Catatan Ngaleut! Jejak Cinta Bung Karno part 2 ; Romansa yang Menggetarkan Indonesia

Oleh : Unang Lukmanulhakim

Ketika ketulusan dan pengabdian merupakan sebuah pilihan yang disadari maka akan menjadi bagian dari cinta yang sejati, namun ketika keduanya hanyalah sebuah tradisi maka hanya akan menjadi ironi.

 

Siang itu cuaca Bandung memang terasa panas, mungkin inilah bagian dari yang orang-orang sebut global warming, tapi mungkin juga bisa disebut sebagai sebuah peringatan dari Tuhan karena kita seringkali lupa untuk memberikan sesuatu ketika kita telah mengambil sesuatu dari bumi ini. Tapi cuaca panas ini tidak menghalangi kami Komunitas Aleut untuk mencoba menggali sedikit tentang kisah dan pemikiran Soekarno dan Inggit Garnasih, rasanya akan sangat malu apabila hanya karena  panas seperti ini saja kita sudah mengurungkan niat sedangkan jaman dahulu Soekarno tak pernah kenal lelah menantang bukan hanya panas atau dinginnya cuaca bahkan menantang maut sekalipun beliau tak gentar. Begitupun dengan Inggit Garnasih dengan kesabarannya menerima segala tantangan bukan sekedar hanya panas dan dinginnya cuaca bahkan kegetiran hidup pun beliau hadapi.

 

Kali ini kami akan menggali cerita dua sejoli ini langsung dari salah seorang ahli waris Inggit Garnasih yaitu Tito Zeni Asmarahadi, beliau merupakan putra dari Ratna Djuami yang merupakan salah seorang anak angkat dari Inggit Garnasih dan Soekarno, memang seperti yang sudah diketahui oleh banyak orang bahwa Soekarno dan Inggit Garnasih tidak memiliki keturunan langsung. Rencana awalnya kami akan berbincang-bincang sekaligus melihat koleksi-koleksi peninggalan dari Inggit Ganarsih di dalam rumah kediaman Inggit Garnasih, namun karena yang memegang kuncinya berhalangan hadir jadi kami pun mengalihkan tempat berbincang ke teras belakang rumah tersebut. Karena kami yakin bukan masalah tempat yang akan membuat perbincangan ini penuh makna tapi isi dan orang-orang yang terlibat di dalamnya lah yang akan memberikan nilai lebih.

 

Perbincangan dimulai dengan cerita awal mula kedatangan Soekarno ke Bandung yang diceritakan oleh Pak Tito. Soekarno datang ke Bandung dengan tujuan melanjutkan pendidikannya, selepas beliau lulus dari HBS di Surabaya pada tahun 1921 beliau memutuskan untuk kuliah di THS (Technische Hoogeschool) karena pada saat itu THS merupakan satu-satunya universitas yang ada di Hindia Belanda. Teknik sipil adalah jurusan yang dipilih oleh Soekarno, yang di kemudian hari menjadi dasar beliau merancang beberapa bangunan. Sebelum ke Bandung Soekarno telah lebih dahulu menikah dengan Oetari yang merupakan puteri dari HOS Tjokroaminoto yang mempunyai jasa besar kepada Soekarno selama Soekarno tinggal di Surabaya, maka pernikahan Soekarno dengan Oetari disinyalir adalah bentuk rasa hormat dan balas jasa atas kebaikan ayahnya Oetari. Di Bandung, Soekarno dan Oetari dititipkan oleh HOS Tjokroaminoto kepada salah seorang rekannya yang bernama H.Sanoesi, H. Sanoesi adalah seorang pedagang kaya yang juga tokoh perjuangan dari Sarekat Islam. H.Sanoesi pada saat itu telah mempunyai istri yang bernama Inggit Garnasih keduanya tinggal di rumah yang terletak di Jalan Kebon Jati. Ketika tiba di Bandung, Soekarno dan Oetari ditawarkan untuk memilih tempat kos selain dari rumahnya H.Sanoesi namun Soekarno menolak dan lebih memilih rumah H.Sanoesi sebagai tempat tinggalnya selama di Bandung, seolah-olah hal tersebut memang telah menjadi sebuah suratan dari Yang Maha Kuasa yang nantinya bakal mengantar Soekarno ke dalam sebuah romansa yang tak terduga.

 

Inggit Garnasih lahir di Desa Kamasan, Banjaran, Kab. Bandung, 17 Februari 1888, dari pasangan Ardjipan dan Amsi. Nama itu diberikan dengan penuh makna dan harapan, kelak menjadi anak yang hegar, segar, menghidupkan, dan penuh kasih sayang.
Pada usia 12 tahun Inggit sudah menikah dengan Nata Atmaja seorang patih di Kantor Residen Priangan. Perkawinan ini tidak bertahan lama dan beberapa tahun kemudian Inggit menikah lagi dengan seorang pedagang kaya yang juga tokoh perjuangan dari Sarekat Islam Jawa Barat, H. Sanoesi.

 

Seiring dengan jalannya waktu hubungan antara Soekarno dan Oetari ternyata tidak berjalan dengan baik, hal tersebut berujung pada keputusan Soekarno untuk menceraikan istri pertamanya tersebut dan mengembalikan Oetari kepada ayahnya. Selepas bercerai dengan Oetari, Soekarno praktis membutuhkan teman untuk berbagi keluh kesah atas semua persoalan yang dihadapinya, dan hal itulah yang membuat kedekatan anatara Soekarno dan Inggit mulai terjalin. H.Sanoesi pun melihat dan menyadari fenomena ini, namun entah apa yang terjadi H.Sanoesi dengan rasa ikhlas dan kebesaran hatinya rela untuk “menyerahkan” Inggit kepada Soekarno, hal yang mungkin mustahil terjadi pada saat ini atau bahkan pada saat itu sekalipun. Yang melandasi tindakan H.Sanoesi pada saat itu konon karena H.Sanoesi telah melihat bibit-bibit pemimpin besar pada diri Soekarno dan seorang pemimpin besar butuh wanita tangguh dibelakangnya, H.Sanoesi menganggap Inggit adalah sosok yang paling tepat untuk menjadi wanita tangguh tersebut.

 

Tak lama kemudian H.Sanoesi menceraikan Inggit, setelah melewati masa idahnya Inggit kemudian menikah dengan Soekarno pada tanggal 24 Maret 1923. Dalam surat nikah dicantumkan usia Soekarno 24 tahun, tapi yang sebenarnya baru 22 tahun (Soekarno lahir 6 Juni 1901), sedangkan usia Inggit tercantum 33 tahun, padahal yang sebenarnya telah 35 tahun (Inggit lahir 17 Februari 1888). Pengurangan jarak umur tersebut saya yakin bukan bertujuan untuk membohongi public melainkan bentuk saling pengertian dari keduanya untuk saling menjaga satu sama lain, karena saya yakin pada saat itu tak jauh berbeda dengan masa sekarang bahwa pasangan suami istri dengan jarak umur istrinya terpaut jauh lebih tua akan menimbulkan pendapat kurang baik dari masyarakat. Satu hal yang unik dan luar biasa dari pernikahan Inggit dengan Soekarno adalah adanya surat perjanjian yang berisi jika dalam waktu 10 bulan Soekarno menyakiti Inggit maka Soekarno wajib mengembalikan Inggit kepada H.Sanoesi, perjanjian yang mungkin kelihatan tidak lazim namun saya rasa hal ini merupakan bentuk kecintaan H.Sanoesi terhadap Inggit, walaupun dia telah merelakan Inggit namun H.Sanoesi tetap ingin menjaga Inggit dan surat perjanjian itulah yang menjadi jalannya.

 

Dalam mengarungi bahtera rumah tangga suka dan duka dialami oleh pasangan Inggit dan Soekarno, bahkan mungkin lebih banyak dukanya dibandingkan dengan sukanya khususnya yang dialami oleh Inggit, salah satunya adalah kenyataan bahwa pasangan tersebut tidak pernah bisa mempunyai keturunan. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan tekad dari Inggit untuk tetap mendampingi Soekarno. Bahkan Inggit rela untuk bekerja keras mencari uang dengan membuat bedak dan jamu demi membiayai kuliah dan perjuangan Soekarno tanpa pernah mengeluh sedikit pun, mungkin agak terdengar konyol seorang wanita begitu rela membanting tulang berkorban untuk membiayai suaminya, tapi hal tersebut dilakukan bukan tanpa alasan, Inggit dengan penuh kesadaran dan keyakinan mengambil peran tersebut karena yakin bahwa Soekarno adalah sosok yang akan membawa Indonesia ke dalam alam kemerdekaan, dan untuk mewujudkan hal tersebut maka Soekarno perlu focus dalam perjuangan melawan penjajah sedangkan Inggit yang mengambil peranan sebagai pemenuh kebutuhan rumah tangga.  Jadi bisa dikatakan bahwa Inggit bukanlah hanya seorang wanita yang diperah habis segala apa yang dimilikinya demi kepentingan Soekarno tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya menajdi hak dia, melainkan Inggit adalah sosok seorang perempuan yang mempunyai visi yang ingin membentuk Soekarno menjadi seorang yang bisa memberikan harapan bagi bangsa Indonesia.

 

Bung Karno merangkul Inggit dan Ratna Djuami,
sementara kartika duduk diantara dua murid Soekarno yang salah satunya menikahi Ratna Djuami

Dalam perjalanannya mendampingi Soekarno, Inggit selalu all out ini bisa dilihat dari kesetiannya mendampingi suaminya itu ketika masa sulit yaitu diantaranya ketika Soekarno di tangkap dan dipenjara, ketika diasingkan ke Ende sampai ketika diasingkan ke Bengkulu. Inggit bisa menjadi sosok Ibu ketika Soekarno membutuhkan kasih sayang Ibu yang memang tidak didapatkan terlalu banyak oleh beliau ketika masih kecil. Inggit bisa menjadi sosok istri yang mengerti kebutuhan suaminya setiap saat. Inggit bisa menjadi sosok kawan ketika Soekarno membutuhkan sokongan dalam perjuangannya, hal ini bisa terlihat salah satunya ketika Soekarno dipenjara di penjara Banceuy dan akan menghadapi persidangan di Lansraad, dalam persiapan penyampaian pledoi yang kemudian hari dikenal dengan judul Indonesia Menggugat, Soekarno membutuhkan bahan dan literature yang hanya bisa didapatkan di luar penjara, maka dengan kecerdikan dan ketulusannya Inggit rela berpuasa tiga hari demi mengecilkan perutnya sehingga bisa disusupi buku dan bahan literature lain yang akan digunakan Soekarno.

 

Namun kisah kebersamaan Soekarno dan Inggit tidak berlangsung selamanya dan sampai akhirnya keduanya harus berpisah. Kejadian tersebut bermula ketika Soekarno dipindahkan tempat pengasingannya dari Ende ke Bengkulu pada tahun 1938-1942, di Bengkulu Soekarno bertemu dengan gadis setempat dan jatuh hati kepadanya, gadis tersebut bernama Fatma. Dengan alasan Inggit tidak bisa mempunyai keturunan maka Soekarno meminta izin kepada Inggit untuk menikahi Fatma untuk dijadikan istri kedua. Namun hal ini ditolak oleh Inggit dan Inggit lebih memilih bercerai dari pada harus dimadu, suatu hal yang menunjukan bahwa dibalik semua kelembutan, ketulusan dan kesetiannya tersimpan sebuah sikap yang memegang kuat prinsip, sebuah prinsip yang menjadi prinsip dari hampir semua wanita yaitu tidak rela kalau cinta dari yang dikasihinya terbagi. Dan dengan ketulusannya Inggit akhirnya merelakan Soekarno menikahi Fatma demi mendapatkan keturunan dan dengan ketulusannya pulalah dia rela bercerai dari Soekarno walaupun dia tahu hal ini berarti pula melepaskan sebuah harapan menjadi Ibu Negara. Sebuah ketulusan yang sangat luar biasa, ketulusan yang tak pernah mengharapkan balasan apapun dan dari siapapun bahkan mungkin dari Tuhan sekalipun. Mereka kemudian bercerai di pada tanggal 29 Feruari 1942 dan Inggit diserahkan kembali oleh Soekarno kepada H.Sanoesi namun bukan dengan tujuan untuk menikah kembali melainkan hanya untuk menjalin persaudaraan. Ada peribahasa Sunda yang Pak Tito sampaikan untuk menggambarkan kisah Inggit ini yaitu “Ka naraka katut turut, ka surgana henteu turut” (bahasa Indonesia ; ke neraka sempat ikut, namun ketika ke surga tidak ikut).

 

Setelah bercerai dengan Inggit dan kemudian menikahi Fatma, Soekarno tak lama berselang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tahun 1945 atau hanya berselang 3 tahun dari perceraiannya dengan Inggit. Hal inilah yang memunculkan sebuah istilah bahwa Inggit mengantarkan Soekarno ke pintu gerbang kemerdekaan, ya hanya mengantarkan sampai ke pintu tidak pernah masuk dan menikmati buah hasil dari perjuangan bersamanya tersebut. Setelah bercerai dengan Soekarno Inggit hidup sangat sederhana dan tetap berjualan bedak dan jamu untuk menghidupi keseharian bersama anak-anak angkatnya yaitu Ratna Djuami dan Kartika. Namun Inggit tak pernah sekalipun mengeluh atau menuntut kehidupan yang lebih baik kepada siapapun.

 

Status mungkin boleh saja menjadi mantan istri dan suami namun rasa cinta Inggit kepada Soekarno tak pernah lekang ditelan waktu, itu terbukti ketika Soekarno menjenguk Inggit yang tengah sakit, ketika itu Inggit berpesan kepada Soekarno bahwa baju yang dipakai Soekarno pada saat itu adalah pemberian dari rakyat, maka sudah sepantasnya lah Soekarno cinta kepada rakyat, sebuah pesan yang menunjukan bahwa Inggit sangat ingin Soekarno tetap sebagai sosok yang sempurna dan dicintai oleh banyak orang. Belum lagi ketika Soekarno wafat, Inggit yang ketika itu telah sangat renta hadir di Wisma Yaso untuk melihat lelaki yang dicintainya itu untuk yang terakhir kalinya, disana Inggit mengungkapkan rasa sayang untuk terakhir kalinya dengan kalimat  “Ngkus, geuning Ngkus teh miheulaan, ku Nggit didoakeun”(bahasa Indonesia ; Ngkus, ternyata ngkus mendahului, Nggit mendoakan) –Ngkus merupakan panggilan sayang Inggit untuk Soekarno-. Cinta Inggit kepada Soekarno memang luar biasa, suatu bentuk cinta yang sulit untuk mencari tandingannya.

 

Inggit ketika melayat jenazah Soekarno

 

Mudah-mudahan kisah Inggit dan Soekarno ini dapat menginspirasi dan menjadi bekal kita semua dalam menjalin hubungan dengan siapapun.

 

Jika kita ingin mencari tandingan atas ketulusan matahari yang setia menyinari bumi, kita bisa melihat ketulusan dan kesetiaan Inggit Garnasih sebagai padanannya.

 

Sumber :

Obrolan dengan Bpk. Tito Zeni Asmara Hadi, putra Ratna Djuami & Asmara Hadi, cucu Inggit Garnasih, pada tanggal 30 Januari 2011.

http://rgalung.wordpress.com/2011/02/01/273/

http://jabar.tribunnews.com/read/artikel/4437/inggit-garnasih-dan-batu-pipisan

http://rosodaras.wordpress.com/tag/inggit-garnasih/

2 Comments

  1. John Lennon

    Inggit lah yg memang sepantasnya duduk sebagai First Lady Indonesia. sebuah cinta yg hanya kenal kata memberi tanpa mengharap balasan.

  2. Fer Godzi

    Beliau Srikandi Indonesia. Anugerah terbaik dari Tuhan yg diberikan kepada rakyat Indonesia yaitu Soekarno dan Inggit Garnasih. Terima kasih. Jasamu kukenang selalu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑