunan ini. Wakwaw… Lalu kami berjalan melangkahi pintu gerbang dan duduk di depan/kaki bangunannya. Bang Ridwan kembali bertutur tentang Ksatriaan Institute. Sebelum berwujud sekolah seperti sekarang, bangunan ini digunakan untuk belajar. Ini dia perjuangan Setiabudi alias Douwes Dekker dan rekan-rekannya para pejuang dalam memerangi para penjajah dengan pendekatan pendidikan. Mereka bikin semacam lembaga pendidikan khusus untuk pribumi. Soekarno pernah ngajar di sekolah ini. Bang Ridwan cerita, ini lembaga pendidikan pertama untuk pribumi dan tingkatannya setara dengan SMP. Wow! Oh Tuhan.. seandainya saja kisah tentang Douwes Dekker ini diangkat jadi film, saya rela kok jadi tukang angkut-angkut properti filmya.
Sebenernya banyak yang saya pengen tanya ke BR tentang Ksatriaan Institute dan khususnya Douwes Dekker. Tapi saya sendiri gak tau pertanyannya apaaa 😀 Jadi kepada Bang Ridwan, nantikan sms-sms pertanyaan dari Ulu, entah kapan. hehe
Setelah cukup istirahat, Ksatriaan Institute kami tinggalkan.
Berikutnya adalah jalan kaki yang mulai bikin saya kelelahan. Masuk gang, keluar gang dan berujung di pemakaman (lagi). Sepertinya pemakaman keluarga juga tapi saya gak terlalu paham juga disitu mau ngapain selain melihat-lihat tahun kelahiran dan wafatnya. Nampaknya keluarga pembesar juga layaknya H. M. Mesri. Ada juga pohon Sawo yang katanya hanya berbuah pada saat lebaran.
Yak perjalanan dilanjut lagi. Jalan kaki terus dan terus dan terus. Muter-muter sih kayaknya. Ujungnya keluar di jalan Pasteur. Kami nyebrang dan istirahat dulu, ngopi-ngopi dulu di suatu warung jalan Dr. Rum kayaknya mah. Istirahat yang lumayan lama karena ada hiburan berupa bala-bala, kopi, kerupuk, dan sejenisnya. Beres ngaso, perjalanan lanjut lagi.
Sepanjang jalan Pajajaran bagian timur khatam. Kami berjalan ke belakangnya pabrik Kina. Kirain bakal masuk tapi enggak. Yaaahh…gak apa-apa deh. Selama jalan kaki disitu, ada beberapa rumah-rumah hunian yang bentuknya masih jadul. Lucu. Unik. Terus si Yanstri poto-poto deh rumahnya soalnya dia suka banget sama yang begituan.
Habis itu kami nyebrang daaaaaaannnn masuuuuuuuuuk SLB Cicendo! Yihaaa!
Setelah bertahun-tahun hanya bisa jadi secret admirer gedung ini, akhirnya bisa masuk juga. Menyentuh tiang-tiang bangunannya dan menjejakkan kaki dalamnya. Menghirup aroma sejarah perjuangan disitu. Sepintas di awal sebelum masuk bangunannya BR bilang waktu Jepang menduduki Bandung, salah satu ruangan didalam digunakan sebagai ‘gudang’ pembantaian. Glek.. Bangunan SLB Cicendo-nya sunyi senyap. Penghuninya berkomunikasi pake bahasa isyarat jadi ya… sepi.
Kalau baca di internet, gedung SLB ini disebut-sebut sebagai bangunan dengan rangka baja pertama di Bandung. Malah di Hindia Belanda. Wow. Tapi seorang teman berpendapat lain. Katanya (berdasarkan buku Gedung Sate, Sudarsono Katam), bangunan rangka baja pertama itu Gedung Sate.
Yak.
Sekian. Dari SLB Cicendo itu masing-masing orang pulang ke peraduannya.
Hari minggu yang menyenangkan (satu paket sama bikin capenya juga).
Satu lagi episode yang bikin saya bisa dekat dengan sejarah. Saya catat dan akan jadi sejarah dengan saya sendiri didalamnya.
Hehe.
Nuhun, Aleut!
-Ulu
Tulisan ini juga dimuat di http://mahanagari.com/
wah, saya sedang mencari sejarah masjid al-ukhuwah dan menemukan artikel ini. sayang sekali, sekalipun informasinya menarik, karena hanya berdasarkan “kata Bang Ridwan”, saya tidak bisa mempercayai sejarahnya. seandainya ada data yang valid mendukung tulisan ini, saya mohon bantuannya untuk menyampaikan pada saya. terima kasih banyak.
sesegera mungkin setelah sumbernya ketemu, kita kabari via email okee